Malam telah larut. Bahkan Farel sudah tertidur di pangkuan Dirga. Tapi pembicaraan keluarga itu tak kunjung usai. Lama-lama Dara kesal. Dia tidak bagian waktu berduaan dengan Dirga. Akhirnya tanpa sepatah katapun, dia kembali ke kamarnya. Menutup pintu dengan keras. Lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Tengkurap, memukul-mukul bantal.
"Menyebalkan. Dia bahkan tidak menyapaku sama sekali," gerutunya."Argh! Dirga sialan! Dirga brengsek! Nyebelin!" makinya."Sudah selesai ngamuknya?"Dara terjengkit. Reflek terbangun. Sejak kapan Dirga masuk? Perasaan dia tak mendengar pintu di buka. Dan Farel?"Sepertinya semenjak aku tinggalkan, bar-barmu kembali ya? Mau aku hukum bibirmu, hmm?"Bukannya marah-marah atau menjawab ucapan Dirga, Dara malah terpaku. Menatap Dirga yang bersidekap memberinya tatapan."Aah? Kamu tidak merindukanku kah?" ucap Dirga melipat dahinya tipis. Heran dengan reaksi Dara yang malah seperti patung."Aissh! KamuTadi malam Farel pindah, katanya ada kecoa, makanya dia gak bisa tidur. Dara mengizinkan putranya itu tidur bersama mereka meski sebenarnya dia tahu itu hanya alasan Farel saja untuk berdekatan dengan papanya. Wajar saja, setelah sekian lama berpisah, kini dipertemukan kembali dengan papanya. Farel tidur di tengah-tengah mereka. Dia lihat senyum bahagia Farel sebelum terlelap.Dengan lembut, Dara membangunkan Farel. Untung saja anak ini mudah dibangunkan. Dengan mata yang masih lengket, Dara tuntun kembali ke kamarnya. Menyiapkan air untuk mandi putranya, berikut baju yang akan dipakainya.☆☆☆☆☆"Lah, gak ke kantor?" ucap Dara saat kembali ke kamar dan melihat Dirga hanya memakai baju santainya."Ini kan minggu sayang."Dara menepuk dahinya. Astaga, lupa."Terus aku tadi nyiapin seragam buat Farel," tukasnya. Dirga tertawa."Duh, saking semangat mama satu ini."Dara meringis. Tapi emang benar sih. Kebahagiaan yang membuncah me
"Putra kita udah ngerasain cinta?" Sedih juga karena dia dulu saja mana kenal cinta-cintaan. Bahkan sama cintanya monyet saja dia gak kenal."Eng... gak sih. Bukan romantis ke cinta orang dewasa loh. Maksudku dia kan selama ini menganggap Hana seperti kakaknya. Jadi ya--"Dirga manggut-manggut paham."Bagaimana kalau dewasa mereka berjodoh?" pancingnya. Dara menggendikkan bahu."Gak masalah. Justru malah enak. Udah kenal anaknya sekaligus orang tuanya dari lama."Dirga tersenyum, mengusak surai Dara."Iya. Aku juga berharapnya begitu. Tapi terlepas dari itu semua, biarkan mereka menemukan jalannya masing-masing. Meski untuk ukuran kita, perjodohan itu berhasil, belum tentu untuk mereka. Takutnya malah merusak persahabatan mereka dari lama. Dara tersenyum tipis. "Aku tahu."Tak lama mereka sampai di rumah. Dirga membopong Farel masuk. Membawanya ke kamarnya. Sedang Dara menyiapkan air hangat untuk mandi Dirga. Lalu memilah baj
Hari-hari terasa lebih indah. Apalagi semenjak Dirga kembali lagi. Sungguh, Dara sepertinya harus menghargai kebersamaan mereka. Perpisahan itu sangat menyakitkan.Sengaja Dara tidak segera bangun. Memandangi wajah tampan yang tersaji di sampingnya merupakan rutinitas yang tidak akan pernah dia tinggalkan lagi."Sayang, sini."Dara terkejut. Dia pikir Dirga pasti berpura tidur tadi. Cepat-cepat Dara beranjak dari ranjang dan mengabaikan panggilan Dirga tadi. Sayangnya, dia kalah cepat. Dirga lebih dulu menarik pinggangnya dan memeluk tubuh mungilnya.'Ih, apaan sih, Ga. Ntar Farel bangun loh," tolaknya memberi dorongan di dada pria itu."Gak ada. Dia masih tidur.""Tapi ntar kebangun."Dirga melonggarkan pelukannya, tapi tetap saja masih susah untuk di lepas."Kalau begitu, kita ke kamar mandi saja.""Hah? Mau ngapain?" tukasnya cengo. Dirga mengerdipkan sebelah matanya. Belum sempat Dara mencerna, Dirga lebih dulu menariknya ke kamar mandi. Mengu
Dirga melirik jam Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak sabar segera menunggu jam makan siang. Gelisah sekali tingkahnya. Dirga memang benar-benar berubah. Tak ada sikap dingin seperti saat pertama kali perjodohan dirinya dengan Dara. Pria, kalau sedang bucin memang menggemaskan, tapi juga menyebalkan."Aaah! Lamanya," keluhnya seraya menyandarkan kepalanya ke kursi kebanggaannya. Bibirnya mengulas senyum lebar. Tiba-tiba ponselnya berdering. Segera dia raih dan mengangkatnya."Ya, halo?""Apa kabar, ini gue, Raka?"Sontak Dirga menegakkan tubuhnya."Hai, Bro. Kabar baik. Gimana kabari Lo?""Haha. Intinya lebih baik daripada waktu disana.""Haha. Dasar. Gimana, ada kabar apa?""Begini, besok gue sama Dita mau pulang.""What the? Sorius?""Ya. Bisa tolong jemput kami di bandara? Soalnya semenjak hari itu, Dita belum akur dengan orang tuanya. Jadi... Ya begitulah.""Siap. Ntar sekalian gue bawa anak sama istri gue. Belum lihat k
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, Farel dan Hana sudah menginjak usia remaja. Dan seperti yang di duga, Farel mewarisi seluruh ketampanan dan sifat papanya, Dirga. Bahkan dia sangat pintar. Hanya satu yang membuatnya terlihat kurang. Dia kurang peduli pada sosok bernama wanita. Padahal, Farel adalah siswa idaman para gadis. Tak hanya satu dua yang menyukainya. Banyak. Bahkan mulai dari adik kelas, kakak kelas, ada saja fansnya. Sudah seperti di drama saja. Loker nya selalu berisi surat dan hadiah. Dan dari sekian perhatian yang tertuju padanya, justru Farel tetap menguntil Hana. Sikapnya masih sama seperti beberapa tahun silam. Mungkin, itu efek dari sejak kandungan mereka sudah dekat, jadi Farel seperti sudah ada ikatan samar dengan gadis remaja itu. Hana sendiri, dia mulai kesal dengan sikap Farel. Gara-gara Farel, siswa yang disukainya jadi tidak mau dekat dengannya. Mengira dirinya dan Farel ada hubungan."Kamu bisa gak sih jangan nguntit aku terus?" sentak Hana kesal.
Season 3 new coming!_Aku mencintaimu, hingga hal sebodoh ini pun kulakukan untukmu_"Sayang, i love u."Tangan kekar melingkar di pinggangku. Berikut kepala yang bertumpu di pundakku. Derai halus napasnya menerpa sisi kanan pipiku. Aku tersenyum tipis. Harusnya aku bahagia dengan pernikahan ini. Pemuda yang berhasil mencuri hatiku. Farel namanya. Pemuda yang satu tahun lebih muda dariku. Tapi, sayangnya tidak seperti itu."Minggirlah. Tidak lihat aku sedang masak, hm?" Aku sedikit mendorong badannya dengan sikuku. Karena saat ini aku sedang menggoreng ayam. "No. Aku maunya seperti ini. Nyaman."Hela napas terhembus pelan, dia memang manja sekali."Terserahmu. Tapi kalau entar kena cipratan minyak, jangan protes ya.""Tidak apa. Yang penting bukan kamu yang kena.""Mana mungkin. Sementara kamu bersembunyi dibelakangku?" Dia tertawa kecil."Kalau begitu, aku saja yang masak?""Tidak usah. Mandi sana. Nanti telat ke kantornya loh," ujarku menepis tangannya di perut."Oke. Aku mandi du
"Gak kerasa ya, mereka sudah dewasa. Haha."Malam ini, mama dan papaku mengajak ke rumah Farel. Entah dalam rangka apa. Mereka hanya bilang sekedar makan malam. Sebenarnya sudah biasa bagi keluarga kami untuk saling kunjung. Hanya saja, ini mulai terasa aneh saat perasaanku terhadapnya tumbuh. Aku hanya tak ingin dia ataupun yang lainnya tahu. Akan sangat memalukan. Mengingat selama ini aku selalu menolak bermain dengan Farel. Bahkan acuh tak acuh. Untung saja itu hanya berlangsung tahun terakhirku di SMA. Setelah lulus sekolah menengah, aku kuliah di kota yang berbeda. Berharap tak lagi bertemu dengannya dan perasaan itu meluntur. Sayang sekali, nyatanya tidak. Aku bahkan menjadi sosok yang dingin terhadap semua lelaki yang mendekatinya. Alhasil, tiga tahun setengah kuliah, tak sekalipun mempunyai pacar. Atau bisa dikatakan, aku belum pernah berpacaran sama sekali.Dan saat ini aku sudah lulus. Rehat sebentar sebelum nanti lanjut pasca sarjana. Aku tidak
Tujuh hari Farel mengalami koma. Dan setiap hari itulah, aku menjaganya. Membuat semuanya makin yakin akan perasaanku terhadap Farel. Wajah sembab, kusam, tak terawat. Ditambah mata bengkak dan sayu karena kurang tidur, membuat penampilanku makin kacau. Mengabaikan ucapan mama dan tante untuk bergantian jaga. Kekhawatiranku akan dirinya begitu besar. Aku benar-benar takut kehilangannya. Masa bodoh hatinya bukan untukku. Selama aku bisa melihatnya bahagia, aku-pun ikut bahagia. Benar-benar gila bukan? Yah, begitulah. Aku bukan Hanna yang dulu membenci bocah tampan itu. Aku kini Hanna yang mencintainya.Tengah malam, pukul sebelas dini hari, aku belum tidur. Masih setia menatapi luka di wajahnya. Perban sudah di lepas. Dan terlihat bekas luka dan juga lebam. Tentu saja, bayangkan, jatuh dalam ketinggian seperti itu. Goresan ranting, tanah, duri, atau entah apalagi. Sampai hari ini, polisi memutuskan, Farel hanya kecelakaan biasa. Dan ditilik dari kasusnya, sepertinya dia baru
Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p
Seharian ini, David mengantarnya kemanapun Hana mau. Jelang sore, mereka kembali. Senyum kembali terpatri di bibir Hana. Meski sebenarnya itu palsu."Makasih, Vid, udah jadi sopirku sehari," kekehnya kecil. David tertawa."Siap tuan putri. Kemana tuan putri mengajak pergi, sang supir siap mengantar."Hana terkekeh."Mampir?"tawarnya."Em, lain kali aja deh, Na. Gak bawa apa-apa. Malu.""Haha. Kayak apa aja. Yuk, gak papa. Mampir."David tetap menggeleng."Udah sore juga, Na. Lain kali deh.""Emm, ya udah. Makasih ya Vid."David mengangguk, tersenyum. Lalu memutar laju mobilnya, melesat pergi. Hana memandangi mobil itu hingga menghilang dari pandangannya. Menghela napas sejenak, dan membuka gerbang rumahnya. Melangkah dengan tak semangat. Tanpa dia tahu, ada orang asing yang sedari tadi memperhatikannya.*******"Baru pulang sayang?"Hana menghentikan langkahnya. Mendapati mamanya yang tengah menyiram bunga. Lalu menghampirinya."Iya, Ma. Jalan-jalan dulu. Hehe."Lily tersenyum. Syukur
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik