Dara menepati janjinya. Kini dia yang menjemput Farel. Benar apa yang dikatakan mamanya. Farel terlihat lebih ceria dari biasanya. Mungkin dia harus memberi perhatian yang lebih lagi. Terkadang orang tua menganggap sepele diamnya anak mereka sebagai aksi menerima. Padahal bisa saja mereka sedang menyimpan keinginan terpendam, atau malah sebuah masalah.
"Ma, berhenti dulu.""Hm? Kenapa sayang?" Dara meminggirkan mobilnya di pinggir jalan."Farel mau ke toko itu dulu.""Hah? Emang mau beli apa?""Emmm...."Farel mengarahkan pandangannya ke bawah. Menggaruk pipinya seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Ah, ya udah. Mama belokkan mobil. Sekalian mama mau cari sesuatu."Mencari sela di tengah keramaian jalan, memang tak mudah. Apalagi tadi Dara terlanjur meminggirkan mobil di tempat yang berseberangan dengan supermarket. Setelah usaha yang lumayan, mereka sampai juga di supermarket."Emm, Ma. Farel mau kesana ya?""Hem. Nanti kalau udaBangun tidur, Farel kaget. Karena melihat kadonya sudah terbungkus. Matanya yang tadinya kuyu sisa kantuk, tiba-tiba jadi melebar. Menggaruk kepalanya yang tak gatal. Malu, karena ada surat di dalamnya. "Kak Hana ulang tahun kah, sayang?"Farel terkejut. Sejak kapan mamanya masuk?"Eng... enggak, Ma.""Terus, kadonya?"Netra Farel bergerak ke kiri dan kanan."Itu... pengen ngasih aja."Dara tertawa kecil."Oh, gitu."Farel mengangguk."Kata Deni, kalau sayang itu kasih kado. Farel kan sayang sama kak Hana, Ma."Dara terkekeh. Mengusak surai Farel. Untung saja kecerdasan Farel di pelajaran. Bukan pada masalah cinta monyet yang seharusnya belum masanya."Iya. Mau ke rumah kak Hana kapan? Apa mau dikasih di sekolah?""Gak mau, Ma. Gede. Mama aja ya yang kasih kak Hana.""Lo, kenapa?""Malu.""Kenapa malu? Kan cuma ngasih hadiah.""Nanti kak Hana gak suka gimana, Ma?"Dara menunduk, memegan
Dara menutup album tersebut. Mengusap genangan di sudut matanya dan juga di pipinya. Menyimpan album tersebut di rak buku bersama dengan buku-buku milik Dirga. Ponselnya menyala. Berkedip-kedip ada panggilan. Gegas Dara meengangkatnya."Ya, Ly?""Mbak di rumah?""Em, iya.""Ya udah, mbak. Kita mau kesana.""Oke-oke. Aku tunggu kedatangan kalian."Pucuk dicinta ulampun tiba. Tak jadi kesana, justru mereka yang mau datang."Emm, mbak--""Iya, Ly?" Hening sejenak."Eng... gak jadi ding.""Iihh... kamu mah. Bikin penasaran."Terdengar kekehan Lily dari seberang."Ya udah, mbak. Mau siap-siap dulu.""Oke. Hati-hati. Bilang Doni jangan ngebut-ngebut."Lily hanya tertawa. Tahu saja suaminya mantan berandal."Haha. Iya mbak. Ya udah ya mbak.""Oke. Sip."Begitu sambungan dimatikan, Dara bergegas memesan makanan. Tak mungkin kan ada tamu hanya dibiarkan tanpa jamuan?*****Dua puluh lima
Hari-haripun berlalu. Pagi ini, acara ulang tahun sekolah Farel dan Hana. Mereka sudah berdandan layaknya dokter dan suster. Kalau Farel mah gampang. Tak perlu memberinya polesan make up. Tapi beda dengan Hana, dia terlihat cantik dengan rambut di gelung atas dan topi susternya. Mereka terlihat serasi dengan seragam putih khas dokter dan suster itu. Farel, dia memang tampan. Dan Hana, ya, dia juga cantik. Dan untung saja hari ini mereka akur.Dara datang dan duduk di kursi yang berdekatan dengan Lily dan Doni. Sebenarnya pihak sekolah memintanya duduk di depan karena menghormati orang berpengaruh sepertinya. Tapi dia menolak halus, dan lebih memilih layaknya orang tua murid yang lain.Iring-iringan karnaval sudah berangkat sejak tadi. Tapi orang tua tidak mendampingi dan menunggu di aula sekolah. Menunggu untuk penampilan kreasi siswa. Sembari menunggu, sambil mengobrol dengan yang lain. Menambah kenalan dan relasi."Dan inilah putra putri Seko
"Gak usah kemana-mana sayang. Di rumah aja."Farel yang hendak keluar, mengurungkan niatnya."Tapi, Farel pengen beli bakso, Ma. Kemarin Farel lihat ada yang baru buka di dekat gang sana."Dara tetap menggeleng."Diluar mendung petang. Ntar malah kehujanan loh.""Tapi Farel pengen, Ma," rengeknya. Tak biasanya anak ini merengek. Dara jadi tak tega."Ya udah. Tapi diantar pak Mamat ya?"Senyum Farel terbit lagi. "Bener, Ma?"Dara mengangguk."Beli, bungkus aja bawa pulang.""Oke, Ma."Farel langsung ngacir keluar. Menghampiri pak Mamat di pos satpam depan sana. Dara menggelengkan kepala. Tumben-tumbenan sampai bela-belain keluar sendiri. Biasanya cukup dipesankan online dia sudah nurut. Tapi memang Dara juga mau memesankan online, kasihan kurirnya nanti. Di luar mendung petang sekali.Dara kembali berkutat dengan laptopnya. Memfolder beberapa berkas supaya lebih bersih dan teratur. Deru hujan
"Ma, Hana udah cantik kan?"Gadis cilik itu memutar-mutarkan badannya centil. Gaun pink dengan renda bunga menghiasi bagian dada. Rambutnya dikuncir dua sisi samping dengan mengambil bagian sedikit dan sisanya dibiarkan tergerai.Lily tertawa melihat gadis kecilnya centil begini. Dasar. Padahal dirinya dulu gak secentil ini loh."Iya sayang. Udah cantik."Hana tersenyum lebar."Udah selesai kan? Sana ikut papa ke depan.""Tapi kadoku?""Iya, nanti mama bawakan.""Oke, Ma. Jangan lama-lama. Ntar Farel gak ada temennya loh."Lily terkekeh, mengangguk. Dengan ceria, Hana berlari ke depan. Menyusul papanya. Sementara Lily melanjutkan dandannya yang tertunda karena mendandani Hana duluan.Malam ini acara ulang tahun Farel. Tapi sengaja mereka datang agak awal supaya bisa bantu-bantu. Meski sebenarnya sudah ada yang mengurus. Tapi bisalah nanti sambil menerima tamu yang datang.Selesai dandan, dia mengambil ta
Farel terdiam. Dalam bayangnya adalah papa Dirga. Tapi, ah...Farel terpaku dengan piring kue di tangannya. "Sekali lagi, gak papa kok papa Hana jadi papanya Farel," tukas Hana lugu.Farel terdiam. Mengarah ke arah Doni yang mengulas senyum, mengangguk tipis. Tapi Farel ragu, haruskah lagi? Kakinya bergerak ragu. Seperti masih ada yang mengganjal. Akhirnya dia nekat, karena terlalu lama berfikir kasihan dengan audiens yang sudah ingin menyicipi kuenya. Namun saat dia hendak menjulurkan kuenya pada Doni, sebuah suara menghentikannya."Terus kedatangan papa disini buat apa dong."Deg! Farel menoleh terkejut. Termasuk tamu undangan dan lainnya. Dara, menggigit bibir bawahnya. Meski dia sudah diberi tahu Doni kemarin, tapi tetap saja dia belum bertemu lagi dengan pria itu. Pria yang sangat dirindukannya.Dirga, membuka masker dan topi yang menutupi wajahnya. Tersenyum lebar ke arah Farel yang masih menatapnya bagai melihat hantu.
Ruang keluarga. Dirga tengah bercengkrama dengan keluarga. Bercerita bagaimana dia bisa selamat. Tak lupa Farel yang tidur di pangkuannya. Memainkan jemari besar nan lebar milik papanya. Terlihat sekali, dia sangat merindukan papanya. Kedatangan Dirga adalah kado terindah bagi bocah itu.Dara, sedari tadi menyesapi gurat wajah yang dirindukannya. Apa dia menangis? Tidak. Seperti yang dikatakan Doni, dia tidak akan menangis. Lega karena beban beratus ton itu kini telah terangkat. Kebahagiaan yang membuncah teramat sangat. Hanya saja dia masih menahannya. Sedikit sebal karena sedari tadi Dirga mengabaikannya. Pun saat melihatnya, hanya selintas. Lalu sibuk dengan tamu. Dan kini, sibuk dengan keluarga. Uh! Menyebalkan."Lalu, Raka dan Dita? Mereka tidak ikut pulang?" tanya papa Deri. Dirga menggeleng."Mereka belum siap untuk pulang katanya."Ya. Kecelakaan itu... Sebuah hutan belantara. Dirga yang terseok-seok dengan badan penuh luka. Dalam gel
Malam telah larut. Bahkan Farel sudah tertidur di pangkuan Dirga. Tapi pembicaraan keluarga itu tak kunjung usai. Lama-lama Dara kesal. Dia tidak bagian waktu berduaan dengan Dirga. Akhirnya tanpa sepatah katapun, dia kembali ke kamarnya. Menutup pintu dengan keras. Lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Tengkurap, memukul-mukul bantal."Menyebalkan. Dia bahkan tidak menyapaku sama sekali," gerutunya. "Argh! Dirga sialan! Dirga brengsek! Nyebelin!" makinya."Sudah selesai ngamuknya?"Dara terjengkit. Reflek terbangun. Sejak kapan Dirga masuk? Perasaan dia tak mendengar pintu di buka. Dan Farel?"Sepertinya semenjak aku tinggalkan, bar-barmu kembali ya? Mau aku hukum bibirmu, hmm?"Bukannya marah-marah atau menjawab ucapan Dirga, Dara malah terpaku. Menatap Dirga yang bersidekap memberinya tatapan."Aah? Kamu tidak merindukanku kah?" ucap Dirga melipat dahinya tipis. Heran dengan reaksi Dara yang malah seperti patung."Aissh! Kamu