Share

Part 4 Pria MAlam Itu

Ratih tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Abdul yang berbalik dan pergi bersama Miriam di pelukannya. 

Melihat pemandangan di depannya, hati Ratih berdenyut nyeri. Pria ini, mereka telah bersama selama hampir setahun. Mustahil untuk tidak sedih dan kecewa ketika melihat kemesraan mereka. 

Namun, ia tidak bisa memaafkan Abdul. Sama seperti pria itu terhadapnya, sekalipun karena salah paham.

Pada akhirnya, Ratih berbalik pergi.

“Ratih, kamu baik-baik saja?” Lina bertanya dengan cemas melihat wajah merah padam sahabatnya.

Ratih menggeleng. Tampaknya dia harus berhenti menjadi perawat nenek segera. Ia benar-benar ingin memutus hubungan dengan keluarga Aziz.

“Bantu aku menemukan pekerjaan baru dalam waktu dekat,” pintanya pada Lina kemudian. 

Mendengar itu, Lina menghela napas dan mengangguk. “Aku akan bertanya pada manager,” katanya.

Lina bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan penjualan apartemen sebagai petugas penjualan.

Saat itu, Ratih berpikir kalau masalahnya hari itu hanyalah kedatangan mantan kekasihnya dan Miriam saja.

Dia tidak menyangka akan bertemu Nyonya Aziz saat hendak keluar dari rumah sakit.

Sempat Ratih berpikir bahwa Nyonya Aziz ada di sini untuk meminta maaf. Namun, rupanya wanita ini sama sekali tidak merasa bersalah.

“Apakah Miriam mencarimu hari ini?” Nyonya Aziz bertanya. Dagunya terangkat tinggi, tampak sombong.

“Dia mengundangku ke pernikahan mereka. Tapi aku tidak punya waktu untuk hadir,” jawab Ratih dingin.

Nyonya Aziz mendengus. “Sombong. Apa salahnya hanya sekedar datang menunjukkan wajah?"

Ratih tidak tahan lagi dan bertanya dengan wajah muram, “Nyonya, mengapa kamu menjualku pada pria tua itu?” 

“Aku tidak menjualmu. Aku memberimu pilihan yang lebih baik,” Nyonya Aziz terdengar tidak bersalah. “Bukankah kamu butuh uang untuk biaya pengobatan ibumu?” 

“Aku tidak ingin menjual tubuhku!” tukas Ratih dengan wajah merah.

“Ratih, aku membantumu memilih orang yang tepat dan karena itu aku mendapat manfaat. Kamu bisa hidup sebagai istrinya dan tidak perlu bersusah payah untuk bekerja,” ucap Nyonya Aziz tanpa tahu malu. ” Bukankah seharusnya kamu berterima kasih padaku.” 

Ratih sangat kesal sampai dia kehilangan kata-kata untuk menjawab. 

Namun, nasi sudah menjadi bubur.

"Aku ingin mengundurkan diri sebagai perawat nenek," ungkap Ratih kemudian.

Nyonya Aziz segera tertawa terbahak-bahak.

“Hei, kamu tidak bisa begitu!” ucap wanita paruh baya itu. “Kamu tidak tahu? Pamanmu itu berutang pada agen tenaga kerja, dengan alasan biaya pengobatan ibumu! Dan agen tenaga kerja menagih biaya itu pada kami.”

Mata Ratih terbelalak kaget. Kapan itu terjadi?

“Jika kamu menolak untuk percaya, tanyakan pada agenmu.”

Ratih tidak bisa menjawab. Dia menelan ludah dengan susah payah. Ini pertama kalinya dia menyesali keputusannya saat itu menerima tawaran Miriam untuk bekerja sebagai perawat nenek.

"Aku akan mencari pekerjaan lain dan membayarmu," ucap Ratih kemudian dengan pasrah. 

Dia merasa sangat kesal mengapa agen tidak memberitahukan masalah sepenting ini padanya? Seharusnya mereka meminta persetujuannya terlebih dahulu, bukan?

“Tidak masalah, namun passportmu aku tahan sampai kamu melunasinya.” Lanjut Nyonya Aziz dengan acuh tak acuh.

“Satu hal lagi, Jika kamu tidak datang ke pesta Miriam, aku akan menagih sebagian dari hutang itu minggu ini.” Nyonya Aziz tersenyum. “Jadi, kamu harus menyenangkan putri semata wayangku itu ya.”

Mendengar itu, dada Ratih semakin sesak, sementara Nyonya Aziz pergi dengan perasaan puas. 

Biaya penanganan darurat di ICU tanpa jaminan kesehatan sangat mahal. Dia tahu itu pasti bukan jumlah yang sedikit. Sekarang dia hanya punya tabungan kurang lebih tiga ribu ringgit. Itu pun gajinya bulan ini yang belum dibayarkan Nyonya Aziz.

Hingga pada akhirnya, hari itu dia terpaksa datang ke pernikahan Abdul dan Miriam. Di pintu Aula hotel, ada foto pernikahan Abdul dan Miriam. 

Ratih merasa sangat sedih ketika melihat foto ini. Lagipula hotel ini adalah hotel yang sama tempat dia dijebak hari itu. Tampaknya semuanya sudah ditakdirkan.

Dia masuk untuk menemui Nyonya Aziz terlebih dahulu dan memberi tahu mereka bahwa dia sudah hadir di sana dengan niat baik. Namun orang itu malah bersikap acuh tak acuh. Sementara orang tua Abdul sedikit kesal saat melihatnya. Ratih harus tersenyum pahit dan bersikap setenang mungkin.

"Aku mendoakan pernikahan mereka agar bahagia. Aku pergi dulu." Ratih berucap dengan tenang. 

Ratih diam-diam menghela napas lega. Saat hendak mencapai pintu, tiba-tiba dia melihat sekilas sosok yang dikenalnya dari sudut matanya.

Ketika dia melihat orang itu, wajahnya seketika memucat dan tubuhnya menggigil. Tenggorokannya tiba-tiba kering.

Bagaimana bisa ada begitu banyak kebetulan di dunia ini? Mengapa pria itu harus ada di sini?

Melihat lelaki itu berjalan selangkah demi selangkah ke arahnya, Sementara Ratih segera berbalik dan ingin melarikan diri.

Namun–

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status