"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara
"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu. Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih. Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya. "Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?" "Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu." Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri di sana. Namun, dari percakapan di video itu, ia bisa tahu itu suara Bagas, suaminya. “Lakukan sesuai perintahku, tapi jangan terburu-buru. Aku ingin semuanya berjalan mulus. Buat kejadian itu seperti kecelakaan biasa bukan rekayasa. Kamu paham?” Buliran bening jatuh tanpa dipinta, meleleh di pipi Inara. Sepertinya ibunya tahu jika Bagas sedang merencanakan sesuatu padanya. Sayangnya belum sempat diberitahu ke Inara, ibunya keburu meninggal. Inara menghela napas panjang sambil menahan sesak di dada. "Dasar pria biadab. Mas Bagas, kau tak pantas disebut manusia lagi," umpat Inara seraya mengerang. "Itulah sebabnya aku merahasiakan keberadaanmu dan mengganti identitasmu, Inara. Aku tidak tahu apa maksud Bagas melakukan ini semua dan masih menyelidikinya." Inara mengusap air mata, kini dugaannya salah terhadap dokter Jody. Ia pikir Dokter Jody bekerjasama dengan Bagas, tapi ternyata tidak. Dokter Jody memang dokter kepercayaan ibunya dan sangat tulus membantunya. "Maafkan aku, Inara. Aku gagal menyelamatkan ibumu waktu itu.” Inara hanya membisu, saat kejadian ibunya mendapat serangan jantung. Inara memang sedang berada di luar kota bersama Bagas. Sedangkan Dokter Jody juga sedang melakukan seminar di luar kota. Bisa jadi itu adalah alibi yang dipersiapkan Bagas. Inara tidak menanggapi ucapan Dokter Jody, dia hanya fokus dengan ponsel milik sang ibu dan pergi begitu saja menuju kamarnya. Namun, terlihat jelas dalam binar matanya bahwa perempuan itu benar-benar syok setelah melihat rekaman video milik mendiang ibunya tadi. Hantaman keras langsung meninju seluruh tubuhnya sehingga Inara tak kuat menopang tubuhnya dan terjatuh di lantai kamar. Isakan tangis mulai terdengar kembali membuat Dokter Jody semakin merasa bersalah karena telah gagal menyelamatkan ibunya Inara. "Biarkan Inara sendirian, dia butuh waktu untuk menerima semua ini. Ibu yakin Inara tak akan menyalahkanmu, Yah.” Istri Dokter Jody mencoba menghibur sambil mengelus bahunya pelan. Pria paruh baya itu hanya mengangguk. Perlahan dia meninggalkan kamar Inara. Benar kata istrinya, Inara memang butuh waktu untuk sendiri. Sementara itu, Inara masih terdiam. Ia duduk di lantai dengan gerakan bahu naik turun mengolah udara. Banyak amarah berjejalan di sana dan Inara tidak tahu harus berbuat apa. Silih berganti berkelebatan wajah ibunya dan sang Putri tercinta di benaknya. Tangan Inara mengepal tiap mengingat video di ponsel tadi. Teganya Bagas melakukan ini semua. Bahkan hingga detik ini, Inara masih belum tahu tujuan Bagas melakukan semuanya. Serta merta rasa cinta pada Bagas berangsur menghilang berganti dengan kebencian yang membuncah. Perlahan mata Inara tertuju pada tasnya. Sebuah undangan pernikahan menyembul dari dalam sana. Inara ingat tadi Rika memberinya undangan. Inara langsung menyambar undangan itu dan menatapnya dengan nanar. "Berani sekali kau tersenyum di atas lukaku ini Mas Bagas! Aku tidak akan diam saja. Tunggu saja pembalasanku!!” Inara meremas undangan tersebut, meluapkan semua kekesalannya. Mengepalkan jemarinya kuat-kuat sambil memejamkan kedua mata. Inara sudah bersumpah dalam hati akan membalas semua perlakuan Bagas padanya. Keesokan pagi, Inara sudah berangkat ke kantor, ada meeting penting pagi ini. Matanya yang sembab karena habis menangis semalaman kini sudah tak terlihat lagi karena dipoles riasan tebal. Inara harus kuat dan tegar di depan semua orang, tak boleh ada yang tahu kalau dirinya itu adalah istri bodoh yang dikhianati oleh suami hingga hartanya terkuras habis. Begitu tiba di ruangan, Inara langsung mengambil beberapa berkas dan membawanya ke ruangan Daniel. Ia membutuhkan tanda tangan Daniel. Setelah beberapa kali ketuk, terdengar sahutan dari dalam. Inara bergegas masuk. Namun, langkahnya langsung terhenti saat melihat Daniel tampak sedang berdiri bersitegang. Ada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi menjadi lawannya. “Kenalkan dia!!!! Ditha, sekretaris sekaligus calon istriku!!” seru Daniel kemudian. Sontak mata Inara terbelalak kaget. Ia berulang mengerjap sambil menatap Daniel. Kedatangannya ke ruangan ini untuk meminta tanda tangan bukan mendapat kejutan seperti ini. Daniel tersenyum berjalan ke arahnya, kemudian langsung merengkuh pinggul Inara. Kembali Inara shock. Ini kali pertama ia disentuh pria selain suaminya. Inara menoleh ke arah Daniel. Ia mau membuka mulut, tapi Daniel sudah memberi isyarat melalui matanya agar dia mengikuti perintah Daniel. “Ayo, Sayang. Kenalan sama Om Nicholas. Dia adiknya papa.” Kembali Daniel bersuara. Inara melirik Daniel dan lagi-lagi bosnya itu memberi isyarat melalui mata. Inara mengangguk dengan gugup kemudian sudah mengulurkan tangan memperkenalkan diri. “Ditha,” ujar Inara. Untung kali ini suaranya tidak terdengar gugup. “Cukup cantik untuk menjadi calon mantuku,” cetus Nicholas. Ditha hanya diam. Ia masih berdiri di samping Daniel dengan tegang. Berkas yang ia bawa tadi dipeluknya dengan erat. Jantungnya berdetak semakin kencang, apalagi Daniel tidak melepas rangkulannya dari pinggul Inara. “Baiklah kalau begitu. Jangan lupa ajak dia makan malam akhir pekan ini, Daniel. Kamu pasti ingin mengenalkan dia ke semua anggota keluarga, bukan?” Nicholas bersuara sambil bangkit dari duduknya. Sementara Daniel hanya menganggukkan kepala. Setelahnya, Nicholas berpamitan pulang. Tinggal Daniel dan Inara yang tersisa. “Pak, apa maksudnya ini?” tanya Inara kemudian. Daniel sudah menjauh dan kembali duduk di kursi kerjanya. Ia terdiam menatap Inara. Tangannya sudah saling bertautan. “Aku serius dengan ucapanku tadi, Ditha.” Inara terperangah dan berjalan mendekat kemudian duduk di kursi depan meja Daniel. “Namun, saya gak bisa, Pak. Saya sudah me---” “Tolong aku … aku benar-benar membutuhkan bantuanmu. Aku harus menikah akhir tahun ini. Kalau tidak, perusahaan ini akan jatuh ke paman Nicholas dan aku tidak mau itu terjadi.” Daniel sudah memotong lebih dulu dan memberi penjelasan. Inara membisu, matanya menatap pria tampan di depannya ini. Padahal dia baru saja berduka akibat ulah tidak bertanggung jawab suaminya. Rasanya jika dia akan menjalin sebuah hubungan lagi, Inara masih kesulitan. Namun, sekarang dirinya bukan Inara melainkan Ditha. Dia sudah berganti identitas dan ini kesempatan emas untuk melakukan pembalasan. Pembalasan pada Bagas dan Rika. Inara terdiam sejenak, mengangkat kepala hingga matanya bertemu dengan mata Daniel. “Aku akan membayar berapa saja asal kamu bersedia menolongku, Ditha.” Kembali Daniel bersuara. Inara menganggukkan kepala sambil mengulas senyuman. “Baik, saya bersedia menikah dengan Bapak. Namun, saya punya syarat.”Inara mendekatkan tubuhnya ke arah Daniel dan membisikkan sesuatu di telinga pria tampan itu. Entah apa yang perempuan itu katakan namun tak lama kemudian Daniel langsung mengangguk bertanda dia setuju dengan apa yang dikatakan Inara."Baiklah kalau begitu sayang," sindir Inara sambil menaikkan alisnya menatap Daniel. Daniel tersenyum geli mendengar Inara memanggilnya sayang. "Apakah kamu bilang aku sedang bercanda?" Lagi-lagi Inara tersenyum geli, "Iya, Pak. Saya juga tidak bercanda kok. Saya mau menikah dengan Bapak asal Bapak mau menyetujui syarat yang saya bilang tadi.""Baiklah jika keinginanmu begitu, aku akan menyuruh Joe membuat surat kontrak pernikahan kita." Jauh di dalam lubuk hati Daniel, dia begitu bingung dengan syarat yang diajukan Inara untuk menikah kontrak selama satu tahun saja dengannya. "Apakah diriku ini tak layak jadi suaminya? Apa aku kurang tampan?" Daniel mendengus kesal melihat kepergian Inara, dia tidak menyangka bila gadis itu akan memberi
"Ini Pak, aku hanya menemukan biodata Rika dan ternyata dia dan pak Bagas itu satu sekolah.""Kau tahu dari mana Bagas dan Rika itu bersekolah di tempat yang sama?" tanya Daniel heran karena Dhita baru saja bertemu dengan Bagas beberapa kali. Hal itu membuat Inara tersudut hingga perempuan itu pun mencari cara lain agar tak dicurigai, "A--ku pernah membaca informasi pak Bagas di sebuah jejaring sosial, Pak," jawab Inara sedikit terbata-bata. Daniel mengerutkan dahinya menatap Dhita nampak begitu gugup menjawab pertanyaannya hingga muncul sesuatu hal yang mencurigakan yang membuat Daniel ingin mencari tahu. Bukan satu atau dua kali ini saja, Daniel merasa sangat aneh bila Dhita bertemu dengan klien bisnisnya itu, bak ada sesuatu hal yang menakutkan."Sebenarnya ada apa di antara mereka? Kenapa aku merasa Dhita mengenal baik klienku itu." Daniel memperhatikan Dhita sambil duduk menghadap ke arah meja kerja Dhita hingga dia baru menyadari bila sejak tadi ponselnya terus saja berd
Inara lekas membekap mulutnya, air matanya hampir saja jatuh dan keringat dingin hampir saja membasahi seluruh wajahnya karena langkah kaki pria itu semakin lama semakin terdengar lebih dekat. Yang bisa Inara lakukan hanyalah memejamkan kedua matanya dan tak lama tangan seseorang menarik tangannya dan membawanya ke sebuah ruangan. Inara tak berani membuka matanya kali ini, dia takut apabila Bagas lah yang menemukannya dan mempertanyakan apa yang dia dengar tadi."Siapa di sana?""Pak Bagas ada telepon dari bu Rika.""Oh baiklah." Setelah memastikan Bagas sudah pergi, Daniel baru menyuruh Inara membuka matanya. "Apa yang kau lakukan di sini, Ta? Bukankah tadi aku bilang bahwa aku menunggumu di tempat parkir.""Syukurlah kalau itu kamu, pak." Inara menghapus air matanya yang hendak jatuh dan kini dia bisa bernapas lega namun ucapan Bagas tadi masih terngiang di telinga Inara."Sebenarnya kamu kenapa bersembunyi dan ada apa dengan pak Bagas?" tanya Daniel ingin tahu.
“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara.“Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody.Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah.Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody.“Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? A
"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak.Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang."Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu."Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melak
"Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
Inara lekas membekap mulutnya, air matanya hampir saja jatuh dan keringat dingin hampir saja membasahi seluruh wajahnya karena langkah kaki pria itu semakin lama semakin terdengar lebih dekat. Yang bisa Inara lakukan hanyalah memejamkan kedua matanya dan tak lama tangan seseorang menarik tangannya dan membawanya ke sebuah ruangan. Inara tak berani membuka matanya kali ini, dia takut apabila Bagas lah yang menemukannya dan mempertanyakan apa yang dia dengar tadi."Siapa di sana?""Pak Bagas ada telepon dari bu Rika.""Oh baiklah." Setelah memastikan Bagas sudah pergi, Daniel baru menyuruh Inara membuka matanya. "Apa yang kau lakukan di sini, Ta? Bukankah tadi aku bilang bahwa aku menunggumu di tempat parkir.""Syukurlah kalau itu kamu, pak." Inara menghapus air matanya yang hendak jatuh dan kini dia bisa bernapas lega namun ucapan Bagas tadi masih terngiang di telinga Inara."Sebenarnya kamu kenapa bersembunyi dan ada apa dengan pak Bagas?" tanya Daniel ingin tahu.
"Ini Pak, aku hanya menemukan biodata Rika dan ternyata dia dan pak Bagas itu satu sekolah.""Kau tahu dari mana Bagas dan Rika itu bersekolah di tempat yang sama?" tanya Daniel heran karena Dhita baru saja bertemu dengan Bagas beberapa kali. Hal itu membuat Inara tersudut hingga perempuan itu pun mencari cara lain agar tak dicurigai, "A--ku pernah membaca informasi pak Bagas di sebuah jejaring sosial, Pak," jawab Inara sedikit terbata-bata. Daniel mengerutkan dahinya menatap Dhita nampak begitu gugup menjawab pertanyaannya hingga muncul sesuatu hal yang mencurigakan yang membuat Daniel ingin mencari tahu. Bukan satu atau dua kali ini saja, Daniel merasa sangat aneh bila Dhita bertemu dengan klien bisnisnya itu, bak ada sesuatu hal yang menakutkan."Sebenarnya ada apa di antara mereka? Kenapa aku merasa Dhita mengenal baik klienku itu." Daniel memperhatikan Dhita sambil duduk menghadap ke arah meja kerja Dhita hingga dia baru menyadari bila sejak tadi ponselnya terus saja berd
Inara mendekatkan tubuhnya ke arah Daniel dan membisikkan sesuatu di telinga pria tampan itu. Entah apa yang perempuan itu katakan namun tak lama kemudian Daniel langsung mengangguk bertanda dia setuju dengan apa yang dikatakan Inara."Baiklah kalau begitu sayang," sindir Inara sambil menaikkan alisnya menatap Daniel. Daniel tersenyum geli mendengar Inara memanggilnya sayang. "Apakah kamu bilang aku sedang bercanda?" Lagi-lagi Inara tersenyum geli, "Iya, Pak. Saya juga tidak bercanda kok. Saya mau menikah dengan Bapak asal Bapak mau menyetujui syarat yang saya bilang tadi.""Baiklah jika keinginanmu begitu, aku akan menyuruh Joe membuat surat kontrak pernikahan kita." Jauh di dalam lubuk hati Daniel, dia begitu bingung dengan syarat yang diajukan Inara untuk menikah kontrak selama satu tahun saja dengannya. "Apakah diriku ini tak layak jadi suaminya? Apa aku kurang tampan?" Daniel mendengus kesal melihat kepergian Inara, dia tidak menyangka bila gadis itu akan memberi
"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
"Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak.Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang."Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu."Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melak
"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara.“Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody.Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah.Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody.“Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? A