“Yura, jawab aku!”
Hening.
Dony menyimpulkan jika Yura benar-benar terlelap. Saat ini suasana hatinya sedang baik dan Yura pun sudah tidur, jadi Dony memutuskan untuk menanyakan kembali besok pagi.
Pagi hari.
"Cepat periksa!" titah Sherly.
Akh.
"Tolong, hentikan!"
Yura diseret paksa oleh tiga ART Sherly menuju ruang seperti laboratorium. Mereka membaringkan Yura dengan memegang tangan dan kakinya. Masuk seorang Dokter dan mulai memeriksa Yura. Mereka tak peduli pada wanita yang memohon ampun saat ini. Hampir 30 menit, Yura diperiksa di dalam sana dan dilepaskan setelah pemeriksaan selesai.
"Bagaimana hasilnya?"
"Sudah robek."
Bibir Sherly tersungging hingga semua gigi terlihat jelas. Puas akan hasil yang baru saja didengar. Di dekati Yura yang kini duduk bersimpuh di hadapannya. Tangan lentik itu menarik kasar dagu Yura agar terlihat jelas kesedihan di mata anak angkatnya.
"Kamu sungguh pintar, Yura. Terus bersikap baik sebagai menantu Baskoro agar pengobatan Ayahmu terus berjalan. Cukup ikuti perintah Dony dan menjadi istri yang penurut. Ok!"
"Kamu berjanji kan, Madam Serly?"
"Tentu. Selama kamu menurut."
Yura mengusap air mata, tak ingin terlihat lemah. "Kalau begitu, izinkan aku bertemu Ayahku."
"No, no, no. Tidak untuk sekarang, Sayang." Serly berdiri di hadapan Yura, memperlihatkan kekuasaan yang dimiliki. "Ada satu tugas lagi yang harus kamu lakukan. Jika kamu bisa melakukannya, akan aku izinkan kamu menemui Ayahmu."
"Apa tugasnya?"
"Dony mempunyai kakak laki-laki bernama Damian."
"Damian."
"Ya, anak pertama Baskoro sekaligus pewaris kekayaannya."
"Lalu? Apa yang harus aku lakukan?"
"Dekati dia dan selidiki semua tentangnya."
"Apa?"
Yura tak bisa percaya jika tugasnya kali ini adalah mendekati Damian. Dirinya tak sanggup berhubungan dengan lelaki dingin sepertinya. Padahal Yura ingin menjauh dari lelaki itu setelah apa yang terjadi di antara mereka.
'Apakah aku benar-benar harus mendekatinya? Bukankah ini berisiko tinggi dan akan memberiku banyak masalah? Tapi keselamatan Ayah yang terpenting.'
"Damian adalah putra tunggal Baskoro bersama Nyonya Lenny. Satu tahun melahirkan Damian, Nyonya Lenny meninggal dunia sehingga Tuan Baskoro menikah lagi dengan Nyonya Maya, mempunyai anak bernama Dony," jelas Serly.
"Damian terkenal sebagai lelaki yang tertutup. Dibesarkan di luar negeri, membuatnya sangat jeli dalam hal apapun, termasuk dalam hubungan asmara. Tak ada yang bisa mendekatinya. Untuk itu aku ingin kamu menaklukkan Damian. Cari tahu apa yang terjadi tiga tahun lalu."
"Madam Serly, aku tidak akan bisa melakukannya," keluh Yura, mencoba membengkokkan hati Serly.
"Jadi, kamu ingin melihat Ayahmu mati di depanmu?"
"Jangan! Ayahku harus tetap diobati."
"Kalau begitu lakukan! Aku tidak ingin, ada kata tidak, darimu."
Pagi ini seharusnya Yura menyiapkan sarapan untuk seorang suami, tapi dia malah diseret menuju kediaman Serly. Entah apa yang harus Yura lakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Dony, nanti. Memikirkan Dony, bagaimana reaksinya jika tahu perintah Serly kali ini?
"Mengenai Dony …. Apa yang harus aku katakan?"
"Lakukan saja tugasmu. Dony biar aku yang menjelaskan nanti."
"Baik."
Yura melangkahkan kaki untuk kembali ke kediaman Dony. Jarak kedua rumah tersebut hanya 500 meter. Serly sengaja membeli rumah di dekat kediaman Dony agar bisa mengawasi Yura. Baginya, anak yang dipungut tiga tahun lalu itu harus tetap dikontrol dengan ketat.
Yura tiba di kediaman Dony, disambut tiga ART perempuan. Di belakang mereka ada lima pengawal laki-laki berbadan gempal dan terlihat garang. Yura menatap detail, menanggapi sambutan mereka dan bergegas menemui Dony.
"Dari mana kamu?" tanya Dony pada Yura yang baru saja sampai di ruang tamu. Dony memandang tajam. Sorot mata bermanik hitam itu seolah siap menghunus Yura.
"Aku …."
"Ah, kamu lama sekali menjawab pertanyaanku. Sekarang, jelaskan padaku, mantel siapa ini?"
"Mantel?"
Yura teringat saat Damian memberinya mantel semalam. Berpikir keras untuk mencari alasan agar tak ketahuan.
"Aku tidak tahu."
Dony mendekat, menghirup udara penuh tipu daya yang menyelimuti Yura. Dalam setiap helaan napas, ia merasakan aroma kebohongan yang tajam dan menyengat, sebuah kebohongan yang begitu nyata dan mudah dikenali. Rasa muak yang mendalam membakar dadanya saat ia menyadari wanita yang kini telah menjadi istrinya itu tidak lebih dari seorang pendusta terampil.
"Pembohong! Sekarang jelaskan padaku, mengapa kamu datang bersama Damian?"
"Bukankah sudah kukatakan jika Damian hanya memberiku tumpangan."
Dony semakin dekat, mengikis jarak di antara mereka. "Kalian terlihat begitu akrab. Damian yang kukenal sangatlah dingin dan kejam. Dia bisa membunuh siapa saja yang menghalangi jalannya. Bahkan dia bisa membunuh kelinci kesayangannya."
Yura membeku, napasnya terhenti sesaat ketika mendengar penuturan Dony. Damian yang ia pilih, terbukti membawa aura bahaya yang menyelimutinya. Penyesalan mulai menggerogoti hatinya, tapi semua telah terlanjur. Ia melakukan itu semua demi ayahnya, sekarang penyesalan hanya tinggal sebuah kata tanpa makna. Yura tersadar, pilihan yang diambilnya menuntun ke sebuah jalan tanpa ia bisa kembali, dan saat itu juga, keputusasaan melilit leher bak belenggu yang tak bisa dilepas.
"Suamiku, Kak Damian hanya menganggapku adik ipar sehingga kamu tidak perlu mengkhawatirkannya."
"Tetap saja, ini terasa aneh."
Tiba-tiba ponsel Dony berdering, "Damian memanggilku."
"Halo Kak. Tumben menghubungiku."
"Aku ingin memberimu hadiah pesta atas pernikahanmu. Malam ini, kita bisa dinner bersama."
"Benarkah? Kamu sungguh baik sekali, Kak."
"Ajak istrimu dan Sindy."
"Sindy?"
Dony menatap Yura, ragu sesaat. "Kenapa mengajak Sindy? Bukankah kamu bilang hadiah pernikahanku?"
"Agar aku mempunyai pasangan nanti."
"Oh begitu? Baiklah, Kak. Share lock dan kami akan datang."
Panggilan berakhir.
Dony tersenyum puas, memandang Yura dan membelai lembut pipinya. "Bersiaplah, malam ini kita akan menghadiri pesta jamuan dari Damian."
"Apa kamu akan mengajak Sindy?" tanya Yura, sekedar memastikan. Dia mendengar jelas jika Dony menyinggung Sindy.
"Ah, benar. Damian meminta Sindy ikut sebagai pasangannya. Mungkin dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan kita. Damian yang malang, tak tersentuh wanita sama sekali."
"Dia bagaikan bongkahan es yang bahkan tak bisa mencair meski dihadapkan pada nyala matahari. Sikapnya yang sangat tertutup membuatnya tampak tak tersentuh, seakan ada tembok dingin yang mengelilinginya, mengisolasi dirinya dari dunia luar dan kehangatan manusia," imbuhnya.
Yura merasakan hatinya semakin dihimpit kekhawatiran setiap kata yang Dony ucapkan. Wajahnya memucat mengingat malam itu, saat ia dengan tegas meminta Damian melupakan semua yang terjadi dan berpura-pura seolah kejadian itu tidak pernah ada. Damian hanya tersenyum licik, matanya berbinar-binar serupa setan. "Sekali aku menggenggam, takkan kulepas begitu saja," katanya dengan suara yang terlalu tenang, menambah guncang jiwa Yura.
Malam hari.
Yura memasuki ruangan dengan langkah ringan, Dony mengikuti di sampingnya. Pandangan mereka tertumbuk pada Sindy yang sudah menempelkan dirinya pada Damian, bag
ai perangko yang lengket pada amplop. Yura memberikan tatapan tajam, penuh ketidaksukaan.
“Apakah kamu cemburu, Dony?”
“Apa?”
“Apa kamu cemburu, Dony?” tanya Damian mengejek adiknya.“Apa?” Dony segera tersenyum manis. “Aku tidak peduli.”Dengan gerak-gerik gelisah, Damian mencoba melepaskan diri dari genggaman benalu itu setelah berhasil memprovokasi Dony. Hal itu sukses membuat Dony nyaris tak bisa menyembunyikan kemarahan, wajahnya memerah, seolah menyimpan gunung berapi yang siap meletus. Dalam dera cemburu yang terang-terangan, dia nyaris kehilangan kendali."Silahkan duduk," ucap Damian menyambut kedatangan Dony dan Yura. “Silahkan menikmati hadiah jamuan makan dariku.”Dony dan Yura segera duduk di kursi kosong depan Damian. Mereka makan berbagai menu yang disajikan. Damian yang duduk tepat di depan Yura, sesekali melemparkan senyum simpul ke arah Yura yang sedang sibuk memilih menu. Sorot matanya seolah menggambarkan kekaguman yang tersimpan.Sementara itu, Dony, yang duduk di samping Yura, tampak mengiris steaknya dengan kasar, begitu keras hingga suara gesekan pisau terdengar nyaring di antara deru
"Jangan berteriak! Meski aku sedang terluka, aku bisa saja membunuhmu.”AkhDamian mengerang kesakitan.Di luar rumah."Ke mana perginya?""Dia terluka parah, jadi mana mungkin dia bisa kabur secepat itu. Cepat cari sekitar!"Suara di luar kediaman Dony sangat ramai dengan banyaknya lelaki berpakaian hitam dan memakai masker.Damian menyeret tubuhnya, duduk bersandar di dinding kamar. Dia bisa bernapas lega saat orang-orang misterius itu pergi. Yura berdiri dan mundur, merasa gemetar di seluruh tubuh melihat Damian yang kesakitan. Memori saat keluarga tercinta dibantai habis-habisan kembali muncul di benaknya. Hanya tersisa Ayah yang terkulai dalam koma, saat ini."Yura, papah aku!"'Perlukah aku membunuhnya saat dia terluka? Asalkan aku berteriak, dia akan mati di sini. Maka, kejadian malam itu tak akan ada yang tahu,' batin Yura.Melihat Yura tak bergeming, mata yang semula penuh harap itu seketika sirna, beralih kilatan tajam bak elang yang siap membunuh. "Ternyata kamu sama saja d
Satu jam sebelumnya.Brengsek!Dony membanting tas kerja. Dia baru saja pulang dari bisnisnya. Melihat itu, Yura mendekat, memastikan apa yang telah terjadi. "Ada apa, Dony?""Damian, kakak keparat itu telah mendahului pertemuan bisnis dengan klien Kakek Luhan di luar negeri. Dia telah memenangkan bisnis di Dubai dengan membeli saham dan lahan untuk memperluas bisnisnya. Sial!"Yura tak paham, dengan polosnya bertanya. "Bukankah kalian keluarga? Kenapa kakakmu harus bersaing dengan Kakek Luhan?""Tentu saja karena dendam," jelas Dony yang segera menutup mulutnya. Dia sadar betul telah membocorkan rahasia besar yang terjadi tiga tahun lalu."Apa maksudmu, dendam?""Ah, aku salah bicara. Buatkan aku teh sana!" usir Dony mengalihkan kecurigaan Yura.Bukankah istri harus patuh kepada suami, meski tak ada cinta di antara mereka?Yura dengan patuh membuatkan segelas teh chamomile dan mengantarkan pada sang suami. Saat sampai di ruang tamu, tangan Yura mengepal erat gagang teh hingga isi di
"Berkas itu sangat penting bagiku. Katakan saja, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memberikannya padaku?"Damian sungguh senang, Yura memberinya penawaran yang cukup berani. Tanpa ragu mendekatkan diri dan memandang intens wajah cantik bak dewi yunani itu. Tatapan lembut dan meneduhkan meski terbalut rasa takut dan kesepian."Bekerja di Perusahaan dan jadi wanitaku."Seketika Yura menggenggam erat tasnya, reaksi penolakan dari permintaan Damian. "Apakah tak ada cara lain? Aku tak bisa. Aku …, tak bisa meninggalkan Dony.""Yura, aku sama sekali tidak percaya dengan kesetiaan orang. Semua keyakinan tanpa ragu karena taruhan, tidak akan cukup 'kan?"Damian mendekat dan menarik dagu Yura dengan satu tangannya. Terselip emosi dan kecemburuan di dalamnya. "Seberapa besar cinta Dony di dalam hatimu?"'Dibaliknya, ada keselamatan Ayahku. Ada kenyataan yang belum terungkap tentang pembantaian keluargaku.'"Aku tidak bisa hidup tanpa dia."Prok prok prok.Damian bertepuk tangan sendiri d
"Setelah selesai acara pernikahan, segera rayu Tuan Dony untuk melakukan kewajibannya. Jika kamu tak mau melakukannya, Ayahmu yang sedang koma itu ....""Jangan! Tolong jangan hentikan pengobatan Ayah. Aku akan melakukan apapun yang kamu suruh," ucap Yura terbata."Anak pintar!" puji Madam Serly dengan seringainya.Kini, Yura terperangkap dalam kehidupan menyedihkan. Dia harus melaksanakan perintah Madam Serly, jika ingin ayahnya bangun dari koma. Entah motif apa yang dimiliki Serly sehingga membuat Yura sebagai bonekanya.Pertama, Yura harus menikah dengan Dony Baskoro. Anak kedua Baskoro, keluarga konglomerat di kota Jakarta. Yura yang sebenarnya bernama Yuna Anjela diperkenalkan dengan nama Yura, Yura putriana. Anak ketiga dari keluarga Raharjo, yang tak lain suami Serly.Kedua, Serly meminta Yura tidur dengan Dony setelah malam pernikahan sebagai bukti diterima oleh keluarga Baskoro. Apakah mungkin?Pernikahan ini hanyalah sebagai jembatan pemersatu dari kedua belah pihak dalam ha
"Cari saja lelaki lain."Damian melepas kasar tangan Yura, membuat tubuhnya oleng dan meringis kesakitan. "Ish, kamu kasar sekali."Namun, Yura tak patah arang, kembali mendekatkan tubuhnya. "Katakan padaku bahwa kamu begitu menikmati ciuman kita tadi? Apa aku salah, Tuan? Kita sama-sama menginginkan--"MmphTanpa mampu menahan diri, Damian mendekatkan wajahnya ke Yura, sebuah sentuhan lembut yang menghanguskan setiap helaan napas. Napasnya tercekat, gejolak dalam dada memuncak tak terbendung. "Semoga kau tidak menyesal kali ini," bisiknya dengan lembut, membiarkan momen itu menghentikan realitas sejenak di antara mereka.Akh.Yura digendong ala bridal, dimasukkan ke dalam mobil Jeep. Tak peduli lagi, Damian akan melanjutkannya di dalam sana."Tolong, hentikan!" rintih Yura saat Damian menciumi leher jenjangnya."Terlambat untuk memohon berhenti.""Jangan, jangan di sini! Maksudku, kita bisa melakukannya di tempat lain."Damian merasa kecewa, harus menahan rasa untuk sesaat. Dengan em
"Berkas itu sangat penting bagiku. Katakan saja, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memberikannya padaku?"Damian sungguh senang, Yura memberinya penawaran yang cukup berani. Tanpa ragu mendekatkan diri dan memandang intens wajah cantik bak dewi yunani itu. Tatapan lembut dan meneduhkan meski terbalut rasa takut dan kesepian."Bekerja di Perusahaan dan jadi wanitaku."Seketika Yura menggenggam erat tasnya, reaksi penolakan dari permintaan Damian. "Apakah tak ada cara lain? Aku tak bisa. Aku …, tak bisa meninggalkan Dony.""Yura, aku sama sekali tidak percaya dengan kesetiaan orang. Semua keyakinan tanpa ragu karena taruhan, tidak akan cukup 'kan?"Damian mendekat dan menarik dagu Yura dengan satu tangannya. Terselip emosi dan kecemburuan di dalamnya. "Seberapa besar cinta Dony di dalam hatimu?"'Dibaliknya, ada keselamatan Ayahku. Ada kenyataan yang belum terungkap tentang pembantaian keluargaku.'"Aku tidak bisa hidup tanpa dia."Prok prok prok.Damian bertepuk tangan sendiri d
Satu jam sebelumnya.Brengsek!Dony membanting tas kerja. Dia baru saja pulang dari bisnisnya. Melihat itu, Yura mendekat, memastikan apa yang telah terjadi. "Ada apa, Dony?""Damian, kakak keparat itu telah mendahului pertemuan bisnis dengan klien Kakek Luhan di luar negeri. Dia telah memenangkan bisnis di Dubai dengan membeli saham dan lahan untuk memperluas bisnisnya. Sial!"Yura tak paham, dengan polosnya bertanya. "Bukankah kalian keluarga? Kenapa kakakmu harus bersaing dengan Kakek Luhan?""Tentu saja karena dendam," jelas Dony yang segera menutup mulutnya. Dia sadar betul telah membocorkan rahasia besar yang terjadi tiga tahun lalu."Apa maksudmu, dendam?""Ah, aku salah bicara. Buatkan aku teh sana!" usir Dony mengalihkan kecurigaan Yura.Bukankah istri harus patuh kepada suami, meski tak ada cinta di antara mereka?Yura dengan patuh membuatkan segelas teh chamomile dan mengantarkan pada sang suami. Saat sampai di ruang tamu, tangan Yura mengepal erat gagang teh hingga isi di
"Jangan berteriak! Meski aku sedang terluka, aku bisa saja membunuhmu.”AkhDamian mengerang kesakitan.Di luar rumah."Ke mana perginya?""Dia terluka parah, jadi mana mungkin dia bisa kabur secepat itu. Cepat cari sekitar!"Suara di luar kediaman Dony sangat ramai dengan banyaknya lelaki berpakaian hitam dan memakai masker.Damian menyeret tubuhnya, duduk bersandar di dinding kamar. Dia bisa bernapas lega saat orang-orang misterius itu pergi. Yura berdiri dan mundur, merasa gemetar di seluruh tubuh melihat Damian yang kesakitan. Memori saat keluarga tercinta dibantai habis-habisan kembali muncul di benaknya. Hanya tersisa Ayah yang terkulai dalam koma, saat ini."Yura, papah aku!"'Perlukah aku membunuhnya saat dia terluka? Asalkan aku berteriak, dia akan mati di sini. Maka, kejadian malam itu tak akan ada yang tahu,' batin Yura.Melihat Yura tak bergeming, mata yang semula penuh harap itu seketika sirna, beralih kilatan tajam bak elang yang siap membunuh. "Ternyata kamu sama saja d
“Apa kamu cemburu, Dony?” tanya Damian mengejek adiknya.“Apa?” Dony segera tersenyum manis. “Aku tidak peduli.”Dengan gerak-gerik gelisah, Damian mencoba melepaskan diri dari genggaman benalu itu setelah berhasil memprovokasi Dony. Hal itu sukses membuat Dony nyaris tak bisa menyembunyikan kemarahan, wajahnya memerah, seolah menyimpan gunung berapi yang siap meletus. Dalam dera cemburu yang terang-terangan, dia nyaris kehilangan kendali."Silahkan duduk," ucap Damian menyambut kedatangan Dony dan Yura. “Silahkan menikmati hadiah jamuan makan dariku.”Dony dan Yura segera duduk di kursi kosong depan Damian. Mereka makan berbagai menu yang disajikan. Damian yang duduk tepat di depan Yura, sesekali melemparkan senyum simpul ke arah Yura yang sedang sibuk memilih menu. Sorot matanya seolah menggambarkan kekaguman yang tersimpan.Sementara itu, Dony, yang duduk di samping Yura, tampak mengiris steaknya dengan kasar, begitu keras hingga suara gesekan pisau terdengar nyaring di antara deru
“Yura, jawab aku!”Hening.Dony menyimpulkan jika Yura benar-benar terlelap. Saat ini suasana hatinya sedang baik dan Yura pun sudah tidur, jadi Dony memutuskan untuk menanyakan kembali besok pagi.Pagi hari."Cepat periksa!" titah Sherly.Akh."Tolong, hentikan!"Yura diseret paksa oleh tiga ART Sherly menuju ruang seperti laboratorium. Mereka membaringkan Yura dengan memegang tangan dan kakinya. Masuk seorang Dokter dan mulai memeriksa Yura. Mereka tak peduli pada wanita yang memohon ampun saat ini. Hampir 30 menit, Yura diperiksa di dalam sana dan dilepaskan setelah pemeriksaan selesai."Bagaimana hasilnya?""Sudah robek."Bibir Sherly tersungging hingga semua gigi terlihat jelas. Puas akan hasil yang baru saja didengar. Di dekati Yura yang kini duduk bersimpuh di hadapannya. Tangan lentik itu menarik kasar dagu Yura agar terlihat jelas kesedihan di mata anak angkatnya."Kamu sungguh pintar, Yura. Terus bersikap baik sebagai menantu Baskoro agar pengobatan Ayahmu terus berjalan. Cu
"Cari saja lelaki lain."Damian melepas kasar tangan Yura, membuat tubuhnya oleng dan meringis kesakitan. "Ish, kamu kasar sekali."Namun, Yura tak patah arang, kembali mendekatkan tubuhnya. "Katakan padaku bahwa kamu begitu menikmati ciuman kita tadi? Apa aku salah, Tuan? Kita sama-sama menginginkan--"MmphTanpa mampu menahan diri, Damian mendekatkan wajahnya ke Yura, sebuah sentuhan lembut yang menghanguskan setiap helaan napas. Napasnya tercekat, gejolak dalam dada memuncak tak terbendung. "Semoga kau tidak menyesal kali ini," bisiknya dengan lembut, membiarkan momen itu menghentikan realitas sejenak di antara mereka.Akh.Yura digendong ala bridal, dimasukkan ke dalam mobil Jeep. Tak peduli lagi, Damian akan melanjutkannya di dalam sana."Tolong, hentikan!" rintih Yura saat Damian menciumi leher jenjangnya."Terlambat untuk memohon berhenti.""Jangan, jangan di sini! Maksudku, kita bisa melakukannya di tempat lain."Damian merasa kecewa, harus menahan rasa untuk sesaat. Dengan em
"Setelah selesai acara pernikahan, segera rayu Tuan Dony untuk melakukan kewajibannya. Jika kamu tak mau melakukannya, Ayahmu yang sedang koma itu ....""Jangan! Tolong jangan hentikan pengobatan Ayah. Aku akan melakukan apapun yang kamu suruh," ucap Yura terbata."Anak pintar!" puji Madam Serly dengan seringainya.Kini, Yura terperangkap dalam kehidupan menyedihkan. Dia harus melaksanakan perintah Madam Serly, jika ingin ayahnya bangun dari koma. Entah motif apa yang dimiliki Serly sehingga membuat Yura sebagai bonekanya.Pertama, Yura harus menikah dengan Dony Baskoro. Anak kedua Baskoro, keluarga konglomerat di kota Jakarta. Yura yang sebenarnya bernama Yuna Anjela diperkenalkan dengan nama Yura, Yura putriana. Anak ketiga dari keluarga Raharjo, yang tak lain suami Serly.Kedua, Serly meminta Yura tidur dengan Dony setelah malam pernikahan sebagai bukti diterima oleh keluarga Baskoro. Apakah mungkin?Pernikahan ini hanyalah sebagai jembatan pemersatu dari kedua belah pihak dalam ha