Ketika Daniel baru saja berjalan satu langkah maka si pria itu langsung saja menoleh ke belakang karena mendengar suara benda jatuh dari dalam kamar yang tidak jauh dari tempatnya berada."Suara apa itu?" tanya Daniel menoleh ke arah Bagas yang terlihat gelisah dan sulit untuk menjawab pertanyaannya."Itu mungkin suara kucing karena Rika memiliki kucing," jawabnya asal. Daniel yang tahu identitas kliennya itu bukanlah penyuka hewan mulai mengerutkan dahinya heran karena dia tahu bahwa Rika tidak menyukai hewan peliharaan. Kemudian, Daniel mulai menghentikan langkahnya danj bertanya kepada Bagas."Bukankah Rika tidak menyukai seeor kucing atau hewan peliharaan lainnya?" Bagas yang mendengar hal itu hanya bisa menelan salivanya dan mulai bingung untuk mnejawab apa namun otaknya yang begitu pintar bisa saja beralasan lain, "Namun, semenjak menikah denganku Rika sangat menyukai kucing," jawab Bagas tersenyum. Padahal jauh di lubuk hatinya yang terdalam saat ini, Bagas begitu s
"Tentu saja dia belum sadar karena obat bius yang diberikan adalah obat bius dengan dosisi tinggi. Kemungkinan besok pagi dia akan sadar kembali.""Apa? Kurang ajar sekali, Bagas. Tunggu saja aku akan membalasnya." Mendengar itu, Daniel langsung mengangguk dan menggendong tubuh Inara kembali ke dalam pelukannya dan membawanya pulang. Meski sang dokter melarangnya untuk pulang namun Daniel bersikeras pulang karena dia tidak ingin sampai dia menginap di rumah sakit itu karena Daniel paling anti di rumah sakit. Menempuh perjalanan yang cukup jauh, Daniel akhirnya tiba di rumahnya pukul setengah lima pagi dan ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang sama dengan Inara, saat itu tubuhnya terasa lelah sekali dan matanya mengantuk sekali. Daniel pun langsung menggerjapkan matanya dan tidak lama kemudian, matanya terpejam dengan posisi memeluk Inara. Pria tampan dengan manik mata biru itu tertidur pulas, waktu berlalu begitu cepat dan sinaran matahari mulai masuk ke dalam cela
Inara yang hanya dijawab oleh Daniel dengan kedikan bahu saja. Tubuh Daniel yang terasa lemah membuat pria itu tak bisa berbuat banyak. Dengan sigap Inara membuka laci dan mengeluarkan sebuah kotak obat. Perempuan itu mengambil sebuah termometer dan memaksa Daniel untuk memasukkan termometer tersebut ke mulutnya. Setelahnya, Inara pergi ke dapur untuk mengambil air termos, lalu menuangkannya ke dalam mangkuk dan membawanya ke kamar Daniel. Tak lupa perempuan itu juga mengambil handuk kecil untuk mengompres tubuh Daniel.“Apakah kanu merasa pusing, El?” tanya Inara seraya menempelkan handuk kecil yang sudah ia basahi dengan air hangat ke dahi Daniel.“Sedikit,” jawab Daniel.“Ayo, kita pergi ke rumah sakit saja kalau begitu,” usul Inara seraya bangkit berdiri. Ketika Inara hendak melangkah, Daniel menahannya. “Tidak perlu ke rumah sakit, Ta. Aku hanya perlu istirahat dan tidur. Besok pasti badanku sudah sehat kembali,” ujar Daniel, menolak usulan istrinya. Inara menatap D
“Kamu yakin itu saja? Apakah kamu tidak akan marah pada orang yang telah menculikmu?” tanya Daniel sambil mengangkat sebelah alisnya. Inara menganggukkan kepala dengan antusias. “Tentu saja, El. Tidak mungkin aku berbohong padamu,” jawabnya. Daniel menarik napas dalam-dalam, lalu menghembusnya perlahan melalui mulut. Melihat Inara yang tampak memelas membuat Daniel merasa tidak tega. Pria itu akhirnya menyerah juga.“Bagas. Dia dan Eren yang telah merencanakan penculikanmu dan semua hal busuk yang menimpamu beberapa waktu belakangan,” jelas Daniel.“Pak Bagas yang melakukannya?!” pekik Inara sambil melompat berdiri dari ranjang. “Apa yang sebenarnya dia mau dariku? Dia sendiri yang telah membuat keputusan untuk berselingkuh dariku. Tapi, kenapa sekarang dia justru berusaha untuk memisahkan kita, El?” "Apa maksud perkataanmu, Dhita? Apakah kamu mengenal pak Bagas sebelumnya?" Inara membekap mulutnya, dia terdiam sejenak dan kemudian mulai berekapresi sedih. "Oh aku hanya
Keesokan harinya, perusahaan Wijaya Group mendadak gempar karena terungkapnya sebuah rumor perihal masa lalu Bagas Situasi semakin panas lagi ketika seseorang menjadi saksi bahwa Bagas telah mencelakai istri dan puterinya sendiri, membuat Bagas dan Rika carut marut dengan kabar itu. "Siapa yang menambahi masalah? Aku sudah berhasil menutup mulut wartawan dengan berita kumpul kebo kita, tapi kini masa laluku terkuak.""Apa kamu sudah memastikan tak ada yang tahu tentang kecelakaan itu?" ucap Rika balik bertanya kepada Bagas."Bukankah kau yang harus memastikan bahwa tak ada saksi yang hidup saat kecelakaan itu," ulas Bagas malah melemparkan pertanyaan yang sama kepada istrinya itu."Tapi aku sudah memastikan tak ada korban atau pun saksi yang hidup." Rika begitu yakin namun ada sesuatu hal yang membuatnya diam seketika. Dia mengingat betul bahwa sampai saat ini mayat istrinya Bagas masih belum ditemukan, "Apakah mungkin Inara masih hidup?" kilahnya menatap Bagas."Apakah kamu b
"Bagaimana bisa kamu mengenal Inara? Katakan padaku?!" kilah Bagas beranjak dari duduknya."Bukankah kabar itu telah menguak di kota ini dan sebagai balasannya kamu harus mempertanggung jawabkan itu.""Istriku sudah meninggal di saat kecelakaan itu dan betapa bodohnya aku yang tidak bisa menyelamatkannya." Bagas menampakkan raut wajah sedih di hadapan Daniel, dia juga mengungkapkan jika hal itu hanyalah sebuah rumor yang dilakukan paman Nicholas."Baiklah, aku akan memberimu kabar besok.""Aku menantikan kabar itu dan jika kamu tidak lekas menyetujuinya maka jangan salahkan aku jika aku akan mengadakan konferensi pers." Daniel meneguk salivanya seraya menaikkan alisnya. Berdebat dengan Bagas tidak akan membuatnya menang jadi Daniel tak peduli dengan ancaman pria itu. Setelah melihat Bagas keluar dari ruangannya, Joe segera menelepon orang kepercayaannya untuk memastikan ucapan Bagas tadi.Dret.. Dreet.. Suara getar ponsel Daniel, pria manik mata biru itu segera meraih bend
"Baiklah aku akan ke kantor sekarang." Inara yang mendengar itu langsung menyuruh Daniel pergi. "Pergilah, aku sudah baik-baik saja kok." "Kamu benar-benar tidak apa-apa bila aku tinggalkan di sini karena aku takut dua preman itu masih mengincarmu," sindir Daniel tersenyum tipis. Mendengar itu Daniel ikut tersenyum dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Ia tak ingin merepotkan orang lain. Namun, Daniel masih tetap bersikukuh untuk menemaninya sampai subuh dan pergi tanpa menunggu Inara bangun dari tidurnya. Namun, siapa sangka kepergiaan Daniel membuat Inara dalam bahaya lagi, ternyata Rika sejak tadi ada di rumah sakit dan berniat ingin melenyapkan Inara. Mendengar suara pintu berderit. Mata Inara yang terpejam langsung terbuka seketika itu ditambah lagi dia melihat seorang perempuan yang berdiri di ambang pintu."Jadi kau masih hidup Inara?" ucap Rika berjalan menghampiri Inara."Apa maksudmu? Aku ini Dhita buk--" Belum selesai melanjutkan kalimatnya, Rika telah memot
Daniel menghela napas beratnya, "Kamu harus tahu, Ra. Aku dan Bagas itu berbeda. Mungkin aku memang tidak sebaik Bagas namun aku pastikan aku takkan membuatmu terluka ataupun berkhianat." Buliran bening jatuh di pipi mulus Inara, "Aku masih trauma, El. Di saat aku benar-benar menganggap seseorang tulus denganku dan ternyata mereka berkhianat hingga ingin membunuh aku dan keluargaku." Sontak saja hal itu membuat Daniel kesal dan langsung menarik Inara ke dalam pelukannya kembali."Jangan bersedih lagi. Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku namun biarlah waktu yang menjawabnya nanti." Daniel langsung berdiri dan berjalan mendekati Inara. Pria itu mengulurkan tangannya untuk menggandeng Inara yang langsung disetujui oleh perempuan itu."Apakah kamu mampu berdiri, Ra? Aku tidak bisa meninggalkanmu di rumah sakit karena aku takut jika hal buruk akan terjadi padamu." Inara mengerutkan dahinya, "Bukankah semua sudah aman? Bagas dan Rika sudah tertangkap.""Memang, teta
Daniel semakin bingung dibuatnya, semua masalah yang kunjung datang menghampirinya membuat kepalanya pusing ditambah lagi kesehatannya yang belum benar-benar pulih maka lebih baik Daniel tidak terlalu memikirkan banyak hal dulu. Deru langkahnya terhenti tatkala melihat sebuah kertas yang tertiup oleh angin dari dalam kolong lemarinya. "Kertas apakah itu?" ucap Daniel langsung bergegas menghampirinya. Matanya ternyalang kaget ketika menemukan kertas tersebut. Pria itu terduduk dan menelan salivanya melihat nama seseorang yang ada di selembar kertas tersebut."Apa ini? Kenapa bisa ini ada di sini? Sejak kapan?" gumam Daniel langsung menghela nafasnya perlahan dan membawa lembaran kertas itu masuk ke dalam kamarnya."Apa yang harus aku lakukan?" Hari itu Daniel langsung meminta para asisten rumah tangganya membereskan lemari ruangan di kamarnya, kalau saja dia menemukan barang yang selama ini ia cari. Hampir dua jam lebih, asisten kepercayaan dan yang lain tidak menemukan apa
Mata Inara masih mengantuk dan tanpa melihat siapa yang menelpon, perempuan itu langsung mengangkat panggilan telepon tersebut. Siapa sangka yang penelepon itu sangat amat dikenalnya. Inara langsung bangun seketika karena yang meneleponnya adalah Bagas."Kenapa kamu meneleponku? Sebaiknya kamu urus saja istrimu itu," ketusnya kesal.["Tunggu dulu, Ra! Aku ingin bicara denganmu?"]"Sampai kapanpun aku tidak akan mau bicara denganmu, jadi tolong berhentilah menggangguku."Klik. Telepon dimatikan secara sepihak, perempuan itu jadi naik pitam dan kini melanjutkan kembali tidurnya yang sempat terganggu. Inara mengatur napasnya perlahan dan mencoba meredam amarahnya karena bicara dengan pria licik juga percuma. Malah akan membuatnya semakin geram, Inara membalikkn tubuhnya menghadap ke Daniel. Namun, siapa sangka jika Daniel udah terbangun dari tadi. Dia terus memperhatikan gerak-gerik Inara dan terus memandang wajah cantik istrinya. Dalam relung hatinya yang terdalam, dia sa
"Harusnya aku ingin meminta maaf padamu," jawabnya menatap Inara penuh makna. Inara terdiam, tanpa menjawab Daniel. Ia langsung membantu pria itu membenarkan posisinya. "Tak perlu meminta maaf, tetapi aku mohon jangan membahas Bagas lagi di depanku! Kamu sudah menaruh garam di setiap lukaku ini," tandas Inara. Lalu Inara memutar kursi rodanya kembali setelah membenarkan posisi duduk Daniel."Baiklah, aku janji," jawab Daniel mengangguk. Keesokkan paginya, terdengar seseorang mengetuk pintu. Inara dan Daniel terkejut dan saling menatap satu sama lain. Melihat seorang wanita yang mengintip dari pintu."Daniel," panggilnya dengan wajah sumringah."Rika.." Inara pun langsung bangun dari duduknya ketika melihat Rika dan seorang pria datang bersamanya. Pria itu tak lain adalah Bagas."Apakah kamu baik-baik saja, El?" tanya Rika berjalan mendekatinya."Aku baik-baik saja kok." Daniel tak lupa juga mempersilakan Bagas duduk dan melirik Inara yang duduk kembali ke tempatnya
Inara merasa bersalah dan sontak saja perempuan itu memeluk Daniel. Pria bermanik mata biru itu tersenyum tipis melihat Inara yang begitu sedih karenanya, tanpa diketahui Inara. Jemari Daniel menyentuh pipi mulus Inara dan menyeka air matanya."Kenapa kamu bersedih! Harusnya kamu bahagia karena aku masih hidup.""Aku baik-baik saja kok,"jawabnya memandang Daniel. Daniel berusaha menggerakkan kakinya, tetapi sulit sekali karena kakinya masih terasa ngilu."Tulangmu bergeser dan dalam dua minggu kamu harus berada di sini," ucap Inara meliriknya."Apa? Dua minggu, itu terlalu lama, Ra," ketusnya sangat anti dengan rumah sakit."Tetapi demi kesembuhanmu! Kamu harus mengikuti saran Dokter, jika tidak aku tidak akan bekerja sama denganmu lagi," ucap Inara sedikit mengancamnya."Kamu mengancamku!" serunya menelisik tajam. Inara menaikkan satu alisnya dan berjanji akan merawat Daniel selama di rumah sakit sebagai balas jasa karena telah menyelamatkannya."Ok, baiklah! Aku setuju,
Sontak saja hal itu membaut Joe menelan salivanya, bagaimana kalau Daniel luka parah. Berbagai hipotesa negatif bergelayut di dalam kepalanya, dia berharap sekali pak Daniel tidak apa-apa. Anggota SARS akhirnya bisa membawa Daniel ke dasar sungai, butuh waktu setengah jam agar bisa menolong Daniel karena kakinya tersangkut di antara gas pedal dan bumper mobil yang penyok."Tolong periksa pak Daniel sekarang." Joe menunggu seorang Dokter memeriksa Bossnya karena dia begitu khawatir."Kondisi Pak Daniel sangat lemah dan harus dibawa ke rumah sakit sekarang. Kita haarus cepaat membawanya ke rumah sakit saya takut jika nyawa Pak Daniel tak tertolong." Mendengar itu, Inara lekas melirik Joe. Dia tidak ingin sampai terlambat membawa Daniel."Ayo, Joe." Joe mengangguk dan segera membawa Daniel ke rumah sakit. Tak lama mereka tiba di rumah sakit terdekat, para anggota medis membawa brankar dan memindahan tubuh Daniel ke atas brankas lalu membawanya ke ruangan IGD. Joe mon
Dia memanggil penjual es dogan dan menarik perempuan di sampingnya. Tak ada jawaban lain yang keluar dari mulut Inara seain kata iya. Daniel ikut diam dan menyedot es dogan yang mereka beli tadi dan rasanya begitu nikmat, ditambah lagi suasana panas seperti ini."Apakah seenak itu, El?" tanya Inara. Dia melihat Daniel menyedot es dogan yang terlihat histeris. "Tentu! Kamu cicipi saja sendiri," ketusnya masih menyedot es dogan tersebut. Ingin menghilangkan rasa kering di tenggorokkannya, Inara mengikuti arahan Daniel yang menyedot es dogan lalu tersebut seraya mengambil dogannya. Apa yang dikatakan Daniel memang benar, rasanya begitu manis dan dogannya juga mampu menyegarkan tenggorokkannya."Enak, El," ucapnya meminta pria itu memesan dogan lagi."Yah, kamu ketagihan," sindirnya tersenyum tipis. Daniel sengaja menggoda Inara untuk minum dan membuat perempuan itu mengilangkan rasa sedihnya untuk sejenak. Dia tahu saat ini Inara berada di posisi yang sulit, di samping ingi
"Lepaskan tanganku! Aku bisa menuntutmu karena telah bertindak kasar padaku," ketus Inara berusaha melepaskan pegangan tangan Bagas."Inara, aku ingin memastikan sesuatu padamu? Apa benar kamu yang telah berpaling padaku?" tanya Bagas ingin tahu. Inara terdiam sejenak, ia tidak menyangka bila Bagas akan berkata seperti itu padanya. "Jangan asal bicara! Lebih baik kamu tanyakan hal itu pada ibumu itu karena aku tidak akan menjawabnya," lontar Inara ingin pergi dari hadapan pria itu."Oh, sikapmu ini membuatku yakin bahwa kamu yang telah menduakanku?" Perkataan Bagas sungguh membuat amarah Inara membuncah. Bagaimana tidak Bagas yang menuduhnya berselingkuh padahal yang melakukan perselingkuhan itu adalah Bagas sendiri. Tidak ingin berdebat karena mengetahui pria itu sedokot tak waras maka Inara memilih pergi dari hadapan Bagas. Namun sayangnya, tetap saja pria itu malah semakin membuat Inara naik darah."Sebelum ka.u menuduhku lebih baik kamu coba ingat-ingat dulu masa lalu
"Sederhana sekali dan sangat cantik," pujinya melirik Rika lagi. Rika mengerutkan dahinya lalu mencoba bertanya lagi, "Apa sekarang kau sudah mengingat sedikit masa lalumu, Bagas?""Iya, kamu benar! Aku mengingatnya meski sebelumnya ingatan itu pudar, tetapi hari ini aku ingin mengatakan sesuatu padamu.""Sungguh! Aku senang mendengarnya jadi aku tidak akan melihatmu kesakitan lagi seperti waktu itu. Namun kamu harus tahu bahwa istrimu lebih dulu mengkhianatimu." Rika tersenyum bahagia mendengarnya."Aku tahu itu." Melihat tingkah lalu Bagas yang diluar kendali membuat Rika mulai gusar. Entah apa yang ingin suaminya tunjukkan, tetapi untuk saat ini Rika belum siap bila Bagas malah membicarakan Inara, bahkan memujinya. Rika melirik Berta, tak lama perempuan paruh baya itu berkata, "Yang harus kamu tahu bahwa Inara mengalami kecelakaan itu bersama selingkuhannya. Jadi mama mohon lupakan perempuan itu dan jalani hidupmu dengan baik bersama Rika, mama menantikan cucu dari kalia
"Aku terpaksa melakukan ini karena aku tidak ingin kamu terluka karena perempuan jalang itu," ungkapnya langsung menatap Bagas dalam."Perempuan jalang? Apa maksudmu?" tanya Bagas sangat penasaran. Rika memutar balikkan fakta bahwa Inara lah wanita yang telah berselingkuh dengan pria lain. Perusahaan Bagas yang bangkrut membuatnya tergiur dengan pria kaya bernama Daniel sehingga perempuan itu meminta cerai."Apa? Dia ingin menceraikanku lebih dulu?" tanya Bagaa langsung menelisik tajam. Rika bingung untuk menjawab, tetapi karena otaknya yang sangat licik maka dengan tegas dan lugas perempuan itu langsung mengatakan iya. Bahkan ibu mertuanya pun ikut campur."Benar, apa yang dikatakan Rika, Bagas. Inara memang selingkuh bahkan di saat kecelakaan itu dia bersama dengan seorang pria dan Rika adalah perempuan yang mau menerima dan mencintainya dengan tulus.""Apa Mama yakin Rika tidak membohongiku?" Pertanyaan itu membuat Berta meneguk salivanya beberapa kali, dengan cara apa