Tengku Ammar masih duduk di ruang kerjanya dengan wajah muram. Ditangannya ada satu eks majalah Melayu News edisi minggu depan. Dia segera melemparnya ke tempat sampah.
“Apa ini semua rencana ibu?” Ia bertanya pada Imran yang mematung di depan meja. Imran sedikit ragu untuk menjawab. Majalah ini memang di kirimkan oleh Nyonya besar Shah Alam langsung ke meja Tengku Ammar pagi ini. Belum dicetak dan di pasarkan. Dia dengan mudah dapat menebak niat pihak lain mengirimkan majalah ini ke meja Tuannya. “Dimana dokumen tentang gadis itu?” Tengku Ammar bertanya dengan wajah dingin. Imran dengan patuh mengambil sebuah map di lemari dokumen rahasia. “Tuan, apakah anda yakin akan terlibat dengan gadis ini?” Imran mau tidak mau memberanikan diri bertanya. Dia sebenarnya tidak punya kualifikasi untuk mempertanyakan tindakan yang diambil atasannya, namun ini sebagian besar menyangkut kehidupan pribadi Tuannya. “Dia adalah target yang cocok.” Sinar kelicikan muncul di sudut mata Tengku Ammar. Jika dia tidak menerima sampel cetak majalah itu edisi minggu depan, dia tidak akan mengambil keputusan aneh ini. “Tapi dia bukan berasal dari negera ini?” Lanjut Imran. “Itu lebih baik.” Gumamnya pelan. Dia menelisik beberapa informasi pribadi tentang gadis ini namun matanya berhenti pada foto disudut kanan atas. Foto seorang gadis yang sedang tersenyum tampak murni dan polos. Mata Tengku Ammar lalu berhenti pada bibir itu. Dia tanpa sadar menyentuh bibirnya sendiri. Bayangan potongan ingatan tentang malam panas itu sudah beberapa kali muncul dalam mimpinya. Lekukan tubuh gadis itu, kulitnya yang lembut dan bibirnya yang… Sebuah ketukan memecah keheningan. Ah, dia melamun lagi. Ketika pintu dibuka oleh Imran, wajah ibunya yang tampak bahagia muncul dari balik pintu. Tengku Ammar dengan cepat menutup Map dokumen di tangannya. “Apa kamu sudah mengambil keputusan?” Wanita berusia sekitar pertengahan empat puluhan itu duduk disofa dengan ekspresi acuh tak acuh. “Ibu, tidak perlu mengancamku dengan ini.” Jawab Tengku Ammar dengan nada suara tenang tanpa emosi. Zahrana mendelik tidak senang. “Siapa yang mengancammu? Ibu sudah menahan berita ini agar tidak di terbitkan hampir setahun. Kali ini, ibu tidak bisa lagi menahan media mengekposmu.” Zahrana melirik sampul majalah di tempat sampah yang terletak di sebelahnya. “Aku tau ada seseorang yang menjadi dalang dibalik ini semua.” Ujar Tengku Ammar masih tenang. Mata Zahrana melirik sedikit, dia sebenarnya sedikit khawatir jika Ammar masih bersikap santai dan membiarkan majalah itu di terbitkan awal minggu depan. Bagaimanapun itu terkait dengan reputasi putranya, reputasi keluarga leluhur mereka. Jika berita ini terekspos, semua orang akan membenarkan rumor yang menyebutkan bahwa putranya adalah gay. Lagipula Ammar tidak pernah terlihat menggandeng wanita manapun selama ini. Ada banyak gadis dari kalangan keluarga berada yang mengejarnya selama lebih dari tujuh tahun terakhir, namun dia tetap bersikap dingin terhadap gadis-gadis itu bahkan didepan media. “Apa kamu tidak terganggu dengan rumor itu?” Tanya ibunya lagi. Tengku Ammar hanya melirik sekilas namun matanya kembali fokus pada dokumen di meja. “Ammar, fikirkan reputasi keluarga kita. Fikirkan Ayahmu yang sudah meninggal.” Sambung ibunya lagi. Namun Ammar tetap tidak bergeming. “Bagaimana kalau kamu menerima tawaran ibu untuk menikah dengan Zarina meski sebagai tameng?” Zahrana tidak mau lagi membuang kata-kata dengan putranya yang keras kepala ini. Tujuannya adalah membuat Ammar menikah dengan Zarina. Gadis ini adalah pasangan yang cocok untuk putranya. Ayah Zarina adalah pemilik jaringan perhotelan terbesar di semenanjung timur Malaysia. Selain itu mereka juga sama-sama mempunyai hubungan darah dengan kesultanan Melayu di negeri Sembilan. “Aku sudah punya calon.” Jawab Tengku Ammar tanpa ekspresi. Mata Zahrana segera mendelik kaget. “Apa katamu? Siapa dia? Putri dari keluarga mana?” Tengku Ammar segera bangkit, dia tidak ingin ibunya mengangkat topik ini. Jadi di segera keluar menuju parkiran. Imran mengikutinya hingga ke mobil. “Tuan, Dokumen itu ketinggalan di meja.” Bisik Imran mengingatkan. Mata Tengku Ammar sekilas menunjukkan kepanikan namun dia dengan cepat memberi perintah. “Suruh Sekretaris Naya menyimpan dokumen itu di laci mejaku.” Imran menurut. Setelah perintah itu di selesaikan dia bertanya pada tuannya, “Tuan, kita akan kemana?” “Kantor penjualan apartemen Nagoya Group.” Jawabnya dingin. Sementara Ratih berada dalam ketakutan selama beberapa hari, tetapi Tengku Ammar tidak muncul. Ratih menghela napas lega. Tampaknya semua kekhawatirannya tidak berdasar. Jadi dia mengesampingkan masalah ini dan mulai bekerja keras untuk menghasilkan uang, dengan harapan dapat memperoleh lebih banyak uang untuk biaya ibunya. Kantor Lina kebetulan membutuhkan petugas penjualan, jadi Ratih segera diterima bekerja disana. Pekerjaan ini juga tidak mengganggu jadwal kuliahnya yang sudah di semester lima. "Perhatian semuanya, ada Klien besar yang akan datang hari ini. jadi semua orang harus berusaha bersikap baik dan ramah.” Pagi-pagi sekali, sang manajer memanggil mereka untuk rapat dan mengarahkan petugas kebersihan untuk membantu mereka. Ketika mereka bersiap-siap sebuah merci hitam datang di halaman depan. "Dia sudah datang, Ayo." Semua petugas penjualan memang bertugas di lobi, mereka berdiri di pintu dan menunggu pelanggan datang. Ratihpun ikut melihat dari belakang kerumunan para staf penjualan. "Selamat datang." semua pekerja dan petugas keamanan membungkuk hormat untuk menyambut rombongan mereka. Sedangkan untuk Boss besar itu, dia masuk tanpa ekspresi dengan wajah dingin. Dia bahkan tidak melihat mereka. Dengan pengawal yang mengikutinya di belakangnya, aura di sekelilingnya saja sudah cukup untuk menindas orang. "Tuan Ammar, Apa yang Anda butuhkan? Rumah? Apartemen?" Manajer menemaninya dengan pelayanan level dewa. Siapa namanya? Tengku Ammar?Dia segera mengangkat kepalanya dan menatap pria itu. Tidak semua orang punya wajah yang tampan. Jelas itu adalah pria yang pernah tidur dengannya tempo hari. Dia segera menundukkan kepalanya. Berusaha membuat dirinya tidak terlihat sehingga pria itu tidak bisa mengenalinya."Nila, kemarilah. Temani Tuan Ammar melihat apartemen." Manajer itu tiba-tiba memanggil petugas penjualan senior yang sangat cantik untuk menemani pelanggan baru itu. Ratih segera menghela napas dan berbalik menuju kursi sofa di lobi, namun sebelum punggungnya menyentuh sofa, sebuah suara bariton yang familiar terdengar menggelitik di telinganya.“Ratih, aku ingin Nona Ratih yang menemaniku.” Pikiran Ratih hampir meledak. Ah, bagaimana pria itu bisa tahu bahwa dia bekerja disini? "Ratih, manajer memanggilmu. Cepatlah." Lina menyodoknya, segera membuat dia berubah panik. “Ini pelanggan pertamamu! Berusaha lah dengan keras.” Bisik Lina di telinganya.
Ratih hampir menjatuhkan map itu ke lantai namun dia tetap berusaha kuat untuk tenang. Itu adalah kontrak pernikahan. Berisi beberapa kewajiban dan beberapa klausul tentang hubungan bisnis. Dia membaca satu persatu klausul yang tertulis di dalamnya seperti yang di perintahkan.“Jelaskan.” Ratih sudah selesai membaca poin demi poin.“Aku butuh seseorang untuk menjadi tameng.” Ujar Tengku Ammar dengan tatapan datar.“Mengapa harus aku?” Dia mengangkat wajah dan bertemu dengan tatapan mata Tengku Ammar yang sedang menelisiknya.“Tidak ada alasan.” Jawabnya dingin.Ratih menjadi sedikit kesal dengan jawaban ini. Ada ribuan gadis yang akan berbaris untuk mendapatkan kesempatan memegang kontrak ini di Terengganu, mengapa harus dia?“Kalau begitu, aku menolak.” Ratih menutup map dan meletakkannya di meja sofa lalu bangkit untuk pergi. Namun dia segera ingat bahwa pria ini adalah pelanggan pertamanya yang harus dia selesaikan.Melihat gadis itu berbalik, wajah Tengku Ammar menjadi semakin din
Ratih merasakan kepalanya berputar dan berdenging. Namun dia bertahan untuk mendengarkan sampai akhir.“Bicaralah kondisimu. Aku tau kamu butuh uang.” Ujar Tengku Ammar tenang. Dia lalu menyodorkan selembar dokumen berisi keuntungan apa yang akan di peroleh Ratih jika dia setuju menjadi istri bayarannya.“Kamu akan mendapatkan gaji bulanan, dan kompensasi atas malam itu. Tidak perlu khawatir untuk biaya hidup dan kebutuhan lainnya. Aku akan menyediakannya.” Jelas Tengku Ammar dengan nada serius.Ratih sebenarnya tidak punya pilihan lain, selama tiga hari bekerja sebagai Staf penjualan, dia bahkan belum mendapatkan pelanggan satu orangpun. Persaingan disana terlalu ketat. Para staf senior selalu mencuri pelanggan orang lain.Lagipula, mendapatkan pelanggan untuk membeli apartemen mewah itu sedikit sulit karena penjualan property akhir-akhir ini sedang sepi.“Berapa kompensasinya?” Tanya Ratih akhirnya.“Kamu bisa menyebutkan.” Jawab Tengku Ammar murah hati. Ratih merasa senang dengan j
Ingin menahan buku nikah?Namun buka cuma buku nikah yang di tahan, Kartu identitas dan passport juga ditahan.“Ini bukan pernikahan namanya. Ini hanya pindah majikan.” Geramnya kesal sambil melangkah pergi.Mendengar kata-katanya, wajah tampan Tengku Ammar berubah menjadi hitam.“Kamu! Berhenti disana!” Perintahnya dingin.Ratih berbalik dengan kesal.“Ada apa lagi? Bukankah kita sudah menikah? Apalagi yang kamu mau?” Dia bertanya dengan kesal. Entah mengapa setiap melihat pria ini dia merasa emosinya sedikit meledak-ledak.Namun belum sempat Tengku Ammar mengatakan apapun, kepala Ratih tiba-tiba pusing. Dia berdiri dengan sempoyongan dan hampir jatuh. Melihat itu Tengku Ammar segera mendekat dengan curiga. Apa ini trik seorang gadis?Karena kepalanya sangat pusing, Ratih segera berjongkok di tanah. Ada apa dengan tubuhnya, dia sudah sarapan tadi pagi, kenapa tiba-tiba pusing?Tak lama kemudian rasa sakit tiba-tiba menyerang perut bagian bawahnya. Dia dengan cepat memegang perutnya s
Wajah Ratih memucat, tubuhnya terasa ingin pingsan lagi. Ketika dia tahu dia hamil, dunia sepertinya sudah berakhir. Bagaimana dia bisa pulang dengan bayi? Lagipula, apakah bayi ini diinginkan oleh Tengku Ammar? Mereka hanya terikat kontrak."Apa kamu tidak minum pil pagi itu?" Tengku Ammar bertanya."Pil?" Kening Ratih berkerut. Apakah itu pil aborsi?Melihat Ratih yang kebingungan, Tengku Ammar segera ingat bahwa gadis ini sangat awam tentang masalah ini. "Lupakan saja!" Dia melambaikan tangan tidak sabar."Bagaimana kita menyelesaikan ini?" Ratih bertanya dengan perasaan campur aduk. Sejujurnya dia sendiri sangat tidak siap untuk hamil, tapi dia perlu meminta pendapat Tengku Ammar. "Maksudmu?" Kening Tengku Ammar berkerut."Bantu aku mencari dokter aborsi." Dia segera menjawab.Aborsi? "Apa katamu?" Melihat Tengku Ammar melotot engan kaget, nyali Ratih sedikit menciut."Bukankah kamu hanya butuh istri tapi tidak butuh anak?" "Jangan bicara omong kosong!" Ujarnya dengan tatapan
Itu adalah seorang wanita yang anggun dan elegan. Dia tampak berusia awal empat puluhan, dan sosoknya sangat dingin. Dia adalah tipe penampilan yang akan membuat orang sangat terpana pada pandangan pertama. Lagipula, dia tampak sedikit familiar.Tidak tahu mengapa, tetapi ketika melihatnya, Ratih merasa sedikit malu dan segera bangkit. Setelah wanita itu masuk, dia menatapnya dan berkata dengan ringan,"Kamu pasti Ratih!"Ratih mengangguk, tetapi menatapnya dan bertanya dengan bingung,"Maaf, Anda ...?""Saya Nyonya Syah Alam.""Ah? Istri Tengku Ammar?” Ratih terkejut.Bukankah mereka mengatakan bahwa Tengku Ammar belum menikah? Bagaimana dia bisa punya istri?Wajah Nyonya Syah Alam menjadi gelap. Dia mengerutkan kening dan berkata,"Apakah ada yang salah dengan IQ-mu? Bagaimana mungkin Teuku Ammar jatuh cinta pada wanita sepertimu? Apakah informasi ini benar? Bagaimana mungkin selera anakku bisa seburuk itu?""Anda ibunya Tengku Ammar?" Ratih bahkan lebih terkejut."Tapi Anda terliha
Nyonya Ammar tidak tinggal lebih lama karena Ratih juga harus melalui prosedur pemeriksaan sebelum diizinkan keluar dari rumah sakit. Ketika dia keluar dan menghentikan taksi, dia melihat Abdul datang. Ia tidak menyangka akan melihat mobil yang dikenalnya terparkir di pinggir jalan.Ratih mengerutkan kening dan mengabaikannya saat dia berjalan mendekat.Orang-orang di dalam mobil bergegas membuka pintu dan mengejarnya."Ratih, ayo kita bicara," kata Abdul cemas.Ratih berhenti, berbalik, dan berkata sambil tersenyum dingin,"Apa yang harus kita bicarakan?""Ratih, mengapa kamu begitu kejam padaku?""Abdul, Aku berterima kasih padamu karena meminjamkanku kartu anggota terakhir kali, tetapi kamu membawa Miriam dan yang lainnya ke sana. Jangan bilang kalau kamu tidak punya niat lain."Dia bukan orang bodoh. Dia tahu itu saat melihat Miriam dan yang lainnya hari itu. Abdul melakukannya dengan sengaja. Dia tahu bahwa Ratih ada di sana, tetapi dia tetap membawa mereka bertiga ke sana. Dia i
"Tuan, Dia tidur di sana. Saya memintanya untuk naik ke atas, tetapi dia menolak. Dia meminta saya untuk memberinya selimut dan tidur di sana."Tengku Ammar menoleh dan melihat Ratih sedang tidur di sofa.Dia berteriak sangat keras, tetapi gadis tidak terbangun dan tidur dengan tenang di sofa seperti kerbau.Tengku Ammar tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Menyadari bahwa gadis ini tidak pergi dan tetap tinggal di rumah, amarahnya langsung hilang.“Baiklah, kamu bisa pergi istirahat!” kata Tengku Ammar kepada pengurus rumah tangga dengan nada yang lebih lembut.Kepala pelayan itu mengangguk cepat. Tengku Ammar berjalan ke arah Ratih dan ingin membangunkannya. Karena dia kelihatannya sangat lelap, dia terpaksa membungkuk, mengangkatnya dan menggendongnya ke atas.Kembali ke kamar tidur, dia membaringkannya di tempat tidur. Meski begitu, Ratih tidak terbangun.Tengku Ammar berbaring di sampingnya dan menatap matanya sambil menopang kepalanya dengan tangannya.Sejujurnya, mesk