Pria itu membanting Ratih ke tempat tidur dan membungkam bibir merah gadis itu, menelan semua erangan lembutnya ke dalam mulutnya. Ciuman penuh gairah itu menerjang Ratih bagai badai, membuatnya tak dapat memikirkan apa pun lagi.
Suasana di dalam kamar menjadi semakin intens. Ketika mereka terjerat di tempat tidur, pakaian Ratih sudah terlepas semua. Tubuh panas pria itu menekannya, membuatnya akhirnya merasakan sedikit bahaya. Dia mulai menggeliat gelisah.
Namun, detik berikutnya, rasa sakit yang menusuk datang, membuatnya menggigit bahu pria itu.
Lelaki itu mengernyit pelan dan rona merah di wajah tampannya makin lama makin pekat. Ia menatap wanita kecil yang menangis di pelukannya dengan heran.
Namun, hatinya dipenuhi dengan gairah yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.
Malam masih panjang, dan suasana ambigu berlanjut.
***
Ratih membuka matanya dengan berat. Ada langit-langit yang tidak dikenalnya di atas kepalanya dan ruangan itu dipenuhi aroma ambergris di padu cendana yang menenangkan.
Otak Ratih membeku sesaat. Dia bergerak sedikit dan tubuh bagian bawahnya terasa seperti dirobek dan diremukkan.
Dia tertegun saat kejadian semalam terlintas dalam pikirannya. Majikannya mendorongnya ke pelukan seorang pria yang tidak dikenalnya, lalu pria itu memberinya anggur beracun. Dia kemudian berlari keluar, lalu ... lalu terjadilah kekacauan yang tak terkendali ini.
Suara percikan air tiba-tiba terdengar dari dalam kamar mandi, Ratih segera sadar.
Dia segera membalikkan tubuhnya untuk melihat ke kamar mandi. Memang, melalui pintu kaca blur, dia samar-samar dapat melihat sosok ramping sedang mandi.
Pria itu … ternyata masih di sini.
Hati Ratih kacau. Dia buru-buru mengangkat selimut dan menggertakkan giginya untuk bangun dari tempat tidur. Ketika dia melihat pakaian berserakan di lantai, dia merasa kesal lagi.
Mengabaikan rasa sakitnya, dia mengambil pakaian itu satu demi satu dan menggertakkan giginya untuk mengenakannya.
Dengan suara keras, pintu kamar mandi terbuka dan lelaki asing itu keluar. Tubuhnya masih setengah basah.
Tangan Ratih membeku, dan dia segera menarik selimut menutupi tubuhnya.
"Kamu sudah bangun," ucap pria itu dengan suara berat yang dingin. “Kamu mau mandi?
Suaranya sangat menyenangkan, agak dalam dan memikat. Seperti bunyi selo yang memetik hati nurani seseorang.
Namun, Ratih tidak berani menoleh untuk menatapnya. Dengan punggung menghadapnya, dia sangat gugup hingga telapak tangannya berkeringat.
Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak tahu siapa pria ini. Dalam situasi kemarin. selain dari potongan ingatan berantakan itu, dia bahkan tidak ingat seperti apa rupa pria itu.
Dia tidak berani berbalik, dan pria itu berjalan ke hadapannya. Tubuhnya yang tinggi dan ramping terbungkus jubah mandi putih yang diikat longgar di pinggangnya, memperlihatkan otot-otot dadanya yang kuat. Sungguh menggoda.
Dia duduk di sofa di seberang Ratih, menyilangkan kakinya dengan elegan, dan meletakkan lengannya di kedua sisi sofa. Dia menatapnya dengan sorot mata tajam. Tak ada emosi di wajahnya yang dingin. Namun, dia berkata dengan acuh tak acuh,
"Mari kita bicara!"
Walaupun dia hanya mengucapkan satu kalimat, dan tidak ada ekspresi khusus di wajahnya, Ratih merasa mulutnya menjadi kering, seolah ada tekanan tak kasat mata yang menekannya.
Itulah auranya. Aura pria ini sangat kuat, begitu kuatnya sehingga dia hanya ingin melarikan diri.
Intuisinya mengatakan bahwa dia tidak mampu menyinggung orang seperti itu.
"Tentang apa yang terjadi tadi malam ... aku minta maaf.” Ratih berkata dengan suara gemetar. “Tapi … melihat bahwa kamu tidak menderita kerugian apa pun ... mari kita berpura-pura tidak terjadi apa-apa."
Setelah dia selesai berbicara, dia merasakan tatapan dingin pria itu menyapu sekujur tubuhnya, menyebabkan hawa dingin merambati tulang punggungnya.
Pria ini benar-benar tampan. Wajahnya sangat tampan, dan matanya yang sebening air itu seperti pedang. Dengan pengalaman kerja Ratih selama dua tahun di negeri orang sebagai TKW, sekilas dia bisa tahu bahwa pria ini bukanlah orang biasa.
Namun, lelaki itu tampak tidak senang. Dan Ratihlah penyebabnya.
Sosok itu menatap Ratih dengan dingin dan bibirnya terkatup rapat.
Ratih mengerutkan bibirnya, dan dia tidak dapat menahan diri untuk mengepalkan tangannya di bawah selimut. Udara terasa membeku dan terasa menyesakkan.
Untungnya, di tengah perasaan ini, tiba-tiba terdengar suara sumbang di ruangan itu, yang memecah kebuntuan.
Itu suara telepon.
Namun, Ratih tahu itu bukan miliknya.
Benar saja, pria itu berdiri dan berjalan ke tempat tidur. Ratih sangat takut hingga menundukkan kepalanya. Ia baru bisa bernapas lega saat merasakan pria itu mengambil sesuatu dan pergi.
Setelah menelepon, dia mulai melepas jubah mandinya dan mengenakan pakaiannya.
Ratih tanpa sengaja mengangkat kepalanya, dan dari sudut matanya, dia melirik tubuh sosok itu. Dia tidak bisa menahan rasa herannya. Tubuh pria ini terlalu bagus. Tidak ada lemak di tubuhnya, tetapi dia tidak kurus. Dia jelas tipe orang yang terlihat kurus saat mengenakan pakaian, tetapi gemuk saat menanggalkan pakaian.
"Apakah kamu menyukainya?" Pria itu tiba-tiba berhenti dan menatapnya. Sorot mata itu masih tampak dingin, sekalipun demikian..
Ratih tersadar dan wajahnya langsung memerah. Dia menundukkan kepalanya karena malu.
“Aku harus pergi sekarang.” Tanpa menunggu respons lain dari Ratih, pria itu kemudian kembali berucap. “Tapi aku akan kembali setelah aku selesai.”
“Untuk apa?” tanya Ratih heran.
“Memberikan kompensasi atas kali pertamamu.”
Ratih sedikit terbelalak. Wajahnya makin memerah saat mendengar hal tersebut.
“Aku tidak butuh kompensasi,” balas Ratih kemudian. “Itu kesalahanku sendiri, sekalipun karena jebakan manusia laknat.”
Lagi pula, kompensasi seperti apa yang dimaksudkan oleh pria asing ini? Uang? Atau apa? Pernikahan?
Tidak mungkin! Toh Ratih punya kekasih di sini.
Pun demikian, dalam otak Ratih saat ini hanyalah mengkonfrontasi majikannya dan mengadukan wanita jahanam itu ke kedutaan.
Pria itu tampak akan mengatakan sesuatu, tapi terganggu karena dering ponsel. Ratih melihatnya mengerutkan kening dan menolak telepon tersebut dengan tidak sabar.
Pria itu berdecak. “Tunggu aku di sini,” titahnya.
Ratih tidak menjawab apa pun. Tapi ia tidak berniat untuk tinggal di sini. Semalam hanyalah kesalahan, dan tidak perlu dibicarakan lebih lanjut.
Toh mereka tidak akan bertemu lagi.
Atau seperti itulah yang dipikirkan oleh Ratih.
Setelah pria asing yang belum ia ketahui namanya itu keluar, Ratih buru-buru mengenakan pakaiannya.Setelahnya, ia segera keluar dari kamar tersebut.Kesalahannya semalam adalah tidur dengan pria lain yang bukan pacarnya. Namun, hal tersebut tidak akan terjadi jika ia menjemput majikannya pulang seperti yang diperintahkan–alih-alih meminum gelas anggur yang sepertinya sudah diberi obat.Namun, bagaimanapun–Ratih sudah bukan orang yang sama lagi.Kali pertamanya sudah hilang.Ratih mengulurkan tangan untuk menghapus air mata yang menggenang di matanya. Kepalanya dipenuhi alasan kenapa Nyonya Aziz tega melakukan hal tersebut kepadanya.Apakah si majikan itu sebegitu inginnya memenangkan tender hingga berani menjual Ratih yang memang notabene hanyalah seorang TKW?Padahal Ratih datang ke negara ini untuk hidup, bekerja sebagai tulang punggung keluarganya di rumah. Apalagi desakan utang yang mereka gunakan saat ibunya kecelakaan waktu itu. Dan Ratih pun tidak neko-neko. Di jam kerja, ia a
Ratih tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Abdul yang berbalik dan pergi bersama Miriam di pelukannya. Melihat pemandangan di depannya, hati Ratih berdenyut nyeri. Pria ini, mereka telah bersama selama hampir setahun. Mustahil untuk tidak sedih dan kecewa ketika melihat kemesraan mereka. Namun, ia tidak bisa memaafkan Abdul. Sama seperti pria itu terhadapnya, sekalipun karena salah paham.Pada akhirnya, Ratih berbalik pergi.“Ratih, kamu baik-baik saja?” Lina bertanya dengan cemas melihat wajah merah padam sahabatnya.Ratih menggeleng. Tampaknya dia harus berhenti menjadi perawat nenek segera. Ia benar-benar ingin memutus hubungan dengan keluarga Aziz.“Bantu aku menemukan pekerjaan baru dalam waktu dekat,” pintanya pada Lina kemudian. Mendengar itu, Lina menghela napas dan mengangguk. “Aku akan bertanya pada manager,” katanya.Lina bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan penjualan apartemen sebagai petugas penjualan.Saat itu, Ratih berpikir kalau masalahnya hari itu hanyal
"Ratih, kenapa pergi? Kamu belum makan jamuan pernikahan." Miriam, si jalang itu, benar-benar muncul dan bahkan mencengkeramnya.Ratih menggertakkan giginya karena marah dan merendahkan suaranya,"Miriam, lepaskan aku. Jangan membuat keributan."Miriam tertegun dan tanpa sadar melepaskannya.Ratih menghela napas lega, tetapi dia tidak menyangka suara pria di belakangnya terdengar perlahan,"Nona, Kamu ...?"“Tengku Ammar, ini teman yang bekerja sebagai perawat Nenek di rumahku. Sudah kami anggap seperti keluarga sendiri.” Miriam segera menarik Ratih dan memperkenalkannya kepada Tengku Ammar.Ratih ditarik oleh Miriam dan hampir jatuh. Untungnya, Abdul memegangnya dan bertanya dengan khawatir,"Apakah kamu baik-baik saja?"Wajah Miriam menjadi gelap dan dia melotot ke arah Abdul dengan tatapan tidak senang. Kemudian dia diam-diam mendorong Ratih ke arah Tengku Ammar dengan paksa, bermaksud melihat Ratih mempermalukan dirinya sendiri. Tengku Ammar menangkapnya dengan cepat.Semua orang
Tengku Ammar masih duduk di ruang kerjanya dengan wajah muram. Ditangannya ada satu eks majalah Melayu News edisi minggu depan. Dia segera melemparnya ke tempat sampah. “Apa ini semua rencana ibu?” Ia bertanya pada Imran yang mematung di depan meja. Imran sedikit ragu untuk menjawab. Majalah ini memang di kirimkan oleh Nyonya besar Shah Alam langsung ke meja Tengku Ammar pagi ini. Belum dicetak dan di pasarkan. Dia dengan mudah dapat menebak niat pihak lain mengirimkan majalah ini ke meja Tuannya.“Dimana dokumen tentang gadis itu?” Tengku Ammar bertanya dengan wajah dingin. Imran dengan patuh mengambil sebuah map di lemari dokumen rahasia. “Tuan, apakah anda yakin akan terlibat dengan gadis ini?” Imran mau tidak mau memberanikan diri bertanya. Dia sebenarnya tidak punya kualifikasi untuk mempertanyakan tindakan yang diambil atasannya, namun ini sebagian besar menyangkut kehidupan pribadi Tuannya. “Dia adalah target yang cocok.” Sinar kelicikan
Dia segera mengangkat kepalanya dan menatap pria itu. Tidak semua orang punya wajah yang tampan. Jelas itu adalah pria yang pernah tidur dengannya tempo hari. Dia segera menundukkan kepalanya. Berusaha membuat dirinya tidak terlihat sehingga pria itu tidak bisa mengenalinya."Nila, kemarilah. Temani Tuan Ammar melihat apartemen." Manajer itu tiba-tiba memanggil petugas penjualan senior yang sangat cantik untuk menemani pelanggan baru itu. Ratih segera menghela napas dan berbalik menuju kursi sofa di lobi, namun sebelum punggungnya menyentuh sofa, sebuah suara bariton yang familiar terdengar menggelitik di telinganya.“Ratih, aku ingin Nona Ratih yang menemaniku.” Pikiran Ratih hampir meledak. Ah, bagaimana pria itu bisa tahu bahwa dia bekerja disini? "Ratih, manajer memanggilmu. Cepatlah." Lina menyodoknya, segera membuat dia berubah panik. “Ini pelanggan pertamamu! Berusaha lah dengan keras.” Bisik Lina di telinganya.
Ratih hampir menjatuhkan map itu ke lantai namun dia tetap berusaha kuat untuk tenang. Itu adalah kontrak pernikahan. Berisi beberapa kewajiban dan beberapa klausul tentang hubungan bisnis. Dia membaca satu persatu klausul yang tertulis di dalamnya seperti yang di perintahkan.“Jelaskan.” Ratih sudah selesai membaca poin demi poin.“Aku butuh seseorang untuk menjadi tameng.” Ujar Tengku Ammar dengan tatapan datar.“Mengapa harus aku?” Dia mengangkat wajah dan bertemu dengan tatapan mata Tengku Ammar yang sedang menelisiknya.“Tidak ada alasan.” Jawabnya dingin.Ratih menjadi sedikit kesal dengan jawaban ini. Ada ribuan gadis yang akan berbaris untuk mendapatkan kesempatan memegang kontrak ini di Terengganu, mengapa harus dia?“Kalau begitu, aku menolak.” Ratih menutup map dan meletakkannya di meja sofa lalu bangkit untuk pergi. Namun dia segera ingat bahwa pria ini adalah pelanggan pertamanya yang harus dia selesaikan.Melihat gadis itu berbalik, wajah Tengku Ammar menjadi semakin din
Ratih merasakan kepalanya berputar dan berdenging. Namun dia bertahan untuk mendengarkan sampai akhir.“Bicaralah kondisimu. Aku tau kamu butuh uang.” Ujar Tengku Ammar tenang. Dia lalu menyodorkan selembar dokumen berisi keuntungan apa yang akan di peroleh Ratih jika dia setuju menjadi istri bayarannya.“Kamu akan mendapatkan gaji bulanan, dan kompensasi atas malam itu. Tidak perlu khawatir untuk biaya hidup dan kebutuhan lainnya. Aku akan menyediakannya.” Jelas Tengku Ammar dengan nada serius.Ratih sebenarnya tidak punya pilihan lain, selama tiga hari bekerja sebagai Staf penjualan, dia bahkan belum mendapatkan pelanggan satu orangpun. Persaingan disana terlalu ketat. Para staf senior selalu mencuri pelanggan orang lain.Lagipula, mendapatkan pelanggan untuk membeli apartemen mewah itu sedikit sulit karena penjualan property akhir-akhir ini sedang sepi.“Berapa kompensasinya?” Tanya Ratih akhirnya.“Kamu bisa menyebutkan.” Jawab Tengku Ammar murah hati. Ratih merasa senang dengan j
Ingin menahan buku nikah?Namun buka cuma buku nikah yang di tahan, Kartu identitas dan passport juga ditahan.“Ini bukan pernikahan namanya. Ini hanya pindah majikan.” Geramnya kesal sambil melangkah pergi.Mendengar kata-katanya, wajah tampan Tengku Ammar berubah menjadi hitam.“Kamu! Berhenti disana!” Perintahnya dingin.Ratih berbalik dengan kesal.“Ada apa lagi? Bukankah kita sudah menikah? Apalagi yang kamu mau?” Dia bertanya dengan kesal. Entah mengapa setiap melihat pria ini dia merasa emosinya sedikit meledak-ledak.Namun belum sempat Tengku Ammar mengatakan apapun, kepala Ratih tiba-tiba pusing. Dia berdiri dengan sempoyongan dan hampir jatuh. Melihat itu Tengku Ammar segera mendekat dengan curiga. Apa ini trik seorang gadis?Karena kepalanya sangat pusing, Ratih segera berjongkok di tanah. Ada apa dengan tubuhnya, dia sudah sarapan tadi pagi, kenapa tiba-tiba pusing?Tak lama kemudian rasa sakit tiba-tiba menyerang perut bagian bawahnya. Dia dengan cepat memegang perutnya s