Aku, ayah dan ibu sangat terkejut, ketika melihat Dion, berada di muara pintu rumah kami. "Nak Dion, ada apa kemari?" tanya Ibu yang langsung bersikap ramah. "Nak Dion mari masuk, ayo ayo. Olivia, ajak Dion masuk, Nak," timpal ayah sangat ramah. Aku diam membeku, ketika melihat tatapan marah dimata Dion padaku. "Kupikir kamu tulus, ternyata ...." Dion kembali bersuara. Lelaki itu mengabaikan ayah dan ibuku. "Ternyata Karina benar, kamu licik," lanjutnya. Kemudian dia pergi begitu saja. Ngapain dia datang ke rumahku secara tiba- tiba? Tapi terserah saja, bagus kalau dia salah paham. Jadi harapan ayah akan semakin pupus. "Bodoh! Kenapa diam saja? Kejar Dion nya," titah ayah kepadaku. "Untuk apa?" "Ya ampun! Dia salah paham itu, cepat bujuk dia, Liv. Dia adalah harapan ayah, agar perusahaan tidak jadi bangkrut," lirih ayah mulai panik. "Aku nggak mau, Dion hanya akan semakin marah padaku." Namun tiba- tiba ibu kesakitan, memegangi dadanya dan pingsan. Aku, serta ayah pun la
Aku mengepalkan tangan. Rasa terhina juga sakit hati. "Aku mau pulang, Paman." Aku berkata dengan kesal. "Buat apa juga aku dibawa kesini?" lanjutku dengan tatapan kesal. "Ikut denganku, akan aku jelaskan tujuanku," ujar Ammar. Meskipun kesal, aku tetap mengikuti langkahnya. Kami kembali ke dalam mobil, dan lelaki itu melajukan mobilnya, meninggalkan parkiran rumah sakit. "Aku sudah memantau perkembangan hubungan kamu dan Dion. Kurasa, itu hubungan yang buruk dan sepihak." Aku hanya terdiam, tidak ingin menanggapi apapun mengenai lelaki yang bernama Dion itu. "Kudengar, perusahaan orang tuamu juga sedang membutuhkan suntikan dana. Dan kamu, diminta untuk memperjelas hubungan kamu dan Dion. Hubungan seperti apa? Padahal Dion, tidak menyukaimu sama sekali," lanjutnya sambil menyetir. "Aku tidak suka Dion," jawabku tegas. "Semua orang di kota Lurry ini juga tau, bahwa kamu, tergila- gila sama Dion." Aku terdiam. Faktanya aku dulu memang sebodoh itu, melakukan apapun
"Kita akan keluar diam- diam, kamu tenang saja," jawab Ammar. "Yang penting, rahasiakan dulu pernikahan ini, aku hanya butuh status, bukan pernikahan sungguhan," lanjutnya. "Baiklah." "Panggil aku, Ammar." "Iya." Keheningan memenuhi kamar ini, kemudian, pintu kamar kami diketuk. Ammar berdiri dari duduknya, dan membukakan pintu. Senyum sumringah Nenek menyambutnya. "Nenek bawakan minuman sehat untuk kalian," ucap Nenek. Aku hanya melempar senyum pada Nenek dan langsung gegas berdiri. "Ini minuman tradisi penyambutan keluarga kita, pada pengantin baru. Kalian berdua harus meminumnya," tegas Nenek sambil tersenyum manis. Aku pun menyambut minuman itu dan langsung menegaknya. Sedangkan Ammar masih terdiam. "Nenek tidak sedang merencanakan sesuatu kan?" Ammar menatap curiga, membuat wajah Nenek cemberut. "Rencana apa? Kamu meragukan ucapan Nenek, ya. Ini tradisi keluarga kita, Ammar." Mendengar ucapan Nenek yang nampak kecewa, Ammar pun menurut saja dan langsung m
Aku menatap kesal pada lelaki yang kini sarapan dengan tenang. "Makan, jangan liatin Ammar terus," tegur Nenek sambil terkekeh, membuatku menjadi kikuk. Nenek duduk, sambil tersenyum- senyum ke arahku. Sedangkan Ammar, nampak terlihat gelisah, sambil melirik ke arahku sekilas. "Pertempuran malam tadi pasti seru, ya," ucap Nenek. "Cucu Nenek memang yang terbaik, bahkan sampai meninggalkan jejak unik," lanjut Nenek sambil terkekeh. "Aku sudah kenyang," ujar Ammar langsung berdiri. "Cepat habiskan sarapannya, kita harus segera ke rumah orang tuamu," lanjut Ammar tergesa- gesa. Nenek hanya mengulum senyum, dan aku pun menurut saja. Setelah berpamitan pada Nenek, kami berdua masuk mobil. Nenek juga sempat memberikanku gelang giok hijau, yang katanya gelang warisan keluarganya. Mobil melaju, menuju sebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota ini. "Turun, kita harus membeli sesuatu," titahnya. Aku tidak ingin banyak bicara lagi, dan menuruti saja ucapannya. Kami berjalan,
Aku mengernyit, ketika melihat sosok kak Zoya, yang menatap tajam ke arahku. Ibu berjalan cepat ke arahku dan melayangkan pukulan keras ke pipi. "Dari mana saja kamu, hah?" "Dari mana lagi? Kalau bukan jual diri," timpal kak Zoya. Aku meringis, pipiku panas karena tamparan tangan ibu. Ibu begitu marah padaku, bahkan pukulannya saja begitu terasa sakit. "Sakit, Bu." Aku memegangi pipiku, menatap kecewa pada ibu. Ini pertama kalinya, dia memukulku. "Jawab! Dari mana saja kamu?" bentak ibu, tanpa perduli dengan rasa sakit di wajahku karena ulahnya. Belum sempat aku bersuara, kak Zoya sudah melangkah cepat mendekatiku dan langsung mendorongku begitu saja. "Apa yang sudah kamu lakukan? Kenapa Ammar sampai mau berinvestasi ke perusahaan ayah?" bentak kak Zoya marah. Matanya memerah dan nyaris keluar dari tempatnya. "Kenapa jadi tanya aku, Kak?" Plak .... Kak Zoya melayangkan tamparan keras ke wajahku begitu saja. Sudah sakit karena tamparan ibu, di tambah lagi tamparan keras dari
Olivia menghentikan langkahnya, ketika nyonya Alisa meminta Dion untuk mengantarnya pulang. Wajah Dion masam, terlintas perasaan jijik dimatanya.Yang Dion tahu, kini Olivia sedang mendekati pamannya sendiri, dengan tujuan mendapatkan suntikan dana. Dion menganggap Olivia wanita gampangan, yang rela melakukan apapun demi uang. "Ma ...." Dion bersuara, namun tidak berani melanjutkannya, karena tatapan tegas nyonya Alisa yang tidak suka dengan bantahan. "Nyonya maaf, saya bisa pulang sendiri," ujar Olivia menolak. "Tidak usah banyak trik," ucap Dion, menatap tidak senang pada Olivia. Lelaki itu meraih kunci diatas nakas, dan berjalan keluar. "Olivia, anak manis. Diantar Dion ya, anggap ini balas budi saya," kata nyonya Alisa. "Cepatlah!" titah Dion. Meskipun Olivia ingin menolak lagi, dia menjadi sungkan dengan tatapan memohon nyonya Alisa. Di dalam mobil, Dion bersuara. "Jangan dekati ibuku, hanya demi status nyonya Dion Rajasa. Karena sampai kapanpun, kamu tidak pantas ...."
Bab16Mobil berhenti di depan kediaman Olivia. "Kamu cukup hebat, Olivia. Kamu bukan hanya terlihat mendekati Pamanku, tapi juga ibuku ...."Olivia hanya terdiam, ketika mendengar ucapan Dion."Suntikkan dana yang diberikan perusahaan keluarga Rajasa, aku sudah mengetahuinya," lanjut Dion."Apa yang sudah kamu lakukan, Olivia? Aku kamu sedang memohon belas kasihan pada Pamanku?" Dion terus menodong Olivia, dengan berbagai macam pertanyaan."Bukan urusanmu," jawab Olivia tegas.Mobil berhenti mendadak, Dion menatap marah pada Olivia."Jelas ini urusanku, Olivia. Seluruh orang di kota ini, jelas sangat tahu bahwa kamu mengejar- ngejar aku. Pamanku memberikan dana bantuan pada keluargamu, itu pasti karena menghargai aku, Olivia. Jangan coba- coba, kamu menggunakan namaku, untuk kepentingan keluarga kalian," tegas Dion, membuat Olivia benar- benar merasa muak.Andai saja Dion tahu faktanya, bahwa Olivia, kini sudah menikah dengan Ammar. Entah bagaimana tanggapan lelaki di depannya kini.
Bab17"Cerai?" Ammar terkekeh, membuat wajah Olivia semakin masam."Kamu nggak baca kontrak nikahnya? Memang boleh kita bercerai ....""Harus boleh, saya nggak mau ada masalah, Pak."Ammar menggeleng."Kalau kamu sanggup, untuk membayar dendanya tidak masalah. 50 kali lipat, dari dana yang aku keluarkan, untuk perusahaan ayahmu ...."Olivia tercengang, mendengar ucapan Ammar.Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan, melihat wajah Olivia yang nampak tidak berdaya."Keterlaluan. Kalau begini, sama saja Anda mencelakai saya," lirih Olivia."Kamu sendiri yang menyanggupinya, apakah sebelumnya, saya ada memaksa kamu?"Olivia menggigit bibirnya."Kenapa harus saya, Pak?" Suara wanita itu melemah, putus asa."Kamu tidak perlu tahu alasannya. Dan 1 lagi, kenapa kamu bertemu dengan Dion? Apakah kamu masih ada hubungan dengannya?""Kenapa Bapak tanya begitu?""Saya bukan Bapakmu! Dari tadi, kamu panggil saya Bapak!" cetus Ammar mulai kesal."Memang sudah Bapak- bapak, apa mau dipanggil Abang?" ej
Bab63"Ayah, buka ...." Suara Dewa terus terdengar dari luar. Ammar merasa lelah, karena harus menahan sabar pada Dewa.Dia melirik jam dinding, dan merasa sangat kesal dengan ulah Dewa malam ini. "Ammar, kumohon jangan marah. Dewa masih kecil," pinta Olivia. Ammar mendengkus, dan menunjuk ke arah jam dinding."Lihat jam sana! Ngapain dia ribut diluar kamar, saat jam segini?""Mungkin dia sedang mimpi buruk," lirih Olivia, masih mencoba memberi pengertian pada Ammar.Ammar pun berjalan ke arah pintu dan membukanya. Nampak Dewa sudah tersandar di samping, dengan tubuh yang gemetar, serta wajah yang sangat basah air mata."Apa yang kamu lakukan?" tanya Ammar dengan geram.Dewa mempercepat gerakkannya, dan masuk ke dalam kamar."Ibu, ibu tidak apa- apa kan? Apakah ayah nyakiti ibu lagi?"Dewa melayangkan bermacam pertanyaan, membuat Olivia terharu. Inilah alasan dia, tidak sanggup pergi dari Ammar. Dia tidak bisa, jika harus meninggalkan Dewa lagi, dia takut Dewa sakit hati dan kesepia
Bab62"Sayang, hei ...." Ammar mendekat sembari membelai pipi Olivia. Wanita itu menundukkan wajah, membuat Ammar semakin kebingungan."Kamu kenapa? Jangan buat aku khawatir," ujar Ammar. Dia benar- benar kebingungan, melihat Olivia."Ammar," lirih Olivia, yang masih terisak, tanpa mau bersitatap dengan Ammar."Ya, sayang. Kamu kenapa?"Ammar begitu antusias, mendengarkan ucapan istrinya."Aku capek," ungkap Olivia. Ammar terdiam."Aku kesulitan menjalani hubungan ini, aku tidak bahagia, aku menderita, Ammar.""Jadi? Kamu mau meninggalkan aku lagi, Olivia?"Ammar mulai meninggikan suara."Apakah ini yang kamu mau, Olivia? Meninggalkan aku, membuat aku hancur, kemudian aku gila dan mati dalam keadaan memalukan?"Seketika Olivia langsung mendongakkan wajahnya."Tidak, Ammar. Kamu tidak mungkin hancur, apalagi gila," kata Olivia meyakinkan."Tahu apa kamu? Yang merasakan aku, bukan kamu.""Hubungan kita sudah lama tidak sehat, Ammar.""Tidak sehat? Kamu jangan banyak beralasan, Olivia. K
Bab61Ammar mendengkus, Olivia melihat kemarahan di mata Ammar.Ammar beringsut turun dari ranjang, dan berjalan ke arah pintu. Saat dia membuka lebar daun pintu, Dewa langsung menerobos masuk, berlari ke arah ibunya."Ibu, ibu tidak apa- apa? Apakah ayah menyakiti ibu lagi?"Dewa kecil bertanya dengan panik. Ammar menutup daun pintu."Memangnya ayah pernah memukul ibumu?" tanya Ammar, yang tidak senang dengan pertanyaan anaknya pada Olivia.Dewa mengabaikan pertanyaan Ammar, membuat Ammar murka dan berniat menarik tubuh Dewa, dari pelukan Olivia."Jangan, Ammar. Kamu boleh menyakiti aku, tapi jangan Dewa. Ingat, Ammar. Dia anak kita," lirih Olivia. Ammar urung menarik Dewa dari Olivia."Memangnya aku pernah memukulmu?""Pernah, kamu memukul wajahku. Kamu menyiksaku dengan meniduriku secara kasar," ujar Olivia, dengan mata berkaca- kaca."Cukup!" bentak Ammar."Aku bisa mengulanginya lagi, jika kamu melanjutkan. Dan Dewa, kenapa kamu kemari sendirian? Kamu terlalu berani," geram Amma
Bab60Plakk!!Ammar menampar keras anaknya. Untuk pertama kalinya, dia melakukan hal sekasar ini pada Dewa.Dewa sangat syok, dan memegangi pipinya yang sakit dan panas. Ammar tega menampar keras wajah anaknya.Ammar seperti orang gila, bersaing dengan anaknya sendiri. Seakan emosi dihatinya belum habis, dia mendorong kasar Dewa, hingga menabrak dinding."Dengarkan, ayah! Olivia itu milik ayah," tegas Ammar. Air mata terlukanya berjatuhan, karena tidak terima dengan ucapan anaknya tadi."Tidak akan pernah ada kata mantan diantara kami, paham!" lanjut Ammar."Tuan." Pak Danu masuk menerobos ke dalam ruang perawatan, karena mendengar suara mereka bertengkar."Tuan hentikan," pinta pak Danu, karena Ammar kembali berniat mendekati Dewa lagi."Bawa dia pulang!" titah Ammar, yang langsung dipatuhi oleh pak Danu. Ammar berjalan, mendekati brankar istrinya. Ammar meraih tangan putih milik istrinya itu, kemudian menangis terisak."Kamu milikku, dan selamanya akan tetap jadi milikku."Ammar me
Bab59"Eh, Dewa. Kenapa diam aja sih? Kamu ada masalah apa?""Nggak ada.""Kamu jangan bohong deh. Ayo cerita.""Habisin makan kamu, sih. Nggak usah tanya- tanya. Suasana hatiku memang sedang buruk saat ini."Berkali- kali Dewa menghembuskan napas berat.Dewa tidak mungkin menceritakan masalah pribadi keluarganya pada teman- temannya. Dia juga tidak suka ditanya- tanya.Setelah pulang sekolah, pak Danu sudah menunggu Dewa di dekat gerbang sekolah. Dewa mengernyit, melihat kedatangan pak Danu."Kemana ayah, Pak?" tanya Dewa. Karena biasanya memang Ammar, yang selalu datang menjemput Dewa. Bukan hanya menjemput, bahkan mengantar Dewa sekolah pun selalu Ammar.Sesibuk apapun Ammar, dia selalu berusaha meluangkan waktunya untuk keluarga.Dewa dahulu merasa beruntung memiliki Ammar dalam hidupnya. Meskipun selama 5 tahun tanpa sosok ibunya, Dewa cukup bahagia.Tapi berbeda dengan sekarang, dia selalu merasa resah dan gelisah, jika Ammar selalu di rumah. Karena Dewa tahu, ayahnya akan sel
Bab58"Ammar," lirih Olivia, yang mulai gugup.Tiba- tiba lelaki itu mulai merapat, dan menindih Olivia. Tatapan mata bening Olivia yang berkaca- kaca, membuat Ammar seakan merasa terpancing.Emosi karena pikiran membuatnya bergejolak. Teringat senyuman ceria Olivia, yang pernah dia berikan pada Dion, membuat hati Ammar mulai tercemar rasa sakit lagi.Olivia ingin menghindar, namun teganya Ammar malah menahannya."Jangan coba menolak, apalagi melawan!" bisik Ammar, sembari tangannya mulai menjelajah."Hentikan, hentikan. Aku, aku tidak bisa, akh ...."Ammar meremas kasar persik Olivia, membuat wanita itu kesakitan.Sebenarnya Ammar tidak sepenuhnya tega. Tapi tatapan Olivia seakan jijik padanya, membuat Ammar tersinggung."Tolong jangan, akh." Ammar dengan kasar, merobek baju tidur Olivia, dan kacing baju itu rusak dengan sempurna.Tubuh indah itu terlihat jelas, dan Ammar pun langsung melepaskan baju rusak itu dari tubuh Olivia. Hingga hanya menyisakan bra coklat yang masih melekat s
Bab57"Ammar, sakit ....""Kamu kejam, Olivia. Setelah kamu mengambil semua perasaanku, dengan teganya kamu merusak- rusaknya."Olivia menangis, dan menggeleng lemah."Aku tidak berniat untuk berkhianat, Ammar. Kamu pun tahu, ingatanku sedang terganggu saat itu.""Jangan jadikan semua itu alasan, Olivia! Aku tidak akan pernah rela, dan bisa memakluminya, karena kamu bersentuhan fisik dengannya," bentak Ammar.Olivia menangis lirih. Sedangkan Ammar bersikap tidak perduli, dan menatap marah pada Olivia."Katakan padaku! Apakah kamu merasa senang di pelukannya? Apakah wajah ini sudah ada dia sentuh? Bibir ini, atau kedua bola ini?" Ammar menyentuh kasar, kedua persik bulat milik Olivia."Ammar," pekik Olivia. Dan Ammar tidak perduli.Lelaki itu semakin kehilangan kesabarannya, ketika mengingat Olivia dan Dion saat itu. Dengan kasarnya, Ammar meniduri Olivia. Bahkan, lelaki itu mulai meninggalkan banyak jejak merah, di leher jenjang Olivia.-------------------Hal itu terus terjadi, hing
Bab56"Ammar, jangan lakukan ini, aku mohon," lirih Zoya."Terserah kamu, Darto." Ammar bersuara, dan mengabaikan permohonan Zoya."Ammar, kenapa harus sejahat ini?" tanya Zoya dengan suara yang terdengar pilu dan putus asa.Ammar menulikan telinga, dan dengan langkah lebarnya, meninggalkan gubuk tua ditengah hutan itu.Perasaan Ammar benar- benar mati rasa. Dia dendam, sangat dendam kepada Zoya saat ini, karena Zoya, membuatnya nyaris kehilangan kekuatan hidupnya, yaitu Olivia.Wanita yang saat ini, setiap harinya membuat dia tergila- gila.Tapi kini, ingatan Olivia sedang terganggu. Hal itu, cukup membuat kekhawatiran di benak Ammar.Lelaki tampan itu, melajukan mobilnya, meninggalkan hutan diujung kota tersebut. Tidak ada rasa kasihan sama sekali dihatinya, yang ada hanyalah rasa marah yang mendalam pada Zoya.Dengan segala kekuatan dan kekuasaannya, hilangnya Zoya dari kota Luky tanpa diketahui siapapun. Bahkan kedua orang tua Zoya, dia blokir dari kota Luky. Membuat kedua orang
Bab55Ammar tersentak, ketika mendapati pertanyaan dari Olivia."Paman, kenapa saya ada di rumah sakit ini ya. Saya benar- benar tidak ingat apapun sebelumnya. Dan kenapa, ada Paman disini?"Sebelum Ammar bisa menjawab, tiba- tiba Melvin masuk, dan berbisik."Mobil nyonya, rem nya dirusak seseorang."Ammar terkejut, dan menarik Melvin keluar dari ruangan."Terus?""Pelakunya juga sudah ditemukan.""Siapa pelakunya?""Orang suruhan, Tuan. Dan orang itu sudah mengaku, bahwa nona Zoya, yang menyuruhnya," kata Melvin."Apa? Zoya dalangnya?""Benar, Tuan."Ammar mengepalkan tinju, mendengar nama Zoya sebagai pelakunya. Berani sekali, wanita itu mau merenggut nyawa istrinya.Dia pun menghubungi anak buahnya, dan meminta mereka menangkap Zoya, serta mengurung wanita itu di dalam gudang tengah hutan.Melvin yang mendengarkan perintah Ammar pada anak buahnya itu, merasa merinding dan menganggap Ammar orang yang kejam.Namun perbuatan Zoya juga bukan perbuatan yang mudah dimaafkan, karena nyari