"Aku tahu, Ra! Hanya saja aku sedikit bingung dan harus mencarinya di mana?" jawab Daniel mengedarkan sepasang bola matanya malas."Kau harus yakin bahwa tidak ada usaha yang tidak akan membuahkan hasil ketika kita mencari surat kuasa tersebut malah kebenaran mulai terungkap bukan, bisa jadi ke depannya ada kebenaran yang tak terduga lagi." Ucapan Inara sungguh menyentuh hati pria bermanik mata biru itu. Matanya langsung menatap tajam ke arah Inara, dia tidak menduga bila Inara bisa sedewasa ini. Bukankah nilai plus bisa bertambah satu point untuk Inara, Daniel tersenyum tipis dan berkata, "Aku tidak menyangka kamu bisa sedewasa ini, Ra.""Kamu belum tahu aku lebih dalam, El! Luka yang tertoreh di hati membuatku terpaksa dewasa," ketusnya balik menatap Daniel. Untuk saat itu mereka saling menatap satu sama lain, entah kenapa hari itu. Inara merasakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, Daniel pria yang pertama dikenalnya sungguh dingin seperti es kini telah mulai cair dan pr
“TIDAKKK!!!! ITU SIAPA?? ITU BUKAN AKU!!” seru Inara.Inara seorang wanita cantik yang baru tersadar dari komanya selama beberapa minggu terkejut saat menatap wajahnya di depan cermin. Dokter paruh baya yang berdiri di dekatnya berjalan mendekat sambil mengelus lembut tangan Inara.“Maaf, Nara. Saya … saya terpaksa mengoperasi wajahmu. Wajahmu rusak berat akibat kecelakaan itu,” jelas Dokter Jody.Inara terdiam, napasnya tersenggal dengan bahu naik turun menatap tanpa kedip pantulan wajah baru yang dilihatnya di cermin. Hidungnya kecil sempurna tidak seperti hidungnya yang besar, bibir mungil dengan dagu lancip dan pipi tirus menjadi ornament baru di rautnya. Hanya satu yang tersisa dari wajah lamanya di sana, yaitu mata bulatnya nan indah.Bagaimanapun tampilan wajah Inara yang baru kali ini lebih cantik dari sebelumnya. Inara terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan tersebut. Kemudian dia menoleh ke arah Dokter Jody.“Di mana anak saya, Dok? Apa dia di rumah? A
"Itu Mas Bagas," ucap Inara sambil berlari kecil.Betapa terkejutnya ia melihat pria yang ada di depan matanya. Hatinya berdegup kencang seperti genderang, rasa bahagia sedih bercampur menjadi satu. Ia menatap lekat pria itu. Sampai pintu lift terbuka, Inara tidak sedikit pun melepaskan tatapannya kepada pria itu.Inara mengikuti kemana Bagas pergi, terlihat pria itu seperti terburu-buru. Banyak sekali pertanyaan di kepala cantik Inara mengenai kecelakaan itu dan kenapa bisa Bagas masih hidup. Inara berjalan semakin cepat seperti angin tanpa menghiraukan seseorang di depannya.Brukk!Inara menabrak tubuh tegap. Tangannya sedikit menyentuh dada bidang seorang pria tampan di hadapannya. Langkahnya hampir saja limpung karena tak seimbang menahan berat badannya. Namun tangan kekar seseorang menarik lengannya hingga tubuh Inara kini berada di dalam dekapan pria tampan itu."Bisa kau lepaskan aku!"Pria itu menggelengkan kepalanya terus menatap lekat wajah cantik Inara, "Bukankah kau yang m
"Apa maksud anda, Nona?" tanya Bagas.Ia mengernyitkan kening melihat Inara yang memanggil namanya tanpa sebutan Bapak.Melihat Bagas kaget dan tidak tahu siapa dirinya membuat Inara sadar kalau penampilannya kini telah berbeda dan Bagas tidak mengenalinya. Dia mencari alasan untuk menjawab. "Oh maaf, Pak. Saya salah orang."Ternyata klien yang ditemui Daniel adalah Bagas dan Rika. Kedatangan mereka ke kantor Daniel untuk kerja sama bisnis. Inara terdiam, entah apa rasa hatinya. Padahal beberapa minggu yang lalu hatinya remuk redam, hidupnya berantakan begitu tahu suaminya meninggal. Namun, kini dia malah melihat sosok Bagas segar bugar duduk di depannya tanpa rasa bersalah. "Ditha, kamu sudah mencatat semua?" tanya Daniel menginterupsi lamunan Inara. "Iya, sudah, Pak. Namun, sebelumnya saya izin ke toilet dulu."Kali ini Inara terpaksa bohong. Ia tidak kuasa menutupi berbagai rasa di dadanya. Ingin marah, nangis bahkan memeluk pria di depannya. Namun, apa daya ia tidak bisa melak
"Ditha!! Apa yang kamu lakukan?" seru Daniel.Inara terkejut dengan kehadiran Daniel. Dia makin kaget saat atasannya itu sudah menyambar paksa tongkat di tangannya. Inara marah, emosinya masih memuncak hingga bersikeras menarik tongkat itu kembali. Namun, Daniel menahannya bahkan ia sampai memeluk tubuh Inara agar melepaskan tongkatnya.Karena pelukan Daniel membuat Inara tidak bergerak. Tangannya dengan mudah melepaskan pegangan di tongkat itu. Inara terdiam, menatap Bagas dan Rika yang sudah berlalu menjauh dari hadapannya. Tanpa diminta Inara menangis. Tentu saja ulahnya membuat Daniel bingung.“Kamu kenapa? Kenapa mau memukul klienku?”Inara tidak menjawab, berangsur Daniel melepaskan pelukannya. Sementara Inara masih menundukkan kepala. Daniel mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengulurkan ke Inara.“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi apa yang akan kamu lakukan hari ini membuatku mengalami masalah, Ditha.”Inara terdiam, menerima sapu tangan Daniel dan men
"Apa maksud anda, Dok?" tanya Inara"Sebelum ibumu meninggal, beliau berpesan agar menjagamu. Beliau juga memberikan sesuatu padaku," jawab Dokter Jody. Ia melirik Inara sembari melangkah untuk mengambil sesuatu.Inara bingung dengan sikap Dokter Jody yang pergi begitu saja. Ini membuat dirinya mulai kesal hingga dia mengikuti pria paruh baya itu. Langkah Inara seketika terhenti saat Dokter Jody menyodorkan benda pipih berwarna putih.Inara mengernyitkan dahi, ia mengenali barang tersebut adalah ponsel milik mendiang ibunya."Bukankah ini ponsel ibuku, Dok?""Iya, sebaiknya kau periksa isi di dalam ponsel ibumu."Perlahan Inara membuka layar ponselnya. Dengan hati-hati, dia membuka galeri hingga jarinya berhenti pada sebuah video. Inara sontak membekap mulutnya sendiri ketika mendapati isi di dalam ponsel tersebut. Video itu menunjukkan seseorang sedang berdiri di belakang pintu. Ia tampak sibuk melakukan percakapan di telepon. Memang Inara tidak bisa melihat siapa sosok yang berdiri
Inara mendekatkan tubuhnya ke arah Daniel dan membisikkan sesuatu di telinga pria tampan itu. Entah apa yang perempuan itu katakan namun tak lama kemudian Daniel langsung mengangguk bertanda dia setuju dengan apa yang dikatakan Inara."Baiklah kalau begitu sayang," sindir Inara sambil menaikkan alisnya menatap Daniel. Daniel tersenyum geli mendengar Inara memanggilnya sayang. "Apakah kamu bilang aku sedang bercanda?" Lagi-lagi Inara tersenyum geli, "Iya, Pak. Saya juga tidak bercanda kok. Saya mau menikah dengan Bapak asal Bapak mau menyetujui syarat yang saya bilang tadi.""Baiklah jika keinginanmu begitu, aku akan menyuruh Joe membuat surat kontrak pernikahan kita." Jauh di dalam lubuk hati Daniel, dia begitu bingung dengan syarat yang diajukan Inara untuk menikah kontrak selama satu tahun saja dengannya. "Apakah diriku ini tak layak jadi suaminya? Apa aku kurang tampan?" Daniel mendengus kesal melihat kepergian Inara, dia tidak menyangka bila gadis itu akan memberi
"Ini Pak, aku hanya menemukan biodata Rika dan ternyata dia dan pak Bagas itu satu sekolah.""Kau tahu dari mana Bagas dan Rika itu bersekolah di tempat yang sama?" tanya Daniel heran karena Dhita baru saja bertemu dengan Bagas beberapa kali. Hal itu membuat Inara tersudut hingga perempuan itu pun mencari cara lain agar tak dicurigai, "A--ku pernah membaca informasi pak Bagas di sebuah jejaring sosial, Pak," jawab Inara sedikit terbata-bata. Daniel mengerutkan dahinya menatap Dhita nampak begitu gugup menjawab pertanyaannya hingga muncul sesuatu hal yang mencurigakan yang membuat Daniel ingin mencari tahu. Bukan satu atau dua kali ini saja, Daniel merasa sangat aneh bila Dhita bertemu dengan klien bisnisnya itu, bak ada sesuatu hal yang menakutkan."Sebenarnya ada apa di antara mereka? Kenapa aku merasa Dhita mengenal baik klienku itu." Daniel memperhatikan Dhita sambil duduk menghadap ke arah meja kerja Dhita hingga dia baru menyadari bila sejak tadi ponselnya terus saja berd
"Aku tahu, Ra! Hanya saja aku sedikit bingung dan harus mencarinya di mana?" jawab Daniel mengedarkan sepasang bola matanya malas."Kau harus yakin bahwa tidak ada usaha yang tidak akan membuahkan hasil ketika kita mencari surat kuasa tersebut malah kebenaran mulai terungkap bukan, bisa jadi ke depannya ada kebenaran yang tak terduga lagi." Ucapan Inara sungguh menyentuh hati pria bermanik mata biru itu. Matanya langsung menatap tajam ke arah Inara, dia tidak menduga bila Inara bisa sedewasa ini. Bukankah nilai plus bisa bertambah satu point untuk Inara, Daniel tersenyum tipis dan berkata, "Aku tidak menyangka kamu bisa sedewasa ini, Ra.""Kamu belum tahu aku lebih dalam, El! Luka yang tertoreh di hati membuatku terpaksa dewasa," ketusnya balik menatap Daniel. Untuk saat itu mereka saling menatap satu sama lain, entah kenapa hari itu. Inara merasakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, Daniel pria yang pertama dikenalnya sungguh dingin seperti es kini telah mulai cair dan pr
Bagas menyentuhnya lembut, desiran hebat mulai merasuki Rika, ini pertama kalinya sang suami menyentuhnya sejak bertemu Inara."Terima kasih kau telah sabar menungguku." Mengusap sisa air mata Rika, tangan kekar Bagas langsung menggendong tubuh Rika ke atas ranjang. Malam itu dia benar-benar merasakan sentuhan hangat dari seorang Bagas. Merangkul tubuh Rika dalam pelukannya seraya memejamkan mata, Rika berharap sekali bisa melaksanakan kewajibannya kepada Rika seperti dulu sebelum mereka menikah, tetapi dengan perlahan karena nyeri di kepala Bagas akan terasa hebat ketika ia ingin menyentuh Rika. Entah mengapa, tetapi itulah yang dirasakan Bagas. Demi ingin mencium Rika, dia berusaha menahan rasa sakit di kepalanya itu. Bagas membuka matanya perlahan ketika mendapati sebuah mimpi yang begitu aneh. Sebuah tragedi kecelakaan yang sangat tragis terjadi, keringat dingin keluar dan bercucuran di keningnya. Mengatur napasnya yang ngos-ngosan, Bagas menoleh ke arah Rika yang
Namun tangan kekar seseorang menghentikannya, "Apa yang kamu lakukan, Rika. Ingat jangan membuat ulah." Bagas menarik tangan Rika, dia tidak ingin apa yang sedang direncanakan mertuanya akan hancur karena sikap Rika yang tak sopan pada klien bisnisnya dan juga pak Nicholas."Maafkan sikap istriku.""Jika tidak memandang pamanku, sudah lama aku ingin menghajarmu," geram Daniel. Inara menarik tangan Daniel dan mengajaknya pergi, dia melanjutkan langkahnya tanpa memerdulikan lagi bila Bagas sejak tadi terus memanggilnya. Inara begitu teguh dengan pendiriannya, ia terus berjalan dan berjalan tanpa ingin tahu alasan Bagas memanggilnya."Inara.." Daniel yang sejak tadi memperhatikan dua orang itu menggelengkan kepalanya dan mengamati dari kejauhan saja."Mengapa Bagas mulai penasaran sekali dengan Inara? Apakah mungkin Bagas juga mencintai Inara," tebak Daniel langsung mengenggam tangan istrinya."Apa yang kamu katakan pada Rika dan Bagas?" tanya Daniel menatapnya."Aku hanya in
"Benar yang kamu katakan, aku akan mencoba menghubungi Dokter Jody." Ketika Daniel melangkah pergi, Inara langsung menarik tangannya dan meminta Daniel untuk mengantarnya pulang. Namun, pria itu meminta Inara untuk tetap tinggal dan menemaninya."Kamu ingin ditemani, tetapi kenapa kamu ingin pergi," celetuk Inara sebal."Tunggulah sebentar! Aku ingin mengambil sesuatu," pinta Daniel menoleh ke arahnya. Melihat pria itu bergegas masuk ke dalam kamarnya, Inara yang paling suka menebak sesuatu hal pun mulai mengubek isi otaknya."Kira-kira apa ya yang mau diambil Daniel?" tanyanya dalam hati. Pria itu membawa sebuah kantong plastik berwarna putih dan menyodorkannya kepada Inara lalu meminta perempuan itu berganti pakaian."Gantilah pakaianmu, aku rasa kau tidak nyaman mengenakan itu! Aku mengambilkan piyama baru yang aku beli.""Tetapi, El! Ak--" Daniel menarik tangan Inara dan membawanya ke kamar tamu yang pernah ditinggalinya waktu itu dan satu hal yang membuat Inara te
Daniel yang mengamati Inara terus terdiam sambil melamun memaksanya untuk menyadarkan Inara. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Ra?" Pertanyaan itu sungguh membuat Inara tersadarkan hingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ayo, kita pulang," ajak Inara tak menanggapi apa yang ditanyakan Daniel tadi. Merasa tidak terlalu penting, dua orang itu berjalan menghampiri paman Nicholas untuk berpamitan. "Paman, kami pulang ya? Terima kasih sambutan hangat dan penjamuannya." Daniel tersenyum sembari menjabat tangan paman Nicholas. Melihat Rika yang terus berada di sisi paman Nicholas membuat dahi Daniel berkenyit, "Paman mengenal pak Bagas dan istrinya?" Paman Nicholas mengangguk, "Tentu saja, El. Paman lupa mengenalkannya padamu.""Maksud paman?" tanya Daniel sedikit menduga."Rika adalah putri paman dari mendiang istri paman yang telah meninggal.""Bukannya Tante Sarah tidak memiliki anak?" Paman Nicholas menggelengkan kepalanya, "Bukan Sarah, Rika adalah putrinya R
"Tetap saja itu penting, mungkin itu ada kaitannya dengan surta kuasaku," ketus sambil meneguk minumannya. Inara sedikit mendekat ke telinga Daniel lalu mengatakan bila dia menemukan surat perceraian mereka tersimpan di laci tempat tidur sebelah kamar pamannya. Ada sesuatu yang membuatnya bingung adalah kenapa Bagas tak pernah mengirim surat perceraian itu padanya."Yang lebih mencurigakan lagi adalah kenapa surat perceraian kami ada di rumah pamanmu?!""Apa? Aku pikir ada sesuatu hal yang harus kita cari tahu lagi. Jangan-jangan paman...""Entahlah, aku juga berpikir hal yang sama denganmu," ujar Inara langsung memotong kalimat Daniel. Perempuan cantik itu menggerakkan sedikit bahunya seolah tak tahu, kemudian ia berjalan ke arah depan untuk mengambil pancake kesukaan yang sempat terhalang tadi. Siapa sangka di saat mengambil itu tangan seseorang menyentuhnya dan sama-sama ingin mengambil pancake pondan yang tersisa hanya satu lagi sontak saja Inara langsung menoleh karena ti
"Iya," jawab Inara mengangguk. Di saat mengamati semua makanan yang dihidangkan di atas meja, Inara berniat ingin mengambil pancake pondan kesukaannya, tanpa disadarinya kalau tangannya masih menggandeng tangan Daniel sehingga membuat perempuan itu hampir saja terjatuh ketika tanpa sengaja menginjak gaun panjang Inara sendiri, beruntungnya pria itu dengan sigap menangkap tubuhnya meski gelas di tangannya jatuh ke lantai dan membuat semua orang menatap mereka. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Daniel menatap Inara dengan seksama. "Iya, aku baik-baik saja," jawab Inara terbata-bata. Daniel membantu Inara berdiri ke posisi awalnya, matanya terus menelisik kaki perempuan itu, takut Inara terkilir seperti waktu dulu. "Sudah kubilang, jangan bertindak sendirian," bisik Daniel sambil merapikan rambut Inara yang sedikit berantakan. Tatapan tajam dan tak senang dilontarkan oleh seorang pria berjas hitam pekat, ia menatap jijik kedua pasangan yang terlihat begitu romantis. Siapa lagi
Daniel yang melihat Inara senyam-senyum sendiri pun bingung dengan perempuan itu, lantas dia mencoba bertanya apa yang sebenarnya peempuan itu pikirkan. Melihat Inara hanya merespon biasa saja maka Daniel pun terlihat biasa saja. Namun, ketika melihat Inara tertangkap basah sedang menatapnya maka dahi Daniel berkenyit dan bertanya, "Apakah ada sesuatu di wajahku?""Ada nyamuk di wajahmu," jawab Inara asal. Perempuan itu hendak menyentuh wajah mulus Daniel namun tindakan itu tertangkap basah oleh pria paruh baya yang tengah berdiri di hadapan mereka."Apakah kedatanganku menganggu kemesraan kalian?" tanya suara bariton khas itu. Melihat ada seseorang yang melangkah masuk, pria itu langsung menoleh dan bangun dari duduknya. Senyuman tipis terukir indah di sudut bibirnya."Selamat malam, keponakanku! Apakah kamu begitu terkejut dengan kedatanganku," sapa pria paruh baya itu tersenyum ramah."Paman Nicholas, apa yang membawa Paman ke mari? Bukankah urusan bisnis kita sudah sel
"Jika memang aku telah sembuh, itu merupakan sebuah keajaiban, tetapi aku tidak bisa memaksa Inara," gumamnya bingung karena sesungguhnya Daniel juga ingin tahu apakah dia sudah sembuh atau belum."Iya, kamu tidak boleh memaksa perempuan yang kamu cintai! Biarkan dia saja yang menawarkan diri dengan begitu itu bisa memancing hasratmu." Banyak hal yang dikatakan dokter dan dia juga berarap Daniel memang bisa sembuh dari penyakit anehnya itu. Tak pernah terbayangkan bagi sang dokter, bila seorang pria kaya, tampan, begitu menarik namun tidak memiliki hasrat di ranjang padahal yang diincar seorang perempuan itu adalah hasrat bukan. Apa yang diucapkan dokter tadi terus saja berputar di dalam otaknya sehingga membuat Daniel sedikit termenung. Bahkan, dia tidak menyadari bahwa ada Inara yang baru saja pulang. Inara yang awalnya ingin marah pada pria itu langsung saja mengernyitkan dahinya ketika melihat Daniel terlihat bingung dan melamun. Dia tidak pernah melihat Daniel s