"Ini Pak, aku hanya menemukan biodata Rika dan ternyata dia dan pak Bagas itu satu sekolah."
"Kau tahu dari mana Bagas dan Rika itu bersekolah di tempat yang sama?" tanya Daniel heran karena Dhita baru saja bertemu dengan Bagas beberapa kali. Hal itu membuat Inara tersudut hingga perempuan itu pun mencari cara lain agar tak dicurigai, "A--ku pernah membaca informasi pak Bagas di sebuah jejaring sosial, Pak," jawab Inara sedikit terbata-bata. Daniel mengerutkan dahinya menatap Dhita nampak begitu gugup menjawab pertanyaannya hingga muncul sesuatu hal yang mencurigakan yang membuat Daniel ingin mencari tahu. Bukan satu atau dua kali ini saja, Daniel merasa sangat aneh bila Dhita bertemu dengan klien bisnisnya itu, bak ada sesuatu hal yang menakutkan. "Sebenarnya ada apa di antara mereka? Kenapa aku merasa Dhita mengenal baik klienku itu." Daniel memperhatikan Dhita sambil duduk menghadap ke arah meja kerja Dhita hingga dia baru menyadari bila sejak tadi ponselnya terus saja berdering di atas meja. Dreettt.....Dretttt... "Apa kau sudah menemukan informasi yang akurat?" "Belum Pak." "Temukan secepatnya dan aku merasa ada sesuatu hal mencurigakan dengan Bagas dan paman tiriku itu." Ketika Daniel menutup sambungan teleponnya, dia mendapati ruangan Inara tampak kosong. Pria tampan itu sedikit penasaran kemana gadis itu pergi di jam kerja seperti ini. Daniel terus menatap jam tangannya sudah hampir setengah jam lamanya namun Inara belum kembali. "Kemana gadis itu? Apakah ke toilet akan selama ini." Beberapa menit kemudian, Daniel bangun dari kursi panasnya untuk mencari Inara karena ada sesuatu hal yang ingin dia tanyakan perihal cara gadis itu membantu menaikkan sahamnya namun sudah berkeliling toilet dan menunggu di depan toilet wanita sampai 15 menit lamanya namun tak juga menemukan Inara. Daniel semakin penasaran hingga dia meminta petugas keamanan untuk mencari gadis itu namun langkahnya terhenti sejenak ketika Daniel melihat Inara sedang berbicara dengan seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam di dekat taman kantor. Sungguh hal itu membuat Daniel sangat penasaran sekali, siapa pria yang Inara temui itu dan kenapa mereka terlihat begitu serius. Apa yang sedang mereka bahas? "Daniel apa yang kau lakukan di sini? Harusnya kau giat bekerja jika tidak maka perusahaan ini akan berpindah tangan." Pria paruh baya itu berbisik sambil menyeringai menatap keponakannya. "Paman akan membantumu jika kau perlu bantuan," timpalnya lagi. Daniel tersenyum menyeringai, "Aku akan berusaha menaikkan saham ayah bagaimanapun caranya." "Kau begitu yakin dan aku takut sesuatu hal buruk terjadi padamu nanti apalagi kau baru saja menduduki posisi ini. Mana tahu seluk beluk perusahaan Royal Group." "Oh ya, aku juga menantikan calon istrimu itu." Kepergiaan Nicholas membuat Daniel mengepalkan jemarinya kesal, jika saja dia bukan adik dari ayahnya sudah habis wajah pria paruh baya itu. Sementara Inara masih berbincang secara rahasia dengab pria misterius itu. Luka hati yang paling dalam adalah dikhianati oleh orang tercinta, Dhita tak menyangka bila ternyata suami yang pernah dicintainya itu telah berkhianat darinya sejak Dhita mengandung Inayah. "Jadi selama ini dia hanya memanfaatkanku saja," gumam Inara setelah mengetahui sebuah informasi bahwa Bagas sengaja mendekati Inara untuk memanfaatkan dirinya. "Apakah kau menemukan bukti nyata tentang hal ini?" tanya Inara menoleh ke arah seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam. "Tidak, Nona, tetapi aku menemukan selembar kertas ini, aku rasa ini pasti berguna." Inara mengerutkan dahinya sambil meraih kertas tersebut. Di situ tertulis jelas bahwa Bagas dan Rika itu sempat ingin menikah namun pernikahan mereka batal karena sebuah sebab, melihat tanggal di kertas undangan tersebut membuat Dhita mulai mengingat sesuatu hal. "Oh berarti dia..." Inara menjeda kalimatnya sembari meminta orang kepercayaannya itu untuk mencari tahu tentang identitas Rika, kenapa bisa berakhir menikahi pamannya Bagas. "Pasti ada sesuatu hal? Cepat cari tahu." "Baik, Nona." Sebuah kenyataan pahit harus diterima Inara, kehilangan puteri dan juga ibu kandungnya membuat Inara tak bisa membiarkan hal itu begitu saja, sementara dia melihat suami yang pernah dicintainya itu nampak bahagia dengan aset miliknya yang diambil secara paksa. Menarik napasnya dalam-dalam di atas luka yang teramat perih. Inara mulai mencari cara agar bisa menemui Rika dan sedikit ingin tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Dahulu perempuan yang dipanggilnya Rika itu nampak ramah, meski sedikit jutek dan begitu dekat dengan Bagas namun dia tak menyangka bila ternyata di balik kedekatan itu ada sebuah hubungan tersembunyi. "Apa yang kau lakukan di sini, Ta?" tanya seorang pria yang tak lain adalah Daniel. Inara sontak terkejut melihat sang atasan kini berada di hadapannya namun beruntungnya orang kepercayaannya tadi sudah menghilang secepat kilat. "Aku tadi..." "Siapa pria itu? Apakah dia kekasihmu?" Daniel menarik tangan Inara agar lebih dekat lagi dengannya, "Aku mohon sebaiknya kau jauhi dulu kekasihmu karena sekarang statusmu adalah calon istriku dan jika saja paman Nicholas sampai tahu bisa berabe urusannya." Inara tersenyum tipis, "Kamu salah paham sayang, pria tadi adalah kerabatku dan bukan kekasihku. Bisakah kamu lepaskan tanganku terlebih dahulu calon suami palsuku." Daniel sedikit tertegun mendengar ucapan Inara. "Aku akan menemanimu bersiap ke salon malam ini karena ada perjamuan keluarga Sebastien. Aku ingin kamu tampil secantik mungkin dan bantu aku mendapat informasi tentang paman Nicho. Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan." "Bapak tenang saja, aku pasti akan mencari tahu." "Inilah yang aku suka darimu Dhita. Bersiaplah kita pulang lebih awal dan aku akan membawamu ke salon langgananku." Dhita mengangguk pelan sembari terus berpikir ketika melewati koridor kantor, bukankah paman Nicholas adalah tujuan Daniel. Kenapa dia mencurigai pamannya sendiri? "Apakah pak Daniel tidak salah sasaran. Pak Nicholas sepertinya orang baik." Inara lekas ke ruanganya dan mengambis tas selempangnya segera mungkin karena sejak tadi Daniel terus saja meneleponnya. "Iya, Pak sebentar. Aku baru saja sampai...." Inara menghentikan langkahnya sejenak dan menutup sambungan telepon secara sepihak. Matanya lekas menatap lurus ke arah seorang pria yang amat dikenalnya, tanpa sadar gadis itu mengikuti kepada pria itu pergi dan alhasil dia menemukan sesuatu yang tak terduga. "Bapak Nicholas tenang saja, saya pasti akan membantu bapak untuk melengserkan posisi pak Daniel. Sepertinya pria itu akan sulit menaikkan saham penjualan perusahaan karena 10% itu bukanlah angka yang sedikit." Deg!! Inara lekas berhenti ditempat ketika mendengar perbicangan pria itu. Dia menempel di sudut dinding agar tak ketahuan namun siapa sangka bila kakinya menabrak sebuah kotak sampah. "Siapa disana?"Inara lekas membekap mulutnya, air matanya hampir saja jatuh dan keringat dingin hampir saja membasahi seluruh wajahnya karena langkah kaki pria itu semakin lama semakin terdengar lebih dekat. Yang bisa Inara lakukan hanyalah memejamkan kedua matanya dan tak lama tangan seseorang menarik tangannya dan membawanya ke sebuah ruangan. Inara tak berani membuka matanya kali ini, dia takut apabila Bagas lah yang menemukannya dan mempertanyakan apa yang dia dengar tadi."Siapa di sana?""Pak Bagas ada telepon dari bu Rika.""Oh baiklah." Setelah memastikan Bagas sudah pergi, Daniel baru menyuruh Inara membuka matanya. "Apa yang kau lakukan di sini, Ta? Bukankah tadi aku bilang bahwa aku menunggumu di tempat parkir.""Syukurlah kalau itu kamu, pak." Inara menghapus air matanya yang hendak jatuh dan kini dia bisa bernapas lega namun ucapan Bagas tadi masih terngiang di telinga Inara."Sebenarnya kamu kenapa bersembunyi dan ada apa dengan pak Bagas?" tanya Daniel ingin tahu.
"Tentu saja, aku sangat yakin." Setelah mengetahui hubungan Bagas dan Rika, entah kenapa takdir begitu cepat mempertemukan mereka lagi. Kebetulan sekali saat itu Daniel mengajaknya untuk makan malam bersama dengan keluarga Sebastien. Dengan penampilan yang begitu anggun, Inara sengaja ingin memancing Bagas. Namun ternyata yang malah terpancing adalah atasannya sendiri, ketika Inara berdiri menyambut kedatangan Bagas, pria itu tampak terpelongo kaget melihat Inara yang tampil begitu anggun dan cantik dengan dress panjang berwarna navy."Sepertinya pak Bagas mulai terpesona denganmu! Aku akui kau cantik malam ini," puji Daniel mengulas senyuman tipisnya."Benarkah, Anda memang sangat pandai memuji, Pak." "Bukankah aku sudah bilang panggoil aku Daniel saja," protesnya geram."Baik, El.""Seperti itu sudah lebih dari cukup," balas Daniel tersenyum tipis. Bukan hanya Bagas yang takjub melihat kecantikan Ianra, Daniel pun tak bisa berhenti menatap Inara karena begitu terpesona
"Tapi bisakah kamu berhenti membahas wanita itu sayang." Mendengar ucapan Rika tadi, dengan sekuat hati Inara berusaha untuk menahan air matanya yang hendak jatuh. Dia terus memancing Rika sampai benar-benar mendapat informasi akurat. Sementara Daniel pun melakukan hal yang sama, dia mencoba mencari surat kuasa sang ayah. Namun, dia menghentikan pergerakannya ketika melihat paman Nicholas masuk ke dalam kamar ayahnya."Apa yang kamu lakukan di sini, El?" tanyanya tampak curiga. Daniel tertegun, tetapi tetap berusaha santai seolah tak ada sesuatu hal yang terjadi."Aku sedang mencari surat peninggalan ayah." Paman Nicholas tersenyum miring, "Apa kamu mencari ini!" Pria parih baya itu menunjukkan selembar kertas ke arah Daniel."Jangan bilang kamu meragukan surat kuasa ini.""Apa maksud paman?" tanya Daniel seolah tak mengerti padahal dia tahu pertanyaan pamannya itu mengarah ke syarat surat kuasa tersebut. Pria paruh baya itu berjalan lebih dekat ke arah Daniel. "Kam
"Ini adalah surat kuasa yang ditinggalkan ibumu." "Surat kuasa?! Apa maksud Dokter?" Pria itu meminta Inara untuk membukanya langsung, "Sebaiknya kamu lihat saja isinya." Dengan segera Inara membuka map tersebut dan matanya membulat sempurna ketika melihat namanya tertulis di dalam surat kuasa tersebut. "Perusahaan Corp Group adalah milik ayahku. Apakah ini benar Dok? Tidak... Tidak ini pasti salah." "Ini benar, Ra. Mendiang ayahmu adalah pemilik di Corp Group. Beliau dan ibumu berpisah karena sebuah alasan namun ibumu tak pernah mengetahui jikalau ayahmu adalah pemilik Corp Group. Sehari sebelum ibumu meninggal pengacara ayahmu memberikan surat ini dan ibumu menitipkannya padaku." Dokter Jody juga menceritakan jikalau orang tua Inara berpisah karena kakak ayahnya tidak setuju dengan ibu Laras sehingga dia berusaha memisahkan orang tua Inara. "Bukankah ibu bilang bahwa ayahku sudah meninggal sewaktu aku berumur 5 tahun." "Tidak, Ra. Ayahmu masih hidup dan ibu Laras sengaja m
"Oh maaf Paman. Sepertinya aku tidak bisa lagi menahan hasratku apalagi hari ini Dhita terlihat sangat cantik dan aku terpesona olehnya.""Harusnya kamu bisa membedakan tempat di mana kamu harus bermesraan dengan kekasihmu dan bukan di sini.""Apakah salah bila aku mencium calon istriku? Aku rasa tidak," jawabnya dengan sorot mata tajam."Kejadian ini jangan sampai mencoreng nama baik keluarga Sebastien. Ingat itu!""Paman tenang saja, aku tidak akan mencoreng nama baik ayahku kok.""Dasar bocah! Inilah yang aku takutkan, sepertinya kakakku salah memberikan kekuasaan padamu, mana bisa bocah tengil sepertimu bertahan di posisi pemimpin. Kamu hanya bisa main-main saja." Daniel tersenyum geli mendengar ucapan pamannya namun dia tak berniat untuk membalas. Inara yang berdiri di sebelahnya mulai geram dengan ucapan pria parih baya itu. Dia tahu bagaimana kinerja Daniel untuk mempertahankan posisinya bahkan pria manik mata biru harus lembur setiap hari demi menaikkan saham penjualan hin
Perusahaan Wijaya Group mendadak bermasalah sehingga membuat saham perusahaannya mulai anjlok saat itu juga. Itulah yang diinginkan Daniel agar saham mereka tak seimbang dengan Royal Group."Apa kau pikir bisa berhadapan denganku, Bagas. Tidak semudah itu, ini baru permulaan." Daniel sedikit berinvestasi ke perusahaan ayahnya tanpa sepengetahuan orang lain. Sementara Joe juga ditugaskan untuk mencabut kerja sama dengan perusahaan Bagas."Tetap sembunyikan identitasku sebagai investor, Joe.""Baik, Pak." Sebelum melangkah keluar dari ruangan Daniel, Joe sempat menghentikan langkahnya sejenak. Dia baru teringat jikalau ada seseorang dari Corp Group ingin bekerja sama dengan perusahaan."Corp Group? Bukankah itu adalah perusahaan nomor dua setelah perusahaan ayahku?""Benar sekali, Pak. Haruskah kita bekerja sama dengan perusahaan tersebut.""Tentu saja, Joe. Tetapi untuk saat ini fokuslah mengurusi acara pernikahanku yang akan digelar malam ini dan jangan sampai ada seseorang p
"Kamu tak perlu takut padaku, Ta. Aku ingin membawamu pulang ke rumahku.""Ke rumah?! Bukannya kita a--" Inara mengatupkan bibirnya ketika melihat Daniel menggelengkan kepalanya."Kita akan mengadakan pernikahan malam ini juga jadi kamu harus bersiap.""Baiklah." Inara menghela nqpas beratnya tanpa bertanya satu katapun pada Daniel."Kenapa kamu tidak bertanya mengapa?" Inara tersenyum tipis, "Aku tahu pasti kamu sedang merencanakan sesuatu hal bukan? Selama itu baik untukku maka untuk apa aku protes." Daniel tersenyum simpul, dia tidak menyangka jikalau Inara sudah mulai mengenal wataknya. Berhenti di sebuah rumah mewah dengan nuansa putih. Setelah memarkirkan mobilnya di halaman luas dengan taman bunga warna-warni. Joe membukakan pintu untuk dua orang itu. Tanpa menjawab pertanyaan perempuan itu, Daniel menariknya lagi, tetapi dengan begitu lembut. Mereka menapaki banyak anak tangga karena posisi rumah tersebut menjulang ke atas."Ayo, masuk," ucap Daniel menyentuh k
Sontak saja Inara langsung melotot seolah matanya akan keluar ketika Daniel berani mencium dagunya. Inara ingin menhindar namun Daniel menark tubuh Inara agar lebih dekat lagi padanya."Bukankah tadi aku sudah meminta ijin darimu. Bersikaplah seperti pasangan yang romantis sayang," bisik Daniel tersenyum tipis. Entah kenapa Daniel sangat suka sekali menggoda Inara yang terlihat takut padanya. Terdengar sorak penuh kebahagiaan memenuhi telinga mereka ketika dua sejoli itu pada akhirnya bisa bersatu dalam sebuah janji suci pernikahan.“Aku sangat mencintaimu, Dhita,” ucap Daniel.“Aku juga sangat mencintaimu, El,” jawab Dhita sambil tersenyum lebar. Tak lama setelah acara pernikahan berakhir, Daniel mengajak Inara ke lantai dua dan sisanya diserahkan Daniel kepada Joe. Ketika mereka sudah sampai di dalam kamar Daniel, pria manik mata biru itu langsung mengunci pintu kamar dan hal itu membuat Inara mengernyitkan dahinya."Apa yang kamu lakukan, El? Tidak mungkin kamu..."
Dia merapikan riasannya agar tak terlalu norak, si wanita yang menghiasnya tadi pun memberikan sepatu berwarna senada dengan gaun yang dikenakannya. Tidak lama kemudian, suara ketukan terdengar dari balik pintu. "Masuk saja," ucap Inara mengetahui bahwa itu adalah suara Daniel. Ketika tangan Daniel membuka pintu tersebut, matanya terbelalak kaget ketika mendapati Inara yang begitu cantik dengan gaun yang dikenakannya. Mulutnnya hingga ternganga membulat dan berbentuk huruf o. "Kamu cantik seka--" Daniel tak melanjutkan kalimatnya namun bibirnya langsung saja menyambar bibir ranum perempuan itu, tanpa penolakan dari Inara. Beruntungnya si perias tadi sudah dipersilahkannya keluar lebih dulu. Sentuhan lembut itu mampu memancing hasrat Inara yang juga menggebu hingga terjadi pangutan yang begitu lama, "Kamu cantik sekali, Ra," bisik Daniel baru menyadari orang-orang telah menunggunya di bawah."Terima kasih, El.""Apa kamu yakin dengan pernikahan ini, Ra?" "Apa maksudmu?
Daniel meminta Joe untuk menemukqn Inara secepatnya."Bagaimana bisa sudah satu minggu lamanya kalian tak menemukan Inara.""Kami akan berusaha menemukannya, Pak." Di sidang pada hari berikutnya, Rika lagi-lagi terus berkelit.“Nona Rika, kami minta tolong untuk Anda berkata jujur dan tidak berkelit,” ucap sang hakim agung.“Maaf, Yang Mulia. Tapi begitulah kenyataannya. Aku sama sekali tidak mengerti tentang kejadian yang Anda maksudkan atau yang kalian tuduhkan kepadaku. Aku benar-benar tidak bersalah dalam kasus ini,” ucap Rika.“Tapi, kenapa semua saksi berkata jika Anda juga terlibat kalau memang Anda tidak terlibat, Nona?"“I-itu pasti karena mereka sudah bersekongkol untuk menjebloskan aku ke dalam penjara!” kelit Rika sambil menyilangkan tangan di depan dada. Terdengar derit pintu terbuka membuat semua orang menoleh ke sumber suara."Tentu saja yqng salah harus dihukum. Aku datang sebagai korban atas pembunuhan yang telah kamu rencanakan, Rika. Bukan hanya aku yang men
Inara langsung meremas tangan Daniel dengan kuat hingga ia tidak menyadari jika kuku panjangnya itu membuat jemari Daniel terluka."Yang benar saja kamu melukai jariku," gumam Daniel merasakan perih di punggung tangannya. Tidak cukup di situ saja, Inara langsung memeluk Daniel karena takutan dengan kegelapan. Perempuan itu baru membuka matanya ketika Daniel sudah mengatakan bahwa lampu sudah menyala."Yang benar saja villa semegah ini bis--" Inara mengatupkan bibirnya karena melihat ruangan kamar itu dipenuhi dengan bunga-bunga dihiasi dengan sebuah kata-kata yang membuatnya terbelalak kaget."Apa maksudnya ini, El?" tanya Inara langsung menoleh ke arah Daniel."Maukah kamu menikah denganku?" Daniel dengan duduk berjongkok lalu menyodorkan sepasang cincin ke arah Inara."Benarkah kamu ingin menikah denganku?" tanya Inara benar-benar tidak percaya."Bukankah kamu harus menjawab pertanyaanku tadi? Mengapa nalah balik bertanya." Tanpa berpikir panjang lagi Daniel langs
Langsung saja perempuan itu menarik tangan Daniel dan memintanya untuk menjauh dari seorang gadis yang menjaga toko tersebut."Apakah itu tidak terlalu mahal?" protes Inara sembari membujuk Daniel untuk memikir ulang membeli cincin tersebut."Tidak apa-apa, Ra! Kan jarang banget aku membeli barang seperti ini dan aku tidak pernah menilai sesuatu dari harganya," balas Daniel meminta pelayan untuk membungkusnya."Apakah kamu ingin membeli yang lain? Pilih saja, nanti aku yang akan bayar," tawar Daniel melirik Inara yang terus saja mengomelinya. Hipotesa negatif mulai bersarang di dalam otaknya, melihat Daniel yang membeli barang tanpa memikirkan nilai harganya dantidak tahu untuk siap cincin tersebut maka membuat jiwa Inara bergejolak dan ingin membeli sesuatu yang sama nilainya dngan cincin tersebut."Baiklah, aku ingin membeli gelang, tetapi kalau harganya mahal, kamu tidak akan protes kan?" Inara sontak menoleh ke arah Daniel yang sedang duduk santai di atas sofa. Daniel t
Inara yang menatap dua orang itu saling beradu pandang pun merasa jengkel. Ia terus meneguk habis minumannya hingga membuatnya tersendak.Uhuukk... Uhuuk.."Minumlah." Daniel menyodorkan segelas air mineral ke arahnya. Melihat tindakan Daniel yang begitu sigap membantunya, membuat Inara sering bertanya-tanya apa yang sebenarnya Daniel pikirkan. Bagaimana bisa dia memberi perhatian kepada dua perempuan sekaligus. Hubungannya yang begitu dekat dengan Kanza benar-benar membuat Inara harus extra sabar menyaksikan hal itu."Mengapa aku jadi cemburu sih." Bagaimana tidak cemburu, Kanza pun terkadang bersikap manja dengan seorang pria blasteran itu di depan Daniel dan dirinya. Bahkan mereka saling menatap penuh makna satu sama lain. Ketika makanan sudah dihidangkan di atas meja, Kanza pun menyodorkan makanan kesukaan sang bule itu ke arahnya lalu memaksa sang pria bermanik mata hijau itu memakan satu suapan untuknya. Bukan hanya cantik saja, tetapi Kanza juga begitu handal m
"Iya, El." Inara menjawab terbata-bata karena jarak mereka yang hanya beberapa senti meter saja membuat Inara sedikit ketakutan. Daniel menelisik tajam ke arah Inara dan menatap sepasang bola mata perempuan cantik itu lalu ia membisikkan sesuatu hal yang membuat Inara berteriak. "Apa kamu sudah tak waras, El! Aku mana mungkin melakukan itu, hal yang terjadi kepada kita itu karena ketidaksengajaan." Inara mengingatkan Daniel apa yang pernah mereka lewati ketika malam nahas itu. Pria itu masih mengunci pergerakannya dan menatap Inara dengan sangat dalam, dia tahu bahwa saat ini Inara sedikit ketakutan dengannya. Namun, Daniel ingin membuat Inara sadar, lalu dia membisikan sesuatu lagi."Itupun jika kamu mau menikah denganku, jika tidak ya terserah padamu," ucapnya sedikit mengancam dengan senyuman yang mengembang di sudut bibirnya."Tidak akan! Aku tidak akan melakukan itu." Inara protes tidak menyetujui keinginan pria tersebut. Kemudian Daniel menatap lagi k
Mendengar itu sontak saja Inara mendekati Daniel dan hendak memukulnya, tetapi sayangnya kaki terpeleset dan membuat tubuhnya tak seimbang lalu hendak jatuh, beruntungnya tangan kekar itu langsung menarik tubuhnya sehingga masuk dalam pelukannya, tetapi tanpa sengaja karena ingin menolong Inara, malah handuk yang dipakainya jatuh ke lantai membuat tubuh pria itu terlihat polos hanya mengenakan alat pelindung untuk menutupi juniornya saja."Ambil handukmu, El." Sontak saja Inara Langsung memejamkan matanya seraya membenarkan posisinya."Lalu aku harus apa jika aku tidak menolongmu maka kamu akan jatuh," cibir Daniel merasa serba salah."Tetapi tidak begitu juga, El!" protes Inara."Kenapa kamu malu melihatnya, bukankah sudah sering melihatnya.""Iya, tapi aku tidak nafsu kok." Mendengar itu, Daniel mengambil handuk tersebut dan menutupi juniornya lalu keluar dari kamar Inara dan menutup pintu kamar dengan keras. "Apa dia benar-benar serius? Tidak nafsu denganku lalu kenapa
Daniel mengamati raut wajah Inara dan sepertinya perempuan itu benar-benar yakin dengan rencananya tersebut. Daniel jadi bingung dibuatnya."Apakah Inara yakin ingin merencanakan pernikahan itu?" gumam Daniel sedikit menggerutu. Semilir angin malam itu menyentuh kulit dan membuatnya terus memeluk ledua tangannya sehingga membuat Daniel melangkah masuk ke ruang kerjanya dan mengambil jasnya."Apakah kamu masih mencintai Bagas?" tanya Dankel menoleh ke arah istrinya.. Mendengar pertanyaan itu, Inara balik menoleh ke arah Daniel dan menjawab pertanyaannya."Bohong bila aku tidak mencintainya? Bagaimanapun pria itu pernah tersimpan indah di dalam lubuk hatiku, tetapi untuk kembali padanya dan mengulang masa lalu, aku rasa itu tidak mungkin meski.." Inara menjeda kata-katanya, seolah tidak sanggup untuk melanjutkannya."Meski kenapa" tanya Daniel ingin tahu isi hati perempuan itu. Memandangi wajah Inara, pria tampan itu tahu apa yang ada di dalam isi hatinya sama hal s
Daniel semakin erat memeluknya dan terus menyemangati Inara dan menasehatinya bahwa yang bisa menentukan pilihan itu adalah dirinya sendiri. Usai perempuan itu merasa lega, Daniel menyuruh Inara untuk meminum teh hangat agar tubuhnya merasa lebih baik lagi. Tak disangka perempuan itu menuruti kata-katanya dan Inara pun meminta Daniel membawanya ke balkon atas dan menikmati udara malam itu spontan saja Daniel langsung menolaknya mengingat bahwa tubuh perempuan itu masih begitu lemah."Please, ikuti perintahku! Jika kamu sehat aku tidak akan melarangmu," ketusnya tak senang. Dengan sangat terpaksa dan tidak ingin berdebat karena tubuhnya memang masih sedikit lemah maka Inara pun mengangguk, perempuan itu lantas menyuruh Daniel untuk membersihkan diri karena baju pria tampan itu juga sangat basah. Setelah pergi meninggalkan Inara dan masuk ke dalam.kamarnya, entah mengapa Daniel merasa tak tenang. Ada sedikit kegundahan yang menimpa dirinya kenapa bisa Bagas berkata seperti i