Kumantapkan hati, untuk tetap datang ke pesta.
Masalah minuman? Kurasa aku bisa menghindarinya.
Aku berangkat mengendarai mobil sendiri malam ini. Entah mengapa, ibu begitu baik dan meminjamkan padaku mobilnya. Kejadian yang membuat cinta 1 malam itu terjadi, ketika acara perpisahan diadakan di sebuah Hotel ternama. Tapi kenyataannya, acara diadakan Ronald di rumah mewahnya. Takdir ini lumayan membuatku was- was, ketika sampai ditujuan, dan memarkirkan mobil. Setelah parkir, aku mulai bergabung ke dalam pesta, mendekati teman- teman lainnya. Acara diadakan di taman rumah Ronald, dan di dekat kolam renangnya. "Nyalimu besar juga, berani datang ke acara ini," ucap Siska, yang suaranya terdengar dari belakangku. Dan seperti biasa, dia datang bersama Lani, juga sesembahannya, Karin. Aku berbalik badan, dan melempar senyum mengejek ke arah mereka. "Dari dulu nyaliku besar, masa kamu ragukan itu?" "Cih! Wanita culas, memanfaatkan Dion, hanya untuk sebuah peringkat." Lani bersuara, membuatku ingin terbahak. "Lani, kalau kamu bodoh, mending kamu diam. Dari dulu, aku itu sudah pinter. Bahkan, aku selalu juara kelas, meskipun hanya juara 2. Dan kini, jika aku juara 1, itu berarti aku semakin maju, gak seperti kamu, mundur," ejekku. Lani mendengkus, dan tidak berani menyahut lagi. "Semakin sombong saja kamu, pantes Dion tidak suka. Sikapmu dan Karina, sangat jauh berbeda." Siska bersuara, dan membuat aku terkekeh. "Memangnya aku perduli? Lagi pula, aku sudah tidak suka Dion, kalau Karina mau, jadian saja sana," sahutku sambil berjalan, meninggalkan tiga wanita usil itu. Disaat aku berjalan menuju meja yang terletak banyak minuman, aku terdiam sejenak. Di dalam bayangan itu, aku meminum jus buah, kemudian membawa sepotong cake, dan duduk. Setelah menyantap cake dan menyesap minuman jus sampai habis, aku diberikan air putih oleh seorang pelayan. Aku tidak duduk sendiri saat itu, tapi sedang mengobrol bersama Dinda, juga sepupuku yang juga memang 1 kelas denganku. Entah siapa yang berniat jahat kepadaku sebelumnya. Yang jelas, aku harus waspada malam ini. Acara pesta pun dimulai, pestanya sangat meriah, bahkan Ronald mengadakannya tidak main- main, dia sampai mendatangkan artis ibukota, yang cukup terkenal, untuk memeriahkan pesta perpisahan malam ini. "Kamu cantik sekali malam ini, Olivia," puji Ronald, yang kini berjalan mendekatiku. "Terimakasih, Ronald," ujarku sambil tersenyum. "Olivia, ayo berdansa denganku malam ini?" ajak Ronald. Karena acara sudah memasuki sesi dansa. Bahkan, beberapa teman- teman, sudah mulai berdansa. "Olivia tidak bisa berdansa ...." suara berat mengintrupsi. Aku dan Ronald melihat ke arahnya. "Dion," batinku. Lelaki yang begitu aku sukai itu, kini mendekat ke arah kami dengan sikap yang kharismatik. "Wow, Dion." Ronald menyapa lelaki yang kini menatap dingin ke arah kami. "Olivia tidak bisa berdansa, jangan mengajaknya, kamu akan malu," ucap Dion pada Ronald. "Kata siapa?" Aku menyahut,"Ronald, ayo berdansa," kataku, membuat Ronald tersenyum manis. "Gas," ujarnya langsung meraih tanganku. Aku pun mengikuti langkahnya, dan mengabaikan tatapan masam Dion. "Kamu beneran bisa berdansa?" tanya Ronald lagi, ketika kami memasuki area dansa. "Bisa dong. Kamu meragukan aku?" jawabku sambil mulai melakukan gerakkan dansa. Ronald tersenyum, sembari terlihat menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Kami berdua berdansa, sembari menikmati musik. Dan tiba- tiba, sebuah tangan kekar, memegangi lenganku. Aku dan Ronald terkejut, ketika melihat Dion, dengan tatapan marah, serta matanya yang memerah. "Ikut aku," titahnya, membuat aku dan Ronald tercengang. "Lepaskan! Sakit," rintihku. "Dion, lepaskan Oliv," ujar Ronald, yang juga ikut tidak senang, melihat sikap Dion. "Jangan ikut campur," bentak Dion pada Ronald. "Bukannya kamu tidak suka Olivia? Terus kenapa tingkah kamu seperti ini," tanya Ronald. "Lepasin nggak?" Aku ikut bersuara. Dan teman' teman yang berdansa pun semua jadi kebingungan, melihat keributan kami. "Ikut aku," tegas Dion, yang langsung menarikku dari tempat berdansa. Ronald kini hanya terdiam, tidak lagi bersikeras menahan tanganku. Dion menarikku menjauh dari ramainya teman- teman. Lelaki itu membawaku ke dekat kolam renang. "Trik apalagi ini, Olivia?" tanya Dion dengan emosi, membuatku rasanya ingin sekali berteriak. "Seenaknya kamu bilang suka, dan sekarang seenaknya pula, kamu bilang berhenti suka! Kamu mau mempermainkan aku?" lanjutnya. Hatiku berdebar, mendengar ucapannya. Aku khawatir, aku takut kembali tidak bisa mengendalikan perasaan ini lagi. Karena bagaimana pun juga, membuang perasaan cinta bukanlah perkara mudah. Apalagi, semua orang juga tahu, aku begitu tergila gila pada Dion, bahkan selalu menempel padanya. Dan kini, aku membuat jarak, yang sulit semua orang percaya, termasuk Dion. "Aku sudah berusaha, dan sangat berusaha. Tolong menjauhlah, demi kebaikan kita bersama," lirihku pada akhirnya. Dion terdiam, mendengar penuturanku. "Dion ...." Suara lembut itu membuat kami menoleh.Aku dan Dion menoleh pada pemilik suara itu. Benar saja, Karina tersenyum ke arah kami dan berjalan mendekat. "Maaf, apakah aku mengganggu kalian?" tanya Karina sambil mendekat ke arah kami. Belum sempat ada yang bersuara, tiba- tiba Karina tersandung dan menabrakku yang berada di pinggiran kolam renang. Aku terjatuh ke kolam renang, aku memekik ketakutan, karena aku tidak bisa berenang. Apakah memang aku ditakdirkan harus mati? Sungguh sial sekali, memang nasib buruk selalu menimpaku, jika aku berada didekat Dion dan Karina. Seseorang memasuki kolam renang, dan menarik tanganku. Tubuhku benar- benar sudah terasa tidak berdaya, entah siapakah yang kini menolongku, aku pun tidak tahu. "Oliv, Olivia ...." Terdengar suara panik sahabatku. Aku melihat ke arahnya yang membantu menarik tubuhku naik. Aku direbahkan, dan lelaki yang menolongku tadi pun akhirnya naik ke tepian kolam renang. Terlihat wajahnya dengan samar, dia terlihat tampan, ditambah rambut basahnya yang m
"Ngomong apa sih, Liv. Kita ini kan keluarga, mana mungkin kami menjahati kamu. Semua yang ayah lakukan, demi kamu juga," bela Ibu. "Kami tahu kamu suka Dion, makanya kami dukung kamu, tapi kenapa kami jadi seakan- akan jahat, Liv?" tanya Ibu, nampak terheran- heran dengan sikapku. "Dulu aku suka, Bu. Sekarang sudah tidak," jelasku. "Ayah tidak percaya, nggak masuk akal. Semua juga tahu, kalau kamu tergila- gila sama Dion, bahkan kamu selalu menempel kepadanya," ujar Ayah. "Nak, tidak harus menikah muda. Setidaknya, kami hanya ingin kamu memiliki hubungan yang jelas dengan Dion," timpal Ibu, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Ya, jangan cuma iri sama Kakakmu! Seharusnya kamu bisa seperti dia, banggain orang tua." Ayah kembali bersuara, membuatku hanya diam. Percuma berdebat dengan mereka, yang ada aku yang akan semakin pusing. "Tidak jadi orang hebat juga nggak masalah, Nak. Setidaknya, kamu bantu ayah saja sudah cukup," lirih ibu. Aku hanya diam dan berjalan mem
"Apaan sih?" "Liv, ikuti saja ucapan Dion. Bukannya kamu selama ini selalu menjadi penurut, dan mengikuti kemana pun Dion pergi." Suara Karina terdengar lembut dan penuh arti. "Bukankah ini, yang selalu kamu inginkan? Di perhatikan Dion," cibir teman lainnya. "Trik apalagi ini, Olivia? Jangan buat aku jijik," tekan Dion. Entah kenapa, rasanya sakit sekali mendengar ucapannya. "Jika ini cara kamu, agar dapat perhatianku, lebih baik hentikan saja. Karena sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah tertarik padamu," ujarnya lagi dengan tatapan tajam menekan. Aku menutup mata, berusaha menelan perasaan yang semakin terluka. Tidak mudah memang, melepaskan perasaan, pada seseorang yang memang pernah kita sukai. Tapi jika orang itu luka dan celaka, maka memantapkan hati meninggalkannya, bukankah itu keputusan yang cukup baik. "Dion, kumohon sudah. Aku tidak berniat melakukan trik apapun, aku hanya ingin hidup dengan normal," jelasku dengan nada suara yang pelan. Namun,
Aku, ayah dan ibu sangat terkejut, ketika melihat Dion, berada di muara pintu rumah kami. "Nak Dion, ada apa kemari?" tanya Ibu yang langsung bersikap ramah. "Nak Dion mari masuk, ayo ayo. Olivia, ajak Dion masuk, Nak," timpal ayah sangat ramah. Aku diam membeku, ketika melihat tatapan marah dimata Dion padaku. "Kupikir kamu tulus, ternyata ...." Dion kembali bersuara. Lelaki itu mengabaikan ayah dan ibuku. "Ternyata Karina benar, kamu licik," lanjutnya. Kemudian dia pergi begitu saja. Ngapain dia datang ke rumahku secara tiba- tiba? Tapi terserah saja, bagus kalau dia salah paham. Jadi harapan ayah akan semakin pupus. "Bodoh! Kenapa diam saja? Kejar Dion nya," titah ayah kepadaku. "Untuk apa?" "Ya ampun! Dia salah paham itu, cepat bujuk dia, Liv. Dia adalah harapan ayah, agar perusahaan tidak jadi bangkrut," lirih ayah mulai panik. "Aku nggak mau, Dion hanya akan semakin marah padaku." Namun tiba- tiba ibu kesakitan, memegangi dadanya dan pingsan. Aku, serta ayah pun la
Aku mengepalkan tangan. Rasa terhina juga sakit hati. "Aku mau pulang, Paman." Aku berkata dengan kesal. "Buat apa juga aku dibawa kesini?" lanjutku dengan tatapan kesal. "Ikut denganku, akan aku jelaskan tujuanku," ujar Ammar. Meskipun kesal, aku tetap mengikuti langkahnya. Kami kembali ke dalam mobil, dan lelaki itu melajukan mobilnya, meninggalkan parkiran rumah sakit. "Aku sudah memantau perkembangan hubungan kamu dan Dion. Kurasa, itu hubungan yang buruk dan sepihak." Aku hanya terdiam, tidak ingin menanggapi apapun mengenai lelaki yang bernama Dion itu. "Kudengar, perusahaan orang tuamu juga sedang membutuhkan suntikan dana. Dan kamu, diminta untuk memperjelas hubungan kamu dan Dion. Hubungan seperti apa? Padahal Dion, tidak menyukaimu sama sekali," lanjutnya sambil menyetir. "Aku tidak suka Dion," jawabku tegas. "Semua orang di kota Lurry ini juga tau, bahwa kamu, tergila- gila sama Dion." Aku terdiam. Faktanya aku dulu memang sebodoh itu, melakukan apapun
"Kita akan keluar diam- diam, kamu tenang saja," jawab Ammar. "Yang penting, rahasiakan dulu pernikahan ini, aku hanya butuh status, bukan pernikahan sungguhan," lanjutnya. "Baiklah." "Panggil aku, Ammar." "Iya." Keheningan memenuhi kamar ini, kemudian, pintu kamar kami diketuk. Ammar berdiri dari duduknya, dan membukakan pintu. Senyum sumringah Nenek menyambutnya. "Nenek bawakan minuman sehat untuk kalian," ucap Nenek. Aku hanya melempar senyum pada Nenek dan langsung gegas berdiri. "Ini minuman tradisi penyambutan keluarga kita, pada pengantin baru. Kalian berdua harus meminumnya," tegas Nenek sambil tersenyum manis. Aku pun menyambut minuman itu dan langsung menegaknya. Sedangkan Ammar masih terdiam. "Nenek tidak sedang merencanakan sesuatu kan?" Ammar menatap curiga, membuat wajah Nenek cemberut. "Rencana apa? Kamu meragukan ucapan Nenek, ya. Ini tradisi keluarga kita, Ammar." Mendengar ucapan Nenek yang nampak kecewa, Ammar pun menurut saja dan langsung m
Aku menatap kesal pada lelaki yang kini sarapan dengan tenang. "Makan, jangan liatin Ammar terus," tegur Nenek sambil terkekeh, membuatku menjadi kikuk. Nenek duduk, sambil tersenyum- senyum ke arahku. Sedangkan Ammar, nampak terlihat gelisah, sambil melirik ke arahku sekilas. "Pertempuran malam tadi pasti seru, ya," ucap Nenek. "Cucu Nenek memang yang terbaik, bahkan sampai meninggalkan jejak unik," lanjut Nenek sambil terkekeh. "Aku sudah kenyang," ujar Ammar langsung berdiri. "Cepat habiskan sarapannya, kita harus segera ke rumah orang tuamu," lanjut Ammar tergesa- gesa. Nenek hanya mengulum senyum, dan aku pun menurut saja. Setelah berpamitan pada Nenek, kami berdua masuk mobil. Nenek juga sempat memberikanku gelang giok hijau, yang katanya gelang warisan keluarganya. Mobil melaju, menuju sebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota ini. "Turun, kita harus membeli sesuatu," titahnya. Aku tidak ingin banyak bicara lagi, dan menuruti saja ucapannya. Kami berjalan,
Aku mengernyit, ketika melihat sosok kak Zoya, yang menatap tajam ke arahku. Ibu berjalan cepat ke arahku dan melayangkan pukulan keras ke pipi. "Dari mana saja kamu, hah?" "Dari mana lagi? Kalau bukan jual diri," timpal kak Zoya. Aku meringis, pipiku panas karena tamparan tangan ibu. Ibu begitu marah padaku, bahkan pukulannya saja begitu terasa sakit. "Sakit, Bu." Aku memegangi pipiku, menatap kecewa pada ibu. Ini pertama kalinya, dia memukulku. "Jawab! Dari mana saja kamu?" bentak ibu, tanpa perduli dengan rasa sakit di wajahku karena ulahnya. Belum sempat aku bersuara, kak Zoya sudah melangkah cepat mendekatiku dan langsung mendorongku begitu saja. "Apa yang sudah kamu lakukan? Kenapa Ammar sampai mau berinvestasi ke perusahaan ayah?" bentak kak Zoya marah. Matanya memerah dan nyaris keluar dari tempatnya. "Kenapa jadi tanya aku, Kak?" Plak .... Kak Zoya melayangkan tamparan keras ke wajahku begitu saja. Sudah sakit karena tamparan ibu, di tambah lagi tamparan keras dari
Bab62"Sayang, hei ...." Ammar mendekat sembari membelai pipi Olivia. Wanita itu menundukkan wajah, membuat Ammar semakin kebingungan."Kamu kenapa? Jangan buat aku khawatir," ujar Ammar. Dia benar- benar kebingungan, melihat Olivia."Ammar," lirih Olivia, yang masih terisak, tanpa mau bersitatap dengan Ammar."Ya, sayang. Kamu kenapa?"Ammar begitu antusias, mendengarkan ucapan istrinya."Aku capek," ungkap Olivia. Ammar terdiam."Aku kesulitan menjalani hubungan ini, aku tidak bahagia, aku menderita, Ammar.""Jadi? Kamu mau meninggalkan aku lagi, Olivia?"Ammar mulai meninggikan suara."Apakah ini yang kamu mau, Olivia? Meninggalkan aku, membuat aku hancur, kemudian aku gila dan mati dalam keadaan memalukan?"Seketika Olivia langsung mendongakkan wajahnya."Tidak, Ammar. Kamu tidak mungkin hancur, apalagi gila," kata Olivia meyakinkan."Tahu apa kamu? Yang merasakan aku, bukan kamu.""Hubungan kita sudah lama tidak sehat, Ammar.""Tidak sehat? Kamu jangan banyak beralasan, Olivia. K
Bab61Ammar mendengkus, Olivia melihat kemarahan di mata Ammar.Ammar beringsut turun dari ranjang, dan berjalan ke arah pintu. Saat dia membuka lebar daun pintu, Dewa langsung menerobos masuk, berlari ke arah ibunya."Ibu, ibu tidak apa- apa? Apakah ayah menyakiti ibu lagi?"Dewa kecil bertanya dengan panik. Ammar menutup daun pintu."Memangnya ayah pernah memukul ibumu?" tanya Ammar, yang tidak senang dengan pertanyaan anaknya pada Olivia.Dewa mengabaikan pertanyaan Ammar, membuat Ammar murka dan berniat menarik tubuh Dewa, dari pelukan Olivia."Jangan, Ammar. Kamu boleh menyakiti aku, tapi jangan Dewa. Ingat, Ammar. Dia anak kita," lirih Olivia. Ammar urung menarik Dewa dari Olivia."Memangnya aku pernah memukulmu?""Pernah, kamu memukul wajahku. Kamu menyiksaku dengan meniduriku secara kasar," ujar Olivia, dengan mata berkaca- kaca."Cukup!" bentak Ammar."Aku bisa mengulanginya lagi, jika kamu melanjutkan. Dan Dewa, kenapa kamu kemari sendirian? Kamu terlalu berani," geram Amma
Bab60Plakk!!Ammar menampar keras anaknya. Untuk pertama kalinya, dia melakukan hal sekasar ini pada Dewa.Dewa sangat syok, dan memegangi pipinya yang sakit dan panas. Ammar tega menampar keras wajah anaknya.Ammar seperti orang gila, bersaing dengan anaknya sendiri. Seakan emosi dihatinya belum habis, dia mendorong kasar Dewa, hingga menabrak dinding."Dengarkan, ayah! Olivia itu milik ayah," tegas Ammar. Air mata terlukanya berjatuhan, karena tidak terima dengan ucapan anaknya tadi."Tidak akan pernah ada kata mantan diantara kami, paham!" lanjut Ammar."Tuan." Pak Danu masuk menerobos ke dalam ruang perawatan, karena mendengar suara mereka bertengkar."Tuan hentikan," pinta pak Danu, karena Ammar kembali berniat mendekati Dewa lagi."Bawa dia pulang!" titah Ammar, yang langsung dipatuhi oleh pak Danu. Ammar berjalan, mendekati brankar istrinya. Ammar meraih tangan putih milik istrinya itu, kemudian menangis terisak."Kamu milikku, dan selamanya akan tetap jadi milikku."Ammar me
Bab59"Eh, Dewa. Kenapa diam aja sih? Kamu ada masalah apa?""Nggak ada.""Kamu jangan bohong deh. Ayo cerita.""Habisin makan kamu, sih. Nggak usah tanya- tanya. Suasana hatiku memang sedang buruk saat ini."Berkali- kali Dewa menghembuskan napas berat.Dewa tidak mungkin menceritakan masalah pribadi keluarganya pada teman- temannya. Dia juga tidak suka ditanya- tanya.Setelah pulang sekolah, pak Danu sudah menunggu Dewa di dekat gerbang sekolah. Dewa mengernyit, melihat kedatangan pak Danu."Kemana ayah, Pak?" tanya Dewa. Karena biasanya memang Ammar, yang selalu datang menjemput Dewa. Bukan hanya menjemput, bahkan mengantar Dewa sekolah pun selalu Ammar.Sesibuk apapun Ammar, dia selalu berusaha meluangkan waktunya untuk keluarga.Dewa dahulu merasa beruntung memiliki Ammar dalam hidupnya. Meskipun selama 5 tahun tanpa sosok ibunya, Dewa cukup bahagia.Tapi berbeda dengan sekarang, dia selalu merasa resah dan gelisah, jika Ammar selalu di rumah. Karena Dewa tahu, ayahnya akan sel
Bab58"Ammar," lirih Olivia, yang mulai gugup.Tiba- tiba lelaki itu mulai merapat, dan menindih Olivia. Tatapan mata bening Olivia yang berkaca- kaca, membuat Ammar seakan merasa terpancing.Emosi karena pikiran membuatnya bergejolak. Teringat senyuman ceria Olivia, yang pernah dia berikan pada Dion, membuat hati Ammar mulai tercemar rasa sakit lagi.Olivia ingin menghindar, namun teganya Ammar malah menahannya."Jangan coba menolak, apalagi melawan!" bisik Ammar, sembari tangannya mulai menjelajah."Hentikan, hentikan. Aku, aku tidak bisa, akh ...."Ammar meremas kasar persik Olivia, membuat wanita itu kesakitan.Sebenarnya Ammar tidak sepenuhnya tega. Tapi tatapan Olivia seakan jijik padanya, membuat Ammar tersinggung."Tolong jangan, akh." Ammar dengan kasar, merobek baju tidur Olivia, dan kacing baju itu rusak dengan sempurna.Tubuh indah itu terlihat jelas, dan Ammar pun langsung melepaskan baju rusak itu dari tubuh Olivia. Hingga hanya menyisakan bra coklat yang masih melekat s
Bab57"Ammar, sakit ....""Kamu kejam, Olivia. Setelah kamu mengambil semua perasaanku, dengan teganya kamu merusak- rusaknya."Olivia menangis, dan menggeleng lemah."Aku tidak berniat untuk berkhianat, Ammar. Kamu pun tahu, ingatanku sedang terganggu saat itu.""Jangan jadikan semua itu alasan, Olivia! Aku tidak akan pernah rela, dan bisa memakluminya, karena kamu bersentuhan fisik dengannya," bentak Ammar.Olivia menangis lirih. Sedangkan Ammar bersikap tidak perduli, dan menatap marah pada Olivia."Katakan padaku! Apakah kamu merasa senang di pelukannya? Apakah wajah ini sudah ada dia sentuh? Bibir ini, atau kedua bola ini?" Ammar menyentuh kasar, kedua persik bulat milik Olivia."Ammar," pekik Olivia. Dan Ammar tidak perduli.Lelaki itu semakin kehilangan kesabarannya, ketika mengingat Olivia dan Dion saat itu. Dengan kasarnya, Ammar meniduri Olivia. Bahkan, lelaki itu mulai meninggalkan banyak jejak merah, di leher jenjang Olivia.-------------------Hal itu terus terjadi, hing
Bab56"Ammar, jangan lakukan ini, aku mohon," lirih Zoya."Terserah kamu, Darto." Ammar bersuara, dan mengabaikan permohonan Zoya."Ammar, kenapa harus sejahat ini?" tanya Zoya dengan suara yang terdengar pilu dan putus asa.Ammar menulikan telinga, dan dengan langkah lebarnya, meninggalkan gubuk tua ditengah hutan itu.Perasaan Ammar benar- benar mati rasa. Dia dendam, sangat dendam kepada Zoya saat ini, karena Zoya, membuatnya nyaris kehilangan kekuatan hidupnya, yaitu Olivia.Wanita yang saat ini, setiap harinya membuat dia tergila- gila.Tapi kini, ingatan Olivia sedang terganggu. Hal itu, cukup membuat kekhawatiran di benak Ammar.Lelaki tampan itu, melajukan mobilnya, meninggalkan hutan diujung kota tersebut. Tidak ada rasa kasihan sama sekali dihatinya, yang ada hanyalah rasa marah yang mendalam pada Zoya.Dengan segala kekuatan dan kekuasaannya, hilangnya Zoya dari kota Luky tanpa diketahui siapapun. Bahkan kedua orang tua Zoya, dia blokir dari kota Luky. Membuat kedua orang
Bab55Ammar tersentak, ketika mendapati pertanyaan dari Olivia."Paman, kenapa saya ada di rumah sakit ini ya. Saya benar- benar tidak ingat apapun sebelumnya. Dan kenapa, ada Paman disini?"Sebelum Ammar bisa menjawab, tiba- tiba Melvin masuk, dan berbisik."Mobil nyonya, rem nya dirusak seseorang."Ammar terkejut, dan menarik Melvin keluar dari ruangan."Terus?""Pelakunya juga sudah ditemukan.""Siapa pelakunya?""Orang suruhan, Tuan. Dan orang itu sudah mengaku, bahwa nona Zoya, yang menyuruhnya," kata Melvin."Apa? Zoya dalangnya?""Benar, Tuan."Ammar mengepalkan tinju, mendengar nama Zoya sebagai pelakunya. Berani sekali, wanita itu mau merenggut nyawa istrinya.Dia pun menghubungi anak buahnya, dan meminta mereka menangkap Zoya, serta mengurung wanita itu di dalam gudang tengah hutan.Melvin yang mendengarkan perintah Ammar pada anak buahnya itu, merasa merinding dan menganggap Ammar orang yang kejam.Namun perbuatan Zoya juga bukan perbuatan yang mudah dimaafkan, karena nyari
Bab54"Vin, siapkan mobil!!" Ammar berteriak, membuat semuanya panik."Istriku kecelakaan, istriku kecelakaan ...." Ammar langsung berdiri, kemudian dia berlari, dan Melvin pun mengejarnya.Saat Ammar mau memasuki kemudi mobil, Melvin menariknya dengan paksa, memasukkan Ammar ke kursi belakang."Saya yang nyetir! Anda diam dibelakang!" tegas Melvin, kemudian menutup pintu mobil.Ammar jatuh tersungkur di kursi penumpang, masih dalam keadaan yang tidak sabaran."Cepat gas mobilnya!" teriak Ammar, ketika Melvin masuk."Baik, Pak."Melvin menghidupi mobil, dan menginjak pedal gas.Ammar memberitahukan rumah sakit tujuan mereka. Sepanjang jalan, lelaki itu benar- benar ketakutan, membayangkan keadaan istrinya saat ini.Entah kenapa, dia merasa semakin takut kehilangan, semakin pula kejadian yang nyaris merenggut nyawa istrinya terus berdatangan."Baru 1 bulan keluar dari rumah sakit, dan kini harus balik lagi ke rumah sakit. Kesialan apa ini, Melvin? Apa salah saya, kenapa harus Olivia te