“Jadilah anak baik dan minum ini, Ratih. Satu langkah lagi, dan aku akan memenangkan tender majikanmu.”
Dengan sekuat tenaga, Ratih mengatupkan bibirnya sementara pria gempal di hadapannya mendorong segelas anggur ke depan bibirnya. Tatapannya kemudian terarah majikannya. Nyonya Aziz, wanita itu hanya balas memandangnya tanpa berniat membantu.
Beberapa menit yang lalu, Ratih sampai di restoran hotel ini karena disuruh untuk menjemput majikannya. Namun, saat ia menunggu, Nyonya Aziz justru mengumpankannya pada Tuan Sam, pria gempal yang sejak tadi menatap Ratih dengan tatapan penuh nafsu.
“Buka mulutmu.”
Ratih menggeleng. Ia berniat menjauh, tapi Tuan Sam justru menariknya dan mendudukkan gadis itu di pangkuan.
Terkejut, Ratih langsung bergerak menjauh. Namun, tangan besar Tuan Sam dengan cepat memeluk pinggangnya. Mengunci gadis itu agar tidak lari dari pangkuannya.
“Lepas–”
“Hanya satu gelas, lalu aku akan melepaskanmu.”
Tuan Sam kembali menyodorkan bibir gelas anggur itu pada Ratih. Merasakan embusan napas pria itu di telinganya dia seketika merinding. Ratih ingin sekali menendang pria ini hingga mati namun kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan seorang pria dewasa.
Sementara itu, Ratih melihat majikannya yang balas menatapnya dengan senyum mengejek.
“Hanya satu gelas, Ratih.” Wanita paruh baya itu justru berkata. “Tidak ada salahnya menuruti ucapan Tuan Sam.”
Ratih seperti bisa mendengar kelanjutan ucapan majikannya tersebut. Jika Ratih bersedia utuk minum, majikannya akan memenangkan tender yang diincar dan Ratih bisa segera pergi dari sana.
Ini sudah hampir pukul sebelas malam, dia harus segera kembali ke rumah sakit untuk menjaga nenek.
“Kamu harus menepati janjimu,” ucap Ratih kemudian, menahan perasaannya.
Gadis itu kemudian meraih gelas anggur di tangan Tuan Sam dan menegaknya dalam satu kali teguk.
“Sekarang lepas–”
Ratih akhirnya bisa melepaskan diri dan berdiri. Namun, tiba-tiba badannya terasa limbung.
Padahal Ratih baru saja menyelesaikan minumnya, tapi kenapa rasa sakit langsung menyerang kepalanya?
Apakah memang minum anggur efeknya seperti ini? Atau–
“Aku permisi dulu.” Tiba-tiba Nyonya Aziz berkata. “Mohon jangan terburu-buru, Tuan Sam.”
Apa maksudnya?
“Tenang saja, Nyonya. Oh ya–selamat. Mohon ke depannya kita bisa bekerja sama dengan baik.”
Detik itu juga, Ratih tahu bahwa dirinya telah dijebak. Majikannya telah mengumpankan dirinya pada pria gempal di hadapan Ratih tersebut.
Perlahan, kesadaran Ratih mulai menghilang dan kakinya mulai kehilangan kekuatan.
Menyadari Ratih mulai bergerak gelisah, Tuan Sam segera mendorong gadis itu hingga terjatuh di sofa dan mulai menekannya disana. Ratih merasakan bahaya mulai mendekat.
“Lepaskan aku.” Ratih berusaha berteriak, tapi suara yang keluar dari mulutnya sangat lemah.
Lebih terdengar seperti erangan lembut yang membuat mata Tuan Sam menatapnya semakin dalam.
“Tenang, Cantik. Aku akan membuatmu nyaman ….” Bisikan dari Tuan Sam membuatnya mual.
Dengan sisa-sisa tenaganya dan sebelum kesadarannya hilang, Ratih menggigit lidahnya sendiri hingga berdarah. Rasa sakit itu segera mengembalikan kesadarannya seketika.
Namun, sayangnya, Ratih sudah terkunci di bawah tubuh pria menjijikkan ini.
Satu-satunya yang tersisa hanyalah bagian kaki. Dia segera menggunakan kesempatan ini untuk mengumpulkan kekuatan dan menendang pangkal atas paha Tuan Sam dengan keras.
Tuan Sam sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan seekstrim ini oleh seorang wanita lemah yang sudah dibiusnya. Dia terjungkal ke lantai sambil menahan rasa sakit yang amat sangat.
Memanfaatkan momen itu, Ratih segera bangkit dan berlari ke pintu. Dia keluar menuju koridor panjang
Ratih bisa merasakan tubuhnya mulai terasa panas dan kakinya mulai menyerah sekali lagi, sehingga dia tidak bisa lagi berlari. Mengandalkan sedikit rasa sakit yang memberinya kekuatan, dia menghampiri ke dalam lift yang ada di ujung koridor ini.
Pintu lift terbuka dan dia segera terjatuh ke depan. Kepalanya jatuh ke dalam tangan kokoh seseorang pria.Ah, siapa lagi ini?
Ratih mendongak dan menangkap seraut wajah pria. Dengan sisa kekuatannya, Ratih mencengkeram lengan baju pria itu erat-erat.
"Tu-Tuan,” sengalnya. “Selamatkan aku. Tolong."
Dari sudut pandangnya yang sudah mabuk, pria itu sangat tampan. Wajahnya yang halus memiliki tepian yang tajam. Matanya yang hitam dan dalam penuh dengan kekejaman dingin dipadu dengan bibirnya yang tipis terkatup rapat. Tak ada reaksi apapun seolah pria itu adalah patung.
Hanya saja wajah pria itu yang putih sedikit memerah tidak seperti biasanya, membuatnya tampak semakin seksi tak terlukiskan.
Pria itu menatap Ratih dengan heran. Suara sol sepatu berlarian terdengar di belakangnya. Matanya menjadi gelap dan dia segera menggendongnya ke dalam lift.
Pikiran Ratih kacau. Tubuhnya terasa panas tak tertahankan. Ia memeluk erat tubuh lelaki itu sambil bergerak gelisah untuk menghilangkan rasa panas.
Namun, semakin dia melakukannya, semakin kuat perasaan itu.
Napas pria itu juga menjadi cepat. Dia memarahi dengan wajah dingin,
"Jangan bergerak."
Dengan itu, jari-jarinya gemetar dan dia mendorongnya menjauh.Ratih terbentur dinding yang dingin, rasa sakit membuatnya mengerutkan kening tak terkendali. Namun, hal itu juga membuat kesadarannya sedikit kembali. Ia menggigit bibir bawahnya dan berusaha sekuat tenaga menahan kegelisahan di tubuhnya. Ia ingin membenamkan dirinya dalam air dingin agar merasa lebih baik.
Lift terbuka dan pria itu segera melangkah keluar. Ratih tanpa sadar mengulurkan tangan dan meraih lengan bajunya lagi.
"Jangan tinggalkan aku."
Pria itu tertegun sejenak.
Secara insting, Ratih mendekatkan diri ke wajah pria itu. Napas panas mereka saling beradu. Tangan pria itu mengepal, mengeluarkan suara berderit.
"Tahukah kamu apa yang sedang kamu lakukan?" Suara rendah dan serak terdengar di telinga Ratih. Napasnya yang panas menyemprot kulit halusnya, membuatnya menggigil. Itu sedikit mengobati kegelisahannya.
Namun, itu belum cukup. Jauh dari cukup. Ratih menginginkan lebih.
Dia tahu dia tidak boleh melakukan ini, tetapi tubuhnya dengan patuh melekat pada pria itu.
Pria itu menarik napas dalam-dalam, mengangkat tubuh Ratih yang hampir roboh dan berjalan keluar pintu. Tak lama kemudian, ia berjalan menuju hotel bintang lima di seberang jalan.
Di kamar presidensial hotel, lampu redup dan bayangan mereka saling bertautan.
Ratih tersentak. Pria itu menekannya ke pintu. Begitu pintu tertutup, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia seharusnya menolak dan segera melarikan diri, tetapi tubuhnya tidak mau mendengarkannya.
Tanpa menunggu laki-laki itu melakukan sesuatu, dia mencondongkan tubuhnya ke depan, berjinjit dan mencium bibir indah pria itu.
Pria itu tercengang. Dia tidak menyangka wanita itu akan mengambil inisiatif. Matanya menjadi gelap. Dia memegang pinggangnya dengan satu tangan dan mengangkatnya sedikit, hampir menelannya dengan ciuman penuh gairah.
Tangannya yang besar tak kuasa menahan diri untuk meluncur naik turun di pinggang rampingnya.
Ratih merasa tubuhnya semakin terbakar. Telapak tangannya sudah meraba kemana-mana. Tanpa sadar ia mengusap-usap tubuh lelaki itu dan melenguh karena rasa perasaan tidak nyaman itu.
Pria itu mundur selangkah dan menjauhkan diri darinya. Ia menatap matanya dan bertanya,
"Aku akan memberimu satu kesempatan terakhir. Tahukah kau apa yang akan terjadi selanjutnya? Belum terlambat untuk menyesalinya."
Tanpa pria yang bisa diandalkan, Ratih merasa makin tidak nyaman. Tubuhnya terasa seperti digigit semut. Rasanya sangat panas dan menyakitkan hingga yang bisa ia katakan hanyalah–
"Tolong saya."
Mata pria itu menjadi gelap dan dia tidak ragu lagi.
Pria itu membanting Ratih ke tempat tidur dan membungkam bibir merah gadis itu, menelan semua erangan lembutnya ke dalam mulutnya. Ciuman penuh gairah itu menerjang Ratih bagai badai, membuatnya tak dapat memikirkan apa pun lagi.Suasana di dalam kamar menjadi semakin intens. Ketika mereka terjerat di tempat tidur, pakaian Ratih sudah terlepas semua. Tubuh panas pria itu menekannya, membuatnya akhirnya merasakan sedikit bahaya. Dia mulai menggeliat gelisah.Namun, detik berikutnya, rasa sakit yang menusuk datang, membuatnya menggigit bahu pria itu.Lelaki itu mengernyit pelan dan rona merah di wajah tampannya makin lama makin pekat. Ia menatap wanita kecil yang menangis di pelukannya dengan heran. Namun, hatinya dipenuhi dengan gairah yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.Malam masih panjang, dan suasana ambigu berlanjut.***Ratih membuka matanya dengan berat. Ada langit-langit yang tidak dikenalnya di atas kepalanya dan ruangan itu dipe
Setelah pria asing yang belum ia ketahui namanya itu keluar, Ratih buru-buru mengenakan pakaiannya.Setelahnya, ia segera keluar dari kamar tersebut.Kesalahannya semalam adalah tidur dengan pria lain yang bukan pacarnya. Namun, hal tersebut tidak akan terjadi jika ia menjemput majikannya pulang seperti yang diperintahkan–alih-alih meminum gelas anggur yang sepertinya sudah diberi obat.Namun, bagaimanapun–Ratih sudah bukan orang yang sama lagi.Kali pertamanya sudah hilang.Ratih mengulurkan tangan untuk menghapus air mata yang menggenang di matanya. Kepalanya dipenuhi alasan kenapa Nyonya Aziz tega melakukan hal tersebut kepadanya.Apakah si majikan itu sebegitu inginnya memenangkan tender hingga berani menjual Ratih yang memang notabene hanyalah seorang TKW?Padahal Ratih datang ke negara ini untuk hidup, bekerja sebagai tulang punggung keluarganya di rumah. Apalagi desakan utang yang mereka gunakan saat ibunya kecelakaan waktu itu. Dan Ratih pun tidak neko-neko. Di jam kerja, ia a
Ratih tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Abdul yang berbalik dan pergi bersama Miriam di pelukannya. Melihat pemandangan di depannya, hati Ratih berdenyut nyeri. Pria ini, mereka telah bersama selama hampir setahun. Mustahil untuk tidak sedih dan kecewa ketika melihat kemesraan mereka. Namun, ia tidak bisa memaafkan Abdul. Sama seperti pria itu terhadapnya, sekalipun karena salah paham.Pada akhirnya, Ratih berbalik pergi.“Ratih, kamu baik-baik saja?” Lina bertanya dengan cemas melihat wajah merah padam sahabatnya.Ratih menggeleng. Tampaknya dia harus berhenti menjadi perawat nenek segera. Ia benar-benar ingin memutus hubungan dengan keluarga Aziz.“Bantu aku menemukan pekerjaan baru dalam waktu dekat,” pintanya pada Lina kemudian. Mendengar itu, Lina menghela napas dan mengangguk. “Aku akan bertanya pada manager,” katanya.Lina bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan penjualan apartemen sebagai petugas penjualan.Saat itu, Ratih berpikir kalau masalahnya hari itu hanyal
"Ratih, kenapa pergi? Kamu belum makan jamuan pernikahan." Miriam, si jalang itu, benar-benar muncul dan bahkan mencengkeramnya.Ratih menggertakkan giginya karena marah dan merendahkan suaranya,"Miriam, lepaskan aku. Jangan membuat keributan."Miriam tertegun dan tanpa sadar melepaskannya.Ratih menghela napas lega, tetapi dia tidak menyangka suara pria di belakangnya terdengar perlahan,"Nona, Kamu ...?"“Tengku Ammar, ini teman yang bekerja sebagai perawat Nenek di rumahku. Sudah kami anggap seperti keluarga sendiri.” Miriam segera menarik Ratih dan memperkenalkannya kepada Tengku Ammar.Ratih ditarik oleh Miriam dan hampir jatuh. Untungnya, Abdul memegangnya dan bertanya dengan khawatir,"Apakah kamu baik-baik saja?"Wajah Miriam menjadi gelap dan dia melotot ke arah Abdul dengan tatapan tidak senang. Kemudian dia diam-diam mendorong Ratih ke arah Tengku Ammar dengan paksa, bermaksud melihat Ratih mempermalukan dirinya sendiri. Tengku Ammar menangkapnya dengan cepat.Semua orang
Tengku Ammar masih duduk di ruang kerjanya dengan wajah muram. Ditangannya ada satu eks majalah Melayu News edisi minggu depan. Dia segera melemparnya ke tempat sampah. “Apa ini semua rencana ibu?” Ia bertanya pada Imran yang mematung di depan meja. Imran sedikit ragu untuk menjawab. Majalah ini memang di kirimkan oleh Nyonya besar Shah Alam langsung ke meja Tengku Ammar pagi ini. Belum dicetak dan di pasarkan. Dia dengan mudah dapat menebak niat pihak lain mengirimkan majalah ini ke meja Tuannya.“Dimana dokumen tentang gadis itu?” Tengku Ammar bertanya dengan wajah dingin. Imran dengan patuh mengambil sebuah map di lemari dokumen rahasia. “Tuan, apakah anda yakin akan terlibat dengan gadis ini?” Imran mau tidak mau memberanikan diri bertanya. Dia sebenarnya tidak punya kualifikasi untuk mempertanyakan tindakan yang diambil atasannya, namun ini sebagian besar menyangkut kehidupan pribadi Tuannya. “Dia adalah target yang cocok.” Sinar kelicikan
Dia segera mengangkat kepalanya dan menatap pria itu. Tidak semua orang punya wajah yang tampan. Jelas itu adalah pria yang pernah tidur dengannya tempo hari. Dia segera menundukkan kepalanya. Berusaha membuat dirinya tidak terlihat sehingga pria itu tidak bisa mengenalinya."Nila, kemarilah. Temani Tuan Ammar melihat apartemen." Manajer itu tiba-tiba memanggil petugas penjualan senior yang sangat cantik untuk menemani pelanggan baru itu. Ratih segera menghela napas dan berbalik menuju kursi sofa di lobi, namun sebelum punggungnya menyentuh sofa, sebuah suara bariton yang familiar terdengar menggelitik di telinganya.“Ratih, aku ingin Nona Ratih yang menemaniku.” Pikiran Ratih hampir meledak. Ah, bagaimana pria itu bisa tahu bahwa dia bekerja disini? "Ratih, manajer memanggilmu. Cepatlah." Lina menyodoknya, segera membuat dia berubah panik. “Ini pelanggan pertamamu! Berusaha lah dengan keras.” Bisik Lina di telinganya.
Ratih hampir menjatuhkan map itu ke lantai namun dia tetap berusaha kuat untuk tenang. Itu adalah kontrak pernikahan. Berisi beberapa kewajiban dan beberapa klausul tentang hubungan bisnis. Dia membaca satu persatu klausul yang tertulis di dalamnya seperti yang di perintahkan.“Jelaskan.” Ratih sudah selesai membaca poin demi poin.“Aku butuh seseorang untuk menjadi tameng.” Ujar Tengku Ammar dengan tatapan datar.“Mengapa harus aku?” Dia mengangkat wajah dan bertemu dengan tatapan mata Tengku Ammar yang sedang menelisiknya.“Tidak ada alasan.” Jawabnya dingin.Ratih menjadi sedikit kesal dengan jawaban ini. Ada ribuan gadis yang akan berbaris untuk mendapatkan kesempatan memegang kontrak ini di Terengganu, mengapa harus dia?“Kalau begitu, aku menolak.” Ratih menutup map dan meletakkannya di meja sofa lalu bangkit untuk pergi. Namun dia segera ingat bahwa pria ini adalah pelanggan pertamanya yang harus dia selesaikan.Melihat gadis itu berbalik, wajah Tengku Ammar menjadi semakin din
Ratih merasakan kepalanya berputar dan berdenging. Namun dia bertahan untuk mendengarkan sampai akhir.“Bicaralah kondisimu. Aku tau kamu butuh uang.” Ujar Tengku Ammar tenang. Dia lalu menyodorkan selembar dokumen berisi keuntungan apa yang akan di peroleh Ratih jika dia setuju menjadi istri bayarannya.“Kamu akan mendapatkan gaji bulanan, dan kompensasi atas malam itu. Tidak perlu khawatir untuk biaya hidup dan kebutuhan lainnya. Aku akan menyediakannya.” Jelas Tengku Ammar dengan nada serius.Ratih sebenarnya tidak punya pilihan lain, selama tiga hari bekerja sebagai Staf penjualan, dia bahkan belum mendapatkan pelanggan satu orangpun. Persaingan disana terlalu ketat. Para staf senior selalu mencuri pelanggan orang lain.Lagipula, mendapatkan pelanggan untuk membeli apartemen mewah itu sedikit sulit karena penjualan property akhir-akhir ini sedang sepi.“Berapa kompensasinya?” Tanya Ratih akhirnya.“Kamu bisa menyebutkan.” Jawab Tengku Ammar murah hati. Ratih merasa senang dengan j