"Oh maaf Paman. Sepertinya aku tidak bisa lagi menahan hasratku apalagi hari ini Dhita terlihat sangat cantik dan aku terpesona olehnya.""Harusnya kamu bisa membedakan tempat di mana kamu harus bermesraan dengan kekasihmu dan bukan di sini.""Apakah salah bila aku mencium calon istriku? Aku rasa tidak," jawabnya dengan sorot mata tajam."Kejadian ini jangan sampai mencoreng nama baik keluarga Sebastien. Ingat itu!""Paman tenang saja, aku tidak akan mencoreng nama baik ayahku kok.""Dasar bocah! Inilah yang aku takutkan, sepertinya kakakku salah memberikan kekuasaan padamu, mana bisa bocah tengil sepertimu bertahan di posisi pemimpin. Kamu hanya bisa main-main saja." Daniel tersenyum geli mendengar ucapan pamannya namun dia tak berniat untuk membalas. Inara yang berdiri di sebelahnya mulai geram dengan ucapan pria parih baya itu. Dia tahu bagaimana kinerja Daniel untuk mempertahankan posisinya bahkan pria manik mata biru harus lembur setiap hari demi menaikkan saham penjualan hin
Perusahaan Wijaya Group mendadak bermasalah sehingga membuat saham perusahaannya mulai anjlok saat itu juga. Itulah yang diinginkan Daniel agar saham mereka tak seimbang dengan Royal Group."Apa kau pikir bisa berhadapan denganku, Bagas. Tidak semudah itu, ini baru permulaan." Daniel sedikit berinvestasi ke perusahaan ayahnya tanpa sepengetahuan orang lain. Sementara Joe juga ditugaskan untuk mencabut kerja sama dengan perusahaan Bagas."Tetap sembunyikan identitasku sebagai investor, Joe.""Baik, Pak." Sebelum melangkah keluar dari ruangan Daniel, Joe sempat menghentikan langkahnya sejenak. Dia baru teringat jikalau ada seseorang dari Corp Group ingin bekerja sama dengan perusahaan."Corp Group? Bukankah itu adalah perusahaan nomor dua setelah perusahaan ayahku?""Benar sekali, Pak. Haruskah kita bekerja sama dengan perusahaan tersebut.""Tentu saja, Joe. Tetapi untuk saat ini fokuslah mengurusi acara pernikahanku yang akan digelar malam ini dan jangan sampai ada seseorang p
"Kamu tak perlu takut padaku, Ta. Aku ingin membawamu pulang ke rumahku.""Ke rumah?! Bukannya kita a--" Inara mengatupkan bibirnya ketika melihat Daniel menggelengkan kepalanya."Kita akan mengadakan pernikahan malam ini juga jadi kamu harus bersiap.""Baiklah." Inara menghela nqpas beratnya tanpa bertanya satu katapun pada Daniel."Kenapa kamu tidak bertanya mengapa?" Inara tersenyum tipis, "Aku tahu pasti kamu sedang merencanakan sesuatu hal bukan? Selama itu baik untukku maka untuk apa aku protes." Daniel tersenyum simpul, dia tidak menyangka jikalau Inara sudah mulai mengenal wataknya. Berhenti di sebuah rumah mewah dengan nuansa putih. Setelah memarkirkan mobilnya di halaman luas dengan taman bunga warna-warni. Joe membukakan pintu untuk dua orang itu. Tanpa menjawab pertanyaan perempuan itu, Daniel menariknya lagi, tetapi dengan begitu lembut. Mereka menapaki banyak anak tangga karena posisi rumah tersebut menjulang ke atas."Ayo, masuk," ucap Daniel menyentuh k
Sontak saja Inara langsung melotot seolah matanya akan keluar ketika Daniel berani mencium dagunya. Inara ingin menhindar namun Daniel menark tubuh Inara agar lebih dekat lagi padanya."Bukankah tadi aku sudah meminta ijin darimu. Bersikaplah seperti pasangan yang romantis sayang," bisik Daniel tersenyum tipis. Entah kenapa Daniel sangat suka sekali menggoda Inara yang terlihat takut padanya. Terdengar sorak penuh kebahagiaan memenuhi telinga mereka ketika dua sejoli itu pada akhirnya bisa bersatu dalam sebuah janji suci pernikahan.“Aku sangat mencintaimu, Dhita,” ucap Daniel.“Aku juga sangat mencintaimu, El,” jawab Dhita sambil tersenyum lebar. Tak lama setelah acara pernikahan berakhir, Daniel mengajak Inara ke lantai dua dan sisanya diserahkan Daniel kepada Joe. Ketika mereka sudah sampai di dalam kamar Daniel, pria manik mata biru itu langsung mengunci pintu kamar dan hal itu membuat Inara mengernyitkan dahinya."Apa yang kamu lakukan, El? Tidak mungkin kamu..."
Joe yang sejak tadi sudah siap memukul balok tersebut lekas menunggu instruksi dari Daniel karena sang atasan tidak bisa bertindak gegabah karena dia tidak ingin sampai Inara terluka. Setelah melihat Joe bergerak, Daniel segera berlari menarik tangan Inara dan melindungi perempuan itu di dalam pelukannya."Terima kasih, El," ucap Inara terbata-bata. Perempuan itu tampak ketakutan, tangan dan kakinya gemetar. Wajahnya pucat pasi, jujur saja Inara masih sedikit trauma dengan kejadian tahun lalu, dia menangis dalam dekapan Daniel."Tenang saja, selama ada aku tidak akan ada yang berani menyakitimu lagi." Ini pertama kalinya, Daniel merasa begitu khawatir dengan seseorang. Dia pun menyeka air mata Inara dan kemudian menenangkan perempuan itu."Sebaiknya malam ini kamu tidur di kamarku saja," bujuk Daniel tak ingin peremoua itu sampai ketakutan seperti itu. Dia menggendong Inara masuk ke dalam kamarnya lalu membaringkan tubuh Inara di kasur big sizenya. Menyelimuti tubuh In
Benar saja setelah Rika berkata seperti itu, Bagas segera menelepon paman Nicholas untuk bertemu. Akan tetapi nomor ponsel pria paruh baya itu tidak aktif, hal itu semakin membuat Bagas meradang."Dasar pria sialan! Berani sekali dia menipuku, lihat saja aku akan buat perhitungan padanya." Dada Bagas naik turun, dia mencoba mengatur napasnya yang masoh terengah-engah karena kesal meredam amarahnya. Sementara Rika yang mendengar itu lekas berdiri di samping suaminya."Bukankah sudah ku bilang bahwa pria tua itu licik! Andai saja kamu menjalin hubungan baik dengan pak Daniel semua tak akan seperti ini," sarkas Rika mulai kesal."Aku pikir pria tua itu bisa diandalkan ternyata.." Rika mendengus kesal, "Kalau sudah begini, apa yang akan kamu lakukan Bagas? Aku tidak ingin jatuh miskin.""Kamu tenang saja sayang, aku pasti akan mencari cara agat perusahaan ini bisa kembali bersinar seperti dulu apalagi kita bisa menggunakan aset yang dimiliki mendiang Inara bukan untuk menutupi k
“Ta, kau seharusnya paham kalau aku jauh membutuhkanmu untuk beristirahat daripada membantuku untuk bekerja di kantor!” balas Daniel dengan suara keras. Pria itu memijat pelipisnya, pusing dengan bagaimana harus membujuk Inara agar perempuan itu mau memahami keinginannya.“Aku hanya tidak mau orang lain berpikir kalau aku menikahimu karena harta, El! Aku mau terus bekerja di sini untuk membantumu,” ujar Inara. Daniel menjambak rambutnya dengan frustrasi. “Peduli apa tentang omongan orang! Aku tidak peduli dengan ucapan orang lain. Yang aku pedulikan hanya kesehatanmu,” cerocos Daniel.“Ta, kau tenang saja. Aku bisa menjaga diri. Aku tidak akan sakit lagi, aku janji,” ucap Inara, berusaha meyakinkan Daniel jika ia baik-baik saja.“Astaga, Dhita!” bentak Daniel. Suara pria itu menggelegar ke seluruh penjuru ruangan, membuat Inara berjingkat karena rasa terkejut. Ini adalah kali pertama Daniel berbicara dengan nada setinggi ini pada perempuan itu. “Kenapa kau tidak paham dengan
"Perusahaanmu bangkrut itu bukan kesalahanku tetapi kesalahan kamu sendiri. Lagian kenapa kamu ikut campur masalah rumah tangga orang lain." Bagas mengedikkan bahunya. “Aku, sih, tidak sengaja mendengar pertengkaran kalian jadi berkata seperti itu. Aku ingin memintamu menghubungi paman Nicholas sekarang juga,” ungkap Bagas dengan enteng. Daniel yang sudah tidak sabar langsung berjalan maju dan menarik kerah kemeja yang dikenakan oleh Bagas. Tatapan matanya menyalang dengan tajam. Pria itu hampir saja berniat untuk memukul wajah Bagas yang sangat menyebalkan itu kalau saja ia tidak ingat kalau ada Inara di antara mereka berdua."Bukankah kalian rekan bisnis, bagaimana bisa kamu bertanya padaku tentang paman Nicholas. Aku rasa ini hukuman buat kalian." Bagas menolehkan kepalanya kepada Inara kemudian berkata, “Nona Dhita, aku tidak menyangka jika suamimu adalah orang sekasar ini." Daniel sudah tahu, Bagas memang sengaja ingin menyulut api di antara Daniel dan Inara. Pri
Daniel yang mengamati Inara terus terdiam sambil melamun memaksanya untuk menyadarkan Inara. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Ra?" Pertanyaan itu sungguh membuat Inara tersadarkan hingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ayo, kita pulang," ajak Inara tak menanggapi apa yang ditanyakan Daniel tadi. Merasa tidak terlalu penting, dua orang itu berjalan menghampiri paman Nicholas untuk berpamitan. "Paman, kami pulang ya? Terima kasih sambutan hangat dan penjamuannya." Daniel tersenyum sembari menjabat tangan paman Nicholas. Melihat Rika yang terus berada di sisi paman Nicholas membuat dahi Daniel berkenyit, "Paman mengenal pak Bagas dan istrinya?" Paman Nicholas mengangguk, "Tentu saja, El. Paman lupa mengenalkannya padamu.""Maksud paman?" tanya Daniel sedikit menduga."Rika adalah putri paman dari mendiang istri paman yang telah meninggal.""Bukannya Tante Sarah tidak memiliki anak?" Paman Nicholas menggelengkan kepalanya, "Bukan Sarah, Rika adalah putrinya R
"Tetap saja itu penting, mungkin itu ada kaitannya dengan surta kuasaku," ketus sambil meneguk minumannya. Inara sedikit mendekat ke telinga Daniel lalu mengatakan bila dia menemukan surat perceraian mereka tersimpan di laci tempat tidur sebelah kamar pamannya. Ada sesuatu yang membuatnya bingung adalah kenapa Bagas tak pernah mengirim surat perceraian itu padanya."Yang lebih mencurigakan lagi adalah kenapa surat perceraian kami ada di rumah pamanmu?!""Apa? Aku pikir ada sesuatu hal yang harus kita cari tahu lagi. Jangan-jangan paman...""Entahlah, aku juga berpikir hal yang sama denganmu," ujar Inara langsung memotong kalimat Daniel. Perempuan cantik itu menggerakkan sedikit bahunya seolah tak tahu, kemudian ia berjalan ke arah depan untuk mengambil pancake kesukaan yang sempat terhalang tadi. Siapa sangka di saat mengambil itu tangan seseorang menyentuhnya dan sama-sama ingin mengambil pancake pondan yang tersisa hanya satu lagi sontak saja Inara langsung menoleh karena ti
"Iya," jawab Inara mengangguk. Di saat mengamati semua makanan yang dihidangkan di atas meja, Inara berniat ingin mengambil pancake pondan kesukaannya, tanpa disadarinya kalau tangannya masih menggandeng tangan Daniel sehingga membuat perempuan itu hampir saja terjatuh ketika tanpa sengaja menginjak gaun panjang Inara sendiri, beruntungnya pria itu dengan sigap menangkap tubuhnya meski gelas di tangannya jatuh ke lantai dan membuat semua orang menatap mereka. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Daniel menatap Inara dengan seksama. "Iya, aku baik-baik saja," jawab Inara terbata-bata. Daniel membantu Inara berdiri ke posisi awalnya, matanya terus menelisik kaki perempuan itu, takut Inara terkilir seperti waktu dulu. "Sudah kubilang, jangan bertindak sendirian," bisik Daniel sambil merapikan rambut Inara yang sedikit berantakan. Tatapan tajam dan tak senang dilontarkan oleh seorang pria berjas hitam pekat, ia menatap jijik kedua pasangan yang terlihat begitu romantis. Siapa lagi
Daniel yang melihat Inara senyam-senyum sendiri pun bingung dengan perempuan itu, lantas dia mencoba bertanya apa yang sebenarnya peempuan itu pikirkan. Melihat Inara hanya merespon biasa saja maka Daniel pun terlihat biasa saja. Namun, ketika melihat Inara tertangkap basah sedang menatapnya maka dahi Daniel berkenyit dan bertanya, "Apakah ada sesuatu di wajahku?""Ada nyamuk di wajahmu," jawab Inara asal. Perempuan itu hendak menyentuh wajah mulus Daniel namun tindakan itu tertangkap basah oleh pria paruh baya yang tengah berdiri di hadapan mereka."Apakah kedatanganku menganggu kemesraan kalian?" tanya suara bariton khas itu. Melihat ada seseorang yang melangkah masuk, pria itu langsung menoleh dan bangun dari duduknya. Senyuman tipis terukir indah di sudut bibirnya."Selamat malam, keponakanku! Apakah kamu begitu terkejut dengan kedatanganku," sapa pria paruh baya itu tersenyum ramah."Paman Nicholas, apa yang membawa Paman ke mari? Bukankah urusan bisnis kita sudah sel
"Jika memang aku telah sembuh, itu merupakan sebuah keajaiban, tetapi aku tidak bisa memaksa Inara," gumamnya bingung karena sesungguhnya Daniel juga ingin tahu apakah dia sudah sembuh atau belum."Iya, kamu tidak boleh memaksa perempuan yang kamu cintai! Biarkan dia saja yang menawarkan diri dengan begitu itu bisa memancing hasratmu." Banyak hal yang dikatakan dokter dan dia juga berarap Daniel memang bisa sembuh dari penyakit anehnya itu. Tak pernah terbayangkan bagi sang dokter, bila seorang pria kaya, tampan, begitu menarik namun tidak memiliki hasrat di ranjang padahal yang diincar seorang perempuan itu adalah hasrat bukan. Apa yang diucapkan dokter tadi terus saja berputar di dalam otaknya sehingga membuat Daniel sedikit termenung. Bahkan, dia tidak menyadari bahwa ada Inara yang baru saja pulang. Inara yang awalnya ingin marah pada pria itu langsung saja mengernyitkan dahinya ketika melihat Daniel terlihat bingung dan melamun. Dia tidak pernah melihat Daniel s
Sementara itu, Inara sontak beranjak dari duduknya dan berdiri mematung di depan pintu kamar namun Daniel ikut bangun dari duduknya dan tangan kekarnya menarik tangan perempuan yang hendak menyentuh handle pintu kamarnya."Mau ke mana kamu? Aku belum selesai bertanya dan kamu juga belum menjawab pertanyaanku bukan?" Jantung Inara semakin berdegup kencang lagi ketika Daniel semakin lama mendekat dan membuat tubuh Inara menabrak pintu kamarnya sedangkan pria manik mata coklat bening itu melayangkan tatapan yang tidak dapat diartikan ke arahnya. Daniel makin menghimpit tubuh Inara dan mengunci pergerakannnya. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang menjadi tidak normal saat wajah Delvin yang sangat tampan dan hampir saja menciumnya itu terlintas di benaknya. Kanza meremas baju yang ia kenakan di bagian dadanya berharap jantungnya yang berdebar aneh itu segera kembali normal. Ia pun menghela napas panjang sebagai usahanya untuk menetralkan perasaannya yang cukup mengganggu
Pria tampan itu menyuruh Inara tenang dan duduk di sampingnya karena dia tidak ingin membuat Inara pusing, tangan kekar Daniel menyentuh jemari Inara dengan lembut."Apakah ucapanmu tadi benar bahwa akulah satu-satunya pria yang ada untukmu?" Pertanyaan itu sungguh membuat Inara begitu tertegun, bagaimana tidak karena Inara bingung harus menanggapinya bagaimana. "Aku rasa kamu tahu jawabnnya bukan," ucap Inara malah balik bertanya. Tidak ingin terlalu dicurigai Daniel, jantung Inara yang terus saja berdebar tak menentu membuat perempuann itu bingung untuk bersikap bagaimana menanggapinya. Ditambah lagi kini tangan kekar Daniel menyentuh jemarinya begitu kuat dan membuat perasaannya semakin tidak menentu."Tentu kamu tahu jawabannya bahwa kamu tidak akan mau untuk menerimaku bukan," ucap Daniel. Pria itu bangun dari duduknya dan mengajak Inara pulang saja untuk mencari surat kontrak tersebut jikalau saja dia menaruhnya di rumah. Inara pun mengikuti keinginan sang suam
Dengan gerak cepat, Daniel melayangkan tinjunya. "Seorang suami yang telah tega meninggalkan keluarganya demi perempuan lain dan tega merencanakan pembunuhan sudah patut ditinggalkan." Bagas bertepuk tangan, "Tidak, Daniel. Aku dan Inara belum resmi bercerai bahkan kami tidak ada kata cerai.""Jika itu yang kamu maksud lalu apa ini," kilah Inara melemparkan selembar surat perpisahan."Apa ini? Apa kamu berniat mengajak kembali bersamaku?"Plakk!! Inara sudah jengah melihat sikap Bagas yang seolah berbangga diri karena belum berpisah dengannya padahal jauh sebelum Inara berganti nama dia sudah mengurus surat cerai kepada pihak pengadilan."Bagaimana mungkin?""Apa kamu pikir? Hanya kamu saja yang bisa melakukan pernikahan tanpa surat cerai, hah? Ingat Bagas, aku bukan Inara yang dulu. Selalu percaya kata-katamu." Sorot mata Inara begitu tajam menatap mantan suaminya itu, "Jangan harap aku akan membebaskan Rika, dia sudah melukai Daniel.""Melukai Daniel, buktinya pria in
"Aku rasa itu tidak perlu karena aku sudah kenyang dengan semua kata cintamu di pagi hari ini,"jawabnya balik menatap Daniel. Inara bergegas pergi dari hadapan Daniel, sebenarnya dia ingin menghindari Daniel karena pria tampan itu terus saja membuat jantungnya terus saja berdebar. Tidak ingin seseorang tahu apa yang sedang dia rasakan jadi Inara lebih baik pergi dari pria itu. Bukan hanya itu saja, Inara bahkan menetralisir jantungnya agar tidak dicuurigai Daniel padahal sebenarnya perempuan itu sangat gematar sekali ketika tangan mereka bersentuhan satu sama lain. "Apa yang tengah aku rasakan ini?" gumamnya menatap Daniel yang baru saja berdiri di depan Inara. Melihat perempuan cantik itu tersenyum dan melamun, pria tampan itu mengulas sebuah senyuman manis yang terukir di sudut bibirnya. Menghempaskan pantatnya seraya duduk di samping Inara sambil memandangi wajah cantiknya."Apa yang sedang kamu lamunkan?" "A--ku sedang melamunin langit yang tidak bertiang." Mende