"Gak kerasa ya, mereka sudah dewasa. Haha."
Malam ini, mama dan papaku mengajak ke rumah Farel. Entah dalam rangka apa. Mereka hanya bilang sekedar makan malam. Sebenarnya sudah biasa bagi keluarga kami untuk saling kunjung. Hanya saja, ini mulai terasa aneh saat perasaanku terhadapnya tumbuh. Aku hanya tak ingin dia ataupun yang lainnya tahu. Akan sangat memalukan. Mengingat selama ini aku selalu menolak bermain dengan Farel. Bahkan acuh tak acuh. Untung saja itu hanya berlangsung tahun terakhirku di SMA.Setelah lulus sekolah menengah, aku kuliah di kota yang berbeda. Berharap tak lagi bertemu dengannya dan perasaan itu meluntur. Sayang sekali, nyatanya tidak. Aku bahkan menjadi sosok yang dingin terhadap semua lelaki yang mendekatinya. Alhasil, tiga tahun setengah kuliah, tak sekalipun mempunyai pacar. Atau bisa dikatakan, aku belum pernah berpacaran sama sekali.Dan saat ini aku sudah lulus. Rehat sebentar sebelum nanti lanjut pasca sarjana. Aku tidakTujuh hari Farel mengalami koma. Dan setiap hari itulah, aku menjaganya. Membuat semuanya makin yakin akan perasaanku terhadap Farel. Wajah sembab, kusam, tak terawat. Ditambah mata bengkak dan sayu karena kurang tidur, membuat penampilanku makin kacau. Mengabaikan ucapan mama dan tante untuk bergantian jaga. Kekhawatiranku akan dirinya begitu besar. Aku benar-benar takut kehilangannya. Masa bodoh hatinya bukan untukku. Selama aku bisa melihatnya bahagia, aku-pun ikut bahagia. Benar-benar gila bukan? Yah, begitulah. Aku bukan Hanna yang dulu membenci bocah tampan itu. Aku kini Hanna yang mencintainya.Tengah malam, pukul sebelas dini hari, aku belum tidur. Masih setia menatapi luka di wajahnya. Perban sudah di lepas. Dan terlihat bekas luka dan juga lebam. Tentu saja, bayangkan, jatuh dalam ketinggian seperti itu. Goresan ranting, tanah, duri, atau entah apalagi. Sampai hari ini, polisi memutuskan, Farel hanya kecelakaan biasa. Dan ditilik dari kasusnya, sepertinya dia baru
Tante Dara masuk ruangan lebih dulu. Aku? Masih di luar untuk menetralkan sesak dalam dadaku."Ma, Yulia mana? Ah, aku merindukannya, Ma."Tes! Sebulir air mata mengalir di pipiku yang segera ku usap kasar. Yulia. Beruntung sekali kehadiranmu yang terbilang baru, bisa membuat Farel semenggila ini."Sudahlah, Yulia nanti akan datang. Oh, ya, ada yang ingin menemuimu. Benarkan pakaianmu dulu."Seketika aku membayangkan Farel sedang tak memakai baju. Aih! Apalah otakku ini. Hingga tante Dara menghampiriku lagi. Tersenyum dengan samar ketidak tegaan."Masuklah, Na. Semoga dia mengingatmu."Aku tersenyum tipis. Aku sudah menyiapkan untuk menangkapnya seandainya hatiku terjatuh lagi. Kulihat pria itu tengah mengambil potongan buah di meja nakas samping. Ku untaikan senyum sebisa mungkin terlihat biasa saja."Pagi, Rel," sapaku. Farel menoleh, tatapannya terpaku padaku. Sorot matanya bahkan menampakkan kerinduan. Akankah dia mengingatku?"Yu-Yulia---"Degh!Senyumku memudar. Yulia katanya? In
Pukul empat sore. Sebentar lagi Farel pulang. Aku segera bersiap-siap mandi dan lain-lain. Hari ini ku habiskan dengan membuka-buka sosial media. Entahlah, rasanya masih penasaran dengan keberadaan Yulia. Sampai sepuluh bulan, dia tak juga menunjukkan dirinya. Meski sebenarnya aku was-was kalau dia kembali. Bukan karena takut kehilangan posisi. Tapi, lebih khawatir kalau ternyata kejadian dulu ada hubungannya dengan Yulia. Aku tidak ingin Farel kembali terluka. Tapi, ah, jujur saja rasa takut kehilangannya itu ada. Aku ralat kata-kataku.Farel suka kebersihan dan kerapihan. Meski dia tidak protes saat kadang aku belum mandi saat dia pulang. Tetap saja aku ingin membuatnya nyaman. Makanya sebelum dia pulang, aku cepat-cepat mandi dan berdandan. Padahal dulu, boro-boro. Kadang pukul enam lewat saja baru bercengkrama dengan air.Selesai mandi dan dandan, aku berpindah ke ruang tamu. Menungguinya pulang.Tak lama terdengar deru mobilnya memasuki pekarangan. Bi
Pernikahanku, bagaimana bisa sah? Sementara dalam akad, tak boleh menyebut nama orang lain dan harus menyebut nama asliku. Kami berbohong. Membohongi Farel bahwa selama ini nama asliku adalah Hanna Lydossana. Yulia hanyalah nama panggilan dari keluargaku karena kebetulan lahirku bulan Juli. Haha, padahal bisa jadi Yulia bagi Yulia sendiri mempunyai arti yang lain. Dan Farel percaya saja. Jadilah, akad lancar terucap dari bibirnya. Membawaku sah menjadi istrinya. Dan setelah menikah, aku diboyongnya ke rumah yang telah disediakan oleh mama dan papa Mertua. Farel sendiri sudah sehat kembali. Berbagai terapi di jalani demi kesembuhan kakinya. Makanya setelah dia bisa berjalan lagi, tanpa menunggu waktu lama, dia melamarku. Wajah sumringah yang terpancar di wajahnya membuatku sekali lagi meyakinkan diri bahwa aku harus siap berkorban untuknya. Menjadi bayang dari gadis blasteran bernama Yulia. Pernikahan diadakan sederhana. Mau mengundang siapa juga? Hanya beberapa orang terde
Pagi-pagi, kami berpamitan pulang. Karena setelah ini Farel ke kantor. Dan dia tidak membawa baju gantinya. Hanya pakaian santai. Jelas tidak mungkin ke kantor dengan pakaian seadanya. Sesampainya di rumah, dia bergegas siap-siap. Sedangkan aku, seperti biasa. Menyelesaikan pekerjaan rumah. Dia tadi tak sempat sarapan, dan karena sudah agak siang, aku hanya menyiapkan omelet untuknya. Rutinitas pagi, menemaninya sarapan, lalu setelah selesai, memasangkan dasinya seperti biasa. Mengantarnya hingga menghilang dari balik gerbang depan sana. Dan bergegas mengerjakan pekerjaan rumah yang lain.Hari ini, aku bermaksud ke salon mama Dara. Sekalian belajar make over. Siapa tahu ketularan tangan magic mama Dara. Hehe. Selama ini make upku saja hanya seadanya. Aku tak terlalu bisa dandan. Meski Farel tak pernah mempermasalahkannya, tetap saja aku harus tampil cantik di depannya bukan?"Aku suka wajah alami tanpa make upmu sayang," ucapnya suatu hari. Ya, kalau di rumah tak masalah. Tapi saat
Sepanjang jalan tante Billa bercerita banyak. Tentang masa mudanya saat bersama mama. Sesekali kami terkekeh, ternyata mama menyembunyikan banyak hal yang berkaitan dengan kekonyolan papa. Beruntung sekali mama bertemu dengan tante Billa. Dari sini saja terlihat beliau orang baik. Tapi, tante Billa tak menyinggung sedikitpun tentang masa lalu kelamnya itu. Apa tante Billa tidak mau membuatku terluka? Atau malah mengira aku ini anak hasil pelecehan itu. Tapi aku rasa tidak. Buktinya tadi tante Billa bilang aku mirip papa Doni.Ela duduk di pangkuanku. Gadis kecil itu tertidur setelah menghabiskan dua kotak susunya. Kalau tidak, mungkin dia sudah mengoceh banyak."Belok kiri tante.""Ah, iya. Dia tidak lagi di apartemen?""Gak, Tan. Emang mama pernah tinggal di apartemen?""Hem. Dulu. Awal-awal nikah.""Hehe. Aku malah gak tahu, Tan. Tahunya lahir udah di rumah itu.""Ya wajar saja. Papamu kan anak tunggal. Kalau kalian tinggal di rumah yang beda,
Kakiku enggan melangkah lebih dekat. Tante Billa menangis. Sedang Ella tidur di sampingnya. Mama juga menangis. Entah apa yang mereka bicarakan."Mungkin ini karma karena kak Mukhtar pernah menyakitimu."Karma? Kak Mukhtar? Om Mukhtar yang waktu itu? Jadi, apa tante Billa ini adik om Mukhtar? Aku membekap mulutku sendiri saat berbagai praduga muncul di otakku."Tak berapa lama aku sampai di sana. Aku dilecehkan oleh pria bedebah. Bahkan bukan hanya itu, uang dan ponselku pun dibawa pergi. Aku stress, frustasi dan hampir bunuh diri. Kalau saja tidak datang seorang ibu, yang akhirnya merawatku."Deg! Jadi, selain adik om Mukhtar, tante Billa juga--ah, kasihan sekali. Padahal kata mama, tante Billa ini orang baik. Kenapa hidup ini tak adil."Aku hamil, Ly. Hancur sudah harapanku. Aku meminum ramuan apapun yang bisa membuatnya gugur. Tapi semuanya sia-sia. Dan saat itu, aku teringat denganmu. Ah, ternyata begini rasanya. Menyakitka
Aku segera menarik tangan Farel. Dan kulihat senyum lebarnya tersungging di bibirnya. Dasar pria aneh. Dia hendak memelukku, tapi langsung kucubit perutnya. Gak lihat apa ada tante Billa sama mama."Siapa?" tanya Tante Billa bingung."Saya? Belahan jiwanya tante. Haha. Aw!"Kapok! Kucubit sekali lagi perutnya. Dia meringis, tapi tersenyum lebar ke arahku. Tahu saja, pipiku merah karena perkataanya tadi. Malu dong."Oh. Haha... aku kira siapa. Kok manggilnya Yulia? Bukan Ha--""Eh, Bil... sudah makan?"Napasku tercekat. Untung saja mama cepat bereaksi. Memotong perkataan tante Billa. Kulihat tante Billa tambah bingung. Jantungku berdegup. Farel sudah mendengar sebagian perkataan tante Billa yang menanyakan panggilannya barusan. Tapi setelah ku tatap takut-takut, ekspresinya biasa saja."Belum, Ly. Mau nawarin makan ya?"Mama melirikku, memberi isyarat agar mengajak Farel masuk. Aku mengangguk dan menarik tangannya.