“Apa yang kamu lakukan? Pergi dariku!” Yura beringsut dan mundur, tapi Dony lebih cekatan, segera memeluk paksa Yura. Dony hampir saja mengungkung Yura jika ponselnya tak bergetar.Drrt! Drrt“Sial! Siapa sih yang menghubungi di saat seperti ini?” gumam Dony penuh kekesalan.Dony segera melihat siapa yang memanggil? ternyata Damian yang memanggil.“Halo, Dony? Ini Damian. Kamu harus segera ke perusahaan sekarang. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan mengenai bisnis.”Dony mengernyit bingung. “Bisnis? Sekarang? Kenapa begitu mendadak, Kak? Aku bahkan belum sarapan.Damian terdengar marah. “Tak peduli, ini penting. Aku butuh kamu di sini secepatnya. Jangan buang-buang waktu lagi, segera datang ke perusahaan.”“Baik. Aku ke sana sekarang!”Selesai panggilan, Dony mendekati Damian, ingin melanjutkan aksinya. Namun, Yura segera menggeleng dan meyakinkan Dony. “Kamu harus segera ke perusahaan, kenapa masih mengulur waktu?”“Aku ingin bersenang senang dahulu.”Dony segera mengungkung Yu
"Setelah selesai acara pernikahan, segera rayu Tuan Dony untuk melakukan kewajibannya. Jika kamu tak mau melakukannya, Ayahmu yang sedang koma itu ....""Jangan! Tolong jangan hentikan pengobatan Ayah. Aku akan melakukan apapun yang kamu suruh," ucap Yura terbata."Anak pintar!" puji Madam Serly dengan seringainya.Kini, Yura terperangkap dalam kehidupan menyedihkan. Dia harus melaksanakan perintah Madam Serly, jika ingin ayahnya bangun dari koma. Entah motif apa yang dimiliki Serly sehingga membuat Yura sebagai bonekanya.Pertama, Yura harus menikah dengan Dony Baskoro. Anak kedua Baskoro, keluarga konglomerat di kota Jakarta. Yura yang sebenarnya bernama Yuna Anjela diperkenalkan dengan nama Yura, Yura putriana. Anak ketiga dari keluarga Raharjo, yang tak lain suami Serly.Kedua, Serly meminta Yura tidur dengan Dony setelah malam pernikahan sebagai bukti diterima oleh keluarga Baskoro. Apakah mungkin?Pernikahan ini hanyalah sebagai jembatan pemersatu dari kedua belah pihak dalam ha
"Cari saja lelaki lain."Damian melepas kasar tangan Yura, membuat tubuhnya oleng dan meringis kesakitan. "Ish, kamu kasar sekali."Namun, Yura tak patah arang, kembali mendekatkan tubuhnya. "Katakan padaku bahwa kamu begitu menikmati ciuman kita tadi? Apa aku salah, Tuan? Kita sama-sama menginginkan--"MmphTanpa mampu menahan diri, Damian mendekatkan wajahnya ke Yura, sebuah sentuhan lembut yang menghanguskan setiap helaan napas. Napasnya tercekat, gejolak dalam dada memuncak tak terbendung. "Semoga kau tidak menyesal kali ini," bisiknya dengan lembut, membiarkan momen itu menghentikan realitas sejenak di antara mereka.Akh.Yura digendong ala bridal, dimasukkan ke dalam mobil Jeep. Tak peduli lagi, Damian akan melanjutkannya di dalam sana."Tolong, hentikan!" rintih Yura saat Damian menciumi leher jenjangnya."Terlambat untuk memohon berhenti.""Jangan, jangan di sini! Maksudku, kita bisa melakukannya di tempat lain."Damian merasa kecewa, harus menahan rasa untuk sesaat. Dengan em
“Yura, jawab aku!”Hening.Dony menyimpulkan jika Yura benar-benar terlelap. Saat ini suasana hatinya sedang baik dan Yura pun sudah tidur, jadi Dony memutuskan untuk menanyakan kembali besok pagi.Pagi hari."Cepat periksa!" titah Sherly.Akh."Tolong, hentikan!"Yura diseret paksa oleh tiga ART Sherly menuju ruang seperti laboratorium. Mereka membaringkan Yura dengan memegang tangan dan kakinya. Masuk seorang Dokter dan mulai memeriksa Yura. Mereka tak peduli pada wanita yang memohon ampun saat ini. Hampir 30 menit, Yura diperiksa di dalam sana dan dilepaskan setelah pemeriksaan selesai."Bagaimana hasilnya?""Sudah robek."Bibir Sherly tersungging hingga semua gigi terlihat jelas. Puas akan hasil yang baru saja didengar. Di dekati Yura yang kini duduk bersimpuh di hadapannya. Tangan lentik itu menarik kasar dagu Yura agar terlihat jelas kesedihan di mata anak angkatnya."Kamu sungguh pintar, Yura. Terus bersikap baik sebagai menantu Baskoro agar pengobatan Ayahmu terus berjalan. Cu
“Apa kamu cemburu, Dony?” tanya Damian mengejek adiknya.“Apa?” Dony segera tersenyum manis. “Aku tidak peduli.”Dengan gerak-gerik gelisah, Damian mencoba melepaskan diri dari genggaman benalu itu setelah berhasil memprovokasi Dony. Hal itu sukses membuat Dony nyaris tak bisa menyembunyikan kemarahan, wajahnya memerah, seolah menyimpan gunung berapi yang siap meletus. Dalam dera cemburu yang terang-terangan, dia nyaris kehilangan kendali."Silahkan duduk," ucap Damian menyambut kedatangan Dony dan Yura. “Silahkan menikmati hadiah jamuan makan dariku.”Dony dan Yura segera duduk di kursi kosong depan Damian. Mereka makan berbagai menu yang disajikan. Damian yang duduk tepat di depan Yura, sesekali melemparkan senyum simpul ke arah Yura yang sedang sibuk memilih menu. Sorot matanya seolah menggambarkan kekaguman yang tersimpan.Sementara itu, Dony, yang duduk di samping Yura, tampak mengiris steaknya dengan kasar, begitu keras hingga suara gesekan pisau terdengar nyaring di antara deru
"Jangan berteriak! Meski aku sedang terluka, aku bisa saja membunuhmu.”AkhDamian mengerang kesakitan.Di luar rumah."Ke mana perginya?""Dia terluka parah, jadi mana mungkin dia bisa kabur secepat itu. Cepat cari sekitar!"Suara di luar kediaman Dony sangat ramai dengan banyaknya lelaki berpakaian hitam dan memakai masker.Damian menyeret tubuhnya, duduk bersandar di dinding kamar. Dia bisa bernapas lega saat orang-orang misterius itu pergi. Yura berdiri dan mundur, merasa gemetar di seluruh tubuh melihat Damian yang kesakitan. Memori saat keluarga tercinta dibantai habis-habisan kembali muncul di benaknya. Hanya tersisa Ayah yang terkulai dalam koma, saat ini."Yura, papah aku!"'Perlukah aku membunuhnya saat dia terluka? Asalkan aku berteriak, dia akan mati di sini. Maka, kejadian malam itu tak akan ada yang tahu,' batin Yura.Melihat Yura tak bergeming, mata yang semula penuh harap itu seketika sirna, beralih kilatan tajam bak elang yang siap membunuh. "Ternyata kamu sama saja d
Satu jam sebelumnya.Brengsek!Dony membanting tas kerja. Dia baru saja pulang dari bisnisnya. Melihat itu, Yura mendekat, memastikan apa yang telah terjadi. "Ada apa, Dony?""Damian, kakak keparat itu telah mendahului pertemuan bisnis dengan klien Kakek Luhan di luar negeri. Dia telah memenangkan bisnis di Dubai dengan membeli saham dan lahan untuk memperluas bisnisnya. Sial!"Yura tak paham, dengan polosnya bertanya. "Bukankah kalian keluarga? Kenapa kakakmu harus bersaing dengan Kakek Luhan?""Tentu saja karena dendam," jelas Dony yang segera menutup mulutnya. Dia sadar betul telah membocorkan rahasia besar yang terjadi tiga tahun lalu."Apa maksudmu, dendam?""Ah, aku salah bicara. Buatkan aku teh sana!" usir Dony mengalihkan kecurigaan Yura.Bukankah istri harus patuh kepada suami, meski tak ada cinta di antara mereka?Yura dengan patuh membuatkan segelas teh chamomile dan mengantarkan pada sang suami. Saat sampai di ruang tamu, tangan Yura mengepal erat gagang teh hingga isi di
"Berkas itu sangat penting bagiku. Katakan saja, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memberikannya padaku?"Damian sungguh senang, Yura memberinya penawaran yang cukup berani. Tanpa ragu mendekatkan diri dan memandang intens wajah cantik bak dewi yunani itu. Tatapan lembut dan meneduhkan meski terbalut rasa takut dan kesepian."Bekerja di Perusahaan dan jadi wanitaku."Seketika Yura menggenggam erat tasnya, reaksi penolakan dari permintaan Damian. "Apakah tak ada cara lain? Aku tak bisa. Aku …, tak bisa meninggalkan Dony.""Yura, aku sama sekali tidak percaya dengan kesetiaan orang. Semua keyakinan tanpa ragu karena taruhan, tidak akan cukup 'kan?"Damian mendekat dan menarik dagu Yura dengan satu tangannya. Terselip emosi dan kecemburuan di dalamnya. "Seberapa besar cinta Dony di dalam hatimu?"'Dibaliknya, ada keselamatan Ayahku. Ada kenyataan yang belum terungkap tentang pembantaian keluargaku.'"Aku tidak bisa hidup tanpa dia."Prok prok prok.Damian bertepuk tangan sendiri d
“Apa yang kamu lakukan? Pergi dariku!” Yura beringsut dan mundur, tapi Dony lebih cekatan, segera memeluk paksa Yura. Dony hampir saja mengungkung Yura jika ponselnya tak bergetar.Drrt! Drrt“Sial! Siapa sih yang menghubungi di saat seperti ini?” gumam Dony penuh kekesalan.Dony segera melihat siapa yang memanggil? ternyata Damian yang memanggil.“Halo, Dony? Ini Damian. Kamu harus segera ke perusahaan sekarang. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan mengenai bisnis.”Dony mengernyit bingung. “Bisnis? Sekarang? Kenapa begitu mendadak, Kak? Aku bahkan belum sarapan.Damian terdengar marah. “Tak peduli, ini penting. Aku butuh kamu di sini secepatnya. Jangan buang-buang waktu lagi, segera datang ke perusahaan.”“Baik. Aku ke sana sekarang!”Selesai panggilan, Dony mendekati Damian, ingin melanjutkan aksinya. Namun, Yura segera menggeleng dan meyakinkan Dony. “Kamu harus segera ke perusahaan, kenapa masih mengulur waktu?”“Aku ingin bersenang senang dahulu.”Dony segera mengungkung Yu
Yura berdiri untuk saat yang lama di depan kediaman Dony yang megah, memberanikan diri mengatasi apapun yang akan terjadi.Teringat akan ucapan Damian. "Kuperingatkan sekali lagi, kamu hanya milikku dan tak ada yang boleh menyentuhmu selain aku, bahkan Dony. Awas saja jika Dony berhasil menyentuhmu, akan aku cincang tubuh kesayangan ini. Kamu mengerti, kelinci kecil?"Ancaman Damian sungguh nyata, berdengung terus di telinga membuat Yura menggeleng kuat. Dia sungguh takut dengan ancaman Damian tapi Dony adalah suami sahnya. Terlebih Damian mau menerima Jenny sebagai istrinya. Otak Yura benar-benar bingung saat ini.KrekhDi buka perlahan pintu rumah, suasana sangat sepi dan gelap. Namun, terdengar suara aneh dari sudut ruangan. Yura memutuskan untuk naik ke lantai dua, kamar tidurnya berada. Baru menaiki tangga, terdengar suara yang mengganggu indera pendengarannya. Yura tersenyum kecut, menyadari jika Dony sedang bersenang senang saat ini.Dengan siapa?Tentu saja dengan kekasih gela
Semua berkumpul untuk menyaksikan acara inti dari perusahaan Kakek Luhan. Saat ini dia menyerahkan wewenangnya kepada Dony, bukan Damian. Semua orang yang datang merasa kecewa karena investor terbesar adalah Damian dan mereka berharap bisa bekerja sama dengan Damian. Jika saja Luhan menggabungkan kekuatan dengan Damian, pasti perusahaan mereka tak akan tertandingi di kota ini. Namun, Damian tak mau dan berdiri sendiri.Pesta telah usai dan Sherly membawa Yura serta Yola pulang ke kediamannya. Yura menatap Sherly dengan mata yang penuh ketakutan saat mereka memasuki rumah megah itu. Sherly, dengan langkah cepatnya, segera memerintahkan Yura dan Yola untuk berdiri setengah kaki, dengan lutut menumpu lantai yang dingin dan keras.“Diam di sana dan jangan bergerak sesuai perintahku!”Sherly kemudian mengambil cambuk yang tergantung di dinding, tangannya menggenggam erat gagang cambuk tersebut seolah-olah itu adalah senjata yang akan menghukum kesalahan fatal.Tanpa peringatan, cambukan ke
“Apa?”Yura sama sekali tak memikirkan kemungkinan ini. Dirinya tersentak saat Damian lagi lagi mencengkeram dagunya. Tangan berusaha sekuat tenaga untuk lepas.“Bagaimana kalau Dony lihat kau berada di bawah tubuh seorang pria, saat ini? Itu akan lebih menyenangkan, bukan?”Yura berontak, berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Damian.“Ku telepon dia sekarang. Kuminta dia naik ke sini. Bagaimana?”Damian mengambil ponsel dan Yura segera merebutnya. “Aku memang mau membalas Dony, tapi … aku tidak mau melibatkan Anda, Tuan. Kalau tersebar rumor, hal ini akan merusak nama baik Tuan Damian.”Damian tersenyum, “mulutmu memang manis. Kuharap kamu berkata jujur. Jika tidak, kau akan mati.”Damian perlahan menurunkan dress yang dikenakan Yura, menyentuh kulit seputih susu itu dan bersiap mengungkungnya. Namun, detik berikutnya …Damian mengembalikan tali lengan gaun itu ke asal dan berniat pergi meninggalkan Yura. Namun, Yura malah mencium mesra Damian. Hanya sepersekian detik, Yura menarik
"Halo.""Datanglah!"Suara Damian terdengar dari seberang sana, dingin dan mendesak."Apa?""Kembali ke ruangan tadi! Yola menunggumu," ujar Damian dengan nada yang tidak dapat ditolak."Ba-- baik."Yura menelan ludah, kebingungan menyelimuti pikirannya. Ia berdiri di tengah koridor yang sepi, merasa berat untuk melangkah kembali ke ruangan dimana ia tahu Yola menunggunya dengan berbagai pertanyaan yang mungkin tidak bisa ia jawab. Namun, perintah Damian tidak bisa ia abaikan.Langkah Yura pelan namun pasti, mendekati ruangan yang tadi ia tinggalkan. Setiap detik terasa seperti jam, dan dengan setiap langkah, jantungnya berdegup kencang. Sesampainya di depan pintu, ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi situasi yang tidak ia ketahui.Yura menghela napas besar, mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Dengan perlahan, ia membuka pintu. Matanya langsung tertuju pada sosok Yola yang duduk bersimpuh dengan tegang
Acara perjamuanPertemuan sesama pebisnis di gedung perusahaan kakek Luhan dilaksanakan. Banyak sekali yang hadir di acara tersebut termasuk Sherly dan kedua anaknya, Yura dan Yola. Yola, inilah gadis yang akan dipertemukan dengan Damian. Mereka duduk di kursi tamu VIP dengan Sherly, sebagai besan kakek Luhan.Ruang perjamuan itu dipenuhi dengan hiruk-pikuk suara percakapan dan gelak tawa. Lampu gantung kristal yang mewah menerangi ruangan dengan cahaya lembut yang memantulkan kilauan pada gelas-gelas berisi minuman beralkohol. Meja-meja yang tersusun rapi dipenuhi dengan sajian makanan gourmet yang menggugah selera; dari hidangan laut yang segar hingga pilihan keju eksotis, semuanya disajikan di atas piring porselen yang elegan.Di sudut ruangan, sebuah panggung kecil didirikan untuk musik live yang memainkan melodi-melodi menghibur, menambah semarak suasana perjamuan tersebut. Meskipun suasana begitu meriah, Yura yang duduk di kursi VIP terlihat gelisah, mencoba menyesuaikan diri de
Haruskah aku meladeni Yura, atau sekali lagi mengingatkan dia untuk menjaga jarak?" Damian bergumam seraya merenung.Terasa berat untuk mengambil keputusan, karena bagaimanapun, ia tak ingin menyakiti perasaan siapa pun. Mata Damian terasa berat, tetapi dia tahu ini adalah langkah yang harus diambil. Untuk masa depannya, untuk kedamaian batinnya, Yura harus menjadi bagian dari masa lalu yang tak terulang kembali.Malam itu, Damian menghabiskan waktu dengan membaca buku, mencoba mengalihkan pikirannya dari segala yang berhubungan dengan Yura.Di sisi lain, Serly tampak menggenggam ponsel dengan kesal. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar karena amarah yang tak tertahan. "Kenapa Damian tidak mengangkat teleponnya?" desisnya dengan suara serak. Yura yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menunduk, menahan rasa takut yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bagaimana tidak? Dia sudah berjanji tak akan mengganggu Damian lagi. Kini Serly malah menghubungi Damian melalui ponselnya.Serly berjalan m
"Mulai detik ini, kamu tidak perlu lagi bekerja dan pergilah! Jangan pernah muncul kembali di hadapanku sebelum kamu berubah pikiran," ucapnya dengan nada yang keras dan tajam. Kata-katanya terdengar begitu kasar, menyayat hati, seolah mengusir Yura dari hidupnya.Yura terpaku, matanya memandang Damian dengan tatapan yang tidak percaya. Wajahnya yang sedari tadi terlihat sedih, kini terlihat semakin pucat, bibirnya bergetar, dan mata yang kini terlihat sayu. Dia menundukkan kepalanya, mengambil napas dalam-dalam, dan tanpa sepatah kata, dia berbalik pergi meninggalkan Damian yang masih berdiri di balik jendela kantornya, dengan rasa penyesalan yang mulai memenuhi ruang hatinya.Yura berlari dengan langkah terburu-buru menuju toilet, pintunya terbanting keras saat ia memasuki ruangan itu. Dalam keheningan yang pekat, hanya suara isak tangis Yura yang memecah kesunyian. Air mata mengalir deras membasahi pipinya yang memerah, setiap tetesnya menandai kekecewaan yang mendalam.Di balik pi
“Andy, pergilah ke apartemen dan pastikan Yura masih ada di sana.”“Apa? Anda dan Yura, bos, kalian?”“Sudahlah. Pergi dan pastikan keberadaan Yura. Jika masih di apartemen, segera usir dia.”“Apa? Mengusirnya Bos?”“Iya, apakah kamu tuli, hah?”“I–iya Bos. Saya akan mengusirnya sekarang juga.”Andy segera pergi ke apartemen Damian. Setelah sampai, dia hampir mengetuk pintu apartemen, tapi hal itu di urungkannya. Dia tahu kode sandi apartemen itu sehingga Andy berpikir tak perlu mengetuk pintu. Segera membuka dan masuk ke dalam apartemen. Dengan tegas, raut wajah tegang dan sikap serius, Andy mendekati Yura yang kini syok melihatnya.“Kamu?” ucap Yura kaget. “Ya, ini saya.” Andy tidak membuang waktu untuk berbasa-basi. "Maaf, Nyonya Yura. Tuan Damian meminta Anda untuk segera meninggalkan apartemen ini," ucap Andy dengan nada tegas dan langsung.Yura terkejut dan kebingungan terpancar dari wajahnya. "Tapi, mengapa? Saya belum siap untuk pergi," katanya dengan suara gemetar, matanya