“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.
Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara. “Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody. Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah. Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody. “Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? Atau dia dirawat di rumah sakit ini juga?” Dokter Jody terdiam, jakunnya naik turun menelan saliva sambil menatap sendu ke arah Inara. “Dok, kenapa diam saja? Jawab, Dok!! Anak saya di mana?” Dokter Jody masih terdiam, menundukkan kepala dan terlihat kesulitan untuk bertanya. Inara terdiam mengedarkan pandangannya, melihat ke segala arah di ruang rawat inap itu. Kemudian sebuah senyuman terukir di raut barunya. “Akh … iya, aku lupa. Pasti dia ada di rumah bersama Mas Bagas. Pasti sebentar lagi mereka akan datang ke sini menjenggukku. Benar kan, Dok?” Belum ada jawaban dari Dokter Jordy. Perlahan dokter paruh baya itu mengangkat kepala menatap Inara dengan sendu. “Nara … putri … putri dan suamimu meninggal dalam kecelakaan itu.” Dokter Jody berkata sambil terbata-bata karena takut Inara akan terkejut dengan kabar tersebut. Tetapi dia harus mengatakannya agar Inara tahu yang sebenarnya. “APA!!!!” Inara terkejut setengah mati. Bukan hanya harus kehilangan wajah, tapi dia harus menerima kenyataan kehilangan dua orang terkasihnya. “TIDAK!! Dokter pasti salah. Dokter pasti salah. Mereka gak meninggal, kan? MEREKA GAK MENINGGAL!!!” Dokter Jody terdiam sambil menatap tajam ke Inara. Entah harus bagaimana lagi agar Inara mau mempercayai kata-katanya. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap, tapi kepalanya sudah menggeleng menegaskan kalau dia tidak berbohong. Inara membisu perlahan tangannya terangkat dan langsung menutup wajahnya. Isak tangisnya pecah, Ia menangis sejadi-jadinya. Ini bagai mimpi buruk untuk Inara. Kalau boleh memilih, dia ingin kembali koma saja dan tidak mendengar berita ini. Setelah beberapa saat, Inara sedikit lebih tenang. Ia hanya duduk diam sambil menatap suasana taman di depan jendela. “Saya akan mengantarmu ke makam mereka, Inara. Itu pun kalau kamu sudah siap.” Lagi DokterJody menegaskan agar Inara percaya dengan ucapannya hingga dia menawarkan hal teesebut. Inara belum menjawab, matanya masih sembab, bibirnya basah karena saliva. Sepanjang pagi hingga siang ini, dia terus menangis tanpa henti. Dokter Jody trenyuh melihatnya. “Saya … saya ingin pulang, Dok. Saya ingin pulang!!” Dokter Jody mengangguk. “Tentu. Saya akan mengurus kepulanganmu. Saya akan menyiapkan segalanya.” Dua hari kemudian, Inara sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Namun, dia langsung tercengang begitu turun dari taxi ia melihat rumahnya sudah disegel. Ada tulisan ‘rumah dalam pantauan bank’ di sana. “Apa ini? Kenapa rumahku disegel begini? Apa yang terjadi?” gumam Inara. Mata Inara beredar melihat ke setiap sudut halaman depan rumahnya. Lalu dia melihat sebuah kertas tergeletak di sana. Inara mengambil dan membacanya. Lagi-lagi ia dibuat tercengang. “Hutang? Rumah ini disita karena Mas Bagas mempunyai hutang. Apa selama ini perusahaannya berhutang?” Inara masih kebingungan dengan semuanya saat tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Seorang wanita cantik dengan penampilan glamour turun dari mobil tersebut. Inara tersenyum saat tahu siapa yang turun. Dia tak lain dan tak bukan adalah Rika. Rika adalah janda pamannya Bagas. “Ini rumahnya. Aku ingin rumah ini cepat dilelang. Jangan lupa hasil pelelangannya gunakan untuk membayar hutang di bank dan sisanya serahkan padaku!!” ujar Rika. Kali ini dia sedang berbincang dengan seorang pria berpenampilan rapi. Pria itu hanya manggut-manggut mendengarnya. “Apa tidak ada ahli warisnya, Bu Rika?” tanya pria itu dengan sopan. “Tidak!! Semua sudah mati!! Kini semuanya menjadi milikku, termasuk perusahaan keluarga. Jadi lakukan saja perintahku!!!” Inara tercengang mendengarnya. Bukankah dia masih hidup, mengapa Rika mengira dia sudah mati? Apa tidak ada yang memberitahu jika dia masih hidup? Ada apa sebenarnya ini? Inara berjalan mendekat dan siap menghampiri Rika. Sesaat sebelum Rika masuk mobil, dia melirik ke arah Inara. “Hei Gembel!! Ini rumah kosong, jadi jangan mengemis di sini!! Cantik-cantik, tapi gembel!!” Kembali Inara tercengang dibuatnya, tapi dia segera sadar jika kini dia mempunyai wajah baru rasanya pantas jika Rika tidak mengenalinya. Inara diam di tempatnya dan urung mendekat, sementara Rika sudah berlalu pergi meninggalkannya. Inara penasaran, ia mengikuti Rika dan ternyata benar. Semua asset miliknya sudah berubah kepemilikan menjadi milik Rika. Apa karena dia tidak punya saudara dan kerabat? Jadi semuanya diambil alih Rika. Inara tahu jika selama ini Rika tidak suka padanya, tapi dia tidak menduga jika tante suaminya akan melakukan hal ini. Kini Inara kebingungan, dia tidak punya siapa-siapa, harta juga tidak ada. Lalu bagaimana cara dia bertahan hidup? Untung saja ada Dokter Jody yang mau menampungnya dan menganggap Inara seperti putri sendiri. “Kamu mau ke mana, Inara?” tanya Dokter Jody pagi itu. “Saya mau melamar pekerjaan, Dok. Tidak enak rasanya terus menumpang hidup di sini terus.” “Terserah kamu, Inara. Yang pasti aku dan istriku sangat senang ada kamu di sini.” Inara tersenyum, kemudian berpamitan undur diri. Semalam dia membaca iklan sebuah perusahaan sedang mencari sekretaris CEO. Inara memang tidak bekerja setelah menikah dengan Bagas, tapi sebenarnya dia adalah lulusan S1 Akutansi. Sedikit banyak dia tahu cara bekerja di kantor. Selang beberapa saat Inara sudah tiba di sebuah kantor. Ia berjalan menuju resepsionis. “Selamat pagi, Kak. Saya mau interview untuk lowongan sekretaris CEO,” sapa Inara dengan ramah. “Oh iya, langsung naik ke lantai 7 saja ya.” Inara mengangguk, berpamitan kemudian berjalan menuju lift. Dia tampak riang dan penuh semangat. Ini saatnya dia melanjutkan hidupnya lagi. Inara masih berdiri menunggu di depan lift sambil memperhatikan lalu lalang orang. Hingga tiba-tiba matanya menatap sosok yang sangat dia kenal. Inara mengerjapkan mata berulang menyakinkan penglihatannya. Tanpa sadar sebuah nama tercetus dari bibir mungilnya, “Mas Bagas … .”"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak.Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang."Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu."Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melak
"Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
"Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak.Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang."Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu."Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melak
"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara.“Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody.Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah.Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody.“Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? A