"Ini Pak, aku hanya menemukan biodata Rika dan ternyata dia dan pak Bagas itu satu sekolah."
"Kau tahu dari mana Bagas dan Rika itu bersekolah di tempat yang sama?" tanya Daniel heran karena Dhita baru saja bertemu dengan Bagas beberapa kali. Hal itu membuat Inara tersudut hingga perempuan itu pun mencari cara lain agar tak dicurigai, "A--ku pernah membaca informasi pak Bagas di sebuah jejaring sosial, Pak," jawab Inara sedikit terbata-bata. Daniel mengerutkan dahinya menatap Dhita nampak begitu gugup menjawab pertanyaannya hingga muncul sesuatu hal yang mencurigakan yang membuat Daniel ingin mencari tahu. Bukan satu atau dua kali ini saja, Daniel merasa sangat aneh bila Dhita bertemu dengan klien bisnisnya itu, bak ada sesuatu hal yang menakutkan. "Sebenarnya ada apa di antara mereka? Kenapa aku merasa Dhita mengenal baik klienku itu." Daniel memperhatikan Dhita sambil duduk menghadap ke arah meja kerja Dhita hingga dia baru menyadari bila sejak tadi ponselnya terus saja berdering di atas meja. Dreettt.....Dretttt... "Apa kau sudah menemukan informasi yang akurat?" "Belum Pak." "Temukan secepatnya dan aku merasa ada sesuatu hal mencurigakan dengan Bagas dan paman tiriku itu." Ketika Daniel menutup sambungan teleponnya, dia mendapati ruangan Inara tampak kosong. Pria tampan itu sedikit penasaran kemana gadis itu pergi di jam kerja seperti ini. Daniel terus menatap jam tangannya sudah hampir setengah jam lamanya namun Inara belum kembali. "Kemana gadis itu? Apakah ke toilet akan selama ini." Beberapa menit kemudian, Daniel bangun dari kursi panasnya untuk mencari Inara karena ada sesuatu hal yang ingin dia tanyakan perihal cara gadis itu membantu menaikkan sahamnya namun sudah berkeliling toilet dan menunggu di depan toilet wanita sampai 15 menit lamanya namun tak juga menemukan Inara. Daniel semakin penasaran hingga dia meminta petugas keamanan untuk mencari gadis itu namun langkahnya terhenti sejenak ketika Daniel melihat Inara sedang berbicara dengan seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam di dekat taman kantor. Sungguh hal itu membuat Daniel sangat penasaran sekali, siapa pria yang Inara temui itu dan kenapa mereka terlihat begitu serius. Apa yang sedang mereka bahas? "Daniel apa yang kau lakukan di sini? Harusnya kau giat bekerja jika tidak maka perusahaan ini akan berpindah tangan." Pria paruh baya itu berbisik sambil menyeringai menatap keponakannya. "Paman akan membantumu jika kau perlu bantuan," timpalnya lagi. Daniel tersenyum menyeringai, "Aku akan berusaha menaikkan saham ayah bagaimanapun caranya." "Kau begitu yakin dan aku takut sesuatu hal buruk terjadi padamu nanti apalagi kau baru saja menduduki posisi ini. Mana tahu seluk beluk perusahaan Royal Group." "Oh ya, aku juga menantikan calon istrimu itu." Kepergiaan Nicholas membuat Daniel mengepalkan jemarinya kesal, jika saja dia bukan adik dari ayahnya sudah habis wajah pria paruh baya itu. Sementara Inara masih berbincang secara rahasia dengab pria misterius itu. Luka hati yang paling dalam adalah dikhianati oleh orang tercinta, Dhita tak menyangka bila ternyata suami yang pernah dicintainya itu telah berkhianat darinya sejak Dhita mengandung Inayah. "Jadi selama ini dia hanya memanfaatkanku saja," gumam Inara setelah mengetahui sebuah informasi bahwa Bagas sengaja mendekati Inara untuk memanfaatkan dirinya. "Apakah kau menemukan bukti nyata tentang hal ini?" tanya Inara menoleh ke arah seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam. "Tidak, Nona, tetapi aku menemukan selembar kertas ini, aku rasa ini pasti berguna." Inara mengerutkan dahinya sambil meraih kertas tersebut. Di situ tertulis jelas bahwa Bagas dan Rika itu sempat ingin menikah namun pernikahan mereka batal karena sebuah sebab, melihat tanggal di kertas undangan tersebut membuat Dhita mulai mengingat sesuatu hal. "Oh berarti dia..." Inara menjeda kalimatnya sembari meminta orang kepercayaannya itu untuk mencari tahu tentang identitas Rika, kenapa bisa berakhir menikahi pamannya Bagas. "Pasti ada sesuatu hal? Cepat cari tahu." "Baik, Nona." Sebuah kenyataan pahit harus diterima Inara, kehilangan puteri dan juga ibu kandungnya membuat Inara tak bisa membiarkan hal itu begitu saja, sementara dia melihat suami yang pernah dicintainya itu nampak bahagia dengan aset miliknya yang diambil secara paksa. Menarik napasnya dalam-dalam di atas luka yang teramat perih. Inara mulai mencari cara agar bisa menemui Rika dan sedikit ingin tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Dahulu perempuan yang dipanggilnya Rika itu nampak ramah, meski sedikit jutek dan begitu dekat dengan Bagas namun dia tak menyangka bila ternyata di balik kedekatan itu ada sebuah hubungan tersembunyi. "Apa yang kau lakukan di sini, Ta?" tanya seorang pria yang tak lain adalah Daniel. Inara sontak terkejut melihat sang atasan kini berada di hadapannya namun beruntungnya orang kepercayaannya tadi sudah menghilang secepat kilat. "Aku tadi..." "Siapa pria itu? Apakah dia kekasihmu?" Daniel menarik tangan Inara agar lebih dekat lagi dengannya, "Aku mohon sebaiknya kau jauhi dulu kekasihmu karena sekarang statusmu adalah calon istriku dan jika saja paman Nicholas sampai tahu bisa berabe urusannya." Inara tersenyum tipis, "Kamu salah paham sayang, pria tadi adalah kerabatku dan bukan kekasihku. Bisakah kamu lepaskan tanganku terlebih dahulu calon suami palsuku." Daniel sedikit tertegun mendengar ucapan Inara. "Aku akan menemanimu bersiap ke salon malam ini karena ada perjamuan keluarga Sebastien. Aku ingin kamu tampil secantik mungkin dan bantu aku mendapat informasi tentang paman Nicho. Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan." "Bapak tenang saja, aku pasti akan mencari tahu." "Inilah yang aku suka darimu Dhita. Bersiaplah kita pulang lebih awal dan aku akan membawamu ke salon langgananku." Dhita mengangguk pelan sembari terus berpikir ketika melewati koridor kantor, bukankah paman Nicholas adalah tujuan Daniel. Kenapa dia mencurigai pamannya sendiri? "Apakah pak Daniel tidak salah sasaran. Pak Nicholas sepertinya orang baik." Inara lekas ke ruanganya dan mengambis tas selempangnya segera mungkin karena sejak tadi Daniel terus saja meneleponnya. "Iya, Pak sebentar. Aku baru saja sampai...." Inara menghentikan langkahnya sejenak dan menutup sambungan telepon secara sepihak. Matanya lekas menatap lurus ke arah seorang pria yang amat dikenalnya, tanpa sadar gadis itu mengikuti kepada pria itu pergi dan alhasil dia menemukan sesuatu yang tak terduga. "Bapak Nicholas tenang saja, saya pasti akan membantu bapak untuk melengserkan posisi pak Daniel. Sepertinya pria itu akan sulit menaikkan saham penjualan perusahaan karena 10% itu bukanlah angka yang sedikit." Deg!! Inara lekas berhenti ditempat ketika mendengar perbicangan pria itu. Dia menempel di sudut dinding agar tak ketahuan namun siapa sangka bila kakinya menabrak sebuah kotak sampah. "Siapa disana?"Inara lekas membekap mulutnya, air matanya hampir saja jatuh dan keringat dingin hampir saja membasahi seluruh wajahnya karena langkah kaki pria itu semakin lama semakin terdengar lebih dekat. Yang bisa Inara lakukan hanyalah memejamkan kedua matanya dan tak lama tangan seseorang menarik tangannya dan membawanya ke sebuah ruangan. Inara tak berani membuka matanya kali ini, dia takut apabila Bagas lah yang menemukannya dan mempertanyakan apa yang dia dengar tadi."Siapa di sana?""Pak Bagas ada telepon dari bu Rika.""Oh baiklah." Setelah memastikan Bagas sudah pergi, Daniel baru menyuruh Inara membuka matanya. "Apa yang kau lakukan di sini, Ta? Bukankah tadi aku bilang bahwa aku menunggumu di tempat parkir.""Syukurlah kalau itu kamu, pak." Inara menghapus air matanya yang hendak jatuh dan kini dia bisa bernapas lega namun ucapan Bagas tadi masih terngiang di telinga Inara."Sebenarnya kamu kenapa bersembunyi dan ada apa dengan pak Bagas?" tanya Daniel ingin tahu.
“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara.“Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody.Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah.Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody.“Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? A
"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak.Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang."Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu."Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melak
"Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
Inara mendekatkan tubuhnya ke arah Daniel dan membisikkan sesuatu di telinga pria tampan itu. Entah apa yang perempuan itu katakan namun tak lama kemudian Daniel langsung mengangguk bertanda dia setuju dengan apa yang dikatakan Inara."Baiklah kalau begitu sayang," sindir Inara sambil menaikkan alisnya menatap Daniel. Daniel tersenyum geli mendengar Inara memanggilnya sayang. "Apakah kamu bilang aku sedang bercanda?" Lagi-lagi Inara tersenyum geli, "Iya, Pak. Saya juga tidak bercanda kok. Saya mau menikah dengan Bapak asal Bapak mau menyetujui syarat yang saya bilang tadi.""Baiklah jika keinginanmu begitu, aku akan menyuruh Joe membuat surat kontrak pernikahan kita." Jauh di dalam lubuk hati Daniel, dia begitu bingung dengan syarat yang diajukan Inara untuk menikah kontrak selama satu tahun saja dengannya. "Apakah diriku ini tak layak jadi suaminya? Apa aku kurang tampan?" Daniel mendengus kesal melihat kepergian Inara, dia tidak menyangka bila gadis itu akan memberi
Inara lekas membekap mulutnya, air matanya hampir saja jatuh dan keringat dingin hampir saja membasahi seluruh wajahnya karena langkah kaki pria itu semakin lama semakin terdengar lebih dekat. Yang bisa Inara lakukan hanyalah memejamkan kedua matanya dan tak lama tangan seseorang menarik tangannya dan membawanya ke sebuah ruangan. Inara tak berani membuka matanya kali ini, dia takut apabila Bagas lah yang menemukannya dan mempertanyakan apa yang dia dengar tadi."Siapa di sana?""Pak Bagas ada telepon dari bu Rika.""Oh baiklah." Setelah memastikan Bagas sudah pergi, Daniel baru menyuruh Inara membuka matanya. "Apa yang kau lakukan di sini, Ta? Bukankah tadi aku bilang bahwa aku menunggumu di tempat parkir.""Syukurlah kalau itu kamu, pak." Inara menghapus air matanya yang hendak jatuh dan kini dia bisa bernapas lega namun ucapan Bagas tadi masih terngiang di telinga Inara."Sebenarnya kamu kenapa bersembunyi dan ada apa dengan pak Bagas?" tanya Daniel ingin tahu.
"Ini Pak, aku hanya menemukan biodata Rika dan ternyata dia dan pak Bagas itu satu sekolah.""Kau tahu dari mana Bagas dan Rika itu bersekolah di tempat yang sama?" tanya Daniel heran karena Dhita baru saja bertemu dengan Bagas beberapa kali. Hal itu membuat Inara tersudut hingga perempuan itu pun mencari cara lain agar tak dicurigai, "A--ku pernah membaca informasi pak Bagas di sebuah jejaring sosial, Pak," jawab Inara sedikit terbata-bata. Daniel mengerutkan dahinya menatap Dhita nampak begitu gugup menjawab pertanyaannya hingga muncul sesuatu hal yang mencurigakan yang membuat Daniel ingin mencari tahu. Bukan satu atau dua kali ini saja, Daniel merasa sangat aneh bila Dhita bertemu dengan klien bisnisnya itu, bak ada sesuatu hal yang menakutkan."Sebenarnya ada apa di antara mereka? Kenapa aku merasa Dhita mengenal baik klienku itu." Daniel memperhatikan Dhita sambil duduk menghadap ke arah meja kerja Dhita hingga dia baru menyadari bila sejak tadi ponselnya terus saja berd
Inara mendekatkan tubuhnya ke arah Daniel dan membisikkan sesuatu di telinga pria tampan itu. Entah apa yang perempuan itu katakan namun tak lama kemudian Daniel langsung mengangguk bertanda dia setuju dengan apa yang dikatakan Inara."Baiklah kalau begitu sayang," sindir Inara sambil menaikkan alisnya menatap Daniel. Daniel tersenyum geli mendengar Inara memanggilnya sayang. "Apakah kamu bilang aku sedang bercanda?" Lagi-lagi Inara tersenyum geli, "Iya, Pak. Saya juga tidak bercanda kok. Saya mau menikah dengan Bapak asal Bapak mau menyetujui syarat yang saya bilang tadi.""Baiklah jika keinginanmu begitu, aku akan menyuruh Joe membuat surat kontrak pernikahan kita." Jauh di dalam lubuk hati Daniel, dia begitu bingung dengan syarat yang diajukan Inara untuk menikah kontrak selama satu tahun saja dengannya. "Apakah diriku ini tak layak jadi suaminya? Apa aku kurang tampan?" Daniel mendengus kesal melihat kepergian Inara, dia tidak menyangka bila gadis itu akan memberi
"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
"Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak.Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang."Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu."Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melak
"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara.“Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody.Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah.Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody.“Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? A