"Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.
Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya. Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung. “Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?” Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara. “Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.” Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan menyeka air matanya. “Iya, saya tahu. Saya minta maaf, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi.” Inara mencoba meredam amarahnya di depan Daniel, tidak mungkin dia menceritakan masa lalunya pada pria yang baru dikenalnya. Daniel tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Ya sudah, kalau begitu. Ayo, kita kembali lagi!! Meeting kita belum selesai tadi.” Inara menghela napas panjang sambil mengangkat kepala, tanpa sengaja matanya malah bertemu dengan mata Daniel. Daniel sedang menatapnya dengan sendu dan baru kali ini Inara mendapat tatapan seteduh itu. Mereka berjalan masuk kembali ke ruangan. Di sana Inara melihat Bagas dan Rika sudah kembali duduk di posisinya. Sekuat hati, Inara menahan semua amarahnya. Dia tidak mau musuhnya tahu terlalu cepat siapa dia sebenarnya. Daniel kembali membahas tentang kerja sama bisnis mereka dan kali ini Inara hanya diam. Ia terus mencatat semua yang dibicarakan. Hingga beberapa saat kemudian, pembicaraan bisnis mereka selesai. “Oh ya, Tuan Daniel. Kedatangan kami ke sini sekalian untuk mengundang Anda untuk datang ke pernikahan kami bulan depan,” ujar Rika menyeringai. Seketika Inara tercengang, dengan spontan kepalanya langsung mendongak dan menatap Rika dengan tajam. Rika tersenyum melihat reaksi Inara. “Anda boleh datang bersama sekretaris Anda, Tuan Daniel,” imbuh Rika. Daniel tersenyum, menganggukkan kepala sambil menerima undangan dari Rika. Daniel membaca sekilas undangan tersebut kemudian menyerahkan ke Inara. “Catat tanggalnya, Ditha. Biar aku tidak kelupaan!!” Inara mengangguk sambil membaca undangan tersebut. Di sana tertulis nama suaminya dan nama Rika. Lagi-lagi ada luka yang tak terlihat di hati Inara. Ia tidak menduga jika Bagas dan Rika telah merencanakan ini semua. Bahkan mereka akan menikah, sungguh diluar nalarnya. Bagas menikahi tantenya sendiri. Rika dan Bagas berpamitan pulang, menyisakan Daniel dan Inara di ruangan tersebut. Daniel tampak memperhatikan Inara yang terdiam sedari tadi. Entah mengapa saat melihat Inara, Daniel teringat dengan seseorang. Mungkin karena alasan itu juga yang membuat Daniel langsung menerima Inara sebagai sekretarisnya. “Aku minta hasil meeting hari ini, Ditha. Kirim ke emailku juga, ya!!” Ucapan Daniel membuyarkan lamunan Inara. Inara mendongak dan menganggukkan kepala. “Ya sudah, kamu boleh kembali ke ruanganmu. Ada Joe yang akan mengantarmu.” Inara mengangguk, ia berpamitan dan berlalu pergi. Hari ini benar-benar melelahkan untuknya. Banyak hal yang masih membuat Inara bingung dan dia akan menanyakan semuanya pada Dokter Jody setiba di rumah. Rasanya, dia tidak mau percaya dengan apa yang dilihatnya hari ini, sungguh banyak sekali pertanyaan memenuhi otak cantiknya. Pukul enam sore, saat Inara tiba di rumah. Ia melihat Dokter Jody sedang bersantai dengan istrinya di teras depan. Bukankah ini saat yang tepat untuknya, menanyakan kebenaran pada Dokter Jody. Inara bergegas menghampiri dan berdiri di depannya. “Maaf, Dok. Apa kita bisa bicara sebentar?” tanya Inara. Dokter Jody tampak terkejut. Pria paruh baya itu menatap Inara kemudian mengangguk. “Iya, kamu mau bicara apa? Tidak masalah jika istriku ikut mendengar, kan?” Inara tersenyum sambil menganggukkan kepala. Mereka kini duduk bertiga di teras depan rumah. Masih belum ada pertanyaan yang keluar dari bibir Inara. Sepertinya gadis itu sedang mengatur emosinya. Setelah beberapa saat, akhirnya Inara bersuara. “Saya … saya bertemu Mas Bagas tadi.” Seketika Dokter Jordy tercengang dibuatnya. Wajah pria paruh baya itu tampak terkejut dan menatap dengan bingung ke arah Inara dengan dahi tuanya yang berkerut. “Ekspresi saya sama bingungnya dengan ekspresi dokter kali ini. Bukankah kata Dokter, Mas Bagas meninggal. Lalu siapa yang saya temui tadi?” Dokter Jody belum menjawab hanya bahunya naik turun mengatur napasnya. Istri Dokter Jordy sama terkejutnya dan berulang kali mencoba menenangkan suaminya. “Maaf … Inara. Saya … saya tidak tahu menahu tentang itu.” Inara terdiam dan masih menunggu penjelasan Dokter Jody selanjutnya. “Saat kecelakaan itu, yang meninggal di tempat adalah putrimu. Putrimu terjepit pintu belakang mobil sehingga tidak bisa keluar. Sementara tubuh suamimu terbakar di bagian kursi depan. Hanya tubuhmu yang terlempar ke luar.” Inara kembali terkejut mendengar penjelasan Dokter Jordy. “Kalau dia terbakar harusnya dia mati, tapi mengapa ---” Dokter Jody menggelengkan kepala. “Polisi menemukan kalau itu bukan mayat suamimu. Itu mayat pria lain yang diduga selingkuhanmu, Inara.” “APA!!! Tidak hanya ingin membunuhku, tapi dia juga menuduhku selingkuh?” Mata Inara yang tadinya teduh sesaat kemudian menyala mendengar itu. Dokter Jody terdiam dan menganggukkan kepala. “Lalu mengapa Mas Bagas bilang kalau polisi baru menemukan tubuhku? Bahkan katanya tubuhku hancur. Apa Dokter tidak bilang kalau aku masih hidup? Apa tidak ada yang tahu tentang keberadaanku, Dok?” Dokter Jody terdiam sambil menatap Inara dengan sendu. Inara tidak tahu apa arti tatapan pria paruh baya itu, yang pasti hatinya sudah berkecamuk tak karuan. Banyak amarah, emosi dan luapan kekesalan yang ingin dia tumpahkan. “Tidak. Tidak ada yang tahu jika kamu masih hidup. Aku memang sengaja menyembunyikan status dan keberadaanmu, Inara.” Inara terdiam, matanya menatap fokus ke mata coklat pria paruh baya di depannya ini. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi kali ini. Inara benar-benar bingung, kepalanya terasa berputar dan semua hipotesanya seakan begitu cepat dipatahkan. Ada apa sebenarnya ini? Perlahan Dokter Jody mengulurkan tangan dan mengelus lembut tangan Inara yang tergeletak di atas meja. Istri Dokter Jody hanya diam memperhatikan. Inara tertegun dan menundukkan kepala. Otak sekaligus hatinya sedang lelah. Dia bingung harus bertanya ke siapa lagi. Saat ini hanya Dokter Jody yang dia percaya, entah apa yang terjadi jika Dokter Jody membohonginya juga. Kemudian perlahan Dokter Jody kembali bersuara. “Sebenarnya aku lakukan ini semua, atas permintaan mendiang ibumu, Inara.”"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
Inara mendekatkan tubuhnya ke arah Daniel dan membisikkan sesuatu di telinga pria tampan itu. Entah apa yang perempuan itu katakan namun tak lama kemudian Daniel langsung mengangguk bertanda dia setuju dengan apa yang dikatakan Inara."Baiklah kalau begitu sayang," sindir Inara sambil menaikkan alisnya menatap Daniel. Daniel tersenyum geli mendengar Inara memanggilnya sayang. "Apakah kamu bilang aku sedang bercanda?" Lagi-lagi Inara tersenyum geli, "Iya, Pak. Saya juga tidak bercanda kok. Saya mau menikah dengan Bapak asal Bapak mau menyetujui syarat yang saya bilang tadi.""Baiklah jika keinginanmu begitu, aku akan menyuruh Joe membuat surat kontrak pernikahan kita." Jauh di dalam lubuk hati Daniel, dia begitu bingung dengan syarat yang diajukan Inara untuk menikah kontrak selama satu tahun saja dengannya. "Apakah diriku ini tak layak jadi suaminya? Apa aku kurang tampan?" Daniel mendengus kesal melihat kepergian Inara, dia tidak menyangka bila gadis itu akan memberi
"Ini Pak, aku hanya menemukan biodata Rika dan ternyata dia dan pak Bagas itu satu sekolah.""Kau tahu dari mana Bagas dan Rika itu bersekolah di tempat yang sama?" tanya Daniel heran karena Dhita baru saja bertemu dengan Bagas beberapa kali. Hal itu membuat Inara tersudut hingga perempuan itu pun mencari cara lain agar tak dicurigai, "A--ku pernah membaca informasi pak Bagas di sebuah jejaring sosial, Pak," jawab Inara sedikit terbata-bata. Daniel mengerutkan dahinya menatap Dhita nampak begitu gugup menjawab pertanyaannya hingga muncul sesuatu hal yang mencurigakan yang membuat Daniel ingin mencari tahu. Bukan satu atau dua kali ini saja, Daniel merasa sangat aneh bila Dhita bertemu dengan klien bisnisnya itu, bak ada sesuatu hal yang menakutkan."Sebenarnya ada apa di antara mereka? Kenapa aku merasa Dhita mengenal baik klienku itu." Daniel memperhatikan Dhita sambil duduk menghadap ke arah meja kerja Dhita hingga dia baru menyadari bila sejak tadi ponselnya terus saja berd
Inara lekas membekap mulutnya, air matanya hampir saja jatuh dan keringat dingin hampir saja membasahi seluruh wajahnya karena langkah kaki pria itu semakin lama semakin terdengar lebih dekat. Yang bisa Inara lakukan hanyalah memejamkan kedua matanya dan tak lama tangan seseorang menarik tangannya dan membawanya ke sebuah ruangan. Inara tak berani membuka matanya kali ini, dia takut apabila Bagas lah yang menemukannya dan mempertanyakan apa yang dia dengar tadi."Siapa di sana?""Pak Bagas ada telepon dari bu Rika.""Oh baiklah." Setelah memastikan Bagas sudah pergi, Daniel baru menyuruh Inara membuka matanya. "Apa yang kau lakukan di sini, Ta? Bukankah tadi aku bilang bahwa aku menunggumu di tempat parkir.""Syukurlah kalau itu kamu, pak." Inara menghapus air matanya yang hendak jatuh dan kini dia bisa bernapas lega namun ucapan Bagas tadi masih terngiang di telinga Inara."Sebenarnya kamu kenapa bersembunyi dan ada apa dengan pak Bagas?" tanya Daniel ingin tahu.
"Tentu saja, aku sangat yakin." Setelah mengetahui hubungan Bagas dan Rika, entah kenapa takdir begitu cepat mempertemukan mereka lagi. Kebetulan sekali saat itu Daniel mengajaknya untuk makan malam bersama dengan keluarga Sebastien. Dengan penampilan yang begitu anggun, Inara sengaja ingin memancing Bagas. Namun ternyata yang malah terpancing adalah atasannya sendiri, ketika Inara berdiri menyambut kedatangan Bagas, pria itu tampak terpelongo kaget melihat Inara yang tampil begitu anggun dan cantik dengan dress panjang berwarna navy."Sepertinya pak Bagas mulai terpesona denganmu! Aku akui kau cantik malam ini," puji Daniel mengulas senyuman tipisnya."Benarkah, Anda memang sangat pandai memuji, Pak." "Bukankah aku sudah bilang panggoil aku Daniel saja," protesnya geram."Baik, El.""Seperti itu sudah lebih dari cukup," balas Daniel tersenyum tipis. Bukan hanya Bagas yang takjub melihat kecantikan Ianra, Daniel pun tak bisa berhenti menatap Inara karena begitu terpesona
"Tapi bisakah kamu berhenti membahas wanita itu sayang." Mendengar ucapan Rika tadi, dengan sekuat hati Inara berusaha untuk menahan air matanya yang hendak jatuh. Dia terus memancing Rika sampai benar-benar mendapat informasi akurat. Sementara Daniel pun melakukan hal yang sama, dia mencoba mencari surat kuasa sang ayah. Namun, dia menghentikan pergerakannya ketika melihat paman Nicholas masuk ke dalam kamar ayahnya."Apa yang kamu lakukan di sini, El?" tanyanya tampak curiga. Daniel tertegun, tetapi tetap berusaha santai seolah tak ada sesuatu hal yang terjadi."Aku sedang mencari surat peninggalan ayah." Paman Nicholas tersenyum miring, "Apa kamu mencari ini!" Pria parih baya itu menunjukkan selembar kertas ke arah Daniel."Jangan bilang kamu meragukan surat kuasa ini.""Apa maksud paman?" tanya Daniel seolah tak mengerti padahal dia tahu pertanyaan pamannya itu mengarah ke syarat surat kuasa tersebut. Pria paruh baya itu berjalan lebih dekat ke arah Daniel. "Kam
"Ini adalah surat kuasa yang ditinggalkan ibumu." "Surat kuasa?! Apa maksud Dokter?" Pria itu meminta Inara untuk membukanya langsung, "Sebaiknya kamu lihat saja isinya." Dengan segera Inara membuka map tersebut dan matanya membulat sempurna ketika melihat namanya tertulis di dalam surat kuasa tersebut. "Perusahaan Corp Group adalah milik ayahku. Apakah ini benar Dok? Tidak... Tidak ini pasti salah." "Ini benar, Ra. Mendiang ayahmu adalah pemilik di Corp Group. Beliau dan ibumu berpisah karena sebuah alasan namun ibumu tak pernah mengetahui jikalau ayahmu adalah pemilik Corp Group. Sehari sebelum ibumu meninggal pengacara ayahmu memberikan surat ini dan ibumu menitipkannya padaku." Dokter Jody juga menceritakan jikalau orang tua Inara berpisah karena kakak ayahnya tidak setuju dengan ibu Laras sehingga dia berusaha memisahkan orang tua Inara. "Bukankah ibu bilang bahwa ayahku sudah meninggal sewaktu aku berumur 5 tahun." "Tidak, Ra. Ayahmu masih hidup dan ibu Laras sengaja m
"Oh maaf Paman. Sepertinya aku tidak bisa lagi menahan hasratku apalagi hari ini Dhita terlihat sangat cantik dan aku terpesona olehnya.""Harusnya kamu bisa membedakan tempat di mana kamu harus bermesraan dengan kekasihmu dan bukan di sini.""Apakah salah bila aku mencium calon istriku? Aku rasa tidak," jawabnya dengan sorot mata tajam."Kejadian ini jangan sampai mencoreng nama baik keluarga Sebastien. Ingat itu!""Paman tenang saja, aku tidak akan mencoreng nama baik ayahku kok.""Dasar bocah! Inilah yang aku takutkan, sepertinya kakakku salah memberikan kekuasaan padamu, mana bisa bocah tengil sepertimu bertahan di posisi pemimpin. Kamu hanya bisa main-main saja." Daniel tersenyum geli mendengar ucapan pamannya namun dia tak berniat untuk membalas. Inara yang berdiri di sebelahnya mulai geram dengan ucapan pria parih baya itu. Dia tahu bagaimana kinerja Daniel untuk mempertahankan posisinya bahkan pria manik mata biru harus lembur setiap hari demi menaikkan saham penjualan hin
Inara langsung menarik tangan Daniel dan menawarkannya segelas teh, perempuan itu tidak ingin melihat Daniel bersedih. Pria beriris mata biru itu langsung saja menghempaskan pantatnya tanpa disuruh, sesekali Daniel memandang Inara yang tengah meletakkan dua gelas teh hangat. Matanya menatap begitu lekat, kali ini pria itu telah gagal memiliki keturunan dari Inara, mulai terbesit sebuah perasaan bimbang dalam hati Daniel. Apakah pengobatan yang selama ini dijalaninya sukses ataukah gagal."Mungkin aku memang tidak akan bisa mendapatkan keturunan," keluhnya dengan mata yang berkaca-kaca."Bukankah dokter sudah menyatakan kamu sembuh, El," ucap Inara malah balik bertanya."Iya, tetapi setelah mendengar berita tentangmu yang tidak hamil, rasanya aku kecewa pada diriku sendiri dan aku mulai berkeinginan mencari seorang perempuan yang mau menikah denganku tanpa melihat kekuranganku," tandasnya langsung menyeruput teh hangat tersebut. Pria tampan itu menaruh kembali gelas tersebut, me
"Apakah aku salah ngomong ya? Kenapa Daniel jadi cemberut gitu," ulas Inara bingung. Kanza pun ikut bangun dari duduknya karena perutnya masih saja tidak mau diajak kompromi, ia masuk ke dalam kamarnya dan terus memuntahkan isi di dalam perutnya."Apa benar aku sedang hamil!" Sejujurnya, perempuan itu merasa tidak yakin jikalau dirinya hamil, tetapi sudah fakta yang membuktikan bahwa dirinya hamil. Tubuhnya terasa lemas sekali, Inara pun langsung menuju tempat tidurnya sambil merebahkan tubuhnya di sana. Tak lama perempuan itu pun tertidur. Berbanding tebalik dengan Daniel, pria beriris mata biriitu malah tak bisa tidur. Ucapan Inara yang hanya menganggapnya sebagai sahabat sungguh menepis sebuah rasa yang kini telah mekar, seolah layu sebelum berkembang."Kenapa Tuhan menakdirkan sebuah rasa yang sangat menyesakkan dada bila akhirnya harus membuatku patah hati untuk kedua kalinya," tandas Daniel merasa galau. Daniel menarik nafasnya dalam-dalam memberikan ruang di
Tanpa sengaja, mereka saling beradu pandangan. Inara menatap wajah tampan pria di sampingnya itu dan merasa ada sesuatu hal yang berbeda dari sebelumnya. Entah apa itu, tetapi saat ini Inara merasa jantungnya berdegup dua kali lipat dari biasanya. Ia merasa aliran darahnya mulai berdesir hebat ketika pria itu menyentuh wajahnya seraya menangkupkan wajahnya."Apa yang sedang kamu pikirkan, Ra?" tanya Daniel dengan tatapan datar."Aku hanya sedang memikirkan bayi ini," jawab Inara terbata-bata. Bagaimana tidak, Daniel begitu dekat denganya bahkan jarak mereka hanya beberapa senti. Kali ini pria itu berani mencium keningnya. "Kamu tak perlu mengkhawatirkanya karena aku akan bertanggung jawab dan melindungi kalian! Bayi itu tidak bersalah hanya saja kita yang bersalah melakukannya sebelum saling mencintai.""Tetapi aku belum siap merajut hubungan." Daniel meraih jemari Inara dengan lembut dan di situ. Pria tampan itu mengungkapkan bahwa dirinya dan Cahaya sejak dulu menginginkan
Inara langsung mengatakan bahwa ia akan tetap mengasuh bayinya, tetapi untuk menjalani hubungan sakral rasanya sudah sangat sulit bagi Inara."Apa yang sedang kamu pikirkan, Ra? Bagaimana aku menjawab pertanyaan anakku nanti jika dia bertanya ke mana ibunya?" Perempuan itu tertegun mendengar pertanyaan Daniel, "Kamu hanya perlu menjawab saja bila ibunya telah tiada di saat melahirkannya.""Apakah kamu sudah tak waras, Inara?" sela Daniel geram."Iya, aku memang sedang tidak waras karena kehamilan ini!" Daniel berusaha menahan emosinya mengingat perempuan itu sedang mengandung, dia sedikit memberi nasehat pada Inara bahwa saat ini Tuhan memberikan anugerah yang terindah dengan menitipkan anugerah itu di dalam rahimnya, tetapi kenapa malah Inara, seolah tak menyukai itu."Apa yang membuatmu seperti ini, Ra? Bukankah harsnya kamu bahagia karena bisa memiliki bayi lagi?" Daniel tahu bagaimana masa lalu Inara, buah cintanya bersama Bagas harus meninggal di tangan ayahnya send
"Tunggulah sebentar, aku sudah menelepon Dokter jadi kamu jangan keras kepala. Aku takut kamu kenapa-kenapa.""Iya, El." Melihat Inara tak menolak tawarannya seperti biasa, membuat Daniel bingung dengan tindakannya."Sepertinya perempuan itu memang sedang sakit sehingga dia tak menolak tawaranku." Pria itu langsung bangun dari duduknya ketika mendengar sebuah mobil. Tak lama bik Ina memanggilnya."Tuan Daniel, Dojter sudah datang." Daniel langsung menyambutnya dan membawa pria paruh baya itu untuk masuk ke dalam kamar Inara."Ayo, Dok! Dia baru saja muntah-muntah tadi padahal Inara baik-baik saja sebelumnya," ujar Daniel mengerutkan dahinya. Inara langsung membenarkan posisi tidurnya lalu Dokter langsung memeriksanya dan pria itu membuat kerutan di kedua alisnya. Entah mengapa sang dokter kelihatan bingung dan berulang kali memeriksa Inara. "Apakah satu bulan ini Nona tidak menstruasi?" tanya pria itu meliriknya. Inara menoleh ke arah kalender yang ada di atas nak
Beberapa menit kemudian, Kanza ikut bangun dari duduknya karena Daniel juga duduk dan akan mengakhiri pembicaraan mereka."Bagaimana kabar suamimu, Kanza?" tanya Daniel menoleh ke arahnya."Suami? Apakah kamu tidak tahu kalau aku sudah lama bercerai dari Rangga." Kanza menelan salivanya di saat pria di depannya itu mendengar Daniel menyebut tentang suaminya. Seolah ada luka terdalam dari binar mata Kanza, pria yang paling Kanza benci adalah Rangga. "Aku turut berduka cita atas meninggalnya paman dan juga tentang Cahaya.." Kanza sengaja menggantung kalimatnya karena tidak ingin melihat Daniel bersedih."Iya, terima kasih." "Aku tidak menyangka jika Cahaya akan berkhianat darimu, El. Mengingat begitu banyak pengorbananmu untuknya.""Mungkin dia bukan jodoh yang baik untukku. Ada sesuatu hal yang ingin aku cari tahu perihal Cahaya, apakah ddia terlibat dalam kematian ayahku.""Apakah kabar burung yang aku dengar itu benar bahwa paman meninggal karena sengaja dibunuh seseorang.
Namun, otak pintar Inara langsung menemukan sebuah ide. Perempuan itu mengajak Daniel ke toko DVD player dan membeli kaset yang sedang populer kala itu. Kemudian, Inara mengajak pria itu pulang dan tak lupa pula menyuruh Daniel untuk membeli cemilan. Sesampai di rumah Daniel, Inara menyuruhnya untuk memutar kaset DVD player tersebut. Tidak ingin membuat Inara kecewa pria itu langsung saja menuruti keinginannya dan duduk di atas sofa sambil menonton drama Korea tersebut. Daniel terlihat biasa saja menontonnya karena dia juga sering menonton film hollywood kalau waktunya lagi senggang. Namun, menonton bukanlah hal sering dilakukan Daniel karena jadwal pekerjaan yang super padat dan waktu istirahatnya dimanfaatkan Daniel untuk bermain game menghilangkan penat yang terus menguras otaknya selama hampir seminggu. Hal itulah yang dilakukan Daniel untuk mengisi waktu liburnya."Apakah film ini tidak menarik, El?" Inara menggerucutkan bibirnya ketika mendapati Daniel biasa saja sd
Sejujurnya Inara sengaja meminta baju Cahaya agar Daniel bisa melupakaan kesedihannya. Bukankah meninggalkan barang-barang orang yang kita sayangi malah akan membaut kita semakin bersedih. Makanya Inara membuang kenanganya bersama Bagas dan tak ada yang tersisa. Berbeda dengan Danuel yang masih menyimpan rapi peninggalan almarhum. Pria itu terdiam sejenak dan memikirkan apa yang Inara katakan namun dia belum siap untuk memberikan kenangan sang kekasih pada orang lain. Baginya menyimpan kenangan Cahaya adalah obat rindu untuknya."Tak perlu kamu jawab karena aku tidak akan memaksamu," ucap Inara sambil menyentuh pundaknya lembut. Perempuan itu mengambil bathrobenya tadi lalu hendak pergi dari hadapan Daniel. Namun, pria itu menghentikannya seraya berkata, "Maaf, aku belum bisa memberikan baju itu untukmu!""It's ok! Tetapi aku harap kau bisa melupakan kesedihanmu, aku tahu saat ini kamu sering bersedih dalam diammu bukan?" tanya Inara menoleh ke arahnya. Daniel tertegun dan
Daniel mengangguk pelan, melihat Inara begitu nafsu makan masakannya membuatnya tersenyum senang. Bagi pria itu memakan masakannya sampai habis adalah keinginannya, justru hal itu membuat Inara bahagia."Habiskan saja bila kamu belum kenyang," tawar Daniel menyudahi makannya. Matanya terus saja menatap Inara yang tak malu makan sebanyak itu di depan seorang pria, Daniel baru menemukan perempuan yang bersikap seperti Inara, tampil adanya tanpa ditutupi."Kamu jangan heran ya bila melihatku hoby sekali makan, ini adalah kebiasaanku sejak kehilangan cinta pertamaku." "Kebiasaanmu? Maksudnya?" "Nafsu makannya bertambah sejak dia dan Bagas berpisah. Bagaimana tidak, pria yang selalu dijadikan panutan bahkan selalu aku percaya tak akan pernah berpaling darinya telah membuat hatinya hancur berkeping-keping layaknya sebuah gelas yang pecah dan pecahan gelas tersebut malah membuat kakinya juga terinjak hingga menorehkan sebuah goresan yang sulit disembuhkan." "Lukanya memang telah sembu