"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.
Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak. Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang." Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu." Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melakukannya. Wajahnya sudah berubah dan Bagas tidak mengenalinya. "Iya, pergilah." Inara pergi bergegas. Ia masuk ke bilik toilet dan menumpahkan kesedihannya di sana. Entah berapa lama ia berada di sana, saat tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat dikenalnya. "Kalian harus pastikan bahwa Inara sudah tewas. Aku tidak mau Bagas berpaling dariku lagi. " Deg!! Spontan Inara diam terpaku dan mendengarkan perbincangan seseorang di sebelahnya. Kalimatnya terdengar begitu jelas di telinga Inara. Sungguh hal tersebut membuat Inara tertegun karena pernyataan itu menunjukkan bahwa Bagas memiliki hubungan lebih dari sekadar tante dan keponakan dengan Rika. "Yang benar saja? Apakah telingaku tidak salah dengar," batin Inara. Perlahan Inara keluar dari bilik toilet. Tepat dugaannya kalau yang sedang melakukan panggilan dan berbicara tadi adalah Rika. Sepertinya Rika pamit ke toilet juga usai Inara keluar ruangan tadi. Inara memaksakan diri untuk berdekatan dengan Rika seraya mendengar lebih jelas lagi apa yang dikatakan si Perempuan licik itu. Hal yang paling mengejutkan adalah mereka telah menyembunyikan sesuatu dari Inara selama ini. Tidak kuasa telinganya terus mendengar percakapan Rika di telepon, Inara memilih keluar toilet. Ia berjalan tergesa dan ingin cepat kembali ke ruangan tadi. Namun, Inara malah bertabrakan dengan Bagas. “Akh, maaf, Pak.” Inara bicara gugup saat memanggil Bagas dengan sebutan itu. Bagas tidak menyahut hanya mengangguk sambil berjalan kembali menuju toilet. Inara terdiam sejenak dan melihat Bagas malah menghampiri Rika. Inara penasaran, apa yang akan dilakukan mereka berdua. Alih-alih kembali ke ruangan tadi, Inara memilih sembunyi di belakang pilar. "Rika!! Lama sekali ke toiletnya!! Tuan Daniel menunggu kita,” seru Bagas. Rika tersenyum, berjalan dengan gemulai ke arah Bagas dan menepuk pipinya. “Sabar dong, Sayang. Aku hanya sedang merapikan penampilan saja. Aku tidak mau kamu teralihkan oleh pesona sekretaris Tuan Daniel tadi.” Bagas tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Kamu tidak percaya jika aku hanya mencintaimu saja. Tidak ada yang lain.” Rika tersenyum dengan menggoda. “Aku percaya.” "Apakah kamu sudah mendengar kabar?" Bagas mengalihkan topik pembicaraan. Rika menggendikkan bahunya pelan menandakan dia tidak tahu. "Kabar apa maksudmu, Sayang?" "Polisi sudah menemukan jasad Inara. Mereka mengirim fotonya padaku. Wajah dan tubuhnya rusak serta membusuk." "Apa kau sudah bisa memastikan itu adalah jasad Inara? Aku hanya takut bil--" Bagas sontak menyentuh satu jarinya ke arah bibir mungil Rika. "Kamu tenang saja, aku sudah memastikan semuanya." "Apa kau yakin?" tanya Rika menatap Bagas. Bagas mengangguk pelan, seolah menyakinkan Rika bahwa kabar yang dia dengar itu adalah benar. "Sebaiknya kita mengadakan perayaan setelah mendengar kabar baik ini?" "Kau benar sekali, Rika. Aku juga tidak menyangka begitu mudah membunuh wanita bodoh itu." Rika tersenyum geli, "Kau harus banyak belajar dariku, Bagas. Aku bisa melakukan apapun untuk menggapai tujuanku. Sayangnya putrimu harus menjadi tumbal dalam usahaku kali ini.” “Andai saja dari awal kamu menurut ucapanku, menggunakan pengaman tiap berhubungan dengan istrimu. Pasti putrimu tidak pernah ada di muka bumi ini dan dia tidak perlu mati sia-sia.” Bagas hanya diam, entah apa yang dipikirkan kali ini. Namun, yang pasti wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesedihan. Rika melihat ekspresi Bagas dan kembali bersuara. “Istrimu itu memang terlalu naif. Dia bahkan tidak tahu jika suaminya selingkuh di belakangnya selama ini,” imbuh Rika tersenyum geli dengan kebodohan istri kekasihnya itu. Bagas tersenyum. “Dia tidak naif, Tante, tapi bodoh. Dia bahkan tidak tahu jika kematian ibunya bulan lalu karena ulah kita. Kalau tidak kita racun, tua bangka itu tidak akan mati dan semua hartanya tidak jatuh ke tangan kita.” Deg!! Inara membekap mulutnya ketika mendengar hal itu. Dua hantaman mengenai di hatinya. Sekarang dia tahu kenapa Bagas tidak pernah menyentuhnya lagi usai dia melahirkan. Ditambah kepergian ibunya sebulan lalu ternyata karena ulah mereka. Sebelumnya Inara curiga karena ibunya tidak punya riwayat sakit jantung. Mengapa tiba-tiba dikabarkan meninggal akibat serangan jantung? Buliran bening jatuh di pelupuk matanya. Ternyata ada alasan dibalik kematian ibunya. "Jadi selama ini …," lirih Inara meneguk salivanya berulang kali. Inara pikir itu adalah halusinasinya saja namun itu adalah kenyataan pahit yang harus dia terima. Bagas sontak menarik tangan Rika agar lebih dekat lagi dengannya, "Tak usah bahas masalah itu lagi, kau sudah menang kali ini dan sekarang aku menjadi milikmu, Sayang." Rika tersenyum menyeringai. “Tentu saja. Aku pemenangnya yang beruntung. Kamu tidak hanya tampan, tapi juga cerdas, Sayang.” Perlahan Bagas mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut bibir Rika. Inara terdiam, tanpa diminta matanya berair. Bagaimanapun pria itu pernah mempunyai tempat spesial di hatinya. Inara mencoba mengatur napas. Ada sesak yang bergumpal di dadanya. Banyak amarah tertumpuk di sana. Bagas, suami pilihannya yang dianggap sangat mencintainya. Begitu tega membunuh ibunya, putri mereka bahkan dirinya sendiri hanya demi harta dan wanita yang merupakan tantenya. “Berengsek!! Kamu sudah membohongiku habis-habisnya, Bagas!!!” umpat Inara tertahan. Ia tidak mau keberadaannya di balik pilar ini diketahui dua orang tidak tahu diri itu. Inara terdiam, perasaannya kalut, campur aduk tak karuan. Kemudian matanya menangkap sebuah kayu yang tergeletak di lantai dekat dengan tempatnya berdiri. Tanpa pikir panjang Inara mengambil kayu tersebut. Ia kemudian melihat ke arah Bagas dan Rika. Sepertinya mereka berdua siap beranjak pergi. “Ini saatnya. Ini saatnya aku membalas semua perbuatanmu, Bagas!!!” Inara berjalan mendekat ke arah Bagas dan Rika yang berdiri membelakanginya. Inara mengangkat tongkat tersebut, siap mengayunkannya ke kepala Bagas. Mata Inara menyalang dengan bibir yang bergumam pelan, "Aku akan membunuhmu,, Bagas!!!""Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara.“Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody.Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah.Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody.“Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? A
"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
"Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak.Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang."Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu."Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melak
"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara.“Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody.Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah.Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody.“Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? A