"Kamu tak perlu takut padaku, Ta. Aku ingin membawamu pulang ke rumahku.""Ke rumah?! Bukannya kita a--" Inara mengatupkan bibirnya ketika melihat Daniel menggelengkan kepalanya."Kita akan mengadakan pernikahan malam ini juga jadi kamu harus bersiap.""Baiklah." Inara menghela nqpas beratnya tanpa bertanya satu katapun pada Daniel."Kenapa kamu tidak bertanya mengapa?" Inara tersenyum tipis, "Aku tahu pasti kamu sedang merencanakan sesuatu hal bukan? Selama itu baik untukku maka untuk apa aku protes." Daniel tersenyum simpul, dia tidak menyangka jikalau Inara sudah mulai mengenal wataknya. Berhenti di sebuah rumah mewah dengan nuansa putih. Setelah memarkirkan mobilnya di halaman luas dengan taman bunga warna-warni. Joe membukakan pintu untuk dua orang itu. Tanpa menjawab pertanyaan perempuan itu, Daniel menariknya lagi, tetapi dengan begitu lembut. Mereka menapaki banyak anak tangga karena posisi rumah tersebut menjulang ke atas."Ayo, masuk," ucap Daniel menyentuh k
Sontak saja Inara langsung melotot seolah matanya akan keluar ketika Daniel berani mencium dagunya. Inara ingin menhindar namun Daniel menark tubuh Inara agar lebih dekat lagi padanya."Bukankah tadi aku sudah meminta ijin darimu. Bersikaplah seperti pasangan yang romantis sayang," bisik Daniel tersenyum tipis. Entah kenapa Daniel sangat suka sekali menggoda Inara yang terlihat takut padanya. Terdengar sorak penuh kebahagiaan memenuhi telinga mereka ketika dua sejoli itu pada akhirnya bisa bersatu dalam sebuah janji suci pernikahan.“Aku sangat mencintaimu, Dhita,” ucap Daniel.“Aku juga sangat mencintaimu, El,” jawab Dhita sambil tersenyum lebar. Tak lama setelah acara pernikahan berakhir, Daniel mengajak Inara ke lantai dua dan sisanya diserahkan Daniel kepada Joe. Ketika mereka sudah sampai di dalam kamar Daniel, pria manik mata biru itu langsung mengunci pintu kamar dan hal itu membuat Inara mengernyitkan dahinya."Apa yang kamu lakukan, El? Tidak mungkin kamu..."
Joe yang sejak tadi sudah siap memukul balok tersebut lekas menunggu instruksi dari Daniel karena sang atasan tidak bisa bertindak gegabah karena dia tidak ingin sampai Inara terluka. Setelah melihat Joe bergerak, Daniel segera berlari menarik tangan Inara dan melindungi perempuan itu di dalam pelukannya."Terima kasih, El," ucap Inara terbata-bata. Perempuan itu tampak ketakutan, tangan dan kakinya gemetar. Wajahnya pucat pasi, jujur saja Inara masih sedikit trauma dengan kejadian tahun lalu, dia menangis dalam dekapan Daniel."Tenang saja, selama ada aku tidak akan ada yang berani menyakitimu lagi." Ini pertama kalinya, Daniel merasa begitu khawatir dengan seseorang. Dia pun menyeka air mata Inara dan kemudian menenangkan perempuan itu."Sebaiknya malam ini kamu tidur di kamarku saja," bujuk Daniel tak ingin peremoua itu sampai ketakutan seperti itu. Dia menggendong Inara masuk ke dalam kamarnya lalu membaringkan tubuh Inara di kasur big sizenya. Menyelimuti tubuh In
Benar saja setelah Rika berkata seperti itu, Bagas segera menelepon paman Nicholas untuk bertemu. Akan tetapi nomor ponsel pria paruh baya itu tidak aktif, hal itu semakin membuat Bagas meradang."Dasar pria sialan! Berani sekali dia menipuku, lihat saja aku akan buat perhitungan padanya." Dada Bagas naik turun, dia mencoba mengatur napasnya yang masoh terengah-engah karena kesal meredam amarahnya. Sementara Rika yang mendengar itu lekas berdiri di samping suaminya."Bukankah sudah ku bilang bahwa pria tua itu licik! Andai saja kamu menjalin hubungan baik dengan pak Daniel semua tak akan seperti ini," sarkas Rika mulai kesal."Aku pikir pria tua itu bisa diandalkan ternyata.." Rika mendengus kesal, "Kalau sudah begini, apa yang akan kamu lakukan Bagas? Aku tidak ingin jatuh miskin.""Kamu tenang saja sayang, aku pasti akan mencari cara agat perusahaan ini bisa kembali bersinar seperti dulu apalagi kita bisa menggunakan aset yang dimiliki mendiang Inara bukan untuk menutupi k
“Ta, kau seharusnya paham kalau aku jauh membutuhkanmu untuk beristirahat daripada membantuku untuk bekerja di kantor!” balas Daniel dengan suara keras. Pria itu memijat pelipisnya, pusing dengan bagaimana harus membujuk Inara agar perempuan itu mau memahami keinginannya.“Aku hanya tidak mau orang lain berpikir kalau aku menikahimu karena harta, El! Aku mau terus bekerja di sini untuk membantumu,” ujar Inara. Daniel menjambak rambutnya dengan frustrasi. “Peduli apa tentang omongan orang! Aku tidak peduli dengan ucapan orang lain. Yang aku pedulikan hanya kesehatanmu,” cerocos Daniel.“Ta, kau tenang saja. Aku bisa menjaga diri. Aku tidak akan sakit lagi, aku janji,” ucap Inara, berusaha meyakinkan Daniel jika ia baik-baik saja.“Astaga, Dhita!” bentak Daniel. Suara pria itu menggelegar ke seluruh penjuru ruangan, membuat Inara berjingkat karena rasa terkejut. Ini adalah kali pertama Daniel berbicara dengan nada setinggi ini pada perempuan itu. “Kenapa kau tidak paham dengan
"Perusahaanmu bangkrut itu bukan kesalahanku tetapi kesalahan kamu sendiri. Lagian kenapa kamu ikut campur masalah rumah tangga orang lain." Bagas mengedikkan bahunya. “Aku, sih, tidak sengaja mendengar pertengkaran kalian jadi berkata seperti itu. Aku ingin memintamu menghubungi paman Nicholas sekarang juga,” ungkap Bagas dengan enteng. Daniel yang sudah tidak sabar langsung berjalan maju dan menarik kerah kemeja yang dikenakan oleh Bagas. Tatapan matanya menyalang dengan tajam. Pria itu hampir saja berniat untuk memukul wajah Bagas yang sangat menyebalkan itu kalau saja ia tidak ingat kalau ada Inara di antara mereka berdua."Bukankah kalian rekan bisnis, bagaimana bisa kamu bertanya padaku tentang paman Nicholas. Aku rasa ini hukuman buat kalian." Bagas menolehkan kepalanya kepada Inara kemudian berkata, “Nona Dhita, aku tidak menyangka jika suamimu adalah orang sekasar ini." Daniel sudah tahu, Bagas memang sengaja ingin menyulut api di antara Daniel dan Inara. Pri
“Kenapa hubungan kita sangat rumit,” aduh Inara masih memeluk tubuh Daniel.“Pasti semua akan baik-baik saja,” ujar Daniel menenangkan, meski ia juga tidak tenang sama sekali. “Setelah ini paman Nicholas pasti tidak akan membiarkan kita begitu saja. Pasti pria tua itu sedang merencanakan sesuatu.” Daniel mengajak Inara masuk ke dalam kamarnya sambil mengenggam tangan Inara. Memastikan bahwa tak ada yang melihatnya maka Daniel segera menutup pintu. "Aku minta kamu jangan berkata perihal paman di depan pelayan, Ta.""Memangnya ada apa, El? Aku hanya takut jika..." Daniel menunjuk satu jarinya dan menempelkannya ke bibir mungil Inara."Kamu bisa berhenti berakting jika di dalam kamarku.""Apa kamu yakin? Bagaimana jika pelayan suruhan pamanmu merekam kita?" Daniel tersenyum geli, "Dhita, aku sudah memastikan itu dan aku sudah memasang alat kedap suara di sini jadi kamu bisa berhenti berakting di sini dan sebaiknya kita lanjutkan rencana kita selanjutnya.""Baiklah kalau be
Joe mengangguk dan langsung membukakan pintu mobil untuk Daniel. Dia berjalan tergesa-gesa menuju ke mobil."Eren, perempuan itu? Kenapa bisa ada di sini? Joe segera cari tahu ini.""Baik, Pak." Tepat saat sampai di mobilnya, saat Daniel memasuki kursi kemudi, Eren ikut masuk di bangku samping kemudi. Daniel mencengkram tangannya di setirnya dengan kencang, "Kenapa kamu ikut masuk?” bentak Daniel yang kesabarannya sudah habis. “Hus! jangan marah-marah!” pinta Eren. Eren menaikkan rok yang ia kenakan sampai setengah pahanya. Perempuan itu berbicara dengan nada mendesis dan mendayu-dayu, berharap dengan suaranya ia bisa memancing gairah seorang Daniel.“Pak Daniel, sentuh aku!” pinta Eren menggoda. Godaan, rayuan dan desahan yang sengaja dikeluarkan Eren semata-mata untuk menarik perhatian pria di sampingnya. Daniel pria yang berprinsip. Dia tidak akan midah tergoda oleh perempuan manapun dan terlihat jelas bahwa perempuan di sampingnya ini memiliki maksud dan tujuan te
Namun tangan kekar seseorang menghentikannya, "Apa yang kamu lakukan, Rika. Ingat jangan membuat ulah." Bagas menarik tangan Rika, dia tidak ingin apa yang sedang direncanakan mertuanya akan hancur karena sikap Rika yang tak sopan pada klien bisnisnya dan juga pak Nicholas."Maafkan sikap istriku.""Jika tidak memandang pamanku, sudah lama aku ingin menghajarmu," geram Daniel. Inara menarik tangan Daniel dan mengajaknya pergi, dia melanjutkan langkahnya tanpa memerdulikan lagi bila Bagas sejak tadi terus memanggilnya. Inara begitu teguh dengan pendiriannya, ia terus berjalan dan berjalan tanpa ingin tahu alasan Bagas memanggilnya."Inara.." Daniel yang sejak tadi memperhatikan dua orang itu menggelengkan kepalanya dan mengamati dari kejauhan saja."Mengapa Bagas mulai penasaran sekali dengan Inara? Apakah mungkin Bagas juga mencintai Inara," tebak Daniel langsung mengenggam tangan istrinya."Apa yang kamu katakan pada Rika dan Bagas?" tanya Daniel menatapnya."Aku hanya in
"Benar yang kamu katakan, aku akan mencoba menghubungi Dokter Jody." Ketika Daniel melangkah pergi, Inara langsung menarik tangannya dan meminta Daniel untuk mengantarnya pulang. Namun, pria itu meminta Inara untuk tetap tinggal dan menemaninya."Kamu ingin ditemani, tetapi kenapa kamu ingin pergi," celetuk Inara sebal."Tunggulah sebentar! Aku ingin mengambil sesuatu," pinta Daniel menoleh ke arahnya. Melihat pria itu bergegas masuk ke dalam kamarnya, Inara yang paling suka menebak sesuatu hal pun mulai mengubek isi otaknya."Kira-kira apa ya yang mau diambil Daniel?" tanyanya dalam hati. Pria itu membawa sebuah kantong plastik berwarna putih dan menyodorkannya kepada Inara lalu meminta perempuan itu berganti pakaian."Gantilah pakaianmu, aku rasa kau tidak nyaman mengenakan itu! Aku mengambilkan piyama baru yang aku beli.""Tetapi, El! Ak--" Daniel menarik tangan Inara dan membawanya ke kamar tamu yang pernah ditinggalinya waktu itu dan satu hal yang membuat Inara te
Daniel yang mengamati Inara terus terdiam sambil melamun memaksanya untuk menyadarkan Inara. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Ra?" Pertanyaan itu sungguh membuat Inara tersadarkan hingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ayo, kita pulang," ajak Inara tak menanggapi apa yang ditanyakan Daniel tadi. Merasa tidak terlalu penting, dua orang itu berjalan menghampiri paman Nicholas untuk berpamitan. "Paman, kami pulang ya? Terima kasih sambutan hangat dan penjamuannya." Daniel tersenyum sembari menjabat tangan paman Nicholas. Melihat Rika yang terus berada di sisi paman Nicholas membuat dahi Daniel berkenyit, "Paman mengenal pak Bagas dan istrinya?" Paman Nicholas mengangguk, "Tentu saja, El. Paman lupa mengenalkannya padamu.""Maksud paman?" tanya Daniel sedikit menduga."Rika adalah putri paman dari mendiang istri paman yang telah meninggal.""Bukannya Tante Sarah tidak memiliki anak?" Paman Nicholas menggelengkan kepalanya, "Bukan Sarah, Rika adalah putrinya R
"Tetap saja itu penting, mungkin itu ada kaitannya dengan surta kuasaku," ketus sambil meneguk minumannya. Inara sedikit mendekat ke telinga Daniel lalu mengatakan bila dia menemukan surat perceraian mereka tersimpan di laci tempat tidur sebelah kamar pamannya. Ada sesuatu yang membuatnya bingung adalah kenapa Bagas tak pernah mengirim surat perceraian itu padanya."Yang lebih mencurigakan lagi adalah kenapa surat perceraian kami ada di rumah pamanmu?!""Apa? Aku pikir ada sesuatu hal yang harus kita cari tahu lagi. Jangan-jangan paman...""Entahlah, aku juga berpikir hal yang sama denganmu," ujar Inara langsung memotong kalimat Daniel. Perempuan cantik itu menggerakkan sedikit bahunya seolah tak tahu, kemudian ia berjalan ke arah depan untuk mengambil pancake kesukaan yang sempat terhalang tadi. Siapa sangka di saat mengambil itu tangan seseorang menyentuhnya dan sama-sama ingin mengambil pancake pondan yang tersisa hanya satu lagi sontak saja Inara langsung menoleh karena ti
"Iya," jawab Inara mengangguk. Di saat mengamati semua makanan yang dihidangkan di atas meja, Inara berniat ingin mengambil pancake pondan kesukaannya, tanpa disadarinya kalau tangannya masih menggandeng tangan Daniel sehingga membuat perempuan itu hampir saja terjatuh ketika tanpa sengaja menginjak gaun panjang Inara sendiri, beruntungnya pria itu dengan sigap menangkap tubuhnya meski gelas di tangannya jatuh ke lantai dan membuat semua orang menatap mereka. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Daniel menatap Inara dengan seksama. "Iya, aku baik-baik saja," jawab Inara terbata-bata. Daniel membantu Inara berdiri ke posisi awalnya, matanya terus menelisik kaki perempuan itu, takut Inara terkilir seperti waktu dulu. "Sudah kubilang, jangan bertindak sendirian," bisik Daniel sambil merapikan rambut Inara yang sedikit berantakan. Tatapan tajam dan tak senang dilontarkan oleh seorang pria berjas hitam pekat, ia menatap jijik kedua pasangan yang terlihat begitu romantis. Siapa lagi
Daniel yang melihat Inara senyam-senyum sendiri pun bingung dengan perempuan itu, lantas dia mencoba bertanya apa yang sebenarnya peempuan itu pikirkan. Melihat Inara hanya merespon biasa saja maka Daniel pun terlihat biasa saja. Namun, ketika melihat Inara tertangkap basah sedang menatapnya maka dahi Daniel berkenyit dan bertanya, "Apakah ada sesuatu di wajahku?""Ada nyamuk di wajahmu," jawab Inara asal. Perempuan itu hendak menyentuh wajah mulus Daniel namun tindakan itu tertangkap basah oleh pria paruh baya yang tengah berdiri di hadapan mereka."Apakah kedatanganku menganggu kemesraan kalian?" tanya suara bariton khas itu. Melihat ada seseorang yang melangkah masuk, pria itu langsung menoleh dan bangun dari duduknya. Senyuman tipis terukir indah di sudut bibirnya."Selamat malam, keponakanku! Apakah kamu begitu terkejut dengan kedatanganku," sapa pria paruh baya itu tersenyum ramah."Paman Nicholas, apa yang membawa Paman ke mari? Bukankah urusan bisnis kita sudah sel
"Jika memang aku telah sembuh, itu merupakan sebuah keajaiban, tetapi aku tidak bisa memaksa Inara," gumamnya bingung karena sesungguhnya Daniel juga ingin tahu apakah dia sudah sembuh atau belum."Iya, kamu tidak boleh memaksa perempuan yang kamu cintai! Biarkan dia saja yang menawarkan diri dengan begitu itu bisa memancing hasratmu." Banyak hal yang dikatakan dokter dan dia juga berarap Daniel memang bisa sembuh dari penyakit anehnya itu. Tak pernah terbayangkan bagi sang dokter, bila seorang pria kaya, tampan, begitu menarik namun tidak memiliki hasrat di ranjang padahal yang diincar seorang perempuan itu adalah hasrat bukan. Apa yang diucapkan dokter tadi terus saja berputar di dalam otaknya sehingga membuat Daniel sedikit termenung. Bahkan, dia tidak menyadari bahwa ada Inara yang baru saja pulang. Inara yang awalnya ingin marah pada pria itu langsung saja mengernyitkan dahinya ketika melihat Daniel terlihat bingung dan melamun. Dia tidak pernah melihat Daniel s
Sementara itu, Inara sontak beranjak dari duduknya dan berdiri mematung di depan pintu kamar namun Daniel ikut bangun dari duduknya dan tangan kekarnya menarik tangan perempuan yang hendak menyentuh handle pintu kamarnya."Mau ke mana kamu? Aku belum selesai bertanya dan kamu juga belum menjawab pertanyaanku bukan?" Jantung Inara semakin berdegup kencang lagi ketika Daniel semakin lama mendekat dan membuat tubuh Inara menabrak pintu kamarnya sedangkan pria manik mata coklat bening itu melayangkan tatapan yang tidak dapat diartikan ke arahnya. Daniel makin menghimpit tubuh Inara dan mengunci pergerakannnya. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang menjadi tidak normal saat wajah Delvin yang sangat tampan dan hampir saja menciumnya itu terlintas di benaknya. Kanza meremas baju yang ia kenakan di bagian dadanya berharap jantungnya yang berdebar aneh itu segera kembali normal. Ia pun menghela napas panjang sebagai usahanya untuk menetralkan perasaannya yang cukup mengganggu
Pria tampan itu menyuruh Inara tenang dan duduk di sampingnya karena dia tidak ingin membuat Inara pusing, tangan kekar Daniel menyentuh jemari Inara dengan lembut."Apakah ucapanmu tadi benar bahwa akulah satu-satunya pria yang ada untukmu?" Pertanyaan itu sungguh membuat Inara begitu tertegun, bagaimana tidak karena Inara bingung harus menanggapinya bagaimana. "Aku rasa kamu tahu jawabnnya bukan," ucap Inara malah balik bertanya. Tidak ingin terlalu dicurigai Daniel, jantung Inara yang terus saja berdebar tak menentu membuat perempuann itu bingung untuk bersikap bagaimana menanggapinya. Ditambah lagi kini tangan kekar Daniel menyentuh jemarinya begitu kuat dan membuat perasaannya semakin tidak menentu."Tentu kamu tahu jawabannya bahwa kamu tidak akan mau untuk menerimaku bukan," ucap Daniel. Pria itu bangun dari duduknya dan mengajak Inara pulang saja untuk mencari surat kontrak tersebut jikalau saja dia menaruhnya di rumah. Inara pun mengikuti keinginan sang suam