Sorot mata Michael membuat Tiffany merasa sangat tidak nyaman. Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum sopan kepada Michael dan mendorong kursi roda Sean.Ketika melewati Michael, pria itu tiba-tiba menjulurkan tangan untuk menahan Tiffany dan bertanya, "Kenapa terburu-buru sekali? Kamu nggak berani bicara padaku?"Michael melipat lengannya di depan dada. Tatapannya terhadap Sean dipenuhi kebencian dan penghinaan. Meskipun begitu, dia tetap terdengar ramah saat berkata, "Sean, kenapa istrimu ini menghindar dariku? Aku rasa dia menikah denganmu karena punya motif tersembunyi."Ketika melontarkan ini, Michael diam-diam melirik payudara Tiffany dengan tatapan cabul. Tiffany sontak mengernyit dan tanpa sadar menghindar.Alhasil, tatapan Michael menjadi makin lancang. Pria ini bahkan menyunggingkan senyuman mesum dan menambahkan, "Kakek sudah tua, jadi mungkin nggak bisa menilai dengan baik. Tapi, aku punya wawasan luas. Gimana kalau kamu mengizinkan kami ngobrol sebentar? Biar ku
Ketika berjalan melewati Michael, pria itu meremas bokong Tiffany. Tiffany benar-benar murka. Kemudian, dia buru-buru mendorong kursi roda Sean pergi.Setibanya di taman bunga, Tiffany masih merasa takut. Dia tidak menyangka dirinya akan menjadi korban pelecehan seksual, bahkan pelakunya adalah kakak sepupu suaminya. Parahnya, pelecehan semacam ini terjadi di rumah kakek suaminya."Ada yang sakit?" tanya Sean sambil mengernyit."Nggak kok." Tiffany tidak berani memberi tahu Sean apa yang terjadi. Bagaimanapun, hanya ada mereka bertiga tadi. Tidak ada gunanya Sean tahu karena Michael tidak mungkin bersedia mengaku.Situasi seperti ini hanya akan membuat anggota Keluarga Tanuwijaya merasa Tiffany bersikap tidak masuk akal. Mereka juga akan mengira Sean terlalu memanjakannya. Jadi, Tiffany lebih memilih memendam masalah ini."Aku ingin minum air." Ucapan Sean seketika menyadarkan Tiffany dari lamunannya. Tidak terlihat seorang pun pelayan di taman. Jadi, Tiffany terpaksa turun tangan."Bi
Lulu tidak bisa berkata-kata. Prisa hanya memberitahunya bahwa dirinya diusir karena Tiffany. Dia tidak mendengar alasan spesifiknya. Ternyata Prisa mempermalukan Tiffany?Lulu menggigit bibirnya. Jika tahu alasannya seperti ini, dia tidak akan berani membahasnya. Pada akhirnya, Ronny terkekeh-kekeh dan mencairkan suasana. "Sean memang pria baik. Tiffany sudah menjadi menantu Keluarga Tanuwijaya. Nggak boleh ada pelayan yang menindasnya."Lulu hanya bisa mendengus dan tidak berbicara lagi. Darmawan pun mengalihkan topik pembicaraan dan mengobrol dengan Tiffany.Tiba-tiba, ponsel Ronny berdering. Dia melirik sekilas layar ponselnya, lalu ekspresinya memucat. Dia berkata, "Kalian mengobrol dulu. Aku mau jawab telepon.""Ya, nggak usah terburu-buru," ucap Sean dengan suara dingin.Setelah Ronny pergi, Michael berjalan masuk dengan ekspresi nakal. Setelah mengamati sesaat, dia akhirnya duduk di seberang Tiffany dan mengedipkan matanya lagi.Darmawan yang melihatnya langsung membentak denga
Michael mengerlingkan mata sambil membalas, "Kalau aku keluar, bukankah aku akan dihajar sampai mati?"Suara Sean tetap terdengar datar. "Ternyata kamu begitu nggak punya tanggung jawab. Seingatku, Kakek baru memberimu jabatan presdir di anak perusahaan, 'kan? Masalah begini saja harus diurus oleh Kakek. Kalau para pemegang saham tahu, takutnya kamu bisa dilengserkan dari jabatanmu."Begitu ucapan ini dilontarkan, Michael tidak mungkin berkesempatan untuk mundur lagi. Lulu pun bangkit, lalu menarik Michael dan berujar dengan lantang, "Michael tentu bisa menangani masalah sepele begini. Kamu nggak perlu mengejeknya!"Tiffany mengernyit menatap Lulu yang membawa Michael keluar. Michael sama sekali tidak merasa dirinya bersalah. Tiffany yakin masalah ini akan berakhir buruk jika diatasi mereka.Tiffany berbalik, lalu mendapati Sean sedang meminum teh dengan santai. Darmawan memanggil kepala pelayan dengan ekspresi masam, lalu membisikkan sesuatu kepadanya.Setelah kepala pelayan pergi, Da
Tangan Tiffany yang memegang kursi roda seketika menegang. Setelah mendengar semua ini, dia baru teringat bahwa tidak ada pelayan yang menghiraukan mereka sejak mereka masuk.Di bawah sinar bulan, Tiffany memandang wajah tampan Sean. Dia merasa pria ini sangat kasihan. Michael yang merupakan kakak sepupu Sean malah menghinanya karena cacat, bahkan melecehkan istrinya di hadapannya.Paman dan bibinya juga meremehkannya. Selain itu, kakek Sean .... Dulu Tiffany mengira Darmawan sangat menyayangi Sean. Jika tidak, mana mungkin dia peduli pada pernikahan Sean?Namun, setelah melihat sikap dingin Darmawan tadi, Tiffany merasa Darmawan tidak benar-benar menyukai Sean.Setelah memikirkan semua ini, hati Tiffany terasa getir. Sejak kecil, Sean telah kehilangan keluarga terdekatnya dan kerabatnya memperlakukannya dengan buruk. Dia pasti sangat sedih, 'kan?Tiffany tiba-tiba menjulurkan tangannya yang bergetar secara naluriah. Dia menyentuh tangan Sean yang dingin. Sean pun terkejut dan menggera
Michael yang sedang murka tentu tidak bersedia mendengar cemoohan seperti ini. Dia menendang kursi roda Sean lagi. Kursi roda itu sampai hampir terjatuh.Michael mengira tendangan ini sudah cukup untuk membuat Sean terguling dari kursi rodanya. Namun, sepasang tangan yang mungil sontak menangkap kursi roda itu dengan erat saat kursi roda itu hampir terjatuh.Tiffany menggenggam pegangan kursi roda dengan sekuat tenaga. Dia memelototi Michael sambil membentak, "Kamu nggak boleh menindas suamiku!"Amarah pada tatapan Tiffany membuat Michael sempat mengira ada yang salah dengan pandangannya. Gadis ini jelas-jelas terlihat begitu lemah lembut sebelumnya. Tiffany bahkan tidak bersuara saat Michael meremas bokongnya. Kini, dia malah memelotot dan membentaknya?Michael terkekeh-kekeh, lalu menjulurkan tangan dan mengangkat dagu Tiffany. Dia membalas, "Kenapa? Kamu ingin membela suami cacatmu ya? Jangan lupa, kamu sendiri juga cuma wanita lemah."Michael terkekeh-kekeh kejam dan meneruskan, "K
Di bawah sinar bulan yang terang, Sean tersenyum lembut dan menggoda. Tiffany menggigit bibirnya dan merasa wajahnya sangat panas. Dia menyahut, "Ya ... aku akan memeriksanya setelah pulang nanti."Kemudian, Tiffany menarik napas dalam-dalam sebelum meneruskan, "Sebenarnya aku cuma memaksakan diri tadi. Tubuhnya besar sekali, mana mungkin aku sanggup melawannya? Aku juga nggak sanggup melindungimu."Tiffany menunduk menatap kaki ayamnya sambil berkata lagi, "Untungnya, lariku sangat cepat. Aku bisa membawamu kabur."Penampilan serius Tiffany membuat Sean tidak bisa menahan tawa. Dia bertanya, "Jadi, kamu berencana membawaku kabur setiap kali ada masalah?""Ya. Tapi, aku nggak bakal terus kabur. Setelah aku jadi kuat, aku bisa melindungimu." Tiffany mengangguk, lalu teringat pada sesuatu sehingga menggeleng lagi.Sean menatapnya untuk waktu yang cukup lama, lalu berujar sambil tersenyum, "Oke, aku akan menunggumu menjadi kuat.""Ya." Tiffany mengepalkan tangannya dengan erat. Wajahnya m
Tiffany mengernyit, berusaha mengingat kejadian semalam. Dia hanya ingat dirinya dan Sean naik ke mobil yang dikendarai oleh Genta.Ketika saat itu, Tiffany merasa kantuk dan ingin beristirahat sejenak. Alhasil, dia malah tidur sampai keesokan pagi. Lantas, bagaimana dia bisa tidur di kamar ini?Jangan-jangan .... Tiffany teringat pada mimpinya. Ini tidak mungkin! Dia buru-buru menggeleng, menyingkirkan pemikiran yang tidak masuk akal ini."Sudah bangun?" Terdengar suara merdu seorang pria. Tiffany termangu sesaat sebelum menoleh memandang ke arah sumber suara.Saat berikutnya, Tiffany langsung bertemu pandang dengan mata Sean yang dalam. Wajah Tiffany sontak memerah. Dia segera memalingkan wajahnya.Siapa yang bisa memberitahunya kenapa mata seseorang yang buta bisa setajam ini? Akan tetapi, setelah teringat bahwa Sean buta, Tiffany merasa reaksinya terlalu berlebihan. Dia bertanya sambil tersenyum, "Kamu sudah bangun?""Ya." Sean tentu melihat semua gerak-gerik Tiffany. Dia tersenyum
Tiffany mendongakkan pandangan ke arah Sean dan bertanya, "Kamu benaran suruh aku pergi main?""Iya," jawab Sean."Baiklah!" seru Tiffany. Dia memegang wajah Sean dan mengecup pipinya. "Aku pergi main, ya! Sayang, kamu duduk di sini dan jangan gerak!""Iya," sahut Sean.Setelah memastikan Sean tidak akan marah, Tiffany dengan girang menggulung kaki celana dan berlari ke dalam sungai. Tiffany berseru, "Chaplin, kamu nggak bisa tangkap ikan kalau begitu! Lihat aku!"....Sean duduk di pinggir sungai. Senyuman menghiasi wajahnya ketika melihat gadis bermata cerah itu asyik bermain dengan Chaplin. Sudah berapa lama dia tidak sesenang ini? Dia sendiri pun lupa.Sean sepertinya tidak pernah merasakan sensasi girang semacam ini lagi sejak kakak meninggal dalam kebakaran 13 tahun yang lalu. Tiffany-lah yang membuatnya merasa masih ada banyak kemungkinan yang ada jika kita masih hidup. Sean mengeluarkan ponselnya sambil tersenyum. Dia menelepon Sofyan untuk menanyakan kemajuan masalah."Pak Se
Indira melirik Sean yang berada di kejauhan. Ekspresi wajahnya agak suram. Dia merendahkan suara dan berkata, "Belakangan ini, Santo yang tinggal di sebelah bertengkar dengan pamanmu. Dia setiap hari bergosip di desa. Dia bilang pamanmu nggak berguna sampai harus nikahkan kamu dengan orang lumpuh baru bisa obati penyakit nenekmu."Indira menatap pada Tiffany dengan ekspresi menegur. Dia bertanya, "Kenapa kamu nggak kabari dulu sebelum kamu pulang? Orang-orang di desa tertawakan keluarga kita dalam beberapa hari terakhir. Akhir-akhir ini, pamanmu juga diam di rumah saja karena itu. Kamu malah bawa Pak Sean pulang sekarang. Mau tambah masalah?"Santo adalah ayahnya Wenda. Mendengar omongan Indira, Tiffany akhirnya paham mengapa Wenda sengaja mencari masalah dengannya di kota barusan. Ternyata karena konflik antara Santo dan pamannya.Tiffany merapatkan bibir dan bertanya, "Gimana ini ...."Tiffany terlalu girang karena Sean bisa meluangkan waktu untuk menemaninya. Dia sama sekali tidak m
Melihat rombongan itu memasuki kedai mi, bos buru-buru menyambut dengan antusias. Dia memuji, "Nak, kamu benar-benar hebat!"Bos mengambilkan buku menu untuk Tiffany dan berujar, "Suaminya Wenda sudah lama menjadi tiran di kota ini. Nggak nyangka akhirnya ketemu lawan tangguh juga!"Tiffany sering makan di kedai mi itu saat duduk di bangku SMA. Dia cukup akrab dengan bos. Sambil memesan makanan, Tiffany mengernyit dan menjawab, "Benaran?""Iya." Bos mengembuskan napas dan melanjutkan, "Wenda hamil. Beberapa waktu lalu, mereka bikin acara dan minta setiap keluarga pergi ke acara. Sebenarnya, bukan karena kami dekat, tapi minta kami kasih uang."Tiffany tercengang, lalu bertanya, "Bos pergi nggak?"Bos mengembuskan napas lagi. Dia menjawab, "Kalau berani nggak pergi, mampus nanti. Lebih baik kayak kamu, pergi dari kota ini. Dunia di luar lebih baik. Rumah makanku ini juga nggak tahu bisa bertahan sampai kapan ...."Setelah Tiffany memesan makanan, bos pergi ke dapur. Entah mengapa, Tiffa
Sean memicingkan mata. Orang lain berpikir dia tidak bisa melihat. Pada kenyataannya, dia dapat melihat gerakan semua orang dengan jelas dari balik kain hitam. Sean menarik Tiffany ke dalam pelukan untuk melindunginya. Dia berkata, "Ternyata warga desa terpencil memang biadab. Kalian semua punya orang tua dan anak, tapi kalian mengintimidasi kami. Kalian nggak takut karma?"Detik berikutnya, terdengar bunyi guntur nyaring dari langit yang mendung dari tadi, seolah-olah menjawab omongan Sean. Orang yang penakut tidak berani bergerak. Orang yang berani tetap mendekat ke arah Tiffany dan Sean. Akan tetapi, mereka hanya mengelilingi, tidak berani benar-benar memukul Sean. Suami Wenda yang bertubuh kekar pun dipelintir tangannya hingga terkilir."Hajar mereka! Aku traktir kalian minum nanti!" teriak Wenda. Dia memegang pergelangan tangan suaminya yang terkilir dan menangis karena sakit hati! Suaminya yang selalu mengintimidasi orang lain. Kapan suaminya pernah dikalahkan? Hajar! Harus ha
Tiffany melanjutkan, "Kalau kamu kebanyakan tenaga, rawat janin dalam kandunganmu saja. Nggak usah cari masalah di mana-mana, oke?"Kemarahan Tiffany sudah memuncak. Akan tetapi, Wenda tidak menyerah. Wenda memprovokasi, "Kenapa? Kamu mau pukul aku? Coba saja! Aku ini ibu hamil. Memangnya kamu bisa tanggung konsekuensinya?" Tiffany menarik napas dalam-dalam. Dia menggertakkan gigi dan mencibir, lalu berkata, "Kamu yang minta."Plak! Tiffany langsung menampar Wenda dengan keras. Tiffany berseru, "Aku tampar wajahmu. Kamu nggak bisa bilang janin dalam kandunganmu tersakiti, 'kan? Aku kuliah jurusan kedokteran. Kamu nggak bisa tipu aku."Wenda terbengong karena tamparan itu. Sama sekali tak terpikir olehnya ... Tiffany yang dulunya pasrah dia ejek dan marahi, yang hanya fokus belajar akhirnya melawan! Bahkan berani menamparnya!Tiffany mendongakkan kepala dan memelototi Wenda dengan ekspresi mata dingin. Dia mengangkat tangan untuk menampar lagi. Wenda mundur secara refleks. Seorang pri
Tiffany mengenal wanita itu. Dia adalah Wenda yang berasal dari desa yang sama dengannya. Saat mengungkit kampung halamannya pada Sean dua hari lalu, Tiffany sudah memberitahukan bahwa dia dan Wenda tidak akur sejak kecil. Wenda selalu ingin menjatuhkannya di setiap kesempatan yang ada.Untungnya, Tiffany diterima di Universitas Srinen karena nilai ujian nasionalnya yang tinggi. Sementara itu, Wenda tidak diterima di universitas mana pun. Setelah lulus SMA, Wenda langsung pulang ke rumah dan menikah dengan jodoh kencan buta. Sejak itu, dunia Tiffany menjadi jauh lebih tenang. Namun, Tiffany tidak menyangka ketika dia bisa bertemu dengan Wenda ketika dia mendadak membawa Sean keluar dari mobil untuk pergi makan. Benar-benar kebetulan.Pada saat ini, Wenda yang memakai gaun ibu hamil berjalan menuju Tiffany dengan sikap dingin. Sambil berjalan, Wenda mencibir dan mengejek, "Beberapa hari lalu, keluargaku bilang Tiffany nikah dengan orang lumpuh setelah masuk kuliah."Wenda menyindir, "L
Tiffany berjanji, "Sayang, jangan khawatir. Aku pasti akan jauh-jauh kalau ketemu dia lagi!"Sean tertawa dengan suara rendah. Dia berkata, "Oke."Usai sarapan, Tiffany mulai mengemas barang-barang yang akan dibawa pulang ke kampung halaman. Hadiah untuk keluarganya memenuhi satu mobil."Aku ikut," kata Chaplin yang sudah melihat Tiffany untuk waktu yang lama dari pintu.Tiffany tidak bisa menahan senyum ketika mendengar suara pemuda yang lantang itu. Dia berucap, "Kamu boleh ikut kalau nggak keberatan kampungku miskin!"Lebih banyak orang lebih ramai! Selain itu, ada banyak kamar di rumah paman, pasti muat! Oleh karena itu, pemuda berpakaian biru itu kembali ke kamar dengan girang untuk mengemas barang.Setelah barang-barang selesai dikemas, Tiffany mendorong Sean untuk naik ke mobil. Begitu mobil berjalan, Tiffany bahkan bersenandung karena girang.Mungkin karena kampung halamannya terpencil, lagu yang disenandungkan oleh Tiffany adalah lagu tren puluhan tahun yang lalu. Chaplin yan
Sean terbangun karena ditelepon oleh Mark. Dia menjawab telepon dengan mata terpejam. Dia bertanya, "Ada apa?""Sean, apa maksudmu?" bentak Mark dengan marah. "Aku suruh kamu kirimkan pelayan wanita paling muda di rumahmu. Kenapa kamu kirim Kak Rika?""Mungkin karena Kak Rika memang yang paling muda," jawab Sean sambil menguap. Dia tidak tahu-menahu soal umur pelayan di rumahnya."Omong kosong!" teriak Mark dengan galak di telepon. "Kemarin aku jelas lihat ada satu yang lebih muda lagi di rumahmu!""Seberapa muda?" tanya Sean. Dia turun dari ranjang dan pergi mandi. "Aku nggak ingat ada pelayan muda di rumahku.""Ada!" teriak Mark dengan marah. "Yang aku lihat di halaman kemarin, yang siram tanaman itu! Dia muda dan cantik, lugu, dan imut banget! Aku mau yang itu!"Sean mengernyit. Wanita yang muda, cantik, lugu, dan imut. Sean teringat akan gadis kemarin yang melempar diri ke dalam pelukannya dalam keadaan basah."Deskripsimu benar." Sean membuang air kumur. "Tapi dia bukan pelayan."
Tangan Sean yang memeluk Tiffany berangsur-angsur mengerat. Dia berkata, "Sebenarnya, yang penting hidupmu sendiri dijalani dengan baik."Tiffany menggelengkan kepala dan membantah, "Itu terlalu egois. Paman, Bibi, dan Nenek sudah besarkan aku. Aku harus rawat mereka dan beri kehidupan yang lebih baik pada mereka!"Tiffany melanjutkan, "Aku belum punya kemampuan besar sekarang, tapi kalau aku sudah jadi dokter hebat nanti, aku bisa menghidupi mereka!"Sean menatap wajah mungil Tiffany dan mengembuskan napas. Jika bukan karena Tiffany, anak orang kaya seperti Sean tidak akan pernah memahami betapa sukarnya kehidupan orang miskin.Belum pernah Sean bertemu dengan orang seperti Tiffany. Tiffany begitu gigih, mencintai kehidupan dan seluruh dunia. Sementara itu, kehidupan Sean dalam 13 tahun terakhir hanya dipenuhi kesepian dan kebencian.Sean membenci ketidakpedulian Keluarga Tanuwijaya terhadapnya. Sean membenci dirinya karena tidak bisa membunuh musuhnya. Sean membenci dunia ini yang te