Keesokan harinya, perusahaan Wijaya Group mendadak gempar karena terungkapnya sebuah rumor perihal masa lalu Bagas Situasi semakin panas lagi ketika seseorang menjadi saksi bahwa Bagas telah mencelakai istri dan puterinya sendiri, membuat Bagas dan Rika carut marut dengan kabar itu. "Siapa yang menambahi masalah? Aku sudah berhasil menutup mulut wartawan dengan berita kumpul kebo kita, tapi kini masa laluku terkuak.""Apa kamu sudah memastikan tak ada yang tahu tentang kecelakaan itu?" ucap Rika balik bertanya kepada Bagas."Bukankah kau yang harus memastikan bahwa tak ada saksi yang hidup saat kecelakaan itu," ulas Bagas malah melemparkan pertanyaan yang sama kepada istrinya itu."Tapi aku sudah memastikan tak ada korban atau pun saksi yang hidup." Rika begitu yakin namun ada sesuatu hal yang membuatnya diam seketika. Dia mengingat betul bahwa sampai saat ini mayat istrinya Bagas masih belum ditemukan, "Apakah mungkin Inara masih hidup?" kilahnya menatap Bagas."Apakah kamu b
"Bagaimana bisa kamu mengenal Inara? Katakan padaku?!" kilah Bagas beranjak dari duduknya."Bukankah kabar itu telah menguak di kota ini dan sebagai balasannya kamu harus mempertanggung jawabkan itu.""Istriku sudah meninggal di saat kecelakaan itu dan betapa bodohnya aku yang tidak bisa menyelamatkannya." Bagas menampakkan raut wajah sedih di hadapan Daniel, dia juga mengungkapkan jika hal itu hanyalah sebuah rumor yang dilakukan paman Nicholas."Baiklah, aku akan memberimu kabar besok.""Aku menantikan kabar itu dan jika kamu tidak lekas menyetujuinya maka jangan salahkan aku jika aku akan mengadakan konferensi pers." Daniel meneguk salivanya seraya menaikkan alisnya. Berdebat dengan Bagas tidak akan membuatnya menang jadi Daniel tak peduli dengan ancaman pria itu. Setelah melihat Bagas keluar dari ruangannya, Joe segera menelepon orang kepercayaannya untuk memastikan ucapan Bagas tadi.Dret.. Dreet.. Suara getar ponsel Daniel, pria manik mata biru itu segera meraih bend
"Baiklah aku akan ke kantor sekarang." Inara yang mendengar itu langsung menyuruh Daniel pergi. "Pergilah, aku sudah baik-baik saja kok." "Kamu benar-benar tidak apa-apa bila aku tinggalkan di sini karena aku takut dua preman itu masih mengincarmu," sindir Daniel tersenyum tipis. Mendengar itu Daniel ikut tersenyum dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Ia tak ingin merepotkan orang lain. Namun, Daniel masih tetap bersikukuh untuk menemaninya sampai subuh dan pergi tanpa menunggu Inara bangun dari tidurnya. Namun, siapa sangka kepergiaan Daniel membuat Inara dalam bahaya lagi, ternyata Rika sejak tadi ada di rumah sakit dan berniat ingin melenyapkan Inara. Mendengar suara pintu berderit. Mata Inara yang terpejam langsung terbuka seketika itu ditambah lagi dia melihat seorang perempuan yang berdiri di ambang pintu."Jadi kau masih hidup Inara?" ucap Rika berjalan menghampiri Inara."Apa maksudmu? Aku ini Dhita buk--" Belum selesai melanjutkan kalimatnya, Rika telah memot
Daniel menghela napas beratnya, "Kamu harus tahu, Ra. Aku dan Bagas itu berbeda. Mungkin aku memang tidak sebaik Bagas namun aku pastikan aku takkan membuatmu terluka ataupun berkhianat." Buliran bening jatuh di pipi mulus Inara, "Aku masih trauma, El. Di saat aku benar-benar menganggap seseorang tulus denganku dan ternyata mereka berkhianat hingga ingin membunuh aku dan keluargaku." Sontak saja hal itu membuat Daniel kesal dan langsung menarik Inara ke dalam pelukannya kembali."Jangan bersedih lagi. Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku namun biarlah waktu yang menjawabnya nanti." Daniel langsung berdiri dan berjalan mendekati Inara. Pria itu mengulurkan tangannya untuk menggandeng Inara yang langsung disetujui oleh perempuan itu."Apakah kamu mampu berdiri, Ra? Aku tidak bisa meninggalkanmu di rumah sakit karena aku takut jika hal buruk akan terjadi padamu." Inara mengerutkan dahinya, "Bukankah semua sudah aman? Bagas dan Rika sudah tertangkap.""Memang, teta
"Aku rasa itu tidak perlu karena aku sudah kenyang dengan semua kata cintamu di pagi hari ini,"jawabnya balik menatap Daniel. Inara bergegas pergi dari hadapan Daniel, sebenarnya dia ingin menghindari Daniel karena pria tampan itu terus saja membuat jantungnya terus saja berdebar. Tidak ingin seseorang tahu apa yang sedang dia rasakan jadi Inara lebih baik pergi dari pria itu. Bukan hanya itu saja, Inara bahkan menetralisir jantungnya agar tidak dicuurigai Daniel padahal sebenarnya perempuan itu sangat gematar sekali ketika tangan mereka bersentuhan satu sama lain. "Apa yang tengah aku rasakan ini?" gumamnya menatap Daniel yang baru saja berdiri di depan Inara. Melihat perempuan cantik itu tersenyum dan melamun, pria tampan itu mengulas sebuah senyuman manis yang terukir di sudut bibirnya. Menghempaskan pantatnya seraya duduk di samping Inara sambil memandangi wajah cantiknya."Apa yang sedang kamu lamunkan?" "A--ku sedang melamunin langit yang tidak bertiang." Mende
Dengan gerak cepat, Daniel melayangkan tinjunya. "Seorang suami yang telah tega meninggalkan keluarganya demi perempuan lain dan tega merencanakan pembunuhan sudah patut ditinggalkan." Bagas bertepuk tangan, "Tidak, Daniel. Aku dan Inara belum resmi bercerai bahkan kami tidak ada kata cerai.""Jika itu yang kamu maksud lalu apa ini," kilah Inara melemparkan selembar surat perpisahan."Apa ini? Apa kamu berniat mengajak kembali bersamaku?"Plakk!! Inara sudah jengah melihat sikap Bagas yang seolah berbangga diri karena belum berpisah dengannya padahal jauh sebelum Inara berganti nama dia sudah mengurus surat cerai kepada pihak pengadilan."Bagaimana mungkin?""Apa kamu pikir? Hanya kamu saja yang bisa melakukan pernikahan tanpa surat cerai, hah? Ingat Bagas, aku bukan Inara yang dulu. Selalu percaya kata-katamu." Sorot mata Inara begitu tajam menatap mantan suaminya itu, "Jangan harap aku akan membebaskan Rika, dia sudah melukai Daniel.""Melukai Daniel, buktinya pria in
Pria tampan itu menyuruh Inara tenang dan duduk di sampingnya karena dia tidak ingin membuat Inara pusing, tangan kekar Daniel menyentuh jemari Inara dengan lembut."Apakah ucapanmu tadi benar bahwa akulah satu-satunya pria yang ada untukmu?" Pertanyaan itu sungguh membuat Inara begitu tertegun, bagaimana tidak karena Inara bingung harus menanggapinya bagaimana. "Aku rasa kamu tahu jawabnnya bukan," ucap Inara malah balik bertanya. Tidak ingin terlalu dicurigai Daniel, jantung Inara yang terus saja berdebar tak menentu membuat perempuann itu bingung untuk bersikap bagaimana menanggapinya. Ditambah lagi kini tangan kekar Daniel menyentuh jemarinya begitu kuat dan membuat perasaannya semakin tidak menentu."Tentu kamu tahu jawabannya bahwa kamu tidak akan mau untuk menerimaku bukan," ucap Daniel. Pria itu bangun dari duduknya dan mengajak Inara pulang saja untuk mencari surat kontrak tersebut jikalau saja dia menaruhnya di rumah. Inara pun mengikuti keinginan sang suam
Sementara itu, Inara sontak beranjak dari duduknya dan berdiri mematung di depan pintu kamar namun Daniel ikut bangun dari duduknya dan tangan kekarnya menarik tangan perempuan yang hendak menyentuh handle pintu kamarnya."Mau ke mana kamu? Aku belum selesai bertanya dan kamu juga belum menjawab pertanyaanku bukan?" Jantung Inara semakin berdegup kencang lagi ketika Daniel semakin lama mendekat dan membuat tubuh Inara menabrak pintu kamarnya sedangkan pria manik mata coklat bening itu melayangkan tatapan yang tidak dapat diartikan ke arahnya. Daniel makin menghimpit tubuh Inara dan mengunci pergerakannnya. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang menjadi tidak normal saat wajah Delvin yang sangat tampan dan hampir saja menciumnya itu terlintas di benaknya. Kanza meremas baju yang ia kenakan di bagian dadanya berharap jantungnya yang berdebar aneh itu segera kembali normal. Ia pun menghela napas panjang sebagai usahanya untuk menetralkan perasaannya yang cukup mengganggu
Inara yang menatap dua orang itu saling beradu pandang pun merasa jengkel. Ia terus meneguk habis minumannya hingga membuatnya tersendak.Uhuukk... Uhuuk.."Minumlah." Daniel menyodorkan segelas air mineral ke arahnya. Melihat tindakan Daniel yang begitu sigap membantunya, membuat Inara sering bertanya-tanya apa yang sebenarnya Daniel pikirkan. Bagaimana bisa dia memberi perhatian kepada dua perempuan sekaligus. Hubungannya yang begitu dekat dengan Kanza benar-benar membuat Inara harus extra sabar menyaksikan hal itu."Mengapa aku jadi cemburu sih." Bagaimana tidak cemburu, Kanza pun terkadang bersikap manja dengan seorang pria blasteran itu di depan Daniel dan dirinya. Bahkan mereka saling menatap penuh makna satu sama lain. Ketika makanan sudah dihidangkan di atas meja, Kanza pun menyodorkan makanan kesukaan sang bule itu ke arahnya lalu memaksa sang pria bermanik mata hijau itu memakan satu suapan untuknya. Bukan hanya cantik saja, tetapi Kanza juga begitu handal m
"Iya, El." Inara menjawab terbata-bata karena jarak mereka yang hanya beberapa senti meter saja membuat Inara sedikit ketakutan. Daniel menelisik tajam ke arah Inara dan menatap sepasang bola mata perempuan cantik itu lalu ia membisikkan sesuatu hal yang membuat Inara berteriak. "Apa kamu sudah tak waras, El! Aku mana mungkin melakukan itu, hal yang terjadi kepada kita itu karena ketidaksengajaan." Inara mengingatkan Daniel apa yang pernah mereka lewati ketika malam nahas itu. Pria itu masih mengunci pergerakannya dan menatap Inara dengan sangat dalam, dia tahu bahwa saat ini Inara sedikit ketakutan dengannya. Namun, Daniel ingin membuat Inara sadar, lalu dia membisikan sesuatu lagi."Itupun jika kamu mau menikah denganku, jika tidak ya terserah padamu," ucapnya sedikit mengancam dengan senyuman yang mengembang di sudut bibirnya."Tidak akan! Aku tidak akan melakukan itu." Inara protes tidak menyetujui keinginan pria tersebut. Kemudian Daniel menatap lagi k
Mendengar itu sontak saja Inara mendekati Daniel dan hendak memukulnya, tetapi sayangnya kaki terpeleset dan membuat tubuhnya tak seimbang lalu hendak jatuh, beruntungnya tangan kekar itu langsung menarik tubuhnya sehingga masuk dalam pelukannya, tetapi tanpa sengaja karena ingin menolong Inara, malah handuk yang dipakainya jatuh ke lantai membuat tubuh pria itu terlihat polos hanya mengenakan alat pelindung untuk menutupi juniornya saja."Ambil handukmu, El." Sontak saja Inara Langsung memejamkan matanya seraya membenarkan posisinya."Lalu aku harus apa jika aku tidak menolongmu maka kamu akan jatuh," cibir Daniel merasa serba salah."Tetapi tidak begitu juga, El!" protes Inara."Kenapa kamu malu melihatnya, bukankah sudah sering melihatnya.""Iya, tapi aku tidak nafsu kok." Mendengar itu, Daniel mengambil handuk tersebut dan menutupi juniornya lalu keluar dari kamar Inara dan menutup pintu kamar dengan keras. "Apa dia benar-benar serius? Tidak nafsu denganku lalu kenapa
Daniel mengamati raut wajah Inara dan sepertinya perempuan itu benar-benar yakin dengan rencananya tersebut. Daniel jadi bingung dibuatnya."Apakah Inara yakin ingin merencanakan pernikahan itu?" gumam Daniel sedikit menggerutu. Semilir angin malam itu menyentuh kulit dan membuatnya terus memeluk ledua tangannya sehingga membuat Daniel melangkah masuk ke ruang kerjanya dan mengambil jasnya."Apakah kamu masih mencintai Bagas?" tanya Dankel menoleh ke arah istrinya.. Mendengar pertanyaan itu, Inara balik menoleh ke arah Daniel dan menjawab pertanyaannya."Bohong bila aku tidak mencintainya? Bagaimanapun pria itu pernah tersimpan indah di dalam lubuk hatiku, tetapi untuk kembali padanya dan mengulang masa lalu, aku rasa itu tidak mungkin meski.." Inara menjeda kata-katanya, seolah tidak sanggup untuk melanjutkannya."Meski kenapa" tanya Daniel ingin tahu isi hati perempuan itu. Memandangi wajah Inara, pria tampan itu tahu apa yang ada di dalam isi hatinya sama hal s
Daniel semakin erat memeluknya dan terus menyemangati Inara dan menasehatinya bahwa yang bisa menentukan pilihan itu adalah dirinya sendiri. Usai perempuan itu merasa lega, Daniel menyuruh Inara untuk meminum teh hangat agar tubuhnya merasa lebih baik lagi. Tak disangka perempuan itu menuruti kata-katanya dan Inara pun meminta Daniel membawanya ke balkon atas dan menikmati udara malam itu spontan saja Daniel langsung menolaknya mengingat bahwa tubuh perempuan itu masih begitu lemah."Please, ikuti perintahku! Jika kamu sehat aku tidak akan melarangmu," ketusnya tak senang. Dengan sangat terpaksa dan tidak ingin berdebat karena tubuhnya memang masih sedikit lemah maka Inara pun mengangguk, perempuan itu lantas menyuruh Daniel untuk membersihkan diri karena baju pria tampan itu juga sangat basah. Setelah pergi meninggalkan Inara dan masuk ke dalam.kamarnya, entah mengapa Daniel merasa tak tenang. Ada sedikit kegundahan yang menimpa dirinya kenapa bisa Bagas berkata seperti i
Inara tersenyum dan langsung beranjak dari duduknya. "Aku rasa pertanyaanmu itu tidaklah penting," ucap Inara hendak angkat kaki dari hadapan Bagas. Inara tidak ingin lagi terbujuk rayu oleh pria yang telah membuatnya terpuruk. Sudah cukup luka yang diberikan Bagas untuknya sehingga dirinya harus menanggung rasa kehilangan putri kesayangannya."Tunggu dulu! Kenapa kamu tak berkata jujur padaku tentang masalah perceraian ini?" Sontak saja hal itu membuat Inara menghentikan langkahnya dan mengatakan kalau Bagas tak perlu membahas masa lalu apalagi mereka sudah bahagia dengan kehidupan masing-masing. Perempuan itu langsung melanjutkan langkahnya lagi. Namun, tiba-tiba saja Bagas mencengkram tangan Inara dan bertanya, "Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku padamu, Ra! Aku masih mencintaimu, jika memang aku yang bersalah karena menceraikanmu lalu kenapa kamu tidak menolak perceraian ini?" Apa yang dikatakan Bagas membuat perempuan itu naik darah, bagaimana tidak. Mantan sua
Usai makan siang bersama para karyawan lapangan, Daniel beranjak dari duduknya dan menatap ke arah Inara lalu membawa perempuan itu pulang, tak lupa juga Daniel sempat-sempatnya berpamitan pada pekerja lapangan. Berjalan mendekati mobilnya yang sedang terparkir, Daniel menghentikan langkahnya karena ada yang bergetar di saku jasnya. Merogoh ponselnya pria itu langsung saja mengangkat panggilan telepon tersebut karena yang meneleponnya adalah Rika."Halo, Rika! Aku baru saja ingin menghubungimu," ucap Daniel dengan suara datar.["Halo, El! Bagaimana dengan tanggapan para pekerja lapangan?"]"Mereka meminta tambahan gaji karena lembur selama musim hujan ini, apakah kamu akan menambah gaji mereka?" tanya Daniel ingin tahu.["Menurutmu, bagaimana El?"]"Aku rasa tidak ada salahnya, jika kita memberikan bonus sedikit kepada mereka! Kita membahas masalah ini setelah bertemu saja," sambung Daniel melirik Inara yang mencoleknya masuk ke dalam mobil.["Baiklah, setelah dokter memeriksa B
"Apa yang membuatmu datang kembali ke sini? Bukankah kamu sudah pergi ke kantor?" tanya Inara menutup pintu kamar mandi."Bukankah kamu ingin ditemani ke rumah sakit hari ini untuk membesuk Bagas." Daniel menjawab tanpa menoleh ke arah istrinya."Sepertinya itu tidak perlu! Mau bagaimanapun keadaannya, aku dan Bagas sudah tak ada hubungan apa pun lagi jadi aku hanya bisa berdoa semoga dia baik-baik saja." Dengan santainya Inara berkata seperti itu sambil mengeringkan rambutnya dengan hair dryer."Kamu benar-benar yakin, tidak ingin pergi ke rumah sakit?" tanya Daniel lagi ingin memastikan."Iya, El. Cukup satu kali aja deh kamu bertanya! Apakah meetingmu sudah selesai?" Dengan sengaja Inara mengalihkan pembicaraan."Iya, sudah selesai! Tahu tidak, hari ini pak Erick memberi nama merknya begitu aneh.""Aneh bagaimana?" Inara pun menoleh ke arah pria iris mata berwarna biru itu. Dengan sangat penasaran, dia ingin tahu maksud ucapan suaminya."Kali ini dia membe
Kini Daniel harus mengubur rasa cinta yang baru saja tumbuh di dalam hatinya. Dia mengajak Inara untuk beristirahat karena sepertinya hari ini sungguh mengguras tenaga Inara apalagi setelah bertemu dengan Rika tadi."Istirahatlah," ucap Daniem seraya menyelimuti tubuh istrinya. Dia membiarkan perempuan itu terpejam dulu baru meninggalkannya. Tak tega melihat Inara masih berurai air mata, Daniel mengusap air matanya dan mencoba menenangkannya "Maafkan aku, Ra! Mungkin kerja sama kita ini akan segera berakhir dan aku tak ingin melihatmu terluka seperti ini," ucap Daniel meminta maaf. Dia pun bangun dari duduknya lalu melangkah ke daun pintu dan menutup pintu kamar Inara kembali. Dia berjalan menuruni anak tangga lalu menghempaskan pantatnya di atas sofa, rasa kecewa itu membuat Daniel begitu sedih. Dia tidak menyangka bila perasaannya kepada Inara akan sdedalam itu padahal dirinya dan Inara baru saja bertemu bukan. Tak lama Daniel pun terpejam dan tertidur di atas sofa, ha