Ucapan Daniel barusan penuh dengan penekanan dan penegasan. Dia berusaha mengingatkan Bagas dan Eren tentang posisi mereka saat ini. Agar mereka tahu jika rencana mereka berdua tak akan dengan mudah dilakukan. "Jika kalian menyentuh Dhita meskipun hanya satu helai rambut saja, akan kupastikan kalian tidak akan bisa merasakan kebebasan lagi," ancam Daniel. Sesudah mengatakan hal itu, Daniel lantas melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Kafe. Berlama-lama dengan dua orang licik itu membuat Delvin merasa cukup gerah jadi dia memilih untuk pergi dari sana secepat yang dia bisa. Namun, siapa sangka jika Bagas dan Eren jauh lebih keras kepala dari pikiran Daniel. Bukannya mundur, mereka berdua justru semakin ingin memisahkan Inara dan Daniel. Sepeninggal Daniel, mereka berdua kembali membahas tentang rencana yang akan mereka lakukan selanjutnya."Apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah kamu punya rencana baru?" tanya Eren. Bagas mengusap-usap dagunya, mencoba untuk memiki
"Tuhan, kenapa? Apakah sebelumnya kami pernah bertemu." Bagas terus saja menatap wajah Inara dengan begitu lekat hingga membuatnya harus menghela napas beratnya. Terdengar derap langkah seseorang, pria tampan itu menoleh ke sumber suara dan tidak disangka ternyata yang datang adalah seorang perempuan cantik berjalan mendekatinya."Sepertinya rencanamu berhasil?" ucapnya dengan senyuman kemenangan."Iya, ka.u saja yang tidak pandai menyusun sebah rencana," celetuk Bagas balik menatap Eren. Merasa tersindir, Eren pun merasa tidak senang dengan hal itu. "Kamu bisa saja berhasil hari ini namun tidak untuk besok." Ia balik memperingatkan Bagas karena dia yakin sekali bahwa Daniel adalah seorang pria yang pintar dan tidak akan mudah lengah jadi bisa saja dia tahu bahwa istrinya diculik."Jadi aku tidak ingin ikut campur lagi," ulasnya hendak berbalik badan. "Bagaimana kamu tidak bisa ikut campur karena aku sudah membayarmu dengan bayaran yang besar." Bagas tidak suka
"Tetap awasi Daniel dari jauh, jangan sampai ketahuan olehnya," titah seorang pria berseragam melirik anak buahnya. Namun, terbesit sebuah pikiran negatif di dalam otak Daniel, tetapi dia tidak bisa asal menuduh seseorang. Sesampai di sebuah villa yang menyatakan bahwa mobil berwarna putih itu ada di sana maka Daniel langsung saja menuju ke sana. Melangkah keluar dari mobil. Pria tampan dengan manik mata coklat bening itu langsung saja menuju ke depan pintu villa, melangkah masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Memeriksa seisi villa tersebut dan tidak menemukan siapa pun di sana. Daniel terus saja mengulangi pencariannya untuk kedua kali namun dia tidak juga menemukan Kanza, "Di mana dia?" teriak Daniel mulai putus asa. Bagaimana tidak, menempuh perjalanan yang begitu jauh. Daniel berusaha untuk tidak beristirahat lagi demi mencari sang pujaan hatinya namun ketika sampai di lokasi malah dia tidak menemukan Inara sama sekali. Mencoba menghubungi Dokter Jody bil
Ketika Daniel baru saja berjalan satu langkah maka si pria itu langsung saja menoleh ke belakang karena mendengar suara benda jatuh dari dalam kamar yang tidak jauh dari tempatnya berada."Suara apa itu?" tanya Daniel menoleh ke arah Bagas yang terlihat gelisah dan sulit untuk menjawab pertanyaannya."Itu mungkin suara kucing karena Rika memiliki kucing," jawabnya asal. Daniel yang tahu identitas kliennya itu bukanlah penyuka hewan mulai mengerutkan dahinya heran karena dia tahu bahwa Rika tidak menyukai hewan peliharaan. Kemudian, Daniel mulai menghentikan langkahnya danj bertanya kepada Bagas."Bukankah Rika tidak menyukai seeor kucing atau hewan peliharaan lainnya?" Bagas yang mendengar hal itu hanya bisa menelan salivanya dan mulai bingung untuk mnejawab apa namun otaknya yang begitu pintar bisa saja beralasan lain, "Namun, semenjak menikah denganku Rika sangat menyukai kucing," jawab Bagas tersenyum. Padahal jauh di lubuk hatinya yang terdalam saat ini, Bagas begitu s
"Tentu saja dia belum sadar karena obat bius yang diberikan adalah obat bius dengan dosisi tinggi. Kemungkinan besok pagi dia akan sadar kembali.""Apa? Kurang ajar sekali, Bagas. Tunggu saja aku akan membalasnya." Mendengar itu, Daniel langsung mengangguk dan menggendong tubuh Inara kembali ke dalam pelukannya dan membawanya pulang. Meski sang dokter melarangnya untuk pulang namun Daniel bersikeras pulang karena dia tidak ingin sampai dia menginap di rumah sakit itu karena Daniel paling anti di rumah sakit. Menempuh perjalanan yang cukup jauh, Daniel akhirnya tiba di rumahnya pukul setengah lima pagi dan ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang sama dengan Inara, saat itu tubuhnya terasa lelah sekali dan matanya mengantuk sekali. Daniel pun langsung menggerjapkan matanya dan tidak lama kemudian, matanya terpejam dengan posisi memeluk Inara. Pria tampan dengan manik mata biru itu tertidur pulas, waktu berlalu begitu cepat dan sinaran matahari mulai masuk ke dalam cela
Inara yang hanya dijawab oleh Daniel dengan kedikan bahu saja. Tubuh Daniel yang terasa lemah membuat pria itu tak bisa berbuat banyak. Dengan sigap Inara membuka laci dan mengeluarkan sebuah kotak obat. Perempuan itu mengambil sebuah termometer dan memaksa Daniel untuk memasukkan termometer tersebut ke mulutnya. Setelahnya, Inara pergi ke dapur untuk mengambil air termos, lalu menuangkannya ke dalam mangkuk dan membawanya ke kamar Daniel. Tak lupa perempuan itu juga mengambil handuk kecil untuk mengompres tubuh Daniel.“Apakah kanu merasa pusing, El?” tanya Inara seraya menempelkan handuk kecil yang sudah ia basahi dengan air hangat ke dahi Daniel.“Sedikit,” jawab Daniel.“Ayo, kita pergi ke rumah sakit saja kalau begitu,” usul Inara seraya bangkit berdiri. Ketika Inara hendak melangkah, Daniel menahannya. “Tidak perlu ke rumah sakit, Ta. Aku hanya perlu istirahat dan tidur. Besok pasti badanku sudah sehat kembali,” ujar Daniel, menolak usulan istrinya. Inara menatap D
“Kamu yakin itu saja? Apakah kamu tidak akan marah pada orang yang telah menculikmu?” tanya Daniel sambil mengangkat sebelah alisnya. Inara menganggukkan kepala dengan antusias. “Tentu saja, El. Tidak mungkin aku berbohong padamu,” jawabnya. Daniel menarik napas dalam-dalam, lalu menghembusnya perlahan melalui mulut. Melihat Inara yang tampak memelas membuat Daniel merasa tidak tega. Pria itu akhirnya menyerah juga.“Bagas. Dia dan Eren yang telah merencanakan penculikanmu dan semua hal busuk yang menimpamu beberapa waktu belakangan,” jelas Daniel.“Pak Bagas yang melakukannya?!” pekik Inara sambil melompat berdiri dari ranjang. “Apa yang sebenarnya dia mau dariku? Dia sendiri yang telah membuat keputusan untuk berselingkuh dariku. Tapi, kenapa sekarang dia justru berusaha untuk memisahkan kita, El?” "Apa maksud perkataanmu, Dhita? Apakah kamu mengenal pak Bagas sebelumnya?" Inara membekap mulutnya, dia terdiam sejenak dan kemudian mulai berekapresi sedih. "Oh aku hanya
Keesokan harinya, perusahaan Wijaya Group mendadak gempar karena terungkapnya sebuah rumor perihal masa lalu Bagas Situasi semakin panas lagi ketika seseorang menjadi saksi bahwa Bagas telah mencelakai istri dan puterinya sendiri, membuat Bagas dan Rika carut marut dengan kabar itu. "Siapa yang menambahi masalah? Aku sudah berhasil menutup mulut wartawan dengan berita kumpul kebo kita, tapi kini masa laluku terkuak.""Apa kamu sudah memastikan tak ada yang tahu tentang kecelakaan itu?" ucap Rika balik bertanya kepada Bagas."Bukankah kau yang harus memastikan bahwa tak ada saksi yang hidup saat kecelakaan itu," ulas Bagas malah melemparkan pertanyaan yang sama kepada istrinya itu."Tapi aku sudah memastikan tak ada korban atau pun saksi yang hidup." Rika begitu yakin namun ada sesuatu hal yang membuatnya diam seketika. Dia mengingat betul bahwa sampai saat ini mayat istrinya Bagas masih belum ditemukan, "Apakah mungkin Inara masih hidup?" kilahnya menatap Bagas."Apakah kamu b
Inara yang menatap dua orang itu saling beradu pandang pun merasa jengkel. Ia terus meneguk habis minumannya hingga membuatnya tersendak.Uhuukk... Uhuuk.."Minumlah." Daniel menyodorkan segelas air mineral ke arahnya. Melihat tindakan Daniel yang begitu sigap membantunya, membuat Inara sering bertanya-tanya apa yang sebenarnya Daniel pikirkan. Bagaimana bisa dia memberi perhatian kepada dua perempuan sekaligus. Hubungannya yang begitu dekat dengan Kanza benar-benar membuat Inara harus extra sabar menyaksikan hal itu."Mengapa aku jadi cemburu sih." Bagaimana tidak cemburu, Kanza pun terkadang bersikap manja dengan seorang pria blasteran itu di depan Daniel dan dirinya. Bahkan mereka saling menatap penuh makna satu sama lain. Ketika makanan sudah dihidangkan di atas meja, Kanza pun menyodorkan makanan kesukaan sang bule itu ke arahnya lalu memaksa sang pria bermanik mata hijau itu memakan satu suapan untuknya. Bukan hanya cantik saja, tetapi Kanza juga begitu handal m
"Iya, El." Inara menjawab terbata-bata karena jarak mereka yang hanya beberapa senti meter saja membuat Inara sedikit ketakutan. Daniel menelisik tajam ke arah Inara dan menatap sepasang bola mata perempuan cantik itu lalu ia membisikkan sesuatu hal yang membuat Inara berteriak. "Apa kamu sudah tak waras, El! Aku mana mungkin melakukan itu, hal yang terjadi kepada kita itu karena ketidaksengajaan." Inara mengingatkan Daniel apa yang pernah mereka lewati ketika malam nahas itu. Pria itu masih mengunci pergerakannya dan menatap Inara dengan sangat dalam, dia tahu bahwa saat ini Inara sedikit ketakutan dengannya. Namun, Daniel ingin membuat Inara sadar, lalu dia membisikan sesuatu lagi."Itupun jika kamu mau menikah denganku, jika tidak ya terserah padamu," ucapnya sedikit mengancam dengan senyuman yang mengembang di sudut bibirnya."Tidak akan! Aku tidak akan melakukan itu." Inara protes tidak menyetujui keinginan pria tersebut. Kemudian Daniel menatap lagi k
Mendengar itu sontak saja Inara mendekati Daniel dan hendak memukulnya, tetapi sayangnya kaki terpeleset dan membuat tubuhnya tak seimbang lalu hendak jatuh, beruntungnya tangan kekar itu langsung menarik tubuhnya sehingga masuk dalam pelukannya, tetapi tanpa sengaja karena ingin menolong Inara, malah handuk yang dipakainya jatuh ke lantai membuat tubuh pria itu terlihat polos hanya mengenakan alat pelindung untuk menutupi juniornya saja."Ambil handukmu, El." Sontak saja Inara Langsung memejamkan matanya seraya membenarkan posisinya."Lalu aku harus apa jika aku tidak menolongmu maka kamu akan jatuh," cibir Daniel merasa serba salah."Tetapi tidak begitu juga, El!" protes Inara."Kenapa kamu malu melihatnya, bukankah sudah sering melihatnya.""Iya, tapi aku tidak nafsu kok." Mendengar itu, Daniel mengambil handuk tersebut dan menutupi juniornya lalu keluar dari kamar Inara dan menutup pintu kamar dengan keras. "Apa dia benar-benar serius? Tidak nafsu denganku lalu kenapa
Daniel mengamati raut wajah Inara dan sepertinya perempuan itu benar-benar yakin dengan rencananya tersebut. Daniel jadi bingung dibuatnya."Apakah Inara yakin ingin merencanakan pernikahan itu?" gumam Daniel sedikit menggerutu. Semilir angin malam itu menyentuh kulit dan membuatnya terus memeluk ledua tangannya sehingga membuat Daniel melangkah masuk ke ruang kerjanya dan mengambil jasnya."Apakah kamu masih mencintai Bagas?" tanya Dankel menoleh ke arah istrinya.. Mendengar pertanyaan itu, Inara balik menoleh ke arah Daniel dan menjawab pertanyaannya."Bohong bila aku tidak mencintainya? Bagaimanapun pria itu pernah tersimpan indah di dalam lubuk hatiku, tetapi untuk kembali padanya dan mengulang masa lalu, aku rasa itu tidak mungkin meski.." Inara menjeda kata-katanya, seolah tidak sanggup untuk melanjutkannya."Meski kenapa" tanya Daniel ingin tahu isi hati perempuan itu. Memandangi wajah Inara, pria tampan itu tahu apa yang ada di dalam isi hatinya sama hal s
Daniel semakin erat memeluknya dan terus menyemangati Inara dan menasehatinya bahwa yang bisa menentukan pilihan itu adalah dirinya sendiri. Usai perempuan itu merasa lega, Daniel menyuruh Inara untuk meminum teh hangat agar tubuhnya merasa lebih baik lagi. Tak disangka perempuan itu menuruti kata-katanya dan Inara pun meminta Daniel membawanya ke balkon atas dan menikmati udara malam itu spontan saja Daniel langsung menolaknya mengingat bahwa tubuh perempuan itu masih begitu lemah."Please, ikuti perintahku! Jika kamu sehat aku tidak akan melarangmu," ketusnya tak senang. Dengan sangat terpaksa dan tidak ingin berdebat karena tubuhnya memang masih sedikit lemah maka Inara pun mengangguk, perempuan itu lantas menyuruh Daniel untuk membersihkan diri karena baju pria tampan itu juga sangat basah. Setelah pergi meninggalkan Inara dan masuk ke dalam.kamarnya, entah mengapa Daniel merasa tak tenang. Ada sedikit kegundahan yang menimpa dirinya kenapa bisa Bagas berkata seperti i
Inara tersenyum dan langsung beranjak dari duduknya. "Aku rasa pertanyaanmu itu tidaklah penting," ucap Inara hendak angkat kaki dari hadapan Bagas. Inara tidak ingin lagi terbujuk rayu oleh pria yang telah membuatnya terpuruk. Sudah cukup luka yang diberikan Bagas untuknya sehingga dirinya harus menanggung rasa kehilangan putri kesayangannya."Tunggu dulu! Kenapa kamu tak berkata jujur padaku tentang masalah perceraian ini?" Sontak saja hal itu membuat Inara menghentikan langkahnya dan mengatakan kalau Bagas tak perlu membahas masa lalu apalagi mereka sudah bahagia dengan kehidupan masing-masing. Perempuan itu langsung melanjutkan langkahnya lagi. Namun, tiba-tiba saja Bagas mencengkram tangan Inara dan bertanya, "Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku padamu, Ra! Aku masih mencintaimu, jika memang aku yang bersalah karena menceraikanmu lalu kenapa kamu tidak menolak perceraian ini?" Apa yang dikatakan Bagas membuat perempuan itu naik darah, bagaimana tidak. Mantan sua
Usai makan siang bersama para karyawan lapangan, Daniel beranjak dari duduknya dan menatap ke arah Inara lalu membawa perempuan itu pulang, tak lupa juga Daniel sempat-sempatnya berpamitan pada pekerja lapangan. Berjalan mendekati mobilnya yang sedang terparkir, Daniel menghentikan langkahnya karena ada yang bergetar di saku jasnya. Merogoh ponselnya pria itu langsung saja mengangkat panggilan telepon tersebut karena yang meneleponnya adalah Rika."Halo, Rika! Aku baru saja ingin menghubungimu," ucap Daniel dengan suara datar.["Halo, El! Bagaimana dengan tanggapan para pekerja lapangan?"]"Mereka meminta tambahan gaji karena lembur selama musim hujan ini, apakah kamu akan menambah gaji mereka?" tanya Daniel ingin tahu.["Menurutmu, bagaimana El?"]"Aku rasa tidak ada salahnya, jika kita memberikan bonus sedikit kepada mereka! Kita membahas masalah ini setelah bertemu saja," sambung Daniel melirik Inara yang mencoleknya masuk ke dalam mobil.["Baiklah, setelah dokter memeriksa B
"Apa yang membuatmu datang kembali ke sini? Bukankah kamu sudah pergi ke kantor?" tanya Inara menutup pintu kamar mandi."Bukankah kamu ingin ditemani ke rumah sakit hari ini untuk membesuk Bagas." Daniel menjawab tanpa menoleh ke arah istrinya."Sepertinya itu tidak perlu! Mau bagaimanapun keadaannya, aku dan Bagas sudah tak ada hubungan apa pun lagi jadi aku hanya bisa berdoa semoga dia baik-baik saja." Dengan santainya Inara berkata seperti itu sambil mengeringkan rambutnya dengan hair dryer."Kamu benar-benar yakin, tidak ingin pergi ke rumah sakit?" tanya Daniel lagi ingin memastikan."Iya, El. Cukup satu kali aja deh kamu bertanya! Apakah meetingmu sudah selesai?" Dengan sengaja Inara mengalihkan pembicaraan."Iya, sudah selesai! Tahu tidak, hari ini pak Erick memberi nama merknya begitu aneh.""Aneh bagaimana?" Inara pun menoleh ke arah pria iris mata berwarna biru itu. Dengan sangat penasaran, dia ingin tahu maksud ucapan suaminya."Kali ini dia membe
Kini Daniel harus mengubur rasa cinta yang baru saja tumbuh di dalam hatinya. Dia mengajak Inara untuk beristirahat karena sepertinya hari ini sungguh mengguras tenaga Inara apalagi setelah bertemu dengan Rika tadi."Istirahatlah," ucap Daniem seraya menyelimuti tubuh istrinya. Dia membiarkan perempuan itu terpejam dulu baru meninggalkannya. Tak tega melihat Inara masih berurai air mata, Daniel mengusap air matanya dan mencoba menenangkannya "Maafkan aku, Ra! Mungkin kerja sama kita ini akan segera berakhir dan aku tak ingin melihatmu terluka seperti ini," ucap Daniel meminta maaf. Dia pun bangun dari duduknya lalu melangkah ke daun pintu dan menutup pintu kamar Inara kembali. Dia berjalan menuruni anak tangga lalu menghempaskan pantatnya di atas sofa, rasa kecewa itu membuat Daniel begitu sedih. Dia tidak menyangka bila perasaannya kepada Inara akan sdedalam itu padahal dirinya dan Inara baru saja bertemu bukan. Tak lama Daniel pun terpejam dan tertidur di atas sofa, ha