"Jika memang aku telah sembuh, itu merupakan sebuah keajaiban, tetapi aku tidak bisa memaksa Inara," gumamnya bingung karena sesungguhnya Daniel juga ingin tahu apakah dia sudah sembuh atau belum."Iya, kamu tidak boleh memaksa perempuan yang kamu cintai! Biarkan dia saja yang menawarkan diri dengan begitu itu bisa memancing hasratmu." Banyak hal yang dikatakan dokter dan dia juga berarap Daniel memang bisa sembuh dari penyakit anehnya itu. Tak pernah terbayangkan bagi sang dokter, bila seorang pria kaya, tampan, begitu menarik namun tidak memiliki hasrat di ranjang padahal yang diincar seorang perempuan itu adalah hasrat bukan. Apa yang diucapkan dokter tadi terus saja berputar di dalam otaknya sehingga membuat Daniel sedikit termenung. Bahkan, dia tidak menyadari bahwa ada Inara yang baru saja pulang. Inara yang awalnya ingin marah pada pria itu langsung saja mengernyitkan dahinya ketika melihat Daniel terlihat bingung dan melamun. Dia tidak pernah melihat Daniel s
Daniel yang melihat Inara senyam-senyum sendiri pun bingung dengan perempuan itu, lantas dia mencoba bertanya apa yang sebenarnya peempuan itu pikirkan. Melihat Inara hanya merespon biasa saja maka Daniel pun terlihat biasa saja. Namun, ketika melihat Inara tertangkap basah sedang menatapnya maka dahi Daniel berkenyit dan bertanya, "Apakah ada sesuatu di wajahku?""Ada nyamuk di wajahmu," jawab Inara asal. Perempuan itu hendak menyentuh wajah mulus Daniel namun tindakan itu tertangkap basah oleh pria paruh baya yang tengah berdiri di hadapan mereka."Apakah kedatanganku menganggu kemesraan kalian?" tanya suara bariton khas itu. Melihat ada seseorang yang melangkah masuk, pria itu langsung menoleh dan bangun dari duduknya. Senyuman tipis terukir indah di sudut bibirnya."Selamat malam, keponakanku! Apakah kamu begitu terkejut dengan kedatanganku," sapa pria paruh baya itu tersenyum ramah."Paman Nicholas, apa yang membawa Paman ke mari? Bukankah urusan bisnis kita sudah sel
"Iya," jawab Inara mengangguk. Di saat mengamati semua makanan yang dihidangkan di atas meja, Inara berniat ingin mengambil pancake pondan kesukaannya, tanpa disadarinya kalau tangannya masih menggandeng tangan Daniel sehingga membuat perempuan itu hampir saja terjatuh ketika tanpa sengaja menginjak gaun panjang Inara sendiri, beruntungnya pria itu dengan sigap menangkap tubuhnya meski gelas di tangannya jatuh ke lantai dan membuat semua orang menatap mereka. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Daniel menatap Inara dengan seksama. "Iya, aku baik-baik saja," jawab Inara terbata-bata. Daniel membantu Inara berdiri ke posisi awalnya, matanya terus menelisik kaki perempuan itu, takut Inara terkilir seperti waktu dulu. "Sudah kubilang, jangan bertindak sendirian," bisik Daniel sambil merapikan rambut Inara yang sedikit berantakan. Tatapan tajam dan tak senang dilontarkan oleh seorang pria berjas hitam pekat, ia menatap jijik kedua pasangan yang terlihat begitu romantis. Siapa lagi
"Tetap saja itu penting, mungkin itu ada kaitannya dengan surta kuasaku," ketus sambil meneguk minumannya. Inara sedikit mendekat ke telinga Daniel lalu mengatakan bila dia menemukan surat perceraian mereka tersimpan di laci tempat tidur sebelah kamar pamannya. Ada sesuatu yang membuatnya bingung adalah kenapa Bagas tak pernah mengirim surat perceraian itu padanya."Yang lebih mencurigakan lagi adalah kenapa surat perceraian kami ada di rumah pamanmu?!""Apa? Aku pikir ada sesuatu hal yang harus kita cari tahu lagi. Jangan-jangan paman...""Entahlah, aku juga berpikir hal yang sama denganmu," ujar Inara langsung memotong kalimat Daniel. Perempuan cantik itu menggerakkan sedikit bahunya seolah tak tahu, kemudian ia berjalan ke arah depan untuk mengambil pancake kesukaan yang sempat terhalang tadi. Siapa sangka di saat mengambil itu tangan seseorang menyentuhnya dan sama-sama ingin mengambil pancake pondan yang tersisa hanya satu lagi sontak saja Inara langsung menoleh karena ti
Daniel yang mengamati Inara terus terdiam sambil melamun memaksanya untuk menyadarkan Inara. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Ra?" Pertanyaan itu sungguh membuat Inara tersadarkan hingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ayo, kita pulang," ajak Inara tak menanggapi apa yang ditanyakan Daniel tadi. Merasa tidak terlalu penting, dua orang itu berjalan menghampiri paman Nicholas untuk berpamitan. "Paman, kami pulang ya? Terima kasih sambutan hangat dan penjamuannya." Daniel tersenyum sembari menjabat tangan paman Nicholas. Melihat Rika yang terus berada di sisi paman Nicholas membuat dahi Daniel berkenyit, "Paman mengenal pak Bagas dan istrinya?" Paman Nicholas mengangguk, "Tentu saja, El. Paman lupa mengenalkannya padamu.""Maksud paman?" tanya Daniel sedikit menduga."Rika adalah putri paman dari mendiang istri paman yang telah meninggal.""Bukannya Tante Sarah tidak memiliki anak?" Paman Nicholas menggelengkan kepalanya, "Bukan Sarah, Rika adalah putrinya R
“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara.“Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody.Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah.Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody.“Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? A
"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak.Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang."Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu."Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melak
Daniel yang mengamati Inara terus terdiam sambil melamun memaksanya untuk menyadarkan Inara. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Ra?" Pertanyaan itu sungguh membuat Inara tersadarkan hingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ayo, kita pulang," ajak Inara tak menanggapi apa yang ditanyakan Daniel tadi. Merasa tidak terlalu penting, dua orang itu berjalan menghampiri paman Nicholas untuk berpamitan. "Paman, kami pulang ya? Terima kasih sambutan hangat dan penjamuannya." Daniel tersenyum sembari menjabat tangan paman Nicholas. Melihat Rika yang terus berada di sisi paman Nicholas membuat dahi Daniel berkenyit, "Paman mengenal pak Bagas dan istrinya?" Paman Nicholas mengangguk, "Tentu saja, El. Paman lupa mengenalkannya padamu.""Maksud paman?" tanya Daniel sedikit menduga."Rika adalah putri paman dari mendiang istri paman yang telah meninggal.""Bukannya Tante Sarah tidak memiliki anak?" Paman Nicholas menggelengkan kepalanya, "Bukan Sarah, Rika adalah putrinya R
"Tetap saja itu penting, mungkin itu ada kaitannya dengan surta kuasaku," ketus sambil meneguk minumannya. Inara sedikit mendekat ke telinga Daniel lalu mengatakan bila dia menemukan surat perceraian mereka tersimpan di laci tempat tidur sebelah kamar pamannya. Ada sesuatu yang membuatnya bingung adalah kenapa Bagas tak pernah mengirim surat perceraian itu padanya."Yang lebih mencurigakan lagi adalah kenapa surat perceraian kami ada di rumah pamanmu?!""Apa? Aku pikir ada sesuatu hal yang harus kita cari tahu lagi. Jangan-jangan paman...""Entahlah, aku juga berpikir hal yang sama denganmu," ujar Inara langsung memotong kalimat Daniel. Perempuan cantik itu menggerakkan sedikit bahunya seolah tak tahu, kemudian ia berjalan ke arah depan untuk mengambil pancake kesukaan yang sempat terhalang tadi. Siapa sangka di saat mengambil itu tangan seseorang menyentuhnya dan sama-sama ingin mengambil pancake pondan yang tersisa hanya satu lagi sontak saja Inara langsung menoleh karena ti
"Iya," jawab Inara mengangguk. Di saat mengamati semua makanan yang dihidangkan di atas meja, Inara berniat ingin mengambil pancake pondan kesukaannya, tanpa disadarinya kalau tangannya masih menggandeng tangan Daniel sehingga membuat perempuan itu hampir saja terjatuh ketika tanpa sengaja menginjak gaun panjang Inara sendiri, beruntungnya pria itu dengan sigap menangkap tubuhnya meski gelas di tangannya jatuh ke lantai dan membuat semua orang menatap mereka. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Daniel menatap Inara dengan seksama. "Iya, aku baik-baik saja," jawab Inara terbata-bata. Daniel membantu Inara berdiri ke posisi awalnya, matanya terus menelisik kaki perempuan itu, takut Inara terkilir seperti waktu dulu. "Sudah kubilang, jangan bertindak sendirian," bisik Daniel sambil merapikan rambut Inara yang sedikit berantakan. Tatapan tajam dan tak senang dilontarkan oleh seorang pria berjas hitam pekat, ia menatap jijik kedua pasangan yang terlihat begitu romantis. Siapa lagi
Daniel yang melihat Inara senyam-senyum sendiri pun bingung dengan perempuan itu, lantas dia mencoba bertanya apa yang sebenarnya peempuan itu pikirkan. Melihat Inara hanya merespon biasa saja maka Daniel pun terlihat biasa saja. Namun, ketika melihat Inara tertangkap basah sedang menatapnya maka dahi Daniel berkenyit dan bertanya, "Apakah ada sesuatu di wajahku?""Ada nyamuk di wajahmu," jawab Inara asal. Perempuan itu hendak menyentuh wajah mulus Daniel namun tindakan itu tertangkap basah oleh pria paruh baya yang tengah berdiri di hadapan mereka."Apakah kedatanganku menganggu kemesraan kalian?" tanya suara bariton khas itu. Melihat ada seseorang yang melangkah masuk, pria itu langsung menoleh dan bangun dari duduknya. Senyuman tipis terukir indah di sudut bibirnya."Selamat malam, keponakanku! Apakah kamu begitu terkejut dengan kedatanganku," sapa pria paruh baya itu tersenyum ramah."Paman Nicholas, apa yang membawa Paman ke mari? Bukankah urusan bisnis kita sudah sel
"Jika memang aku telah sembuh, itu merupakan sebuah keajaiban, tetapi aku tidak bisa memaksa Inara," gumamnya bingung karena sesungguhnya Daniel juga ingin tahu apakah dia sudah sembuh atau belum."Iya, kamu tidak boleh memaksa perempuan yang kamu cintai! Biarkan dia saja yang menawarkan diri dengan begitu itu bisa memancing hasratmu." Banyak hal yang dikatakan dokter dan dia juga berarap Daniel memang bisa sembuh dari penyakit anehnya itu. Tak pernah terbayangkan bagi sang dokter, bila seorang pria kaya, tampan, begitu menarik namun tidak memiliki hasrat di ranjang padahal yang diincar seorang perempuan itu adalah hasrat bukan. Apa yang diucapkan dokter tadi terus saja berputar di dalam otaknya sehingga membuat Daniel sedikit termenung. Bahkan, dia tidak menyadari bahwa ada Inara yang baru saja pulang. Inara yang awalnya ingin marah pada pria itu langsung saja mengernyitkan dahinya ketika melihat Daniel terlihat bingung dan melamun. Dia tidak pernah melihat Daniel s
Sementara itu, Inara sontak beranjak dari duduknya dan berdiri mematung di depan pintu kamar namun Daniel ikut bangun dari duduknya dan tangan kekarnya menarik tangan perempuan yang hendak menyentuh handle pintu kamarnya."Mau ke mana kamu? Aku belum selesai bertanya dan kamu juga belum menjawab pertanyaanku bukan?" Jantung Inara semakin berdegup kencang lagi ketika Daniel semakin lama mendekat dan membuat tubuh Inara menabrak pintu kamarnya sedangkan pria manik mata coklat bening itu melayangkan tatapan yang tidak dapat diartikan ke arahnya. Daniel makin menghimpit tubuh Inara dan mengunci pergerakannnya. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang menjadi tidak normal saat wajah Delvin yang sangat tampan dan hampir saja menciumnya itu terlintas di benaknya. Kanza meremas baju yang ia kenakan di bagian dadanya berharap jantungnya yang berdebar aneh itu segera kembali normal. Ia pun menghela napas panjang sebagai usahanya untuk menetralkan perasaannya yang cukup mengganggu
Pria tampan itu menyuruh Inara tenang dan duduk di sampingnya karena dia tidak ingin membuat Inara pusing, tangan kekar Daniel menyentuh jemari Inara dengan lembut."Apakah ucapanmu tadi benar bahwa akulah satu-satunya pria yang ada untukmu?" Pertanyaan itu sungguh membuat Inara begitu tertegun, bagaimana tidak karena Inara bingung harus menanggapinya bagaimana. "Aku rasa kamu tahu jawabnnya bukan," ucap Inara malah balik bertanya. Tidak ingin terlalu dicurigai Daniel, jantung Inara yang terus saja berdebar tak menentu membuat perempuann itu bingung untuk bersikap bagaimana menanggapinya. Ditambah lagi kini tangan kekar Daniel menyentuh jemarinya begitu kuat dan membuat perasaannya semakin tidak menentu."Tentu kamu tahu jawabannya bahwa kamu tidak akan mau untuk menerimaku bukan," ucap Daniel. Pria itu bangun dari duduknya dan mengajak Inara pulang saja untuk mencari surat kontrak tersebut jikalau saja dia menaruhnya di rumah. Inara pun mengikuti keinginan sang suam
Dengan gerak cepat, Daniel melayangkan tinjunya. "Seorang suami yang telah tega meninggalkan keluarganya demi perempuan lain dan tega merencanakan pembunuhan sudah patut ditinggalkan." Bagas bertepuk tangan, "Tidak, Daniel. Aku dan Inara belum resmi bercerai bahkan kami tidak ada kata cerai.""Jika itu yang kamu maksud lalu apa ini," kilah Inara melemparkan selembar surat perpisahan."Apa ini? Apa kamu berniat mengajak kembali bersamaku?"Plakk!! Inara sudah jengah melihat sikap Bagas yang seolah berbangga diri karena belum berpisah dengannya padahal jauh sebelum Inara berganti nama dia sudah mengurus surat cerai kepada pihak pengadilan."Bagaimana mungkin?""Apa kamu pikir? Hanya kamu saja yang bisa melakukan pernikahan tanpa surat cerai, hah? Ingat Bagas, aku bukan Inara yang dulu. Selalu percaya kata-katamu." Sorot mata Inara begitu tajam menatap mantan suaminya itu, "Jangan harap aku akan membebaskan Rika, dia sudah melukai Daniel.""Melukai Daniel, buktinya pria in
"Aku rasa itu tidak perlu karena aku sudah kenyang dengan semua kata cintamu di pagi hari ini,"jawabnya balik menatap Daniel. Inara bergegas pergi dari hadapan Daniel, sebenarnya dia ingin menghindari Daniel karena pria tampan itu terus saja membuat jantungnya terus saja berdebar. Tidak ingin seseorang tahu apa yang sedang dia rasakan jadi Inara lebih baik pergi dari pria itu. Bukan hanya itu saja, Inara bahkan menetralisir jantungnya agar tidak dicuurigai Daniel padahal sebenarnya perempuan itu sangat gematar sekali ketika tangan mereka bersentuhan satu sama lain. "Apa yang tengah aku rasakan ini?" gumamnya menatap Daniel yang baru saja berdiri di depan Inara. Melihat perempuan cantik itu tersenyum dan melamun, pria tampan itu mengulas sebuah senyuman manis yang terukir di sudut bibirnya. Menghempaskan pantatnya seraya duduk di samping Inara sambil memandangi wajah cantiknya."Apa yang sedang kamu lamunkan?" "A--ku sedang melamunin langit yang tidak bertiang." Mende