"Putra kita udah ngerasain cinta?" Sedih juga karena dia dulu saja mana kenal cinta-cintaan. Bahkan sama cintanya monyet saja dia gak kenal.
"Eng... gak sih. Bukan romantis ke cinta orang dewasa loh. Maksudku dia kan selama ini menganggap Hana seperti kakaknya. Jadi ya--"Dirga manggut-manggut paham."Bagaimana kalau dewasa mereka berjodoh?" pancingnya. Dara menggendikkan bahu."Gak masalah. Justru malah enak. Udah kenal anaknya sekaligus orang tuanya dari lama."Dirga tersenyum, mengusak surai Dara."Iya. Aku juga berharapnya begitu. Tapi terlepas dari itu semua, biarkan mereka menemukan jalannya masing-masing. Meski untuk ukuran kita, perjodohan itu berhasil, belum tentu untuk mereka. Takutnya malah merusak persahabatan mereka dari lama. Dara tersenyum tipis."Aku tahu."Tak lama mereka sampai di rumah. Dirga membopong Farel masuk. Membawanya ke kamarnya. Sedang Dara menyiapkan air hangat untuk mandi Dirga. Lalu memilah bajHari-hari terasa lebih indah. Apalagi semenjak Dirga kembali lagi. Sungguh, Dara sepertinya harus menghargai kebersamaan mereka. Perpisahan itu sangat menyakitkan.Sengaja Dara tidak segera bangun. Memandangi wajah tampan yang tersaji di sampingnya merupakan rutinitas yang tidak akan pernah dia tinggalkan lagi."Sayang, sini."Dara terkejut. Dia pikir Dirga pasti berpura tidur tadi. Cepat-cepat Dara beranjak dari ranjang dan mengabaikan panggilan Dirga tadi. Sayangnya, dia kalah cepat. Dirga lebih dulu menarik pinggangnya dan memeluk tubuh mungilnya.'Ih, apaan sih, Ga. Ntar Farel bangun loh," tolaknya memberi dorongan di dada pria itu."Gak ada. Dia masih tidur.""Tapi ntar kebangun."Dirga melonggarkan pelukannya, tapi tetap saja masih susah untuk di lepas."Kalau begitu, kita ke kamar mandi saja.""Hah? Mau ngapain?" tukasnya cengo. Dirga mengerdipkan sebelah matanya. Belum sempat Dara mencerna, Dirga lebih dulu menariknya ke kamar mandi. Mengu
Dirga melirik jam Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak sabar segera menunggu jam makan siang. Gelisah sekali tingkahnya. Dirga memang benar-benar berubah. Tak ada sikap dingin seperti saat pertama kali perjodohan dirinya dengan Dara. Pria, kalau sedang bucin memang menggemaskan, tapi juga menyebalkan."Aaah! Lamanya," keluhnya seraya menyandarkan kepalanya ke kursi kebanggaannya. Bibirnya mengulas senyum lebar. Tiba-tiba ponselnya berdering. Segera dia raih dan mengangkatnya."Ya, halo?""Apa kabar, ini gue, Raka?"Sontak Dirga menegakkan tubuhnya."Hai, Bro. Kabar baik. Gimana kabari Lo?""Haha. Intinya lebih baik daripada waktu disana.""Haha. Dasar. Gimana, ada kabar apa?""Begini, besok gue sama Dita mau pulang.""What the? Sorius?""Ya. Bisa tolong jemput kami di bandara? Soalnya semenjak hari itu, Dita belum akur dengan orang tuanya. Jadi... Ya begitulah.""Siap. Ntar sekalian gue bawa anak sama istri gue. Belum lihat k
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, Farel dan Hana sudah menginjak usia remaja. Dan seperti yang di duga, Farel mewarisi seluruh ketampanan dan sifat papanya, Dirga. Bahkan dia sangat pintar. Hanya satu yang membuatnya terlihat kurang. Dia kurang peduli pada sosok bernama wanita. Padahal, Farel adalah siswa idaman para gadis. Tak hanya satu dua yang menyukainya. Banyak. Bahkan mulai dari adik kelas, kakak kelas, ada saja fansnya. Sudah seperti di drama saja. Loker nya selalu berisi surat dan hadiah. Dan dari sekian perhatian yang tertuju padanya, justru Farel tetap menguntil Hana. Sikapnya masih sama seperti beberapa tahun silam. Mungkin, itu efek dari sejak kandungan mereka sudah dekat, jadi Farel seperti sudah ada ikatan samar dengan gadis remaja itu. Hana sendiri, dia mulai kesal dengan sikap Farel. Gara-gara Farel, siswa yang disukainya jadi tidak mau dekat dengannya. Mengira dirinya dan Farel ada hubungan."Kamu bisa gak sih jangan nguntit aku terus?" sentak Hana kesal.
Season 3 new coming!_Aku mencintaimu, hingga hal sebodoh ini pun kulakukan untukmu_"Sayang, i love u."Tangan kekar melingkar di pinggangku. Berikut kepala yang bertumpu di pundakku. Derai halus napasnya menerpa sisi kanan pipiku. Aku tersenyum tipis. Harusnya aku bahagia dengan pernikahan ini. Pemuda yang berhasil mencuri hatiku. Farel namanya. Pemuda yang satu tahun lebih muda dariku. Tapi, sayangnya tidak seperti itu."Minggirlah. Tidak lihat aku sedang masak, hm?" Aku sedikit mendorong badannya dengan sikuku. Karena saat ini aku sedang menggoreng ayam. "No. Aku maunya seperti ini. Nyaman."Hela napas terhembus pelan, dia memang manja sekali."Terserahmu. Tapi kalau entar kena cipratan minyak, jangan protes ya.""Tidak apa. Yang penting bukan kamu yang kena.""Mana mungkin. Sementara kamu bersembunyi dibelakangku?" Dia tertawa kecil."Kalau begitu, aku saja yang masak?""Tidak usah. Mandi sana. Nanti telat ke kantornya loh," ujarku menepis tangannya di perut."Oke. Aku mandi du
"Gak kerasa ya, mereka sudah dewasa. Haha."Malam ini, mama dan papaku mengajak ke rumah Farel. Entah dalam rangka apa. Mereka hanya bilang sekedar makan malam. Sebenarnya sudah biasa bagi keluarga kami untuk saling kunjung. Hanya saja, ini mulai terasa aneh saat perasaanku terhadapnya tumbuh. Aku hanya tak ingin dia ataupun yang lainnya tahu. Akan sangat memalukan. Mengingat selama ini aku selalu menolak bermain dengan Farel. Bahkan acuh tak acuh. Untung saja itu hanya berlangsung tahun terakhirku di SMA. Setelah lulus sekolah menengah, aku kuliah di kota yang berbeda. Berharap tak lagi bertemu dengannya dan perasaan itu meluntur. Sayang sekali, nyatanya tidak. Aku bahkan menjadi sosok yang dingin terhadap semua lelaki yang mendekatinya. Alhasil, tiga tahun setengah kuliah, tak sekalipun mempunyai pacar. Atau bisa dikatakan, aku belum pernah berpacaran sama sekali.Dan saat ini aku sudah lulus. Rehat sebentar sebelum nanti lanjut pasca sarjana. Aku tidak
Tujuh hari Farel mengalami koma. Dan setiap hari itulah, aku menjaganya. Membuat semuanya makin yakin akan perasaanku terhadap Farel. Wajah sembab, kusam, tak terawat. Ditambah mata bengkak dan sayu karena kurang tidur, membuat penampilanku makin kacau. Mengabaikan ucapan mama dan tante untuk bergantian jaga. Kekhawatiranku akan dirinya begitu besar. Aku benar-benar takut kehilangannya. Masa bodoh hatinya bukan untukku. Selama aku bisa melihatnya bahagia, aku-pun ikut bahagia. Benar-benar gila bukan? Yah, begitulah. Aku bukan Hanna yang dulu membenci bocah tampan itu. Aku kini Hanna yang mencintainya.Tengah malam, pukul sebelas dini hari, aku belum tidur. Masih setia menatapi luka di wajahnya. Perban sudah di lepas. Dan terlihat bekas luka dan juga lebam. Tentu saja, bayangkan, jatuh dalam ketinggian seperti itu. Goresan ranting, tanah, duri, atau entah apalagi. Sampai hari ini, polisi memutuskan, Farel hanya kecelakaan biasa. Dan ditilik dari kasusnya, sepertinya dia baru
Tante Dara masuk ruangan lebih dulu. Aku? Masih di luar untuk menetralkan sesak dalam dadaku."Ma, Yulia mana? Ah, aku merindukannya, Ma."Tes! Sebulir air mata mengalir di pipiku yang segera ku usap kasar. Yulia. Beruntung sekali kehadiranmu yang terbilang baru, bisa membuat Farel semenggila ini."Sudahlah, Yulia nanti akan datang. Oh, ya, ada yang ingin menemuimu. Benarkan pakaianmu dulu."Seketika aku membayangkan Farel sedang tak memakai baju. Aih! Apalah otakku ini. Hingga tante Dara menghampiriku lagi. Tersenyum dengan samar ketidak tegaan."Masuklah, Na. Semoga dia mengingatmu."Aku tersenyum tipis. Aku sudah menyiapkan untuk menangkapnya seandainya hatiku terjatuh lagi. Kulihat pria itu tengah mengambil potongan buah di meja nakas samping. Ku untaikan senyum sebisa mungkin terlihat biasa saja."Pagi, Rel," sapaku. Farel menoleh, tatapannya terpaku padaku. Sorot matanya bahkan menampakkan kerinduan. Akankah dia mengingatku?"Yu-Yulia---"Degh!Senyumku memudar. Yulia katanya? In
Pukul empat sore. Sebentar lagi Farel pulang. Aku segera bersiap-siap mandi dan lain-lain. Hari ini ku habiskan dengan membuka-buka sosial media. Entahlah, rasanya masih penasaran dengan keberadaan Yulia. Sampai sepuluh bulan, dia tak juga menunjukkan dirinya. Meski sebenarnya aku was-was kalau dia kembali. Bukan karena takut kehilangan posisi. Tapi, lebih khawatir kalau ternyata kejadian dulu ada hubungannya dengan Yulia. Aku tidak ingin Farel kembali terluka. Tapi, ah, jujur saja rasa takut kehilangannya itu ada. Aku ralat kata-kataku.Farel suka kebersihan dan kerapihan. Meski dia tidak protes saat kadang aku belum mandi saat dia pulang. Tetap saja aku ingin membuatnya nyaman. Makanya sebelum dia pulang, aku cepat-cepat mandi dan berdandan. Padahal dulu, boro-boro. Kadang pukul enam lewat saja baru bercengkrama dengan air.Selesai mandi dan dandan, aku berpindah ke ruang tamu. Menungguinya pulang.Tak lama terdengar deru mobilnya memasuki pekarangan. Bi