Share

Part 8

Ratih hampir menjatuhkan map itu ke lantai namun dia tetap berusaha kuat untuk tenang. Itu adalah kontrak pernikahan. Berisi beberapa kewajiban dan beberapa klausul tentang hubungan bisnis. Dia membaca satu persatu klausul yang tertulis di dalamnya seperti yang di perintahkan.

“Jelaskan.” Ratih sudah selesai membaca poin demi poin.

“Aku butuh seseorang untuk menjadi tameng.” Ujar Tengku Ammar dengan tatapan datar.

“Mengapa harus aku?” Dia mengangkat wajah dan bertemu dengan tatapan mata Tengku Ammar yang sedang menelisiknya.

“Tidak ada alasan.” Jawabnya dingin.

Ratih menjadi sedikit kesal dengan jawaban ini. Ada ribuan gadis yang akan berbaris untuk mendapatkan kesempatan memegang kontrak ini di Terengganu, mengapa harus dia?

“Kalau begitu, aku menolak.” Ratih menutup map dan meletakkannya di meja sofa lalu bangkit untuk pergi. Namun dia segera ingat bahwa pria ini adalah pelanggan pertamanya yang harus dia selesaikan.

Melihat gadis itu berbalik, wajah Tengku Ammar menjadi semakin dingin. Dia segera mencibir.

“Apa kamu berubah fikiran?”

Ratih menghela napas dengan kesal.

“Apa kamu datang kesini tanpa niat untuk membeli rumah? Dan kamu berbohong lalu memberi harapan pada Manajer kami?”

Tengku Ammar sedikit kaget. Berbohong? Kapan dia pernah berbohong dan memberi harapan?

“Karena kamu tidak menjawab, aku akan segera kembali dan melapor pada manajer bahwa kamu menipuku. Kamu sama sekali tidak berniat membeli apartemen.” Setelah menyelesaikan semua kalimat ini, Ratih berbalik dan berjalan ke pintu.

Semua pengawal diluar melihat adegan itu dengan perasaan ngeri. Gadis mana yang pernah bersikap begitu berani di depan bos mereka? Bahkan berani mengancamnya?

Namun sudut mulut Tengku Ammar sudah lama melengkung dengan ekspresi senang. Ketika dia keluar, Imran menghampirinya dengan panik.

“Tuan, apa yang harus kita lakukan? Apakah perlu mengutus orang untuk melenyapkan gadis ini?”

Wajah Tengku Ammar sudah kembali ke ekspresi semula. Datar dan tanpa emosi. Namun ada sedikit rona bahagia melintas di matanya.

“Tidak perlu. Tunggu saja.” Jawabnya dalam suasana hati yang baik.

Rahang Imran hampir jatuh melihat perubahan diwajah Tuannya. Bukankah seharusnya dia bersikap marah dan mengamuk? Dia bukan hanya baru saja di tolak, tapi juga diancam dan dituduh dengan kejam.

Melihat tuannya berbalik ke kantor utama, Imran segera menyusul. Namun mereka tidak masuk dan menemui manajer tapi kembali ke kantor Royal Energy.

Dua hari kemudian, Ratih mendapatkan panggilan telepon dari pamannya. Itu adalah berita buruk tentang ibunya yang harus segera di operasi karena ada gumpalan darah yang membeku di otaknya. Dan sialnya, itu membutuhkan biaya yang sangat besar. Saat ini dia sedang bingung dimana harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu dekat. Dia sudah gagal di misi pertamanya sebagai petugas penjualan.

Namun ketika dia berfikir dia sudah gagal mendapatkan pelanggan pertama dan berniat menjelaskan duduk perkaranya ke manajer, sang manajer datang dengan wajah berseri-seri ke ruangannya.

“Kamu hebat. Kamu benar-benar beruntung. Selamat. Target perdanamu sukses besar.” Dia menepuk pundak Ratih dengan kuat.

Ratih kebingungan. Ada apa ini? Bukankah pria itu tidak berniat membeli apartemen? Pelanggan mana lagi yang datang padanya? Selama dua hari ini hanya Tengku Ammar yang datang sebagai pelanggannya, tidak ada orang lain.

“Maksud anda?” Dia bertanya dengan bingung.

Manajer memperlihatkan kontrak pembelian apartemen pada Ratih. Ratih segera membacanya dengan teliti. Itu tertera atas nama Tengku Ammar! Dan itu adalah kontrak pembelian apartemen sejumlah dua puluh unit!

Ratih segera menghirup napas dingin. Dia benar-benar membeli? Bukan hanya satu tapi dua puluh?

Harga Apartemen mereka jelas tidak murah. Jadi bonus yang dia dapat juga pasti akan sangat banyak. Ratih merasa sangat senang namun juga sedikit waspada.

Apa sebenarnya maksud pria ini?

“Kamu harus datang dan berterima kasih pada Tuan Ammar. Sekalian antarkan kontrak pembelian yang sudah di sahkan oleh notaris. Pastikan dia menanda tangani dengan benar dan bawa salinannya kembali.”

Mendengar itu Ratih segera merasa tidak enak badan. Namun Manajer segera mendorongnya untuk pergi.

“Selesaikan sekarang juga agar bonusnya cepat cair.”

Kakinya sangat berat melangkah ke Kantor mewah Royal Energy. Ketika dia diantar langsung ke ruang eksekutif CEO, kakinya semakin lemah tak bertenaga. Baru dua hari yang lalu dia mengancam pria ini dengan berani, namun sekarang dia harus datang menebalkan muka untuk berterima kasih.

Ketika dia masuk, Tengku Ammar sedang fokus pada dokumen tebal di mejanya.

“Tuan, petugas penjualan sudah datang.” Ujar sekretaris. Tengku Ammar tidak merespon, dia tetap fokus pada dokumen.

Ratih merasa dirinya seperti sedang disidang karena melakukan kejahatan.

“Tuan, Aku ingin berterima kasih atas pembelian anda.” Ujar Ratih dengan suara rendah.

Mendengar nada bicara gadis ini yang melunak, Tengku Ammar mengangkat wajahnya.

“Apa maksudmu?” Dia bertanya dengan kening berkerut.

“Kami ingin berterima kasih karena sudah bersedia membeli apartemen itu dan ini kontraknya. Mohon di tanda tangani.” Dengan itu dia segera maju dan menyodorkan kontrak itu ke meja Tengku Ammar.

“Bawa ini kembali. Aku membatalkan rencana pembelian apartemen dan akan segera membatalkan transaksi bank.” Dia menjawab dengan dingin.

“Apa katamu?” Ratih berteriak tanpa sadar. Pria ini sangat plin plan.

“Kamu bersikap tidak sopan jadi aku ingin membatalkannya.” Jawabnya tanpa rasa bersalah.

“Tengku Ammar…kamu…” Ratih kehilangan kata-kata. Dia menghela napas panjang. Dia bisa mati karena marah pada orang tidak tahu malu seperti Tengku Ammar ini.

“Bicara! Apa maumu?” Teriak Ratih putus asa. Ketika gadis itu mengatakan ini, sudut mulut Tengku Ammar melengkung sedikit. Dia bangkit dengan map ditangannya.

“Mari kita bicara.” Nadanya masih sama namun tatapan kemenangan terlihat jelas dimatanya.

Mereka segera pindah ke sofa. Namun ketika Ratih duduk dengan marah, roknya yang pendek naik jauh keatas menampakkan paha mulus putih. Karena Tengku Ammar duduk di hadapannya, dia dengan mudah dapat melihat pemandangan musim semi itu lagi.

Tangannya bahkan masih bisa merasakan bagaimana halusnya kulit itu ketika dia menyentuhnya malam itu. Bagaimana dia dengan senang memegang pinggang kecil gadis di depannya itu.

“Apa yang kamu inginkan?” Suara cemberut gadis itu bahkan terdengar manja dan menggemaskan di telinganya. Ah, sial! fikirannya mengembara lagi.

Tengku Ammar merasakan tenggorokannya sedikit kering dan wajahnya memerah sedikit. Dia kemudian menyodorkan map yang kemarin.

“Menikahlah denganku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status