Share

Part 6

Tengku Ammar masih duduk di ruang kerjanya dengan wajah muram. Ditangannya ada satu eks majalah Melayu News edisi minggu depan. Dia segera melemparnya ke tempat sampah.

“Apa ini semua rencana ibu?” Ia bertanya pada Imran yang mematung di depan meja. Imran sedikit ragu untuk menjawab. Majalah ini memang di kirimkan oleh Nyonya besar Shah Alam langsung ke meja Tengku Ammar pagi ini. Belum dicetak dan di pasarkan. Dia dengan mudah dapat menebak niat pihak lain mengirimkan majalah ini ke meja Tuannya.

“Dimana dokumen tentang gadis itu?” Tengku Ammar bertanya dengan wajah dingin. Imran dengan patuh mengambil sebuah map di lemari dokumen rahasia.

“Tuan, apakah anda yakin akan terlibat dengan gadis ini?” Imran mau tidak mau memberanikan diri bertanya. Dia sebenarnya tidak punya kualifikasi untuk mempertanyakan tindakan yang diambil atasannya, namun ini sebagian besar menyangkut kehidupan pribadi Tuannya.

“Dia adalah target yang cocok.” Sinar kelicikan muncul di sudut mata Tengku Ammar. Jika dia tidak menerima sampel cetak majalah itu edisi minggu depan, dia tidak akan mengambil keputusan aneh ini.

“Tapi dia bukan berasal dari negera ini?” Lanjut Imran.

“Itu lebih baik.” Gumamnya pelan.

Dia menelisik beberapa informasi pribadi tentang gadis ini namun matanya berhenti pada foto disudut kanan atas. Foto seorang gadis yang sedang tersenyum tampak murni dan polos. Mata Tengku Ammar lalu berhenti pada bibir itu. Dia tanpa sadar menyentuh bibirnya sendiri.

Bayangan potongan ingatan tentang malam panas itu sudah beberapa kali muncul dalam mimpinya. Lekukan tubuh gadis itu, kulitnya yang lembut dan bibirnya yang…

Sebuah ketukan memecah keheningan. Ah, dia melamun lagi.

Ketika pintu dibuka oleh Imran, wajah ibunya yang tampak bahagia muncul dari balik pintu. Tengku Ammar dengan cepat menutup Map dokumen di tangannya.

“Apa kamu sudah mengambil keputusan?” Wanita berusia sekitar pertengahan empat puluhan itu duduk disofa dengan ekspresi acuh tak acuh.

“Ibu, tidak perlu mengancamku dengan ini.” Jawab Tengku Ammar dengan nada suara tenang tanpa emosi.

Zahrana mendelik tidak senang.

“Siapa yang mengancammu? Ibu sudah menahan berita ini agar tidak di terbitkan hampir setahun. Kali ini, ibu tidak bisa lagi menahan media mengekposmu.”

Zahrana melirik sampul majalah di tempat sampah yang terletak di sebelahnya.

“Aku tau ada seseorang yang menjadi dalang dibalik ini semua.” Ujar Tengku Ammar masih tenang.

Mata Zahrana melirik sedikit, dia sebenarnya sedikit khawatir jika Ammar masih bersikap santai dan membiarkan majalah itu di terbitkan awal minggu depan. Bagaimanapun itu terkait dengan reputasi putranya, reputasi keluarga leluhur mereka.

Jika berita ini terekspos, semua orang akan membenarkan rumor yang menyebutkan bahwa putranya adalah gay. Lagipula Ammar tidak pernah terlihat menggandeng wanita manapun selama ini.

Ada banyak gadis dari kalangan keluarga berada yang mengejarnya selama lebih dari tujuh tahun terakhir, namun dia tetap bersikap dingin terhadap gadis-gadis itu bahkan didepan media.

“Apa kamu tidak terganggu dengan rumor itu?” Tanya ibunya lagi.

Tengku Ammar hanya melirik sekilas namun matanya kembali fokus pada dokumen di meja.

“Ammar, fikirkan reputasi keluarga kita. Fikirkan Ayahmu yang sudah meninggal.” Sambung ibunya lagi. Namun Ammar tetap tidak bergeming.

“Bagaimana kalau kamu menerima tawaran ibu untuk menikah dengan Zarina meski sebagai tameng?” Zahrana tidak mau lagi membuang kata-kata dengan putranya yang keras kepala ini.

Tujuannya adalah membuat Ammar menikah dengan Zarina. Gadis ini adalah pasangan yang cocok untuk putranya. Ayah Zarina adalah pemilik jaringan perhotelan terbesar di semenanjung timur Malaysia. Selain itu mereka juga sama-sama mempunyai hubungan darah dengan kesultanan Melayu di negeri Sembilan.

“Aku sudah punya calon.” Jawab Tengku Ammar tanpa ekspresi.

Mata Zahrana segera mendelik kaget.

“Apa katamu? Siapa dia? Putri dari keluarga mana?”

Tengku Ammar segera bangkit, dia tidak ingin ibunya mengangkat topik ini. Jadi di segera keluar menuju parkiran. Imran mengikutinya hingga ke mobil.

“Tuan, Dokumen itu ketinggalan di meja.” Bisik Imran mengingatkan. Mata Tengku Ammar sekilas menunjukkan kepanikan namun dia dengan cepat memberi perintah.

“Suruh Sekretaris Naya menyimpan dokumen itu di laci mejaku.”

Imran menurut. Setelah perintah itu di selesaikan dia bertanya pada tuannya,

“Tuan, kita akan kemana?”

“Kantor penjualan apartemen Nagoya Group.” Jawabnya dingin.

Sementara Ratih berada dalam ketakutan selama beberapa hari, tetapi Tengku Ammar tidak muncul. Ratih menghela napas lega. Tampaknya semua kekhawatirannya tidak berdasar.

Jadi dia mengesampingkan masalah ini dan mulai bekerja keras untuk menghasilkan uang, dengan harapan dapat memperoleh lebih banyak uang untuk biaya ibunya.

Kantor Lina kebetulan membutuhkan petugas penjualan, jadi Ratih segera diterima bekerja disana. Pekerjaan ini juga tidak mengganggu jadwal kuliahnya yang sudah di semester lima.

"Perhatian semuanya, ada Klien besar yang akan datang hari ini. jadi semua orang harus berusaha bersikap baik dan ramah.”

Pagi-pagi sekali, sang manajer memanggil mereka untuk rapat dan mengarahkan petugas kebersihan untuk membantu mereka. Ketika mereka bersiap-siap sebuah merci hitam datang di halaman depan.

"Dia sudah datang, Ayo."

Semua petugas penjualan memang bertugas di lobi, mereka berdiri di pintu dan menunggu pelanggan datang. Ratihpun ikut melihat dari belakang kerumunan para staf penjualan.

"Selamat datang." semua pekerja dan petugas keamanan membungkuk hormat untuk menyambut rombongan mereka.

Sedangkan untuk Boss besar itu, dia masuk tanpa ekspresi dengan wajah dingin. Dia bahkan tidak melihat mereka. Dengan pengawal yang mengikutinya di belakangnya, aura di sekelilingnya saja sudah cukup untuk menindas orang.

"Tuan Ammar, Apa yang Anda butuhkan? Rumah? Apartemen?" Manajer menemaninya dengan pelayanan level dewa.

Siapa namanya? Tengku Ammar?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status