"Kamu?"Yura terkejut saat Andi berada di depan rumahnya membawa suatu kotak di tangannya. Dilihat ke segala penjuru tempat, mencari sosok lain yang datang bersamanya. Hal itu membuat Andi tersenyum simpul."Maaf, Nyonya. Aku datang sendirian, Tuan Damian tidak ikut bersamaku. Jadi, Anda tidak perlu khawatir."Yura mengangguk ragu. Seharusnya dia bahagia bukan? Damian tidak akan mengganggunya. Namun, entah mengapa Yura merasa kecewa."I–iya.""Ini. Tuan Damian membelikannya untukmu.""Apa ini?" tanya Yura bingung, menerima boks besar dari Andy."Anda lihat saja. Apa isinya? saya tidak tahu." Andy menatap ke dalam rumah, tampak tak berpenghuni, membuat Andi penasaran dan mulai menyuarakan rasa yang menggelitik pikirannya. "Apakah Anda tinggal sendiri?"Yura menatap ke dalam sekilas lalu menggeser tubuhnya tak nyaman. Seolah menutupi kebenaran. Dia tak boleh terlihat lemah dan takut di mata orang lain. "Dony sedang keluar untuk urusan. Sebentar lagi akan sampai rumah, dia baru saja meng
"Menikah? Milik orang lain? Aku ingin menjadi diriku sendiri, Yura yang bebas melakukan apapun," gerutunya menanggapi pesan Damian.Karena pernikahan ini tanpa cinta, Yura pun tak memikirkan seberapa pentingnya cincin pernikahan. Hingga Damian memberinya, barulah Yura sadar jika satu hal kecil darinya bisa mengubah suasana hati. Yura begitu bahagia.Diselipkan cincin itu di jemari manisnya, dan tidur terlentang di atas kasur empuk. Memikirkan banyak hal tentang perhatian seorang Damian. Lama memikirkan, perut Yura kembali berbunyi. Dia melupakan jam makan malam tadi."Oh ya, ada cake."Yura segera mengambil cake dan membawanya ke meja rias, berniat memakannya di sana. Memandang gambar itu, membuat Yura kembali tak nafsu padahal dia lapar. Yura memutuskan untuk merusak gambar dengan garpu, meliuk liukkan garpu hingga menjadi lukisan abstrak. Merasa lucu, Yura mempunyai ide untuk memotretnya."Aku akan memperlihatkan padamu jika aku bisa merusak gambar cake pesananmu," gumam Yura pada Da
Yura menyeret tubuh lemahnya untuk meminta belas kasihan seorang Sherly. "Maaf, Madam, aku bersumpah tak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Tolong, beri aku satu kesempatan lagi. Jangan putuskan pengobatan Ayahku!" Dalam sekejap, Yura merasakan dunia seakan berputar, sedih dan takut bersamaan mendera. Sherly hanya menatapnya dengan mata yang tajam, bibirnya terkembang dalam senyum sinis. "Baiklah, kali ini aku maafkan, tapi ingat, tak akan ada kesempatan lain. Paham?" Mendengar itu, Yura mengangguk lemah, setiap kata yang meluncur dari bibir Sherly bagai jarum yang menusuk-nusuk jantungnya. Di balik anggukan itu, rasa bersalah dan harapan berbaur menjadi satu, menciptakan gumpalan emosi yang tak terurai.Semua pergi meninggalkan Yura sendirian, merasakan sakit hebat di tubuh. Remuk redam terasa hingga kesulitan menggerakkan tubuh.Yura menangis pilu, hatinya bagai ditusuk berulang kali oleh duri-duri kesedihan. Dia tidak menyesal telah bertemu dengan ayahnya dan menerima hukuman yang
"Wa-ni-ta-mu?""Tentu saja. Bukankah sudah berkali-kali aku mengatakannya, kelinci kecil?" jawab Damian dengan sorot tajamnya. "Apa aku perlu mengingatkannya padamu?"Yura segera menggeleng. Seharusnya tak membahas masalah ini di saat seperti ini. Damian sungguh mudah tersinggung. Padahal, butuh perjuangan untuk mengecoh pengawal yang dikirim Damian tadi. Sedangkan Damian merasa puas karena Yura sungguh patuh padanya."Diam dan ikuti semua perintahku!"Yura mengangguk. Dengan hati-hati, Damian mulai mengobati luka di kening. Ditatap manik mata coklat hazel yang kini bergerak ke kanan kiri, seolah mencari perlindungan diri dari bahaya seorang Damian. Semakin intens, semakin dalam rasa suka Damian padanya.Dagu Yura ditarik hingga tatapan mereka bertemu. Tangan Damian tetap fokus mengobati luka Yura, tapi mata mereka tetap terkunci dan tenggelam dalam dejavu. Mereka hampir kembali berciuman, jika saja ….Drrt, drrt.Ponsel Yura bergetar dan tampak panggilan dari Dony. Seketika Damian be
Di buka pelan dan ….Yura menutup bibirnya, terkejut melihat apa yang ada di tangannya saat ini. Dirinya terduduk lemas dan pandangannya kosong. Kecewa? Tentunya. Berpikir jika perhatian Damian kemarin murni dari dalam diriYura tak habis pikir jika Damian mencari informasi tentangnya. Semua tertera jelas pada lampiran berkas yang dipegang. Serta foto itu, foto dimana Yura memakai gaun pernikahan."Jadi, kamu menyelidiki semuanya, ya? Maka, cake tart dan yang lainnya? Semua itu hanya untuk memastikan jika isi dokumen ini benar?"Yura merasa kesal, beranjak pergi tanpa memperdulikan ancaman yang tadi Damian berikan. Baginya saat ini tak ada yang bisa dipercaya. Bahkan Damian sekalipun.Yura pergi ke taman bermain. Di sana ada banyak sekali anak kecil yang didampingi orang tuanya. Mereka terlihat sangat bahagia, senyuman merekah tanpa henti di bibir. Yura ikut tersenyum, mengingat kembali memori indah saat ulang tahunnya. Kenangan terakhir sebelum keluarganya dibantai.Yura berdoa agar
Yura bangkit dari tidurnya dan mencari kakaknya. "Kakak?"Langkah Yura terhenti, terpukau oleh keindahan ruangan apartemen Damian. Dia berada di ruang tamu yang luas dengan langit-langit tinggi, dinding dilapisi dengan wallpaper damask berwarna krem yang memberikan kesan klasik yang elegan. Lantai parket kayu gelap mengkilap memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal besar yang menggantung megah di tengah ruangan.Di salah satu sudut, terdapat perapian marmer putih besar yang dihiasi dengan patung kepala singa di kedua sisi, menambahkan nuansa maskulin yang kuat. Di atas perapian, tergantung sebuah lukisan lanskap dalam bingkai kayu tua yang menunjukkan pemandangan pegunungan yang mistis.Sofa kulit coklat tua yang besar dan empuk terletak menghadap ke perapian, dikelilingi oleh beberapa kursi berlengan yang serasi, semua menempati karpet Persia yang kaya dengan motif yang rumit. Di atas meja kopi kayu yang kokoh, terdapat beberapa majalah arsitektur dan buku seni yang tersusun ra
Puaskan aku malam ini. Setelahnya akan aku antar kamu pulang! Jika tidak, luka di punggungmu itu ….""Apa?"Seperti berhenti napas sejenak, dada Yura sesak mendengar ucapan Damian. Merasa ragu jika lelaki itu berbohong, tapi kenyataannya memang benar. 'Dia baru saja mengganti pakaianku, tentu saja dia melihat luka ini.'Damian dengan cepat menghampiri Yura, gerak tangannya lincah seolah dipandu oleh kekhawatiran mendalam."Biarkan aku," katanya, suaranya rendah namun penuh otoritas. Meski terkejut, Yura hanya bisa menatap penuh tanya saat Damian tanpa ragu merenggangkan kancing baju bagian bawahnya. "Tunggu! Apa yang kamu lakukan?" serunya, suara gemetar tercampur rasa sakit yang mulai menjalar. "Apa lagi kalau bukan menyelamatkanmu?" Damian membalas, matanya tidak berkedip, menatap tajam ke arah luka yang tersembunyi itu, setiap sentuhannya adalah campuran kelembutan dan ketegasan. "Kau perlu pertolongan, Yura, dan aku di sini untuk itu," lanjutnya, seraya mulai membersihkan luka
"Oh ya, mengapa kamu menyuruhku berpakaian? bukankah setelah ini ….""Kita tak akan melakukan apapun karena aku akan pulang."Damian membenarkan baju dan berkata, "baiklah, aku akan mengantarmu pulang.""Jangan. Bagaimana jika nanti Dony tahu kita bersama? Dia akan marah!"Yura bingung, tak bisa lagi mencari alasan untuk lepas dari berandalan gila ini. Belum lagi alasan untuk mengelabui Dony. Kini isi kepalanya benar-benar buntu. Damian mendekatkan diri penuh intimidasi. "Baiklah. Aku mengizinkan kamu pergi, tapi kamu harus menuruti setiap perintahku, kelinci kecil.""Apa itu? Aku akan patuh kepadamu, Tuan Damian.""Mulai sekarang tinggallah di sini dan jangan sampai Dony menyentuhmu sedikitpun.""Apa?""Mana mungkin aku bisa tinggal di sini?"Damian mencoba memahami kondisi Yura. Dia mengangguk pasrah. "Baiklah, tapi jangan berpikir jika kamu bisa lolos dari genggamanku.""Aku akan menuruti semua permintaan Tuan Damian. Kali ini izinkan aku pergi, ya?" ucap Yura memelas, berharap seo
"Oh ya, mengenai Yura, apakah ada info terkini tentangnya?""Kami masih menyelidiki lebih dalam, Tuan. Namun, keluarga Sherly tampak begitu berhati-hati dan menyimpan banyak misteri.""Baiklah, kalau begitu, terus gali sampai kamu mendapatkan informasi tentangnya.""Baik, Tuan."Setelah menutup telepon, Damian menarik napas dalam-dalam. Pikirannya melayang memikirkan pertemuan yang akan terjadi besok. Dia tahu ini tidak akan mudah, tetapi hal itu harus disampaikan, untuk memastikan semua yang terlibat.Esok hari.Sherly berjalan gontai menuju kediaman Damian, setiap langkahnya terasa berat, tangan dinginnya terus mengusap peluh yang bermunculan di dahinya. Dia tak tahu, mengapa Damian tiba-tiba memintanya bertemu?Firasat mengatakan jika ada yang tidak beres. Begitu berhadapan dengan Damian, raut wajahnya pucat pasi."Kau menyuruh Yura mendekatiku, bukan?" tanya Damian dengan nada tinggi, tanpa memberi kesempatan Sherly untuk menarik napas.Sherly menelan ludah, dia mencoba mengumpulk
“Aku ….”Yura merasa sangat bingung dan terjepit dalam situasi yang sulit. Bagaimana ia bisa mengatakan yang sebenarnya kepada Damian, bahwa di balik semuanya, adalah Sherly yang telah memaksanya untuk mendekati pria itu? Setiap bayangan kebenaran itu menghantuinya, sementara di sisi lain, ia juga berpikir tentang nyawa ayahnya yang kini terancam jika ia tidak menuruti Sherly. "Apakah aku benar-benar harus melakukan ini? Mengkhianati seseorang demi melindungi orang yang kucintai?" gumam Yura dalam hati. Merasa terpojok, keberanian yang ia kumpulkan menjadi goyah. "Ini tak bisa terus berlarut begitu saja, aku harus memilih," batinnya.Dengan ragu, Yura akhirnya mengakui kepada Damian bahwa Sherly adalah dalang di balik semua yang terjadi. "Ibuku, Madam Shetly yang menyuruhku mendekatimu.""Apa?" tanya Damian, merasa sangat terpukul.Dia menatap Yura dengan mata yang menyala-nyala, wajahnya merah padam seolah-olah darahnya mendidih dalam kemarahan. "Jadi, ini semua permainan ibumu?" sua
“Apa yang kamu lakukan? Pergi dariku!” Yura beringsut dan mundur, tapi Dony lebih cekatan, segera memeluk paksa Yura. Dony hampir saja mengungkung Yura jika ponselnya tak bergetar.Drrt! Drrt“Sial! Siapa sih yang menghubungi di saat seperti ini?” gumam Dony penuh kekesalan.Dony segera melihat siapa yang memanggil? ternyata Damian yang memanggil.“Halo, Dony? Ini Damian. Kamu harus segera ke perusahaan sekarang. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan mengenai bisnis.”Dony mengernyit bingung. “Bisnis? Sekarang? Kenapa begitu mendadak, Kak? Aku bahkan belum sarapan.Damian terdengar marah. “Tak peduli, ini penting. Aku butuh kamu di sini secepatnya. Jangan buang-buang waktu lagi, segera datang ke perusahaan.”“Baik. Aku ke sana sekarang!”Selesai panggilan, Dony mendekati Damian, ingin melanjutkan aksinya. Namun, Yura segera menggeleng dan meyakinkan Dony. “Kamu harus segera ke perusahaan, kenapa masih mengulur waktu?”“Aku ingin bersenang senang dahulu.”Dony segera mengungkung Yu
Yura berdiri untuk saat yang lama di depan kediaman Dony yang megah, memberanikan diri mengatasi apapun yang akan terjadi.Teringat akan ucapan Damian. "Kuperingatkan sekali lagi, kamu hanya milikku dan tak ada yang boleh menyentuhmu selain aku, bahkan Dony. Awas saja jika Dony berhasil menyentuhmu, akan aku cincang tubuh kesayangan ini. Kamu mengerti, kelinci kecil?"Ancaman Damian sungguh nyata, berdengung terus di telinga membuat Yura menggeleng kuat. Dia sungguh takut dengan ancaman Damian tapi Dony adalah suami sahnya. Terlebih Damian mau menerima Jenny sebagai istrinya. Otak Yura benar-benar bingung saat ini.KrekhDi buka perlahan pintu rumah, suasana sangat sepi dan gelap. Namun, terdengar suara aneh dari sudut ruangan. Yura memutuskan untuk naik ke lantai dua, kamar tidurnya berada. Baru menaiki tangga, terdengar suara yang mengganggu indera pendengarannya. Yura tersenyum kecut, menyadari jika Dony sedang bersenang senang saat ini.Dengan siapa?Tentu saja dengan kekasih gela
Semua berkumpul untuk menyaksikan acara inti dari perusahaan Kakek Luhan. Saat ini dia menyerahkan wewenangnya kepada Dony, bukan Damian. Semua orang yang datang merasa kecewa karena investor terbesar adalah Damian dan mereka berharap bisa bekerja sama dengan Damian. Jika saja Luhan menggabungkan kekuatan dengan Damian, pasti perusahaan mereka tak akan tertandingi di kota ini. Namun, Damian tak mau dan berdiri sendiri.Pesta telah usai dan Sherly membawa Yura serta Yola pulang ke kediamannya. Yura menatap Sherly dengan mata yang penuh ketakutan saat mereka memasuki rumah megah itu. Sherly, dengan langkah cepatnya, segera memerintahkan Yura dan Yola untuk berdiri setengah kaki, dengan lutut menumpu lantai yang dingin dan keras.“Diam di sana dan jangan bergerak sesuai perintahku!”Sherly kemudian mengambil cambuk yang tergantung di dinding, tangannya menggenggam erat gagang cambuk tersebut seolah-olah itu adalah senjata yang akan menghukum kesalahan fatal.Tanpa peringatan, cambukan ke
“Apa?”Yura sama sekali tak memikirkan kemungkinan ini. Dirinya tersentak saat Damian lagi lagi mencengkeram dagunya. Tangan berusaha sekuat tenaga untuk lepas.“Bagaimana kalau Dony lihat kau berada di bawah tubuh seorang pria, saat ini? Itu akan lebih menyenangkan, bukan?”Yura berontak, berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Damian.“Ku telepon dia sekarang. Kuminta dia naik ke sini. Bagaimana?”Damian mengambil ponsel dan Yura segera merebutnya. “Aku memang mau membalas Dony, tapi … aku tidak mau melibatkan Anda, Tuan. Kalau tersebar rumor, hal ini akan merusak nama baik Tuan Damian.”Damian tersenyum, “mulutmu memang manis. Kuharap kamu berkata jujur. Jika tidak, kau akan mati.”Damian perlahan menurunkan dress yang dikenakan Yura, menyentuh kulit seputih susu itu dan bersiap mengungkungnya. Namun, detik berikutnya …Damian mengembalikan tali lengan gaun itu ke asal dan berniat pergi meninggalkan Yura. Namun, Yura malah mencium mesra Damian. Hanya sepersekian detik, Yura menarik
"Halo.""Datanglah!"Suara Damian terdengar dari seberang sana, dingin dan mendesak."Apa?""Kembali ke ruangan tadi! Yola menunggumu," ujar Damian dengan nada yang tidak dapat ditolak."Ba-- baik."Yura menelan ludah, kebingungan menyelimuti pikirannya. Ia berdiri di tengah koridor yang sepi, merasa berat untuk melangkah kembali ke ruangan dimana ia tahu Yola menunggunya dengan berbagai pertanyaan yang mungkin tidak bisa ia jawab. Namun, perintah Damian tidak bisa ia abaikan.Langkah Yura pelan namun pasti, mendekati ruangan yang tadi ia tinggalkan. Setiap detik terasa seperti jam, dan dengan setiap langkah, jantungnya berdegup kencang. Sesampainya di depan pintu, ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi situasi yang tidak ia ketahui.Yura menghela napas besar, mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Dengan perlahan, ia membuka pintu. Matanya langsung tertuju pada sosok Yola yang duduk bersimpuh dengan tegang
Acara perjamuanPertemuan sesama pebisnis di gedung perusahaan kakek Luhan dilaksanakan. Banyak sekali yang hadir di acara tersebut termasuk Sherly dan kedua anaknya, Yura dan Yola. Yola, inilah gadis yang akan dipertemukan dengan Damian. Mereka duduk di kursi tamu VIP dengan Sherly, sebagai besan kakek Luhan.Ruang perjamuan itu dipenuhi dengan hiruk-pikuk suara percakapan dan gelak tawa. Lampu gantung kristal yang mewah menerangi ruangan dengan cahaya lembut yang memantulkan kilauan pada gelas-gelas berisi minuman beralkohol. Meja-meja yang tersusun rapi dipenuhi dengan sajian makanan gourmet yang menggugah selera; dari hidangan laut yang segar hingga pilihan keju eksotis, semuanya disajikan di atas piring porselen yang elegan.Di sudut ruangan, sebuah panggung kecil didirikan untuk musik live yang memainkan melodi-melodi menghibur, menambah semarak suasana perjamuan tersebut. Meskipun suasana begitu meriah, Yura yang duduk di kursi VIP terlihat gelisah, mencoba menyesuaikan diri de
Haruskah aku meladeni Yura, atau sekali lagi mengingatkan dia untuk menjaga jarak?" Damian bergumam seraya merenung.Terasa berat untuk mengambil keputusan, karena bagaimanapun, ia tak ingin menyakiti perasaan siapa pun. Mata Damian terasa berat, tetapi dia tahu ini adalah langkah yang harus diambil. Untuk masa depannya, untuk kedamaian batinnya, Yura harus menjadi bagian dari masa lalu yang tak terulang kembali.Malam itu, Damian menghabiskan waktu dengan membaca buku, mencoba mengalihkan pikirannya dari segala yang berhubungan dengan Yura.Di sisi lain, Serly tampak menggenggam ponsel dengan kesal. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar karena amarah yang tak tertahan. "Kenapa Damian tidak mengangkat teleponnya?" desisnya dengan suara serak. Yura yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menunduk, menahan rasa takut yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bagaimana tidak? Dia sudah berjanji tak akan mengganggu Damian lagi. Kini Serly malah menghubungi Damian melalui ponselnya.Serly berjalan m