Share

Part 2 Pertama Kali

Pria itu membanting Ratih ke tempat tidur dan membungkam bibir merah gadis itu, menelan semua erangan lembutnya ke dalam mulutnya. Ciuman penuh gairah itu menerjang Ratih bagai badai, membuatnya tak dapat memikirkan apa pun lagi.

Suasana di dalam kamar menjadi semakin intens. Ketika mereka terjerat di tempat tidur, pakaian Ratih sudah terlepas semua. Tubuh panas pria itu menekannya, membuatnya akhirnya merasakan sedikit bahaya. Dia mulai menggeliat gelisah.

Namun, detik berikutnya, rasa sakit yang menusuk datang, membuatnya menggigit bahu pria itu.

Lelaki itu mengernyit pelan dan rona merah di wajah tampannya makin lama makin pekat. Ia menatap wanita kecil yang menangis di pelukannya dengan heran. 

Namun, hatinya dipenuhi dengan gairah yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.

Malam masih panjang, dan suasana ambigu berlanjut.

***

Ratih membuka matanya dengan berat. Ada langit-langit yang tidak dikenalnya di atas kepalanya dan ruangan itu dipenuhi aroma ambergris di padu cendana yang menenangkan.

Otak Ratih membeku sesaat. Dia bergerak sedikit dan tubuh bagian bawahnya terasa seperti dirobek dan diremukkan.

Dia tertegun saat kejadian semalam terlintas dalam pikirannya. Majikannya mendorongnya ke pelukan seorang pria yang tidak dikenalnya, lalu pria itu memberinya anggur beracun. Dia kemudian berlari keluar, lalu ... lalu terjadilah kekacauan yang tak terkendali ini.

Suara percikan air tiba-tiba terdengar dari dalam kamar mandi, Ratih segera sadar.

Dia segera membalikkan tubuhnya untuk melihat ke kamar mandi. Memang, melalui pintu kaca blur, dia samar-samar dapat melihat sosok ramping sedang mandi.

Pria itu … ternyata masih di sini.

Hati Ratih kacau. Dia buru-buru mengangkat selimut dan menggertakkan giginya untuk bangun dari tempat tidur. Ketika dia melihat pakaian berserakan di lantai, dia merasa kesal lagi.

Mengabaikan rasa sakitnya, dia mengambil pakaian itu satu demi satu dan menggertakkan giginya untuk mengenakannya.

Dengan suara keras, pintu kamar mandi terbuka dan lelaki asing itu keluar. Tubuhnya masih setengah basah.

Tangan Ratih membeku, dan dia segera menarik selimut menutupi tubuhnya.

"Kamu sudah bangun," ucap pria itu dengan suara berat yang dingin. “Kamu mau mandi?

Suaranya sangat menyenangkan, agak dalam dan memikat. Seperti bunyi selo yang memetik hati nurani seseorang.

Namun, Ratih tidak berani menoleh untuk menatapnya. Dengan punggung menghadapnya, dia sangat gugup hingga telapak tangannya berkeringat.

Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak tahu siapa pria ini. Dalam situasi kemarin. selain dari potongan ingatan berantakan itu, dia bahkan tidak ingat seperti apa rupa pria itu.

Dia tidak berani berbalik, dan pria itu berjalan ke hadapannya. Tubuhnya yang tinggi dan ramping terbungkus jubah mandi putih yang diikat longgar di pinggangnya, memperlihatkan otot-otot dadanya yang kuat. Sungguh menggoda.

Dia duduk di sofa di seberang Ratih, menyilangkan kakinya dengan elegan, dan meletakkan lengannya di kedua sisi sofa. Dia menatapnya dengan sorot mata tajam. Tak ada emosi di wajahnya yang dingin. Namun, dia berkata dengan acuh tak acuh,

"Mari kita bicara!"

Walaupun dia hanya mengucapkan satu kalimat, dan tidak ada ekspresi khusus di wajahnya, Ratih merasa mulutnya menjadi kering, seolah ada tekanan tak kasat mata yang menekannya.

Itulah auranya. Aura pria ini sangat kuat, begitu kuatnya sehingga dia hanya ingin melarikan diri.

Intuisinya mengatakan bahwa dia tidak mampu menyinggung orang seperti itu.

"Tentang apa yang terjadi tadi malam ... aku minta maaf.” Ratih berkata dengan suara gemetar. “Tapi … melihat bahwa kamu tidak menderita kerugian apa pun ... mari kita berpura-pura tidak terjadi apa-apa." 

Setelah dia selesai berbicara, dia merasakan tatapan dingin pria itu menyapu sekujur tubuhnya, menyebabkan hawa dingin merambati tulang punggungnya.

Pria ini benar-benar tampan. Wajahnya sangat tampan, dan matanya yang sebening air itu seperti pedang. Dengan pengalaman kerja Ratih selama dua tahun di negeri orang sebagai TKW, sekilas dia bisa tahu bahwa pria ini bukanlah orang biasa.

Namun, lelaki itu tampak tidak senang. Dan Ratihlah penyebabnya.

Sosok itu menatap Ratih dengan dingin dan bibirnya terkatup rapat.

Ratih mengerutkan bibirnya, dan dia tidak dapat menahan diri untuk mengepalkan tangannya di bawah selimut. Udara terasa membeku dan terasa menyesakkan.

Untungnya, di tengah perasaan ini, tiba-tiba terdengar suara sumbang di ruangan itu, yang memecah kebuntuan.

Itu suara telepon.

Namun, Ratih tahu itu bukan miliknya.

Benar saja, pria itu berdiri dan berjalan ke tempat tidur. Ratih sangat takut hingga menundukkan kepalanya. Ia baru bisa bernapas lega saat merasakan pria itu mengambil sesuatu dan pergi.

Setelah menelepon, dia mulai melepas jubah mandinya dan mengenakan pakaiannya.

Ratih tanpa sengaja mengangkat kepalanya, dan dari sudut matanya, dia melirik tubuh sosok itu. Dia tidak bisa menahan rasa herannya. Tubuh pria ini terlalu bagus. Tidak ada lemak di tubuhnya, tetapi dia tidak kurus. Dia jelas tipe orang yang terlihat kurus saat mengenakan pakaian, tetapi gemuk saat menanggalkan pakaian.

"Apakah kamu menyukainya?" Pria itu tiba-tiba berhenti dan menatapnya. Sorot mata itu masih tampak dingin, sekalipun demikian..

Ratih tersadar dan wajahnya langsung memerah. Dia menundukkan kepalanya karena malu.

“Aku harus pergi sekarang.” Tanpa menunggu respons lain dari Ratih, pria itu kemudian kembali berucap. “Tapi aku akan kembali setelah aku selesai.”

“Untuk apa?” tanya Ratih heran.

“Memberikan kompensasi atas kali pertamamu.”

Ratih sedikit terbelalak. Wajahnya makin memerah saat mendengar hal tersebut.

“Aku tidak butuh kompensasi,” balas Ratih kemudian. “Itu kesalahanku sendiri, sekalipun karena jebakan manusia laknat.”

Lagi pula, kompensasi seperti apa yang dimaksudkan oleh pria asing ini? Uang? Atau apa? Pernikahan?

Tidak mungkin! Toh Ratih punya kekasih di sini.

Pun demikian, dalam otak Ratih saat ini hanyalah mengkonfrontasi majikannya dan mengadukan wanita jahanam itu ke kedutaan.

Pria itu tampak akan mengatakan sesuatu, tapi terganggu karena dering ponsel. Ratih melihatnya mengerutkan kening dan menolak telepon tersebut dengan tidak sabar.

Pria itu berdecak. “Tunggu aku di sini,” titahnya.

Ratih tidak menjawab apa pun. Tapi ia tidak berniat untuk tinggal di sini. Semalam hanyalah kesalahan, dan tidak perlu dibicarakan lebih lanjut.

Toh mereka tidak akan bertemu lagi.

Atau seperti itulah yang dipikirkan oleh Ratih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status