Setelah pria asing yang belum ia ketahui namanya itu keluar, Ratih buru-buru mengenakan pakaiannya.
Setelahnya, ia segera keluar dari kamar tersebut.
Kesalahannya semalam adalah tidur dengan pria lain yang bukan pacarnya. Namun, hal tersebut tidak akan terjadi jika ia menjemput majikannya pulang seperti yang diperintahkan–alih-alih meminum gelas anggur yang sepertinya sudah diberi obat.
Namun, bagaimanapun–Ratih sudah bukan orang yang sama lagi.
Kali pertamanya sudah hilang.
Ratih mengulurkan tangan untuk menghapus air mata yang menggenang di matanya. Kepalanya dipenuhi alasan kenapa Nyonya Aziz tega melakukan hal tersebut kepadanya.
Apakah si majikan itu sebegitu inginnya memenangkan tender hingga berani menjual Ratih yang memang notabene hanyalah seorang TKW?
Padahal Ratih datang ke negara ini untuk hidup, bekerja sebagai tulang punggung keluarganya di rumah. Apalagi desakan utang yang mereka gunakan saat ibunya kecelakaan waktu itu. Dan Ratih pun tidak neko-neko. Di jam kerja, ia akan merawat lansia yang menjadi tanggung jawabnya dan di waktu lain ia akan belajar.
Atau adakah motif lain dari kejadian semalam?
Ratih kemudian mengeluarkan ponselnya. Matanya membelalak melihat ada 18 panggilan tak terjawab.
Semuanya dari Abdul, pacarnya.
Ah, bagaimana ia bisa menjelaskan kejadian semalam pada pacarnya nanti?
Namun, saat sampai di kediaman majikannya, penjelasan Ratih rupanya tidak diperlukan.
“Kita putus,” ucap Abdul. Penampilannya tampak berantakan saat menuruni lantai dua rumah majikan Ratih–tempat kamar Miriam, putri tunggal Tuan dan Nyonya Aziz, berada. “Jangan menghubungiku lagi.”
Itu begitu tiba-tiba dan mencurigakan bagi Ratih, sampai-sampai wanita itu hanya bisa bertanya, “Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Abdul, jangan pergi du–astaga Ratih!”
Pandangan Ratih beralih pada seorang gadis yang menuruni tangga. Penampilan putri majikan Ratih saat itu pun sama berantakan dan agak tidak senonoh.
Detik itu juga, Ratih tahu apa yang terjadi di antara pacarnya dan Miriam. Ia kembali memandang pria di hadapan.
“Ratih, kamu dari mana saja? Abdul sangat mencemaskanmu,” ucap Miriam dengan nada manisnya sembari merapikan pakaiannya. “Semalam–”
“Jangan menatapku seperti itu,” ucap Abdul dengan dingin. Pandangannya lurus pada Ratih. “Jelas aku tidak mau berpacaran dengan wanita yang menjajakan tubuhnya sebagai penghangat ranjang pria-pria kesepian di luar sana.”
Ratih mengernyit. “Apa maksudmu?” balasnya.
Wanita itu tidak tahu. Ketika ia dicecoki anggur oleh Tuan Sam, majikannya mengambil video. Dari sudut yang benar, Ratih tampak mesra dan seperti tengah bermanja dengan pria gempal tersebut.
Dan Abdul sendiri merasa kesulitan untuk tidak berpikir buruk. Dengan provokasi yang baik, tidak sulit untuk membuat Abdul berpikiran bahwa selama ini pekerjaan sampingan Ratih diluar adalah menemani para bos besar di tempat tidur mereka.
Provokasi yang datang dari Miriam, gadis yang menginginkan Abdul sejak awal karena status pria tinggi pria itu tidak bisa digoyahkan. Daripada dengan TKW miskin, bukankah Abdul lebih cocok dengannya? Pikir gadis itu.
Dan Miriam berhasil. Pagi itu, karena hinaan Abdul, Ratih tidak berniat menjelaskan lebih jauh.
Wanita itu bahkan mengemasi barangnya dan pindah dari kediaman majikannya.
***
“Ratih, ada yang mencarimu.”
Satu bulan kemudian, saat Ratih sedang menjaga nenek lansia yang harus ia rawat di rumah sakit, ada yang mencarinya.
“Siapa?” tanya Ratih.
“Miriam dan Abdul.”
Mereka berdua muncul di rumah sakit tempat Ratih menjaga nenek.
Ratih mengerutkan kening.
Sejak hari itu, sebisa mungkin ia menghindar. Tidak mau lagi terlibat dengan Abdul maupun Miriam. Ia sudah pindah ke apartemen murah di pinggir kota demi melakukan itu, dan tidak terlibat lagi dengan Nyonya Aziz selain pekerjaan merawat lansia yang ia lakukan.
Untuk apa gadis itu datang mencarinya lagi?
Sahabatnya sejak di kampung, Lina, berjalan mendekat dan menepuk pundaknya untuk memberi kekuatan.
Akhirnya, Ratih berdiri dan menemui kedua tamunya tersebut.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Ratih dengan wajah datar.
Miriam tampak sedih. "Ratih, jangan bersikap dingin begitu,” katanya dengan suara lemah. “Apakah kamu masih belum memaafkan kami?”
“Apakah kamu merasa bersalah?” balas Ratih. Terdengar tidak terpengaruh dengan penampilan Miriam.
Miriam terkejut. Matanya mulai berkaca-kaca. “Maaf, aku tidak bermaksud merebut kekasihmu,” ucapnya kemudian. “Malam itu, saat kamu bermesraan dengan Tuan Sam, Abdul kalap. Dan aku–”
“Sudahlah.” Ratih memotong dengan dingin. “Apa keperluanmu mencariku di sini?”
Ratih melihat ekspresi Miriam yang terluka, seakan-akan ia adalah orang paling tersakiti di dunia, sementara Ratihlah antagonis dalam cerita. Harus Ratih akui, akting Miriam benar-benar hebat kali ini. Bahkan Abdul ikut terpengaruh.
Pria itu mengerutkan kening dengan kesal dan berkata kepada Miriam dengan wajah dingin, "Sudah kubilang jangan mencarinya."
"Abdul, aku tidak ingin dia membenciku,” ucap Miriam dengan nada memelas. “Apalagi kita akan menikah. Aku ingin Ratih hadir ….”
Hah. Rupanya ini.
Ratih mendengus.
"Jika kamu hanya ingin pamer. Pergilah! Aku tidak punya waktu untuk kalian." Ratih melambaikan tangan dan berbalik untuk pergi.
Namun, tangan Miriam menahannya. Miriam menangis dengan tersedu-sedu.
“Ratih, apa yang harus aku lakukan agar kamu memaafkanku?” tangis Miriam dengan air mata palsu. “Jika aku berlutut, apakah kamu akan hadir di pernikahan kami?”
Ada cukup banyak orang di luar, meskipun mereka berdiri di tempat terpencil, tidak mudah bagi suara Miriam untuk tidak terdengar.
Dan itu membuat Ratih sangat malu hingga wajahnya memerah melihat orang-orang mulai menonton. Miriam pasti melakukan ini dengan sengaja.
“Aktingmu bagus,” komentar Ratih sembari menarik tangannya dari Miriam, membuat wanita itu menangis lebih keras. “Jangan membuat keributan di sini. Kembalilah.”
Mendengar itu, tampaknya Abdul tidak tahan lagi, Dia merangkul Miriam yang kini terduduk dengan ekspresi menyedihkan di lantai.
"Aku akhirnya melihat watak aslimu Ratih,” ucap pria itu dengan tatapan muram. Ia membantu Miriam berdiri. “Beruntung aku putus dari wanita tidak punya hati sepertimu.”
Ratih tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Abdul yang berbalik dan pergi bersama Miriam di pelukannya. Melihat pemandangan di depannya, hati Ratih berdenyut nyeri. Pria ini, mereka telah bersama selama hampir setahun. Mustahil untuk tidak sedih dan kecewa ketika melihat kemesraan mereka. Namun, ia tidak bisa memaafkan Abdul. Sama seperti pria itu terhadapnya, sekalipun karena salah paham.Pada akhirnya, Ratih berbalik pergi.“Ratih, kamu baik-baik saja?” Lina bertanya dengan cemas melihat wajah merah padam sahabatnya.Ratih menggeleng. Tampaknya dia harus berhenti menjadi perawat nenek segera. Ia benar-benar ingin memutus hubungan dengan keluarga Aziz.“Bantu aku menemukan pekerjaan baru dalam waktu dekat,” pintanya pada Lina kemudian. Mendengar itu, Lina menghela napas dan mengangguk. “Aku akan bertanya pada manager,” katanya.Lina bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan penjualan apartemen sebagai petugas penjualan.Saat itu, Ratih berpikir kalau masalahnya hari itu hanyal
"Ratih, kenapa pergi? Kamu belum makan jamuan pernikahan." Miriam, si jalang itu, benar-benar muncul dan bahkan mencengkeramnya.Ratih menggertakkan giginya karena marah dan merendahkan suaranya,"Miriam, lepaskan aku. Jangan membuat keributan."Miriam tertegun dan tanpa sadar melepaskannya.Ratih menghela napas lega, tetapi dia tidak menyangka suara pria di belakangnya terdengar perlahan,"Nona, Kamu ...?"“Tengku Ammar, ini teman yang bekerja sebagai perawat Nenek di rumahku. Sudah kami anggap seperti keluarga sendiri.” Miriam segera menarik Ratih dan memperkenalkannya kepada Tengku Ammar.Ratih ditarik oleh Miriam dan hampir jatuh. Untungnya, Abdul memegangnya dan bertanya dengan khawatir,"Apakah kamu baik-baik saja?"Wajah Miriam menjadi gelap dan dia melotot ke arah Abdul dengan tatapan tidak senang. Kemudian dia diam-diam mendorong Ratih ke arah Tengku Ammar dengan paksa, bermaksud melihat Ratih mempermalukan dirinya sendiri. Tengku Ammar menangkapnya dengan cepat.Semua orang
Tengku Ammar masih duduk di ruang kerjanya dengan wajah muram. Ditangannya ada satu eks majalah Melayu News edisi minggu depan. Dia segera melemparnya ke tempat sampah. “Apa ini semua rencana ibu?” Ia bertanya pada Imran yang mematung di depan meja. Imran sedikit ragu untuk menjawab. Majalah ini memang di kirimkan oleh Nyonya besar Shah Alam langsung ke meja Tengku Ammar pagi ini. Belum dicetak dan di pasarkan. Dia dengan mudah dapat menebak niat pihak lain mengirimkan majalah ini ke meja Tuannya.“Dimana dokumen tentang gadis itu?” Tengku Ammar bertanya dengan wajah dingin. Imran dengan patuh mengambil sebuah map di lemari dokumen rahasia. “Tuan, apakah anda yakin akan terlibat dengan gadis ini?” Imran mau tidak mau memberanikan diri bertanya. Dia sebenarnya tidak punya kualifikasi untuk mempertanyakan tindakan yang diambil atasannya, namun ini sebagian besar menyangkut kehidupan pribadi Tuannya. “Dia adalah target yang cocok.” Sinar kelicikan
Dia segera mengangkat kepalanya dan menatap pria itu. Tidak semua orang punya wajah yang tampan. Jelas itu adalah pria yang pernah tidur dengannya tempo hari. Dia segera menundukkan kepalanya. Berusaha membuat dirinya tidak terlihat sehingga pria itu tidak bisa mengenalinya."Nila, kemarilah. Temani Tuan Ammar melihat apartemen." Manajer itu tiba-tiba memanggil petugas penjualan senior yang sangat cantik untuk menemani pelanggan baru itu. Ratih segera menghela napas dan berbalik menuju kursi sofa di lobi, namun sebelum punggungnya menyentuh sofa, sebuah suara bariton yang familiar terdengar menggelitik di telinganya.“Ratih, aku ingin Nona Ratih yang menemaniku.” Pikiran Ratih hampir meledak. Ah, bagaimana pria itu bisa tahu bahwa dia bekerja disini? "Ratih, manajer memanggilmu. Cepatlah." Lina menyodoknya, segera membuat dia berubah panik. “Ini pelanggan pertamamu! Berusaha lah dengan keras.” Bisik Lina di telinganya.
Ratih hampir menjatuhkan map itu ke lantai namun dia tetap berusaha kuat untuk tenang. Itu adalah kontrak pernikahan. Berisi beberapa kewajiban dan beberapa klausul tentang hubungan bisnis. Dia membaca satu persatu klausul yang tertulis di dalamnya seperti yang di perintahkan.“Jelaskan.” Ratih sudah selesai membaca poin demi poin.“Aku butuh seseorang untuk menjadi tameng.” Ujar Tengku Ammar dengan tatapan datar.“Mengapa harus aku?” Dia mengangkat wajah dan bertemu dengan tatapan mata Tengku Ammar yang sedang menelisiknya.“Tidak ada alasan.” Jawabnya dingin.Ratih menjadi sedikit kesal dengan jawaban ini. Ada ribuan gadis yang akan berbaris untuk mendapatkan kesempatan memegang kontrak ini di Terengganu, mengapa harus dia?“Kalau begitu, aku menolak.” Ratih menutup map dan meletakkannya di meja sofa lalu bangkit untuk pergi. Namun dia segera ingat bahwa pria ini adalah pelanggan pertamanya yang harus dia selesaikan.Melihat gadis itu berbalik, wajah Tengku Ammar menjadi semakin din
Ratih merasakan kepalanya berputar dan berdenging. Namun dia bertahan untuk mendengarkan sampai akhir.“Bicaralah kondisimu. Aku tau kamu butuh uang.” Ujar Tengku Ammar tenang. Dia lalu menyodorkan selembar dokumen berisi keuntungan apa yang akan di peroleh Ratih jika dia setuju menjadi istri bayarannya.“Kamu akan mendapatkan gaji bulanan, dan kompensasi atas malam itu. Tidak perlu khawatir untuk biaya hidup dan kebutuhan lainnya. Aku akan menyediakannya.” Jelas Tengku Ammar dengan nada serius.Ratih sebenarnya tidak punya pilihan lain, selama tiga hari bekerja sebagai Staf penjualan, dia bahkan belum mendapatkan pelanggan satu orangpun. Persaingan disana terlalu ketat. Para staf senior selalu mencuri pelanggan orang lain.Lagipula, mendapatkan pelanggan untuk membeli apartemen mewah itu sedikit sulit karena penjualan property akhir-akhir ini sedang sepi.“Berapa kompensasinya?” Tanya Ratih akhirnya.“Kamu bisa menyebutkan.” Jawab Tengku Ammar murah hati. Ratih merasa senang dengan j
Ingin menahan buku nikah?Namun buka cuma buku nikah yang di tahan, Kartu identitas dan passport juga ditahan.“Ini bukan pernikahan namanya. Ini hanya pindah majikan.” Geramnya kesal sambil melangkah pergi.Mendengar kata-katanya, wajah tampan Tengku Ammar berubah menjadi hitam.“Kamu! Berhenti disana!” Perintahnya dingin.Ratih berbalik dengan kesal.“Ada apa lagi? Bukankah kita sudah menikah? Apalagi yang kamu mau?” Dia bertanya dengan kesal. Entah mengapa setiap melihat pria ini dia merasa emosinya sedikit meledak-ledak.Namun belum sempat Tengku Ammar mengatakan apapun, kepala Ratih tiba-tiba pusing. Dia berdiri dengan sempoyongan dan hampir jatuh. Melihat itu Tengku Ammar segera mendekat dengan curiga. Apa ini trik seorang gadis?Karena kepalanya sangat pusing, Ratih segera berjongkok di tanah. Ada apa dengan tubuhnya, dia sudah sarapan tadi pagi, kenapa tiba-tiba pusing?Tak lama kemudian rasa sakit tiba-tiba menyerang perut bagian bawahnya. Dia dengan cepat memegang perutnya s
Wajah Ratih memucat, tubuhnya terasa ingin pingsan lagi. Ketika dia tahu dia hamil, dunia sepertinya sudah berakhir. Bagaimana dia bisa pulang dengan bayi? Lagipula, apakah bayi ini diinginkan oleh Tengku Ammar? Mereka hanya terikat kontrak."Apa kamu tidak minum pil pagi itu?" Tengku Ammar bertanya."Pil?" Kening Ratih berkerut. Apakah itu pil aborsi?Melihat Ratih yang kebingungan, Tengku Ammar segera ingat bahwa gadis ini sangat awam tentang masalah ini. "Lupakan saja!" Dia melambaikan tangan tidak sabar."Bagaimana kita menyelesaikan ini?" Ratih bertanya dengan perasaan campur aduk. Sejujurnya dia sendiri sangat tidak siap untuk hamil, tapi dia perlu meminta pendapat Tengku Ammar. "Maksudmu?" Kening Tengku Ammar berkerut."Bantu aku mencari dokter aborsi." Dia segera menjawab.Aborsi? "Apa katamu?" Melihat Tengku Ammar melotot engan kaget, nyali Ratih sedikit menciut."Bukankah kamu hanya butuh istri tapi tidak butuh anak?" "Jangan bicara omong kosong!" Ujarnya dengan tatapan