Ratih tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Abdul yang berbalik dan pergi bersama Miriam di pelukannya.
Melihat pemandangan di depannya, hati Ratih berdenyut nyeri. Pria ini, mereka telah bersama selama hampir setahun. Mustahil untuk tidak sedih dan kecewa ketika melihat kemesraan mereka.
Namun, ia tidak bisa memaafkan Abdul. Sama seperti pria itu terhadapnya, sekalipun karena salah paham.
Pada akhirnya, Ratih berbalik pergi.
“Ratih, kamu baik-baik saja?” Lina bertanya dengan cemas melihat wajah merah padam sahabatnya.
Ratih menggeleng. Tampaknya dia harus berhenti menjadi perawat nenek segera. Ia benar-benar ingin memutus hubungan dengan keluarga Aziz.
“Bantu aku menemukan pekerjaan baru dalam waktu dekat,” pintanya pada Lina kemudian.
Mendengar itu, Lina menghela napas dan mengangguk. “Aku akan bertanya pada manager,” katanya.
Lina bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan penjualan apartemen sebagai petugas penjualan.
Saat itu, Ratih berpikir kalau masalahnya hari itu hanyalah kedatangan mantan kekasihnya dan Miriam saja.
Dia tidak menyangka akan bertemu Nyonya Aziz saat hendak keluar dari rumah sakit.
Sempat Ratih berpikir bahwa Nyonya Aziz ada di sini untuk meminta maaf. Namun, rupanya wanita ini sama sekali tidak merasa bersalah.
“Apakah Miriam mencarimu hari ini?” Nyonya Aziz bertanya. Dagunya terangkat tinggi, tampak sombong.
“Dia mengundangku ke pernikahan mereka. Tapi aku tidak punya waktu untuk hadir,” jawab Ratih dingin.
Nyonya Aziz mendengus. “Sombong. Apa salahnya hanya sekedar datang menunjukkan wajah?"
Ratih tidak tahan lagi dan bertanya dengan wajah muram, “Nyonya, mengapa kamu menjualku pada pria tua itu?”
“Aku tidak menjualmu. Aku memberimu pilihan yang lebih baik,” Nyonya Aziz terdengar tidak bersalah. “Bukankah kamu butuh uang untuk biaya pengobatan ibumu?”
“Aku tidak ingin menjual tubuhku!” tukas Ratih dengan wajah merah.
“Ratih, aku membantumu memilih orang yang tepat dan karena itu aku mendapat manfaat. Kamu bisa hidup sebagai istrinya dan tidak perlu bersusah payah untuk bekerja,” ucap Nyonya Aziz tanpa tahu malu. ” Bukankah seharusnya kamu berterima kasih padaku.”
Ratih sangat kesal sampai dia kehilangan kata-kata untuk menjawab.
Namun, nasi sudah menjadi bubur.
"Aku ingin mengundurkan diri sebagai perawat nenek," ungkap Ratih kemudian.
Nyonya Aziz segera tertawa terbahak-bahak.
“Hei, kamu tidak bisa begitu!” ucap wanita paruh baya itu. “Kamu tidak tahu? Pamanmu itu berutang pada agen tenaga kerja, dengan alasan biaya pengobatan ibumu! Dan agen tenaga kerja menagih biaya itu pada kami.”
Mata Ratih terbelalak kaget. Kapan itu terjadi?
“Jika kamu menolak untuk percaya, tanyakan pada agenmu.”
Ratih tidak bisa menjawab. Dia menelan ludah dengan susah payah. Ini pertama kalinya dia menyesali keputusannya saat itu menerima tawaran Miriam untuk bekerja sebagai perawat nenek.
"Aku akan mencari pekerjaan lain dan membayarmu," ucap Ratih kemudian dengan pasrah.
Dia merasa sangat kesal mengapa agen tidak memberitahukan masalah sepenting ini padanya? Seharusnya mereka meminta persetujuannya terlebih dahulu, bukan?
“Tidak masalah, namun passportmu aku tahan sampai kamu melunasinya.” Lanjut Nyonya Aziz dengan acuh tak acuh.
“Satu hal lagi, Jika kamu tidak datang ke pesta Miriam, aku akan menagih sebagian dari hutang itu minggu ini.” Nyonya Aziz tersenyum. “Jadi, kamu harus menyenangkan putri semata wayangku itu ya.”
Mendengar itu, dada Ratih semakin sesak, sementara Nyonya Aziz pergi dengan perasaan puas.
Biaya penanganan darurat di ICU tanpa jaminan kesehatan sangat mahal. Dia tahu itu pasti bukan jumlah yang sedikit. Sekarang dia hanya punya tabungan kurang lebih tiga ribu ringgit. Itu pun gajinya bulan ini yang belum dibayarkan Nyonya Aziz.
Hingga pada akhirnya, hari itu dia terpaksa datang ke pernikahan Abdul dan Miriam. Di pintu Aula hotel, ada foto pernikahan Abdul dan Miriam.
Ratih merasa sangat sedih ketika melihat foto ini. Lagipula hotel ini adalah hotel yang sama tempat dia dijebak hari itu. Tampaknya semuanya sudah ditakdirkan.
Dia masuk untuk menemui Nyonya Aziz terlebih dahulu dan memberi tahu mereka bahwa dia sudah hadir di sana dengan niat baik. Namun orang itu malah bersikap acuh tak acuh. Sementara orang tua Abdul sedikit kesal saat melihatnya. Ratih harus tersenyum pahit dan bersikap setenang mungkin.
"Aku mendoakan pernikahan mereka agar bahagia. Aku pergi dulu." Ratih berucap dengan tenang.
Ratih diam-diam menghela napas lega. Saat hendak mencapai pintu, tiba-tiba dia melihat sekilas sosok yang dikenalnya dari sudut matanya.
Ketika dia melihat orang itu, wajahnya seketika memucat dan tubuhnya menggigil. Tenggorokannya tiba-tiba kering.
Bagaimana bisa ada begitu banyak kebetulan di dunia ini? Mengapa pria itu harus ada di sini?
Melihat lelaki itu berjalan selangkah demi selangkah ke arahnya, Sementara Ratih segera berbalik dan ingin melarikan diri.
Namun–
"Ratih, kenapa pergi? Kamu belum makan jamuan pernikahan." Miriam, si jalang itu, benar-benar muncul dan bahkan mencengkeramnya.Ratih menggertakkan giginya karena marah dan merendahkan suaranya,"Miriam, lepaskan aku. Jangan membuat keributan."Miriam tertegun dan tanpa sadar melepaskannya.Ratih menghela napas lega, tetapi dia tidak menyangka suara pria di belakangnya terdengar perlahan,"Nona, Kamu ...?"“Tengku Ammar, ini teman yang bekerja sebagai perawat Nenek di rumahku. Sudah kami anggap seperti keluarga sendiri.” Miriam segera menarik Ratih dan memperkenalkannya kepada Tengku Ammar.Ratih ditarik oleh Miriam dan hampir jatuh. Untungnya, Abdul memegangnya dan bertanya dengan khawatir,"Apakah kamu baik-baik saja?"Wajah Miriam menjadi gelap dan dia melotot ke arah Abdul dengan tatapan tidak senang. Kemudian dia diam-diam mendorong Ratih ke arah Tengku Ammar dengan paksa, bermaksud melihat Ratih mempermalukan dirinya sendiri. Tengku Ammar menangkapnya dengan cepat.Semua orang
Tengku Ammar masih duduk di ruang kerjanya dengan wajah muram. Ditangannya ada satu eks majalah Melayu News edisi minggu depan. Dia segera melemparnya ke tempat sampah. “Apa ini semua rencana ibu?” Ia bertanya pada Imran yang mematung di depan meja. Imran sedikit ragu untuk menjawab. Majalah ini memang di kirimkan oleh Nyonya besar Shah Alam langsung ke meja Tengku Ammar pagi ini. Belum dicetak dan di pasarkan. Dia dengan mudah dapat menebak niat pihak lain mengirimkan majalah ini ke meja Tuannya.“Dimana dokumen tentang gadis itu?” Tengku Ammar bertanya dengan wajah dingin. Imran dengan patuh mengambil sebuah map di lemari dokumen rahasia. “Tuan, apakah anda yakin akan terlibat dengan gadis ini?” Imran mau tidak mau memberanikan diri bertanya. Dia sebenarnya tidak punya kualifikasi untuk mempertanyakan tindakan yang diambil atasannya, namun ini sebagian besar menyangkut kehidupan pribadi Tuannya. “Dia adalah target yang cocok.” Sinar kelicikan
Dia segera mengangkat kepalanya dan menatap pria itu. Tidak semua orang punya wajah yang tampan. Jelas itu adalah pria yang pernah tidur dengannya tempo hari. Dia segera menundukkan kepalanya. Berusaha membuat dirinya tidak terlihat sehingga pria itu tidak bisa mengenalinya."Nila, kemarilah. Temani Tuan Ammar melihat apartemen." Manajer itu tiba-tiba memanggil petugas penjualan senior yang sangat cantik untuk menemani pelanggan baru itu. Ratih segera menghela napas dan berbalik menuju kursi sofa di lobi, namun sebelum punggungnya menyentuh sofa, sebuah suara bariton yang familiar terdengar menggelitik di telinganya.“Ratih, aku ingin Nona Ratih yang menemaniku.” Pikiran Ratih hampir meledak. Ah, bagaimana pria itu bisa tahu bahwa dia bekerja disini? "Ratih, manajer memanggilmu. Cepatlah." Lina menyodoknya, segera membuat dia berubah panik. “Ini pelanggan pertamamu! Berusaha lah dengan keras.” Bisik Lina di telinganya.
Ratih hampir menjatuhkan map itu ke lantai namun dia tetap berusaha kuat untuk tenang. Itu adalah kontrak pernikahan. Berisi beberapa kewajiban dan beberapa klausul tentang hubungan bisnis. Dia membaca satu persatu klausul yang tertulis di dalamnya seperti yang di perintahkan.“Jelaskan.” Ratih sudah selesai membaca poin demi poin.“Aku butuh seseorang untuk menjadi tameng.” Ujar Tengku Ammar dengan tatapan datar.“Mengapa harus aku?” Dia mengangkat wajah dan bertemu dengan tatapan mata Tengku Ammar yang sedang menelisiknya.“Tidak ada alasan.” Jawabnya dingin.Ratih menjadi sedikit kesal dengan jawaban ini. Ada ribuan gadis yang akan berbaris untuk mendapatkan kesempatan memegang kontrak ini di Terengganu, mengapa harus dia?“Kalau begitu, aku menolak.” Ratih menutup map dan meletakkannya di meja sofa lalu bangkit untuk pergi. Namun dia segera ingat bahwa pria ini adalah pelanggan pertamanya yang harus dia selesaikan.Melihat gadis itu berbalik, wajah Tengku Ammar menjadi semakin din
Ratih merasakan kepalanya berputar dan berdenging. Namun dia bertahan untuk mendengarkan sampai akhir.“Bicaralah kondisimu. Aku tau kamu butuh uang.” Ujar Tengku Ammar tenang. Dia lalu menyodorkan selembar dokumen berisi keuntungan apa yang akan di peroleh Ratih jika dia setuju menjadi istri bayarannya.“Kamu akan mendapatkan gaji bulanan, dan kompensasi atas malam itu. Tidak perlu khawatir untuk biaya hidup dan kebutuhan lainnya. Aku akan menyediakannya.” Jelas Tengku Ammar dengan nada serius.Ratih sebenarnya tidak punya pilihan lain, selama tiga hari bekerja sebagai Staf penjualan, dia bahkan belum mendapatkan pelanggan satu orangpun. Persaingan disana terlalu ketat. Para staf senior selalu mencuri pelanggan orang lain.Lagipula, mendapatkan pelanggan untuk membeli apartemen mewah itu sedikit sulit karena penjualan property akhir-akhir ini sedang sepi.“Berapa kompensasinya?” Tanya Ratih akhirnya.“Kamu bisa menyebutkan.” Jawab Tengku Ammar murah hati. Ratih merasa senang dengan j
Ingin menahan buku nikah?Namun buka cuma buku nikah yang di tahan, Kartu identitas dan passport juga ditahan.“Ini bukan pernikahan namanya. Ini hanya pindah majikan.” Geramnya kesal sambil melangkah pergi.Mendengar kata-katanya, wajah tampan Tengku Ammar berubah menjadi hitam.“Kamu! Berhenti disana!” Perintahnya dingin.Ratih berbalik dengan kesal.“Ada apa lagi? Bukankah kita sudah menikah? Apalagi yang kamu mau?” Dia bertanya dengan kesal. Entah mengapa setiap melihat pria ini dia merasa emosinya sedikit meledak-ledak.Namun belum sempat Tengku Ammar mengatakan apapun, kepala Ratih tiba-tiba pusing. Dia berdiri dengan sempoyongan dan hampir jatuh. Melihat itu Tengku Ammar segera mendekat dengan curiga. Apa ini trik seorang gadis?Karena kepalanya sangat pusing, Ratih segera berjongkok di tanah. Ada apa dengan tubuhnya, dia sudah sarapan tadi pagi, kenapa tiba-tiba pusing?Tak lama kemudian rasa sakit tiba-tiba menyerang perut bagian bawahnya. Dia dengan cepat memegang perutnya s
Wajah Ratih memucat, tubuhnya terasa ingin pingsan lagi. Ketika dia tahu dia hamil, dunia sepertinya sudah berakhir. Bagaimana dia bisa pulang dengan bayi? Lagipula, apakah bayi ini diinginkan oleh Tengku Ammar? Mereka hanya terikat kontrak."Apa kamu tidak minum pil pagi itu?" Tengku Ammar bertanya."Pil?" Kening Ratih berkerut. Apakah itu pil aborsi?Melihat Ratih yang kebingungan, Tengku Ammar segera ingat bahwa gadis ini sangat awam tentang masalah ini. "Lupakan saja!" Dia melambaikan tangan tidak sabar."Bagaimana kita menyelesaikan ini?" Ratih bertanya dengan perasaan campur aduk. Sejujurnya dia sendiri sangat tidak siap untuk hamil, tapi dia perlu meminta pendapat Tengku Ammar. "Maksudmu?" Kening Tengku Ammar berkerut."Bantu aku mencari dokter aborsi." Dia segera menjawab.Aborsi? "Apa katamu?" Melihat Tengku Ammar melotot engan kaget, nyali Ratih sedikit menciut."Bukankah kamu hanya butuh istri tapi tidak butuh anak?" "Jangan bicara omong kosong!" Ujarnya dengan tatapan
Itu adalah seorang wanita yang anggun dan elegan. Dia tampak berusia awal empat puluhan, dan sosoknya sangat dingin. Dia adalah tipe penampilan yang akan membuat orang sangat terpana pada pandangan pertama. Lagipula, dia tampak sedikit familiar.Tidak tahu mengapa, tetapi ketika melihatnya, Ratih merasa sedikit malu dan segera bangkit. Setelah wanita itu masuk, dia menatapnya dan berkata dengan ringan,"Kamu pasti Ratih!"Ratih mengangguk, tetapi menatapnya dan bertanya dengan bingung,"Maaf, Anda ...?""Saya Nyonya Syah Alam.""Ah? Istri Tengku Ammar?” Ratih terkejut.Bukankah mereka mengatakan bahwa Tengku Ammar belum menikah? Bagaimana dia bisa punya istri?Wajah Nyonya Syah Alam menjadi gelap. Dia mengerutkan kening dan berkata,"Apakah ada yang salah dengan IQ-mu? Bagaimana mungkin Teuku Ammar jatuh cinta pada wanita sepertimu? Apakah informasi ini benar? Bagaimana mungkin selera anakku bisa seburuk itu?""Anda ibunya Tengku Ammar?" Ratih bahkan lebih terkejut."Tapi Anda terliha