"Tunggu!"Seketika Yura berhenti. Damian mendekat dan memeluknya dari belakang, mengendus ceruk leher Yura. Seketika Yura kembali meremang. Dengan gemetar, Yura berusaha melepaskan pelukannya. "Tu–tuan Damian, apa yang kamu lakukan. Aku sudah me–""Pelukan sebelum perpisahan. Ingat! Besok pagi kamu harus ada di perusahaan ini. Jika tidak–""Baik Tuan. Sekarang, aku harus pergi."Yura berusaha melepas pelukan dan berlari setelahnya.Andy mengantar Yura pulang, setelah menerima telepon dari Damian yang meminta dirinya mengantar dan memastikan keselamatan gadis itu. Dalam perjalanan, pikiran Andy mulai resah dan pertanyaan demi pertanyaan muncul, 'Ada apa sebenarnya? Apakah Damian menyukai wanita ini? Bukankah wanita ini adalah adik iparnya sendiri?' gumam Andy dalam hati sambil sesekali mencuri pandang ke arah Yura lewat kaca spion mobil.Sementara itu, Yura terlihat cemas dan bingung dengan keadaan yang tengah dihadapi. 'Mengapa Damian begitu mengkhawatirkan keselamatanku? Apa yang seb
"Kamu?"Yura terkejut saat Andi berada di depan rumahnya membawa suatu kotak di tangannya. Dilihat ke segala penjuru tempat, mencari sosok lain yang datang bersamanya. Hal itu membuat Andi tersenyum simpul."Maaf, Nyonya. Aku datang sendirian, Tuan Damian tidak ikut bersamaku. Jadi, Anda tidak perlu khawatir."Yura mengangguk ragu. Seharusnya dia bahagia bukan? Damian tidak akan mengganggunya. Namun, entah mengapa Yura merasa kecewa."I–iya.""Ini. Tuan Damian membelikannya untukmu.""Apa ini?" tanya Yura bingung, menerima boks besar dari Andy."Anda lihat saja. Apa isinya? saya tidak tahu." Andy menatap ke dalam rumah, tampak tak berpenghuni, membuat Andi penasaran dan mulai menyuarakan rasa yang menggelitik pikirannya. "Apakah Anda tinggal sendiri?"Yura menatap ke dalam sekilas lalu menggeser tubuhnya tak nyaman. Seolah menutupi kebenaran. Dia tak boleh terlihat lemah dan takut di mata orang lain. "Dony sedang keluar untuk urusan. Sebentar lagi akan sampai rumah, dia baru saja meng
"Menikah? Milik orang lain? Aku ingin menjadi diriku sendiri, Yura yang bebas melakukan apapun," gerutunya menanggapi pesan Damian.Karena pernikahan ini tanpa cinta, Yura pun tak memikirkan seberapa pentingnya cincin pernikahan. Hingga Damian memberinya, barulah Yura sadar jika satu hal kecil darinya bisa mengubah suasana hati. Yura begitu bahagia.Diselipkan cincin itu di jemari manisnya, dan tidur terlentang di atas kasur empuk. Memikirkan banyak hal tentang perhatian seorang Damian. Lama memikirkan, perut Yura kembali berbunyi. Dia melupakan jam makan malam tadi."Oh ya, ada cake."Yura segera mengambil cake dan membawanya ke meja rias, berniat memakannya di sana. Memandang gambar itu, membuat Yura kembali tak nafsu padahal dia lapar. Yura memutuskan untuk merusak gambar dengan garpu, meliuk liukkan garpu hingga menjadi lukisan abstrak. Merasa lucu, Yura mempunyai ide untuk memotretnya."Aku akan memperlihatkan padamu jika aku bisa merusak gambar cake pesananmu," gumam Yura pada Da
Yura menyeret tubuh lemahnya untuk meminta belas kasihan seorang Sherly. "Maaf, Madam, aku bersumpah tak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Tolong, beri aku satu kesempatan lagi. Jangan putuskan pengobatan Ayahku!" Dalam sekejap, Yura merasakan dunia seakan berputar, sedih dan takut bersamaan mendera. Sherly hanya menatapnya dengan mata yang tajam, bibirnya terkembang dalam senyum sinis. "Baiklah, kali ini aku maafkan, tapi ingat, tak akan ada kesempatan lain. Paham?" Mendengar itu, Yura mengangguk lemah, setiap kata yang meluncur dari bibir Sherly bagai jarum yang menusuk-nusuk jantungnya. Di balik anggukan itu, rasa bersalah dan harapan berbaur menjadi satu, menciptakan gumpalan emosi yang tak terurai.Semua pergi meninggalkan Yura sendirian, merasakan sakit hebat di tubuh. Remuk redam terasa hingga kesulitan menggerakkan tubuh.Yura menangis pilu, hatinya bagai ditusuk berulang kali oleh duri-duri kesedihan. Dia tidak menyesal telah bertemu dengan ayahnya dan menerima hukuman yang
"Wa-ni-ta-mu?""Tentu saja. Bukankah sudah berkali-kali aku mengatakannya, kelinci kecil?" jawab Damian dengan sorot tajamnya. "Apa aku perlu mengingatkannya padamu?"Yura segera menggeleng. Seharusnya tak membahas masalah ini di saat seperti ini. Damian sungguh mudah tersinggung. Padahal, butuh perjuangan untuk mengecoh pengawal yang dikirim Damian tadi. Sedangkan Damian merasa puas karena Yura sungguh patuh padanya."Diam dan ikuti semua perintahku!"Yura mengangguk. Dengan hati-hati, Damian mulai mengobati luka di kening. Ditatap manik mata coklat hazel yang kini bergerak ke kanan kiri, seolah mencari perlindungan diri dari bahaya seorang Damian. Semakin intens, semakin dalam rasa suka Damian padanya.Dagu Yura ditarik hingga tatapan mereka bertemu. Tangan Damian tetap fokus mengobati luka Yura, tapi mata mereka tetap terkunci dan tenggelam dalam dejavu. Mereka hampir kembali berciuman, jika saja ….Drrt, drrt.Ponsel Yura bergetar dan tampak panggilan dari Dony. Seketika Damian be
Di buka pelan dan ….Yura menutup bibirnya, terkejut melihat apa yang ada di tangannya saat ini. Dirinya terduduk lemas dan pandangannya kosong. Kecewa? Tentunya. Berpikir jika perhatian Damian kemarin murni dari dalam diriYura tak habis pikir jika Damian mencari informasi tentangnya. Semua tertera jelas pada lampiran berkas yang dipegang. Serta foto itu, foto dimana Yura memakai gaun pernikahan."Jadi, kamu menyelidiki semuanya, ya? Maka, cake tart dan yang lainnya? Semua itu hanya untuk memastikan jika isi dokumen ini benar?"Yura merasa kesal, beranjak pergi tanpa memperdulikan ancaman yang tadi Damian berikan. Baginya saat ini tak ada yang bisa dipercaya. Bahkan Damian sekalipun.Yura pergi ke taman bermain. Di sana ada banyak sekali anak kecil yang didampingi orang tuanya. Mereka terlihat sangat bahagia, senyuman merekah tanpa henti di bibir. Yura ikut tersenyum, mengingat kembali memori indah saat ulang tahunnya. Kenangan terakhir sebelum keluarganya dibantai.Yura berdoa agar
Yura bangkit dari tidurnya dan mencari kakaknya. "Kakak?"Langkah Yura terhenti, terpukau oleh keindahan ruangan apartemen Damian. Dia berada di ruang tamu yang luas dengan langit-langit tinggi, dinding dilapisi dengan wallpaper damask berwarna krem yang memberikan kesan klasik yang elegan. Lantai parket kayu gelap mengkilap memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal besar yang menggantung megah di tengah ruangan.Di salah satu sudut, terdapat perapian marmer putih besar yang dihiasi dengan patung kepala singa di kedua sisi, menambahkan nuansa maskulin yang kuat. Di atas perapian, tergantung sebuah lukisan lanskap dalam bingkai kayu tua yang menunjukkan pemandangan pegunungan yang mistis.Sofa kulit coklat tua yang besar dan empuk terletak menghadap ke perapian, dikelilingi oleh beberapa kursi berlengan yang serasi, semua menempati karpet Persia yang kaya dengan motif yang rumit. Di atas meja kopi kayu yang kokoh, terdapat beberapa majalah arsitektur dan buku seni yang tersusun ra
Puaskan aku malam ini. Setelahnya akan aku antar kamu pulang! Jika tidak, luka di punggungmu itu ….""Apa?"Seperti berhenti napas sejenak, dada Yura sesak mendengar ucapan Damian. Merasa ragu jika lelaki itu berbohong, tapi kenyataannya memang benar. 'Dia baru saja mengganti pakaianku, tentu saja dia melihat luka ini.'Damian dengan cepat menghampiri Yura, gerak tangannya lincah seolah dipandu oleh kekhawatiran mendalam."Biarkan aku," katanya, suaranya rendah namun penuh otoritas. Meski terkejut, Yura hanya bisa menatap penuh tanya saat Damian tanpa ragu merenggangkan kancing baju bagian bawahnya. "Tunggu! Apa yang kamu lakukan?" serunya, suara gemetar tercampur rasa sakit yang mulai menjalar. "Apa lagi kalau bukan menyelamatkanmu?" Damian membalas, matanya tidak berkedip, menatap tajam ke arah luka yang tersembunyi itu, setiap sentuhannya adalah campuran kelembutan dan ketegasan. "Kau perlu pertolongan, Yura, dan aku di sini untuk itu," lanjutnya, seraya mulai membersihkan luka
"Mulai detik ini, kamu tidak perlu lagi bekerja dan pergilah! Jangan pernah muncul kembali di hadapanku sebelum kamu berubah pikiran," ucapnya dengan nada yang keras dan tajam. Kata-katanya terdengar begitu kasar, menyayat hati, seolah mengusir Yura dari hidupnya.Yura terpaku, matanya memandang Damian dengan tatapan yang tidak percaya. Wajahnya yang sedari tadi terlihat sedih, kini terlihat semakin pucat, bibirnya bergetar, dan mata yang kini terlihat sayu. Dia menundukkan kepalanya, mengambil napas dalam-dalam, dan tanpa sepatah kata, dia berbalik pergi meninggalkan Damian yang masih berdiri di balik jendela kantornya, dengan rasa penyesalan yang mulai memenuhi ruang hatinya.Yura berlari dengan langkah terburu-buru menuju toilet, pintunya terbanting keras saat ia memasuki ruangan itu. Dalam keheningan yang pekat, hanya suara isak tangis Yura yang memecah kesunyian. Air mata mengalir deras membasahi pipinya yang memerah, setiap tetesnya menandai kekecewaan yang mendalam.Di balik pi
“Andy, pergilah ke apartemen dan pastikan Yura masih ada di sana.”“Apa? Anda dan Yura, bos, kalian?”“Sudahlah. Pergi dan pastikan keberadaan Yura. Jika masih di apartemen, segera usir dia.”“Apa? Mengusirnya Bos?”“Iya, apakah kamu tuli, hah?”“I–iya Bos. Saya akan mengusirnya sekarang juga.”Andy segera pergi ke apartemen Damian. Setelah sampai, dia hampir mengetuk pintu apartemen, tapi hal itu di urungkannya. Dia tahu kode sandi apartemen itu sehingga Andy berpikir tak perlu mengetuk pintu. Segera membuka dan masuk ke dalam apartemen. Dengan tegas, raut wajah tegang dan sikap serius, Andy mendekati Yura yang kini syok melihatnya.“Kamu?” ucap Yura kaget. “Ya, ini saya.” Andy tidak membuang waktu untuk berbasa-basi. "Maaf, Nyonya Yura. Tuan Damian meminta Anda untuk segera meninggalkan apartemen ini," ucap Andy dengan nada tegas dan langsung.Yura terkejut dan kebingungan terpancar dari wajahnya. "Tapi, mengapa? Saya belum siap untuk pergi," katanya dengan suara gemetar, matanya
"Bicaranya nanti saja. Urus dulu cacing-cacing di perutmu itu!"Damian tersenyum memikirkan kelakuan Yura barusan. Sungguh konyol. Diikuti gadis yang telah diubahnya menjadi wanita itu, memeluk dari belakang hingga Yura kembali terkejut. Dihirup ceruk leher hingga membuatnya kembali meremang."Kenapa tidak makan? Bukankah kamu lapar?"Yura tersentak, menutupi rasa kecewa sekaligus bersyukur atasnya. Dengan gugup duduk di meja. Damian memandang tajam, lengkap dengan senyum devilnya. "Duduk manis di situ. Aku akan memasak untukmu."Damian dengan cekatan membuat omelet karena menurutnya makanan itu yang cukup mudah dibuat dan ada unsur karbo yang bisa mengganjal perutnya. Tak hanya itu proses memasak juga cukup singkat, tinggal kocok dan masuk teflon. Seperti sesimpel kita menjalani kehidupan. Cukup jalani, syukuri dan nikmati prosesnya maka semua akan terlewati meski tak mudah."Makanlah!"Damian menyodorkan sepiring omelet di depan Yura. Berjalan pelan sampai di belakang Yura, dengan ce
"Kenapa dibeli semua?""Karena aku ingin," jawab Damian dingin dan melangkahkan kakinya pergi, meninggalkan Yura sendirian."Apa kamu tak mau pergi?" teriak Damian menyadari Yura terpaku."Ah iya."Yura berlari ngos ngosan hingga tepat di samping Damian. Tubuhnya ambruk akibat kelelahan. Melihat itu, Damian merasa kasihan tapi ingin sekali lagi mengerjainya.Ekhem"Bangunlah!""Sebentar, aku kehabisan napas.""Dasar lelet. Baru berlari sebentar saja sudah ngos ngosan. Mulai besok, kamu harus berolahraga."Akh"Apa yang kamu lakukan? Turunkan aku?" teriak Yura saat tubuhnya diambil paksa, di taruh di atas pundak seperti memikul sekarung beras.Damian tak peduli, terus menggendong hingga sampai pada mobil jeep miliknya.Bugh"Aku tidak sabar untuk mengungkungmu di apartemenku!" ucap Damian sambil menatap tajam. Yura merasa ngeri, takut, dan cemas. Hatinya berdebar kencang saat meresapi kalimat yang baru saja keluar dari mulut Damian.'Apa yang akan terjadi padaku? Bagaimana jika keadaan
"Halo.""Di mana kamu?""Aku ada di kediaman madam Sherly, ah maksudku, ibuku.""Baiklah. Aku akan mengirim supir untuk menjemputmu.""Untuk apa? Aku akan pulang sendiri.""Sudahlah jangan banyak alasan, cepat keluar dan ikuti perintahku!""Baik."Panggilan berakhir.Yura menghela napas berat. Terlepas dari Dony, terjebak oleh Damian. Ya, beginilah nasib Yura sekarang. Kehidupannya berputar putar dari kehidupan kakak beradik itu. Sampai kapan seperti ini? Entahlah, Yura sendiri tak bisa menjawabnya. Semua tergantung dari kesembuhan sang Ayah. Ya, dibandingkan semua itu, Ayahnya yang terpenting bagi Yura.Sebuah taksi menunggu di depan kediaman Sherly. Yura segera turun dan keluar rumah. Namun, langkah terhenti saat panggilan dingin menyapanya."Sudah di jemput ya," ucap Sherly yang kini duduk di ruang tamu dengan lampu dipadamkan."Madam. Kenapa Anda belum tidur?""Aku tak bisa tidur. Kamu mau ke mana? Lalu taksi itu?""Ah, aku memutuskan untuk pulang ke kediaman Dony. Taksi itu aku y
Yura berjalan menuju ruang kerja Madam Sherly, dengan amplop coklat yang berisi informasi penting tentang Damian di tangannya. Tangannya sedikit gemetar dan tak bisa disembunyikan. Setibanya di depan pintu, ia mengetuknya perlahan.Tok, tok."Masuk," terdengar suara Madam Sherly dari dalam.Dengan langkah mantap, Yura membuka pintu dan memasuki ruangan tersebut, seraya memberikan hormat. "Madam Sherly, ini informasi yang Anda minta tentang Tuan Damian," ucapnya, sambil menyerahkan amplop tersebut.Madam Sherly, yang duduk di balik meja kerjanya yang besar, mengangguk dan menerima amplop itu. Ia membukanya dengan teliti, memeriksa setiap lembaran yang Yura berikan. Matanya menyapu cepat setiap detail yang tercatat, dari aktivitas Damian hingga jadwal kantor yang akan datang."Kerja yang baik, Yura," puji Madam Sherly, setelah beberapa saat mempelajari isi amplop tersebut. "Ini sangat membantu. Terima kasih telah menyelesaikan ini dengan cepat dan akurat."Yura merasa lega, senyumnya ki
Yura tersenyum manis sambil berkata, "Ayolah! Kamu bukan anak kecil."Damian hanya mengangguk lemah dan kembali menutup mata, terlalu sakit untuk berkata-kata. Dia juga berusaha meredam api kecemburuan serta keraguan tentang kejadian semalam. Kembali membuka mata saat ada gerakan di ranjang dan menandang lemah pada Yura yang berjalan ke dapur, memastikan sup sudah matang sempurna. Setelah yakin dengan rasa dan khasiatnya, ia menuang sup ke dalam mangkuk dan membawanya ke kamar dengan hati-hati.Yura uduk di samping Damian, memegang nampan berisi sup dan memberikannya. "Makanlah selagi hangat."Damian menggeleng pelan, membuat Yura kesal. Dia sudah bersusah payah membuatnya tapi lelaki itu menolaknya."Kenapa tidak mau? Sup ini bisa meredakan mabuk yang kamu derita saat ini."Damian masih mengurut keningnya sedangkan Yura memilih untuk pergi membawa nampan. Tiba-tiba .…SrekhTangan Yuna digengam erat Damian. Tangan Damian yang berkeringat dingin menghentikan Yura, seketika khawatir ji
Andy pikir cukup memberikan garis besar tentang pengertian jarak antara Demian dan Yura yang berstatus istri Dony. Andy menggoyang goyangkan tubuh Damian dan memanggil berkali-kali, "Tuan Damian.""Tunggu! Aku rasa, lebih baik jangan dibangunkan. Kita biarkan saja dia tidur," sela Yura, ketakutan.Andy tak peduli, terus membangunkan hingga dirinya putus asa. "Tuan Damian, Nyonya Yura sudah datang," bisik Andy sambil terus mengguncang tubuh Damian.Anehnya, mendengar nama Yura, Damian membuka mata perlahan. Tatapannya membulat saat melihat Yura yang kini berdiri di hadapannya.Make up natural dengan lipstik pink cherry. Rambut lurusnya digerai indah dihiasi penjepit di sisi kanan, seperti gadis korea kebanyakan. Yang membuat Damian semakin terpesona adalah dress peach selutut dipadu blazer coklat muda yang di pakai. Damian menelisik dari atas ke bawah dimana sepatu pantofel coklat sebagai pelengkapnya.Yura sendiri mundur selangkah melihat Damian yang berdiri dari duduknya. Gerakan ref
Pesan Damian membuat Dony emosi. "Brengsekh!""Kenapa aku harus menuruti berandalan ini? Jika bukan karena kakek Luhan, aku tak akan melakukannya."Damian memutuskan untuk pulang. Di tengah keheningan malam yang terkoyak tiba-tiba derai hujan turun debgan lebatnya. Damian menyusuri jalan yang sepi setelah mengirim pesan terakhir. Langit seolah menangis bersamanya, membasahi bumi dengan air mata yang tak terbendung. Dalam keadaan murung, ia menderu mengemudikan jeep-nya melintasi jalanan yang mulai tergenang.Kenangan buruk pada masa lalu seakan-akan terbawa angin, membuatnya semakin menekan pedal gas, dalam upaya putus asa untuk segera mencapai perlindungan apartemennya. Setiap tetes hujan yang jatuh bagaikan bisikan lara dari masa lalu yang terlupakan, memacu jantungnya untuk berdetak lebih cepat dalam dingin yang menyergap.Hufh.Keringat dingin membanjiri tubuhnya yang basah. Tangan memegangi wastafel kamar mandi dengan gemetar. Namun, tatapan tajam tertuju pada kaca kamar mandi, m