"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.
Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak. Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang." Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu." Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melakukannya. Wajahnya sudah berubah dan Bagas tidak mengenalinya. "Iya, pergilah." Inara pergi bergegas. Ia masuk ke bilik toilet dan menumpahkan kesedihannya di sana. Entah berapa lama ia berada di sana, saat tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat dikenalnya. "Kalian harus pastikan bahwa Inara sudah tewas. Aku tidak mau Bagas berpaling dariku lagi. " Deg!! Spontan Inara diam terpaku dan mendengarkan perbincangan seseorang di sebelahnya. Kalimatnya terdengar begitu jelas di telinga Inara. Sungguh hal tersebut membuat Inara tertegun karena pernyataan itu menunjukkan bahwa Bagas memiliki hubungan lebih dari sekadar tante dan keponakan dengan Rika. "Yang benar saja? Apakah telingaku tidak salah dengar," batin Inara. Perlahan Inara keluar dari bilik toilet. Tepat dugaannya kalau yang sedang melakukan panggilan dan berbicara tadi adalah Rika. Sepertinya Rika pamit ke toilet juga usai Inara keluar ruangan tadi. Inara memaksakan diri untuk berdekatan dengan Rika seraya mendengar lebih jelas lagi apa yang dikatakan si Perempuan licik itu. Hal yang paling mengejutkan adalah mereka telah menyembunyikan sesuatu dari Inara selama ini. Tidak kuasa telinganya terus mendengar percakapan Rika di telepon, Inara memilih keluar toilet. Ia berjalan tergesa dan ingin cepat kembali ke ruangan tadi. Namun, Inara malah bertabrakan dengan Bagas. “Akh, maaf, Pak.” Inara bicara gugup saat memanggil Bagas dengan sebutan itu. Bagas tidak menyahut hanya mengangguk sambil berjalan kembali menuju toilet. Inara terdiam sejenak dan melihat Bagas malah menghampiri Rika. Inara penasaran, apa yang akan dilakukan mereka berdua. Alih-alih kembali ke ruangan tadi, Inara memilih sembunyi di belakang pilar. "Rika!! Lama sekali ke toiletnya!! Tuan Daniel menunggu kita,” seru Bagas. Rika tersenyum, berjalan dengan gemulai ke arah Bagas dan menepuk pipinya. “Sabar dong, Sayang. Aku hanya sedang merapikan penampilan saja. Aku tidak mau kamu teralihkan oleh pesona sekretaris Tuan Daniel tadi.” Bagas tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Kamu tidak percaya jika aku hanya mencintaimu saja. Tidak ada yang lain.” Rika tersenyum dengan menggoda. “Aku percaya.” "Apakah kamu sudah mendengar kabar?" Bagas mengalihkan topik pembicaraan. Rika menggendikkan bahunya pelan menandakan dia tidak tahu. "Kabar apa maksudmu, Sayang?" "Polisi sudah menemukan jasad Inara. Mereka mengirim fotonya padaku. Wajah dan tubuhnya rusak serta membusuk." "Apa kau sudah bisa memastikan itu adalah jasad Inara? Aku hanya takut bil--" Bagas sontak menyentuh satu jarinya ke arah bibir mungil Rika. "Kamu tenang saja, aku sudah memastikan semuanya." "Apa kau yakin?" tanya Rika menatap Bagas. Bagas mengangguk pelan, seolah menyakinkan Rika bahwa kabar yang dia dengar itu adalah benar. "Sebaiknya kita mengadakan perayaan setelah mendengar kabar baik ini?" "Kau benar sekali, Rika. Aku juga tidak menyangka begitu mudah membunuh wanita bodoh itu." Rika tersenyum geli, "Kau harus banyak belajar dariku, Bagas. Aku bisa melakukan apapun untuk menggapai tujuanku. Sayangnya putrimu harus menjadi tumbal dalam usahaku kali ini.” “Andai saja dari awal kamu menurut ucapanku, menggunakan pengaman tiap berhubungan dengan istrimu. Pasti putrimu tidak pernah ada di muka bumi ini dan dia tidak perlu mati sia-sia.” Bagas hanya diam, entah apa yang dipikirkan kali ini. Namun, yang pasti wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesedihan. Rika melihat ekspresi Bagas dan kembali bersuara. “Istrimu itu memang terlalu naif. Dia bahkan tidak tahu jika suaminya selingkuh di belakangnya selama ini,” imbuh Rika tersenyum geli dengan kebodohan istri kekasihnya itu. Bagas tersenyum. “Dia tidak naif, Tante, tapi bodoh. Dia bahkan tidak tahu jika kematian ibunya bulan lalu karena ulah kita. Kalau tidak kita racun, tua bangka itu tidak akan mati dan semua hartanya tidak jatuh ke tangan kita.” Deg!! Inara membekap mulutnya ketika mendengar hal itu. Dua hantaman mengenai di hatinya. Sekarang dia tahu kenapa Bagas tidak pernah menyentuhnya lagi usai dia melahirkan. Ditambah kepergian ibunya sebulan lalu ternyata karena ulah mereka. Sebelumnya Inara curiga karena ibunya tidak punya riwayat sakit jantung. Mengapa tiba-tiba dikabarkan meninggal akibat serangan jantung? Buliran bening jatuh di pelupuk matanya. Ternyata ada alasan dibalik kematian ibunya. "Jadi selama ini …," lirih Inara meneguk salivanya berulang kali. Inara pikir itu adalah halusinasinya saja namun itu adalah kenyataan pahit yang harus dia terima. Bagas sontak menarik tangan Rika agar lebih dekat lagi dengannya, "Tak usah bahas masalah itu lagi, kau sudah menang kali ini dan sekarang aku menjadi milikmu, Sayang." Rika tersenyum menyeringai. “Tentu saja. Aku pemenangnya yang beruntung. Kamu tidak hanya tampan, tapi juga cerdas, Sayang.” Perlahan Bagas mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut bibir Rika. Inara terdiam, tanpa diminta matanya berair. Bagaimanapun pria itu pernah mempunyai tempat spesial di hatinya. Inara mencoba mengatur napas. Ada sesak yang bergumpal di dadanya. Banyak amarah tertumpuk di sana. Bagas, suami pilihannya yang dianggap sangat mencintainya. Begitu tega membunuh ibunya, putri mereka bahkan dirinya sendiri hanya demi harta dan wanita yang merupakan tantenya. “Berengsek!! Kamu sudah membohongiku habis-habisnya, Bagas!!!” umpat Inara tertahan. Ia tidak mau keberadaannya di balik pilar ini diketahui dua orang tidak tahu diri itu. Inara terdiam, perasaannya kalut, campur aduk tak karuan. Kemudian matanya menangkap sebuah kayu yang tergeletak di lantai dekat dengan tempatnya berdiri. Tanpa pikir panjang Inara mengambil kayu tersebut. Ia kemudian melihat ke arah Bagas dan Rika. Sepertinya mereka berdua siap beranjak pergi. “Ini saatnya. Ini saatnya aku membalas semua perbuatanmu, Bagas!!!” Inara berjalan mendekat ke arah Bagas dan Rika yang berdiri membelakanginya. Inara mengangkat tongkat tersebut, siap mengayunkannya ke kepala Bagas. Mata Inara menyalang dengan bibir yang bergumam pelan, "Aku akan membunuhmu,, Bagas!!!""Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
Inara mendekatkan tubuhnya ke arah Daniel dan membisikkan sesuatu di telinga pria tampan itu. Entah apa yang perempuan itu katakan namun tak lama kemudian Daniel langsung mengangguk bertanda dia setuju dengan apa yang dikatakan Inara."Baiklah kalau begitu sayang," sindir Inara sambil menaikkan alisnya menatap Daniel. Daniel tersenyum geli mendengar Inara memanggilnya sayang. "Apakah kamu bilang aku sedang bercanda?" Lagi-lagi Inara tersenyum geli, "Iya, Pak. Saya juga tidak bercanda kok. Saya mau menikah dengan Bapak asal Bapak mau menyetujui syarat yang saya bilang tadi.""Baiklah jika keinginanmu begitu, aku akan menyuruh Joe membuat surat kontrak pernikahan kita." Jauh di dalam lubuk hati Daniel, dia begitu bingung dengan syarat yang diajukan Inara untuk menikah kontrak selama satu tahun saja dengannya. "Apakah diriku ini tak layak jadi suaminya? Apa aku kurang tampan?" Daniel mendengus kesal melihat kepergian Inara, dia tidak menyangka bila gadis itu akan memberi
"Ini Pak, aku hanya menemukan biodata Rika dan ternyata dia dan pak Bagas itu satu sekolah.""Kau tahu dari mana Bagas dan Rika itu bersekolah di tempat yang sama?" tanya Daniel heran karena Dhita baru saja bertemu dengan Bagas beberapa kali. Hal itu membuat Inara tersudut hingga perempuan itu pun mencari cara lain agar tak dicurigai, "A--ku pernah membaca informasi pak Bagas di sebuah jejaring sosial, Pak," jawab Inara sedikit terbata-bata. Daniel mengerutkan dahinya menatap Dhita nampak begitu gugup menjawab pertanyaannya hingga muncul sesuatu hal yang mencurigakan yang membuat Daniel ingin mencari tahu. Bukan satu atau dua kali ini saja, Daniel merasa sangat aneh bila Dhita bertemu dengan klien bisnisnya itu, bak ada sesuatu hal yang menakutkan."Sebenarnya ada apa di antara mereka? Kenapa aku merasa Dhita mengenal baik klienku itu." Daniel memperhatikan Dhita sambil duduk menghadap ke arah meja kerja Dhita hingga dia baru menyadari bila sejak tadi ponselnya terus saja berd
Inara lekas membekap mulutnya, air matanya hampir saja jatuh dan keringat dingin hampir saja membasahi seluruh wajahnya karena langkah kaki pria itu semakin lama semakin terdengar lebih dekat. Yang bisa Inara lakukan hanyalah memejamkan kedua matanya dan tak lama tangan seseorang menarik tangannya dan membawanya ke sebuah ruangan. Inara tak berani membuka matanya kali ini, dia takut apabila Bagas lah yang menemukannya dan mempertanyakan apa yang dia dengar tadi."Siapa di sana?""Pak Bagas ada telepon dari bu Rika.""Oh baiklah." Setelah memastikan Bagas sudah pergi, Daniel baru menyuruh Inara membuka matanya. "Apa yang kau lakukan di sini, Ta? Bukankah tadi aku bilang bahwa aku menunggumu di tempat parkir.""Syukurlah kalau itu kamu, pak." Inara menghapus air matanya yang hendak jatuh dan kini dia bisa bernapas lega namun ucapan Bagas tadi masih terngiang di telinga Inara."Sebenarnya kamu kenapa bersembunyi dan ada apa dengan pak Bagas?" tanya Daniel ingin tahu.
"Tentu saja, aku sangat yakin." Setelah mengetahui hubungan Bagas dan Rika, entah kenapa takdir begitu cepat mempertemukan mereka lagi. Kebetulan sekali saat itu Daniel mengajaknya untuk makan malam bersama dengan keluarga Sebastien. Dengan penampilan yang begitu anggun, Inara sengaja ingin memancing Bagas. Namun ternyata yang malah terpancing adalah atasannya sendiri, ketika Inara berdiri menyambut kedatangan Bagas, pria itu tampak terpelongo kaget melihat Inara yang tampil begitu anggun dan cantik dengan dress panjang berwarna navy."Sepertinya pak Bagas mulai terpesona denganmu! Aku akui kau cantik malam ini," puji Daniel mengulas senyuman tipisnya."Benarkah, Anda memang sangat pandai memuji, Pak." "Bukankah aku sudah bilang panggoil aku Daniel saja," protesnya geram."Baik, El.""Seperti itu sudah lebih dari cukup," balas Daniel tersenyum tipis. Bukan hanya Bagas yang takjub melihat kecantikan Ianra, Daniel pun tak bisa berhenti menatap Inara karena begitu terpesona
"Tapi bisakah kamu berhenti membahas wanita itu sayang." Mendengar ucapan Rika tadi, dengan sekuat hati Inara berusaha untuk menahan air matanya yang hendak jatuh. Dia terus memancing Rika sampai benar-benar mendapat informasi akurat. Sementara Daniel pun melakukan hal yang sama, dia mencoba mencari surat kuasa sang ayah. Namun, dia menghentikan pergerakannya ketika melihat paman Nicholas masuk ke dalam kamar ayahnya."Apa yang kamu lakukan di sini, El?" tanyanya tampak curiga. Daniel tertegun, tetapi tetap berusaha santai seolah tak ada sesuatu hal yang terjadi."Aku sedang mencari surat peninggalan ayah." Paman Nicholas tersenyum miring, "Apa kamu mencari ini!" Pria parih baya itu menunjukkan selembar kertas ke arah Daniel."Jangan bilang kamu meragukan surat kuasa ini.""Apa maksud paman?" tanya Daniel seolah tak mengerti padahal dia tahu pertanyaan pamannya itu mengarah ke syarat surat kuasa tersebut. Pria paruh baya itu berjalan lebih dekat ke arah Daniel. "Kam
"Ini adalah surat kuasa yang ditinggalkan ibumu." "Surat kuasa?! Apa maksud Dokter?" Pria itu meminta Inara untuk membukanya langsung, "Sebaiknya kamu lihat saja isinya." Dengan segera Inara membuka map tersebut dan matanya membulat sempurna ketika melihat namanya tertulis di dalam surat kuasa tersebut. "Perusahaan Corp Group adalah milik ayahku. Apakah ini benar Dok? Tidak... Tidak ini pasti salah." "Ini benar, Ra. Mendiang ayahmu adalah pemilik di Corp Group. Beliau dan ibumu berpisah karena sebuah alasan namun ibumu tak pernah mengetahui jikalau ayahmu adalah pemilik Corp Group. Sehari sebelum ibumu meninggal pengacara ayahmu memberikan surat ini dan ibumu menitipkannya padaku." Dokter Jody juga menceritakan jikalau orang tua Inara berpisah karena kakak ayahnya tidak setuju dengan ibu Laras sehingga dia berusaha memisahkan orang tua Inara. "Bukankah ibu bilang bahwa ayahku sudah meninggal sewaktu aku berumur 5 tahun." "Tidak, Ra. Ayahmu masih hidup dan ibu Laras sengaja m
Dia merapikan riasannya agar tak terlalu norak, si wanita yang menghiasnya tadi pun memberikan sepatu berwarna senada dengan gaun yang dikenakannya. Tidak lama kemudian, suara ketukan terdengar dari balik pintu. "Masuk saja," ucap Inara mengetahui bahwa itu adalah suara Daniel. Ketika tangan Daniel membuka pintu tersebut, matanya terbelalak kaget ketika mendapati Inara yang begitu cantik dengan gaun yang dikenakannya. Mulutnnya hingga ternganga membulat dan berbentuk huruf o. "Kamu cantik seka--" Daniel tak melanjutkan kalimatnya namun bibirnya langsung saja menyambar bibir ranum perempuan itu, tanpa penolakan dari Inara. Beruntungnya si perias tadi sudah dipersilahkannya keluar lebih dulu. Sentuhan lembut itu mampu memancing hasrat Inara yang juga menggebu hingga terjadi pangutan yang begitu lama, "Kamu cantik sekali, Ra," bisik Daniel baru menyadari orang-orang telah menunggunya di bawah."Terima kasih, El.""Apa kamu yakin dengan pernikahan ini, Ra?" "Apa maksudmu?
Daniel meminta Joe untuk menemukqn Inara secepatnya."Bagaimana bisa sudah satu minggu lamanya kalian tak menemukan Inara.""Kami akan berusaha menemukannya, Pak." Di sidang pada hari berikutnya, Rika lagi-lagi terus berkelit.“Nona Rika, kami minta tolong untuk Anda berkata jujur dan tidak berkelit,” ucap sang hakim agung.“Maaf, Yang Mulia. Tapi begitulah kenyataannya. Aku sama sekali tidak mengerti tentang kejadian yang Anda maksudkan atau yang kalian tuduhkan kepadaku. Aku benar-benar tidak bersalah dalam kasus ini,” ucap Rika.“Tapi, kenapa semua saksi berkata jika Anda juga terlibat kalau memang Anda tidak terlibat, Nona?"“I-itu pasti karena mereka sudah bersekongkol untuk menjebloskan aku ke dalam penjara!” kelit Rika sambil menyilangkan tangan di depan dada. Terdengar derit pintu terbuka membuat semua orang menoleh ke sumber suara."Tentu saja yqng salah harus dihukum. Aku datang sebagai korban atas pembunuhan yang telah kamu rencanakan, Rika. Bukan hanya aku yang men
Inara langsung meremas tangan Daniel dengan kuat hingga ia tidak menyadari jika kuku panjangnya itu membuat jemari Daniel terluka."Yang benar saja kamu melukai jariku," gumam Daniel merasakan perih di punggung tangannya. Tidak cukup di situ saja, Inara langsung memeluk Daniel karena takutan dengan kegelapan. Perempuan itu baru membuka matanya ketika Daniel sudah mengatakan bahwa lampu sudah menyala."Yang benar saja villa semegah ini bis--" Inara mengatupkan bibirnya karena melihat ruangan kamar itu dipenuhi dengan bunga-bunga dihiasi dengan sebuah kata-kata yang membuatnya terbelalak kaget."Apa maksudnya ini, El?" tanya Inara langsung menoleh ke arah Daniel."Maukah kamu menikah denganku?" Daniel dengan duduk berjongkok lalu menyodorkan sepasang cincin ke arah Inara."Benarkah kamu ingin menikah denganku?" tanya Inara benar-benar tidak percaya."Bukankah kamu harus menjawab pertanyaanku tadi? Mengapa nalah balik bertanya." Tanpa berpikir panjang lagi Daniel langs
Langsung saja perempuan itu menarik tangan Daniel dan memintanya untuk menjauh dari seorang gadis yang menjaga toko tersebut."Apakah itu tidak terlalu mahal?" protes Inara sembari membujuk Daniel untuk memikir ulang membeli cincin tersebut."Tidak apa-apa, Ra! Kan jarang banget aku membeli barang seperti ini dan aku tidak pernah menilai sesuatu dari harganya," balas Daniel meminta pelayan untuk membungkusnya."Apakah kamu ingin membeli yang lain? Pilih saja, nanti aku yang akan bayar," tawar Daniel melirik Inara yang terus saja mengomelinya. Hipotesa negatif mulai bersarang di dalam otaknya, melihat Daniel yang membeli barang tanpa memikirkan nilai harganya dantidak tahu untuk siap cincin tersebut maka membuat jiwa Inara bergejolak dan ingin membeli sesuatu yang sama nilainya dngan cincin tersebut."Baiklah, aku ingin membeli gelang, tetapi kalau harganya mahal, kamu tidak akan protes kan?" Inara sontak menoleh ke arah Daniel yang sedang duduk santai di atas sofa. Daniel t
Inara yang menatap dua orang itu saling beradu pandang pun merasa jengkel. Ia terus meneguk habis minumannya hingga membuatnya tersendak.Uhuukk... Uhuuk.."Minumlah." Daniel menyodorkan segelas air mineral ke arahnya. Melihat tindakan Daniel yang begitu sigap membantunya, membuat Inara sering bertanya-tanya apa yang sebenarnya Daniel pikirkan. Bagaimana bisa dia memberi perhatian kepada dua perempuan sekaligus. Hubungannya yang begitu dekat dengan Kanza benar-benar membuat Inara harus extra sabar menyaksikan hal itu."Mengapa aku jadi cemburu sih." Bagaimana tidak cemburu, Kanza pun terkadang bersikap manja dengan seorang pria blasteran itu di depan Daniel dan dirinya. Bahkan mereka saling menatap penuh makna satu sama lain. Ketika makanan sudah dihidangkan di atas meja, Kanza pun menyodorkan makanan kesukaan sang bule itu ke arahnya lalu memaksa sang pria bermanik mata hijau itu memakan satu suapan untuknya. Bukan hanya cantik saja, tetapi Kanza juga begitu handal m
"Iya, El." Inara menjawab terbata-bata karena jarak mereka yang hanya beberapa senti meter saja membuat Inara sedikit ketakutan. Daniel menelisik tajam ke arah Inara dan menatap sepasang bola mata perempuan cantik itu lalu ia membisikkan sesuatu hal yang membuat Inara berteriak. "Apa kamu sudah tak waras, El! Aku mana mungkin melakukan itu, hal yang terjadi kepada kita itu karena ketidaksengajaan." Inara mengingatkan Daniel apa yang pernah mereka lewati ketika malam nahas itu. Pria itu masih mengunci pergerakannya dan menatap Inara dengan sangat dalam, dia tahu bahwa saat ini Inara sedikit ketakutan dengannya. Namun, Daniel ingin membuat Inara sadar, lalu dia membisikan sesuatu lagi."Itupun jika kamu mau menikah denganku, jika tidak ya terserah padamu," ucapnya sedikit mengancam dengan senyuman yang mengembang di sudut bibirnya."Tidak akan! Aku tidak akan melakukan itu." Inara protes tidak menyetujui keinginan pria tersebut. Kemudian Daniel menatap lagi k
Mendengar itu sontak saja Inara mendekati Daniel dan hendak memukulnya, tetapi sayangnya kaki terpeleset dan membuat tubuhnya tak seimbang lalu hendak jatuh, beruntungnya tangan kekar itu langsung menarik tubuhnya sehingga masuk dalam pelukannya, tetapi tanpa sengaja karena ingin menolong Inara, malah handuk yang dipakainya jatuh ke lantai membuat tubuh pria itu terlihat polos hanya mengenakan alat pelindung untuk menutupi juniornya saja."Ambil handukmu, El." Sontak saja Inara Langsung memejamkan matanya seraya membenarkan posisinya."Lalu aku harus apa jika aku tidak menolongmu maka kamu akan jatuh," cibir Daniel merasa serba salah."Tetapi tidak begitu juga, El!" protes Inara."Kenapa kamu malu melihatnya, bukankah sudah sering melihatnya.""Iya, tapi aku tidak nafsu kok." Mendengar itu, Daniel mengambil handuk tersebut dan menutupi juniornya lalu keluar dari kamar Inara dan menutup pintu kamar dengan keras. "Apa dia benar-benar serius? Tidak nafsu denganku lalu kenapa
Daniel mengamati raut wajah Inara dan sepertinya perempuan itu benar-benar yakin dengan rencananya tersebut. Daniel jadi bingung dibuatnya."Apakah Inara yakin ingin merencanakan pernikahan itu?" gumam Daniel sedikit menggerutu. Semilir angin malam itu menyentuh kulit dan membuatnya terus memeluk ledua tangannya sehingga membuat Daniel melangkah masuk ke ruang kerjanya dan mengambil jasnya."Apakah kamu masih mencintai Bagas?" tanya Dankel menoleh ke arah istrinya.. Mendengar pertanyaan itu, Inara balik menoleh ke arah Daniel dan menjawab pertanyaannya."Bohong bila aku tidak mencintainya? Bagaimanapun pria itu pernah tersimpan indah di dalam lubuk hatiku, tetapi untuk kembali padanya dan mengulang masa lalu, aku rasa itu tidak mungkin meski.." Inara menjeda kata-katanya, seolah tidak sanggup untuk melanjutkannya."Meski kenapa" tanya Daniel ingin tahu isi hati perempuan itu. Memandangi wajah Inara, pria tampan itu tahu apa yang ada di dalam isi hatinya sama hal s
Daniel semakin erat memeluknya dan terus menyemangati Inara dan menasehatinya bahwa yang bisa menentukan pilihan itu adalah dirinya sendiri. Usai perempuan itu merasa lega, Daniel menyuruh Inara untuk meminum teh hangat agar tubuhnya merasa lebih baik lagi. Tak disangka perempuan itu menuruti kata-katanya dan Inara pun meminta Daniel membawanya ke balkon atas dan menikmati udara malam itu spontan saja Daniel langsung menolaknya mengingat bahwa tubuh perempuan itu masih begitu lemah."Please, ikuti perintahku! Jika kamu sehat aku tidak akan melarangmu," ketusnya tak senang. Dengan sangat terpaksa dan tidak ingin berdebat karena tubuhnya memang masih sedikit lemah maka Inara pun mengangguk, perempuan itu lantas menyuruh Daniel untuk membersihkan diri karena baju pria tampan itu juga sangat basah. Setelah pergi meninggalkan Inara dan masuk ke dalam.kamarnya, entah mengapa Daniel merasa tak tenang. Ada sedikit kegundahan yang menimpa dirinya kenapa bisa Bagas berkata seperti i