"Sudah puas bicaranya?" Ucapan Dion menghentikan langkahku, yang berniat terus menjauh.
Sebelum aku melempar tanya, tiba- tiba Karina keluar, dengan kedua pengikutnya itu.
"Dion, jangan marah sama Olivia. Dia tidak bermaksud jahat, aku yang salah bicara dengannya," ujar Karina bersandiwara.
Jengah dan bosan sebenarnya kalau sudah begini.
"Trik apalagi ini?" bentak Dion, membuat aku mengernyit.
"Dion jangan marah begitu, kasihan Olivia ..." lagi- lagi Karina bersuara, membuatku sangat muak.
"Lihatlah Karina, dia begitu baik dan lembut. Bahkan dihadapan Dion saja, dia masih membela wanita tidak tahu malu ini," ujar Siska.
"Jijik," lanjut Lani, yang juga salah satu pengikut Karina.
Aku menghembuskan napas malas.
"Berhenti membuat masalah, Olivia. Minta maaflah pada Karin, jangan menyinggungnya," pinta Dion.
"Minta maaf untuk apa? Salahku dibagian mana?"
"Dion sudahlah. Olivia tidak salah, aku yang salah," kata Karin dengan suara bergetar.
Luar biasa benar wanita busa ini.
"Aku tahu kamu tidak suka aku dekat dengan Karina. Tapi jangan kamu coba- coba ganggu dia, aku sudah sering peringatkan kamu, Olivia ...."
"Aku ganggu Karina? Aku gak suka kamu dekat dengan Karina? Hah, gila benget. Pernyataan macam apa ini. Kamu mau dekat dengan siapapun, aku tidak perduli lagi, oke."
Wajah Dion begitu marah dan tidak senang dengan ucapanku barusan.
"Aku malah berdoa, semoga secepatnya kalian bersatu," tegasku.
"Munafik! Kita semua juga tahu, bertahun'tahun kamu mengejar cinta Dion. Jadi sangat tidak mungkin, kamu tiba- tiba tidak menyukainya," ujar Siska.
"Ya, itu benar. Mustahil kamu tidak suka Dion lagi, entah trik apa yang sedang kamu mainkan ini," timpal Lani.
"Dua pengikut bodoh ini, benar- benar menyebalkan," gumamku dalam hati.
"Sudahlah, Dion jangan diperpanjang lagi. Lagian aku sudah maafin Olivia kok. Aku yakin, dia pasti tidak bermaksud begitu, kita harus pahami dia," ucap Karina.
"Terserah kalian, lama- lama aku gila, jika terus berbicara dengan kalian," sahutku sambil berjalan cepat.
Tiba- tiba, tangan Dion menarik tanganku, dan membuatku nyaris jatuh.
"Astaga, apalagi ini?" Aku menghentakkan kakiku ke lantai. Aku benar- benar kesal, jika harus terus berdebat dengan mereka.
"Minta maaf sama Karina," titah Dion dengan tegas.
"Apa'an sih," pekikku. Aku berusaha menarik tanganku dan cengkraman Dion, tapi lelaki itu menggenggamnya dengan kuat.
"Minta maaf," lanjutnya.
"Gak! Sialan," makiku dan akhirnya aku gigit saja tangannya. Dion memekik dan akhirnya melepaskan genggaman tangannya padaku.
"Aduuuhhh ...."
"Dion," pekik Karina. Dan mereka pun ricuh mengurus Dion yang kesakitan.
"Dasar gila! Berhenti kalian menggangguku," bentakku.
"Kamu yang gila! Awas kamu, kalau Dion kenapa- kenapa, kamu tanggung akibatnya," ancam Siska.
"Bodo amat!" balasku sambil melajukan langkah, meninggalkan 4 orang gila itu.
Entah kenapa, semakin kesini, mataku semakin terbuka melihat aslinya Dion.
Apa selama ini, aku yang tidak sadar, bahwa Dion sangat tidak seistimewa itu, kenapa dulu sampai aku tergila- gila? Benar- benar memalukan.
Dulu aku begitu terobsesi karena Dion cukup pintar, dan aku selalu meminta dia mengajariku. Meskipun sikapnya dingin, tapi dia tidak pernah menolak.
Kupikir karena merasa diperlakukan berbeda, dia bisa memiliki rasa padaku. Bahkan mengenai kedekatannya dengan Karina, yang aku tahu pun mereka tidak ada hubungan apa- apa. Hanya sebatas cerita teman- teman, kalau mereka saling suka.
Karena merasa cantik dan pintar, aku merasa mampu mengalahkan Karina, dan akan mendapatkan cinta Dion. Nyatanya? Bayangan kematian itu benar- benar menyadarkanku.
Kalau Dion, memang hanya menyukai Karina, bukan aku maupun wanita lain.
Setelah papan pengumuman kelulusan dikeluarkan, semua berkumpul dan mulai bersorak riang. Dinda, sahabat cantikku itu memekik dan memelukku, sebab namaku berada diurutan teratas, yang merupakan nama pemilik hasil nilai tertinggi.
Sebagian teman- teman juga memberikan ucapan selamat padaku, dan sebagian lainnya, kembali mencibir pencapaianku.
Mereka menganggap aku curang dan memanfaatkan Dion, untuk menggeser posisi lelaki itu dari peringkat 1.
Aku tidak perduli, karena bukan urusanku menjelaskan tuduhan buruk mereka.
<<<<>>>>
"Bagaimana hubungan kamu dan Dion, Liv?"
Aku terdiam, sambil menghela napas berat dan menyandarkan tubuh kesofa.
Bukannya hasil pelajaranku yang ditanya ketika aku pulang sekolah, atau aku lulus atau tidak. Seharusnya pertanyaan itu, yang aku dapatkan.
Tapi ini? Malah tentang hubungan dengan Dion. Sungguh terlalu.
"Tidak ada hubungan," jawabku singkat.
"Olivia sayang, kenapa menjawab pertanyaan ayah begitu, Nak?" Ibu Liliana bersuara, yang bisa dikatakan ibuku.
"Aku capek, kalian selalu saja bertanya tentang Dion. Memangnya kenapa sih? Nggak ditanya hasil ujianku? Aku lulus atau tidak, memangnya itu tidak penting?"
Ayah mendesah.
"Kamu ini kenapa, ayah tanya tentang hubungan kamu juga penting. Demi kontrak bisnis, Liv," ujar ayah, membuat aku tercengang.
"Kontrak bisnis apa?" Aku bertanya terheran- heran. Baru lulus SMA, ayah sudah bicara kontrak bisnis.
"Tidak usah dibahas, belum waktunya. Yang penting, kamu jawab saja. Bagaimana hubungan kamu sama Dion?"
"Tidak ada hubungan, dan tidak akan pernah ada," tegasku.
Mendengar jawabanku, ayah langsung murka dan melemparkan majalah diatas meja ke wajahku.
"Kurang ajar!" makinya. Aku tercengang, dengan tindakan ayah hari ini, yang begitu kasar.
"Ayah? Ada apa ini? Kenapa sampai melempar aku dengan majalah ini?"
"Ayah tidak mau tahu, setelah lulus ini, kamu harus bisa mengambil hati Dion," tegas ayah. "Aku tidak mau," jawabku. "Kamu ...." Ayah terlihat semakin marah, membuat ibu langsung menenangkannya. "Ayah tahan, tahan ayah," pinta ibu dengan lembut. Ibu melihat kearahku. "Sayang, kamu ke kamar dulu, istirahat. Ibu tahu kamu capek, dan mengenai ayah, biar ibu yang ngomong," ucap ibuku, yang hanya kutanggapi dengan anggukan. Aku terdiam di dalam kamar, ketika menatap layar ponsel. Disana terlihat pemberitahuan acara pesta perpisahan, yang diadakan oleh Ronald, salah satu anak konglomerat, yang juga bagian dari teman sekelas kami. "Apakah aku harus datang?" Aku membatin. Dan tidak lama kemudian, pintu kamarku diketuk. Setelah diketuk, pintu terbuka. Sosok ibu berdiri di depan pintu, sembari memegangi gagangnya. "Boleh ibu masuk?" tanyanya dengan lembut, sambil tersenyum kecil. Aku mengangguk, dan ibu pun masuk, satu tangan ibu, terlihat memegang sesuatu. "Ini ada undang
Kumantapkan hati, untuk tetap datang ke pesta.Masalah minuman? Kurasa aku bisa menghindarinya. Aku berangkat mengendarai mobil sendiri malam ini. Entah mengapa, ibu begitu baik dan meminjamkan padaku mobilnya. Kejadian yang membuat cinta 1 malam itu terjadi, ketika acara perpisahan diadakan di sebuah Hotel ternama. Tapi kenyataannya, acara diadakan Ronald di rumah mewahnya. Takdir ini lumayan membuatku was- was, ketika sampai ditujuan, dan memarkirkan mobil. Setelah parkir, aku mulai bergabung ke dalam pesta, mendekati teman- teman lainnya. Acara diadakan di taman rumah Ronald, dan di dekat kolam renangnya. "Nyalimu besar juga, berani datang ke acara ini," ucap Siska, yang suaranya terdengar dari belakangku. Dan seperti biasa, dia datang bersama Lani, juga sesembahannya, Karin. Aku berbalik badan, dan melempar senyum mengejek ke arah mereka. "Dari dulu nyaliku besar, masa kamu ragukan itu?" "Cih! Wanita culas, memanfaatkan Dion, hanya untuk sebuah peringkat." Lani b
Aku dan Dion menoleh pada pemilik suara itu. Benar saja, Karina tersenyum ke arah kami dan berjalan mendekat. "Maaf, apakah aku mengganggu kalian?" tanya Karina sambil mendekat ke arah kami. Belum sempat ada yang bersuara, tiba- tiba Karina tersandung dan menabrakku yang berada di pinggiran kolam renang. Aku terjatuh ke kolam renang, aku memekik ketakutan, karena aku tidak bisa berenang. Apakah memang aku ditakdirkan harus mati? Sungguh sial sekali, memang nasib buruk selalu menimpaku, jika aku berada didekat Dion dan Karina. Seseorang memasuki kolam renang, dan menarik tanganku. Tubuhku benar- benar sudah terasa tidak berdaya, entah siapakah yang kini menolongku, aku pun tidak tahu. "Oliv, Olivia ...." Terdengar suara panik sahabatku. Aku melihat ke arahnya yang membantu menarik tubuhku naik. Aku direbahkan, dan lelaki yang menolongku tadi pun akhirnya naik ke tepian kolam renang. Terlihat wajahnya dengan samar, dia terlihat tampan, ditambah rambut basahnya yang m
"Ngomong apa sih, Liv. Kita ini kan keluarga, mana mungkin kami menjahati kamu. Semua yang ayah lakukan, demi kamu juga," bela Ibu. "Kami tahu kamu suka Dion, makanya kami dukung kamu, tapi kenapa kami jadi seakan- akan jahat, Liv?" tanya Ibu, nampak terheran- heran dengan sikapku. "Dulu aku suka, Bu. Sekarang sudah tidak," jelasku. "Ayah tidak percaya, nggak masuk akal. Semua juga tahu, kalau kamu tergila- gila sama Dion, bahkan kamu selalu menempel kepadanya," ujar Ayah. "Nak, tidak harus menikah muda. Setidaknya, kami hanya ingin kamu memiliki hubungan yang jelas dengan Dion," timpal Ibu, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Ya, jangan cuma iri sama Kakakmu! Seharusnya kamu bisa seperti dia, banggain orang tua." Ayah kembali bersuara, membuatku hanya diam. Percuma berdebat dengan mereka, yang ada aku yang akan semakin pusing. "Tidak jadi orang hebat juga nggak masalah, Nak. Setidaknya, kamu bantu ayah saja sudah cukup," lirih ibu. Aku hanya diam dan berjalan mem
"Apaan sih?" "Liv, ikuti saja ucapan Dion. Bukannya kamu selama ini selalu menjadi penurut, dan mengikuti kemana pun Dion pergi." Suara Karina terdengar lembut dan penuh arti. "Bukankah ini, yang selalu kamu inginkan? Di perhatikan Dion," cibir teman lainnya. "Trik apalagi ini, Olivia? Jangan buat aku jijik," tekan Dion. Entah kenapa, rasanya sakit sekali mendengar ucapannya. "Jika ini cara kamu, agar dapat perhatianku, lebih baik hentikan saja. Karena sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah tertarik padamu," ujarnya lagi dengan tatapan tajam menekan. Aku menutup mata, berusaha menelan perasaan yang semakin terluka. Tidak mudah memang, melepaskan perasaan, pada seseorang yang memang pernah kita sukai. Tapi jika orang itu luka dan celaka, maka memantapkan hati meninggalkannya, bukankah itu keputusan yang cukup baik. "Dion, kumohon sudah. Aku tidak berniat melakukan trik apapun, aku hanya ingin hidup dengan normal," jelasku dengan nada suara yang pelan. Namun,
Aku, ayah dan ibu sangat terkejut, ketika melihat Dion, berada di muara pintu rumah kami. "Nak Dion, ada apa kemari?" tanya Ibu yang langsung bersikap ramah. "Nak Dion mari masuk, ayo ayo. Olivia, ajak Dion masuk, Nak," timpal ayah sangat ramah. Aku diam membeku, ketika melihat tatapan marah dimata Dion padaku. "Kupikir kamu tulus, ternyata ...." Dion kembali bersuara. Lelaki itu mengabaikan ayah dan ibuku. "Ternyata Karina benar, kamu licik," lanjutnya. Kemudian dia pergi begitu saja. Ngapain dia datang ke rumahku secara tiba- tiba? Tapi terserah saja, bagus kalau dia salah paham. Jadi harapan ayah akan semakin pupus. "Bodoh! Kenapa diam saja? Kejar Dion nya," titah ayah kepadaku. "Untuk apa?" "Ya ampun! Dia salah paham itu, cepat bujuk dia, Liv. Dia adalah harapan ayah, agar perusahaan tidak jadi bangkrut," lirih ayah mulai panik. "Aku nggak mau, Dion hanya akan semakin marah padaku." Namun tiba- tiba ibu kesakitan, memegangi dadanya dan pingsan. Aku, serta ayah pun la
Aku mengepalkan tangan. Rasa terhina juga sakit hati. "Aku mau pulang, Paman." Aku berkata dengan kesal. "Buat apa juga aku dibawa kesini?" lanjutku dengan tatapan kesal. "Ikut denganku, akan aku jelaskan tujuanku," ujar Ammar. Meskipun kesal, aku tetap mengikuti langkahnya. Kami kembali ke dalam mobil, dan lelaki itu melajukan mobilnya, meninggalkan parkiran rumah sakit. "Aku sudah memantau perkembangan hubungan kamu dan Dion. Kurasa, itu hubungan yang buruk dan sepihak." Aku hanya terdiam, tidak ingin menanggapi apapun mengenai lelaki yang bernama Dion itu. "Kudengar, perusahaan orang tuamu juga sedang membutuhkan suntikan dana. Dan kamu, diminta untuk memperjelas hubungan kamu dan Dion. Hubungan seperti apa? Padahal Dion, tidak menyukaimu sama sekali," lanjutnya sambil menyetir. "Aku tidak suka Dion," jawabku tegas. "Semua orang di kota Lurry ini juga tau, bahwa kamu, tergila- gila sama Dion." Aku terdiam. Faktanya aku dulu memang sebodoh itu, melakukan apapun
"Kita akan keluar diam- diam, kamu tenang saja," jawab Ammar. "Yang penting, rahasiakan dulu pernikahan ini, aku hanya butuh status, bukan pernikahan sungguhan," lanjutnya. "Baiklah." "Panggil aku, Ammar." "Iya." Keheningan memenuhi kamar ini, kemudian, pintu kamar kami diketuk. Ammar berdiri dari duduknya, dan membukakan pintu. Senyum sumringah Nenek menyambutnya. "Nenek bawakan minuman sehat untuk kalian," ucap Nenek. Aku hanya melempar senyum pada Nenek dan langsung gegas berdiri. "Ini minuman tradisi penyambutan keluarga kita, pada pengantin baru. Kalian berdua harus meminumnya," tegas Nenek sambil tersenyum manis. Aku pun menyambut minuman itu dan langsung menegaknya. Sedangkan Ammar masih terdiam. "Nenek tidak sedang merencanakan sesuatu kan?" Ammar menatap curiga, membuat wajah Nenek cemberut. "Rencana apa? Kamu meragukan ucapan Nenek, ya. Ini tradisi keluarga kita, Ammar." Mendengar ucapan Nenek yang nampak kecewa, Ammar pun menurut saja dan langsung m
Bab63"Ayah, buka ...." Suara Dewa terus terdengar dari luar. Ammar merasa lelah, karena harus menahan sabar pada Dewa.Dia melirik jam dinding, dan merasa sangat kesal dengan ulah Dewa malam ini. "Ammar, kumohon jangan marah. Dewa masih kecil," pinta Olivia. Ammar mendengkus, dan menunjuk ke arah jam dinding."Lihat jam sana! Ngapain dia ribut diluar kamar, saat jam segini?""Mungkin dia sedang mimpi buruk," lirih Olivia, masih mencoba memberi pengertian pada Ammar.Ammar pun berjalan ke arah pintu dan membukanya. Nampak Dewa sudah tersandar di samping, dengan tubuh yang gemetar, serta wajah yang sangat basah air mata."Apa yang kamu lakukan?" tanya Ammar dengan geram.Dewa mempercepat gerakkannya, dan masuk ke dalam kamar."Ibu, ibu tidak apa- apa kan? Apakah ayah nyakiti ibu lagi?"Dewa melayangkan bermacam pertanyaan, membuat Olivia terharu. Inilah alasan dia, tidak sanggup pergi dari Ammar. Dia tidak bisa, jika harus meninggalkan Dewa lagi, dia takut Dewa sakit hati dan kesepia
Bab62"Sayang, hei ...." Ammar mendekat sembari membelai pipi Olivia. Wanita itu menundukkan wajah, membuat Ammar semakin kebingungan."Kamu kenapa? Jangan buat aku khawatir," ujar Ammar. Dia benar- benar kebingungan, melihat Olivia."Ammar," lirih Olivia, yang masih terisak, tanpa mau bersitatap dengan Ammar."Ya, sayang. Kamu kenapa?"Ammar begitu antusias, mendengarkan ucapan istrinya."Aku capek," ungkap Olivia. Ammar terdiam."Aku kesulitan menjalani hubungan ini, aku tidak bahagia, aku menderita, Ammar.""Jadi? Kamu mau meninggalkan aku lagi, Olivia?"Ammar mulai meninggikan suara."Apakah ini yang kamu mau, Olivia? Meninggalkan aku, membuat aku hancur, kemudian aku gila dan mati dalam keadaan memalukan?"Seketika Olivia langsung mendongakkan wajahnya."Tidak, Ammar. Kamu tidak mungkin hancur, apalagi gila," kata Olivia meyakinkan."Tahu apa kamu? Yang merasakan aku, bukan kamu.""Hubungan kita sudah lama tidak sehat, Ammar.""Tidak sehat? Kamu jangan banyak beralasan, Olivia. K
Bab61Ammar mendengkus, Olivia melihat kemarahan di mata Ammar.Ammar beringsut turun dari ranjang, dan berjalan ke arah pintu. Saat dia membuka lebar daun pintu, Dewa langsung menerobos masuk, berlari ke arah ibunya."Ibu, ibu tidak apa- apa? Apakah ayah menyakiti ibu lagi?"Dewa kecil bertanya dengan panik. Ammar menutup daun pintu."Memangnya ayah pernah memukul ibumu?" tanya Ammar, yang tidak senang dengan pertanyaan anaknya pada Olivia.Dewa mengabaikan pertanyaan Ammar, membuat Ammar murka dan berniat menarik tubuh Dewa, dari pelukan Olivia."Jangan, Ammar. Kamu boleh menyakiti aku, tapi jangan Dewa. Ingat, Ammar. Dia anak kita," lirih Olivia. Ammar urung menarik Dewa dari Olivia."Memangnya aku pernah memukulmu?""Pernah, kamu memukul wajahku. Kamu menyiksaku dengan meniduriku secara kasar," ujar Olivia, dengan mata berkaca- kaca."Cukup!" bentak Ammar."Aku bisa mengulanginya lagi, jika kamu melanjutkan. Dan Dewa, kenapa kamu kemari sendirian? Kamu terlalu berani," geram Amma
Bab60Plakk!!Ammar menampar keras anaknya. Untuk pertama kalinya, dia melakukan hal sekasar ini pada Dewa.Dewa sangat syok, dan memegangi pipinya yang sakit dan panas. Ammar tega menampar keras wajah anaknya.Ammar seperti orang gila, bersaing dengan anaknya sendiri. Seakan emosi dihatinya belum habis, dia mendorong kasar Dewa, hingga menabrak dinding."Dengarkan, ayah! Olivia itu milik ayah," tegas Ammar. Air mata terlukanya berjatuhan, karena tidak terima dengan ucapan anaknya tadi."Tidak akan pernah ada kata mantan diantara kami, paham!" lanjut Ammar."Tuan." Pak Danu masuk menerobos ke dalam ruang perawatan, karena mendengar suara mereka bertengkar."Tuan hentikan," pinta pak Danu, karena Ammar kembali berniat mendekati Dewa lagi."Bawa dia pulang!" titah Ammar, yang langsung dipatuhi oleh pak Danu. Ammar berjalan, mendekati brankar istrinya. Ammar meraih tangan putih milik istrinya itu, kemudian menangis terisak."Kamu milikku, dan selamanya akan tetap jadi milikku."Ammar me
Bab59"Eh, Dewa. Kenapa diam aja sih? Kamu ada masalah apa?""Nggak ada.""Kamu jangan bohong deh. Ayo cerita.""Habisin makan kamu, sih. Nggak usah tanya- tanya. Suasana hatiku memang sedang buruk saat ini."Berkali- kali Dewa menghembuskan napas berat.Dewa tidak mungkin menceritakan masalah pribadi keluarganya pada teman- temannya. Dia juga tidak suka ditanya- tanya.Setelah pulang sekolah, pak Danu sudah menunggu Dewa di dekat gerbang sekolah. Dewa mengernyit, melihat kedatangan pak Danu."Kemana ayah, Pak?" tanya Dewa. Karena biasanya memang Ammar, yang selalu datang menjemput Dewa. Bukan hanya menjemput, bahkan mengantar Dewa sekolah pun selalu Ammar.Sesibuk apapun Ammar, dia selalu berusaha meluangkan waktunya untuk keluarga.Dewa dahulu merasa beruntung memiliki Ammar dalam hidupnya. Meskipun selama 5 tahun tanpa sosok ibunya, Dewa cukup bahagia.Tapi berbeda dengan sekarang, dia selalu merasa resah dan gelisah, jika Ammar selalu di rumah. Karena Dewa tahu, ayahnya akan sel
Bab58"Ammar," lirih Olivia, yang mulai gugup.Tiba- tiba lelaki itu mulai merapat, dan menindih Olivia. Tatapan mata bening Olivia yang berkaca- kaca, membuat Ammar seakan merasa terpancing.Emosi karena pikiran membuatnya bergejolak. Teringat senyuman ceria Olivia, yang pernah dia berikan pada Dion, membuat hati Ammar mulai tercemar rasa sakit lagi.Olivia ingin menghindar, namun teganya Ammar malah menahannya."Jangan coba menolak, apalagi melawan!" bisik Ammar, sembari tangannya mulai menjelajah."Hentikan, hentikan. Aku, aku tidak bisa, akh ...."Ammar meremas kasar persik Olivia, membuat wanita itu kesakitan.Sebenarnya Ammar tidak sepenuhnya tega. Tapi tatapan Olivia seakan jijik padanya, membuat Ammar tersinggung."Tolong jangan, akh." Ammar dengan kasar, merobek baju tidur Olivia, dan kacing baju itu rusak dengan sempurna.Tubuh indah itu terlihat jelas, dan Ammar pun langsung melepaskan baju rusak itu dari tubuh Olivia. Hingga hanya menyisakan bra coklat yang masih melekat s
Bab57"Ammar, sakit ....""Kamu kejam, Olivia. Setelah kamu mengambil semua perasaanku, dengan teganya kamu merusak- rusaknya."Olivia menangis, dan menggeleng lemah."Aku tidak berniat untuk berkhianat, Ammar. Kamu pun tahu, ingatanku sedang terganggu saat itu.""Jangan jadikan semua itu alasan, Olivia! Aku tidak akan pernah rela, dan bisa memakluminya, karena kamu bersentuhan fisik dengannya," bentak Ammar.Olivia menangis lirih. Sedangkan Ammar bersikap tidak perduli, dan menatap marah pada Olivia."Katakan padaku! Apakah kamu merasa senang di pelukannya? Apakah wajah ini sudah ada dia sentuh? Bibir ini, atau kedua bola ini?" Ammar menyentuh kasar, kedua persik bulat milik Olivia."Ammar," pekik Olivia. Dan Ammar tidak perduli.Lelaki itu semakin kehilangan kesabarannya, ketika mengingat Olivia dan Dion saat itu. Dengan kasarnya, Ammar meniduri Olivia. Bahkan, lelaki itu mulai meninggalkan banyak jejak merah, di leher jenjang Olivia.-------------------Hal itu terus terjadi, hing
Bab56"Ammar, jangan lakukan ini, aku mohon," lirih Zoya."Terserah kamu, Darto." Ammar bersuara, dan mengabaikan permohonan Zoya."Ammar, kenapa harus sejahat ini?" tanya Zoya dengan suara yang terdengar pilu dan putus asa.Ammar menulikan telinga, dan dengan langkah lebarnya, meninggalkan gubuk tua ditengah hutan itu.Perasaan Ammar benar- benar mati rasa. Dia dendam, sangat dendam kepada Zoya saat ini, karena Zoya, membuatnya nyaris kehilangan kekuatan hidupnya, yaitu Olivia.Wanita yang saat ini, setiap harinya membuat dia tergila- gila.Tapi kini, ingatan Olivia sedang terganggu. Hal itu, cukup membuat kekhawatiran di benak Ammar.Lelaki tampan itu, melajukan mobilnya, meninggalkan hutan diujung kota tersebut. Tidak ada rasa kasihan sama sekali dihatinya, yang ada hanyalah rasa marah yang mendalam pada Zoya.Dengan segala kekuatan dan kekuasaannya, hilangnya Zoya dari kota Luky tanpa diketahui siapapun. Bahkan kedua orang tua Zoya, dia blokir dari kota Luky. Membuat kedua orang
Bab55Ammar tersentak, ketika mendapati pertanyaan dari Olivia."Paman, kenapa saya ada di rumah sakit ini ya. Saya benar- benar tidak ingat apapun sebelumnya. Dan kenapa, ada Paman disini?"Sebelum Ammar bisa menjawab, tiba- tiba Melvin masuk, dan berbisik."Mobil nyonya, rem nya dirusak seseorang."Ammar terkejut, dan menarik Melvin keluar dari ruangan."Terus?""Pelakunya juga sudah ditemukan.""Siapa pelakunya?""Orang suruhan, Tuan. Dan orang itu sudah mengaku, bahwa nona Zoya, yang menyuruhnya," kata Melvin."Apa? Zoya dalangnya?""Benar, Tuan."Ammar mengepalkan tinju, mendengar nama Zoya sebagai pelakunya. Berani sekali, wanita itu mau merenggut nyawa istrinya.Dia pun menghubungi anak buahnya, dan meminta mereka menangkap Zoya, serta mengurung wanita itu di dalam gudang tengah hutan.Melvin yang mendengarkan perintah Ammar pada anak buahnya itu, merasa merinding dan menganggap Ammar orang yang kejam.Namun perbuatan Zoya juga bukan perbuatan yang mudah dimaafkan, karena nyari