Ketika akan melewati meja Dean dan Rebecca, Lucia langsung memalingkan wajahnya ke samping, memutus kontak mata keduanya. Julian sendiri, sempat melirik sekilas pada Dean dan sempat bertemu pandang dengan pria itu sebentar. "Kau ingin pesan apa?" tanya Julian setelah keduanya duduk di meja paling ujung. "Apa saja." Saat ini, dia sedang tidak berada dalam keadaan ingin memakan sesuatu. Napsu makannya langsung hilang saat melihat keberadaan Dean dan Rebecca di restoran itu. Sementara di meja lainnya, Dean terlihat menyantap makanannya kembali dengan wajah acuh tak acuh. "Dean, bukankah itu, Lucia?" Rebecca bertanya pada Dean. Namun, pandangannya tertuju pada Lucia dan Julian yang mejanya berjarak 3 meja di belakang Dean. "Habiskan makananmu, jangan pedulikan lainnya." Suara dingin Dean membuat Rebecca langsung menutup mulutnya. Dia tidak lagi bicara dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Dean. Di meja Lucia, mereka baru saja selesai memesan makanan. "Lucia, acara nanti malam p
Setelah berpikir semalaman, Lucia akhirnya membuat keputusan mengenai tawaran Dean. Siang ini, dia berencana menghubungi Dean untuk memberitahukan mengenai keputusannya. Setelah mempersiapkan diri, Lucia menekan nomor ponsel Dean. Jantungnya berdebar kencang saat menanti panggilannya dijawab oleh Dean. Entah kenapa, dia tiba-tiba merasa gugup. "Halo." Ketika suara berat Dean terdengar, debaran jantung Lucia semakin cepat dan tidak terkendali. "Ini aku, Lucia." Tanpa basa-basi, Dean langsung bertanya. "Ada apa?" Lucia segera mengatakan kalau dirinya sudah memiliki jawaban atas tawaran pria itu. Dean sempat terdiam sebentar setelah mendengar ucapan Lucia. Mungkin dia tidak menyangka kalau Lucia akan memberikan keputusan lebih cepat dari waktu yang sudah dia berikan. Padahal, masih tersisa 2 hari untuk menjawab tawarannya. "Jadi, apa keputusanmu?" Dean berucap setelah terdiam selama beberapa detik. "Aku tidak bisa menerima tawaranmu. Berikan saja rumah itu pada Carissa jika dia m
"Bibi Nan, ada apa?" Lucia yang baru saja turun dari anak tangga terakhir, merasa heran ketika mendengar keributan dari ruangan tamunya.Bibi Nan yang baru saja dari depan, menatap ragu pada Lucia sejenak, sebelum akhirnya membuka suaranya. "Itu Nona, di depan ... ada Nona Carissa dan beberapa orang suruhannya.""Carissa?" Lucia mengerutkan kening, tapi sejurus itu dia berjalan menuju ruangan tamu tanpa banyak bertanya pada Bibi Nan.Sesampainya di ruang tamu, Lucia melihat Carissa sedang berdiri di pintu rumah dengan tangan bersidekap di dada seraya menatap orang suruhannya sedang mengangkut beberapa barang Lucia untuk dibawa keluar dari rumah."Buang semua barang-barang yang tidak perlu," perintah Carissa pada orang suruhannya. "Aku tidak mau ada sampah di rumah ini?"Ketika mendengar itu, wajah Lucia berubah menjadi merah padam. Apalagi saat melihat figura yang memuat foto keluarganya akan diturunkan oleh orang suruhan sepupunya."Carissa, apa yang sedang kau lakukan?" Lucia mengh
"Ada apa dengannya?" Peter akhirnya berbisik pada Victor karena tidak tahan melihat Dean yang sejak tadi hanya diam seraya menenggak minuman beralkohol yang ada di depannya.Sejak tadi, mulutnya sudah gatal ingin bertanya pada Dean, tapi ketika melihat wajah dingin serta sorot matanya yang tajam, dia tidak berani membuka pembicaraan lebih dulu.Sejak memasuki ruangan VIP club malam Fandy, Dean sama sekali belum mengeluarkan suaranya. Dia hanya duduk di sofa paling ujung yang memiliki pencahayaan yang redup. Dalam cahaya minim, tubuh Dean seperti memancarkan aura gelap yang membuatnya terlihat sangat menakutkan."Kenapa dia sejak tadi hanya diam? Membuatku takut saja," tambah Peter seraya mencuri pandang ke arah Dean yang terlihat masih menikmati minumannya."Jika kau penasaran, kenapa tidak kau tanyakan langsung saja?" Victor balas berbisik pada Peter.Peter menggeleng kuat seraya bergidik. Hanya membayangkannya saja, dia sudah takut duluan. Jika Dean sedang menampilkan wajah seperti,
"Apa Dean akan membantumu? Bukankah kalian ...." Karena takut menyinggung perasaan Lucia, Tuan Roy sengaja tidak melanjutkan ucapannya. Kejadian 3 tahun lalu, tentu saja Tuan Roy juga mengetahuinya. "Aku akan mencobanya. Jika dia tidak mau, aku akan mencari bantuan orang lain." Julian, apa dia harus meminta bantuan pada pria itu jika Dean tidak mau membantunya? Melihat Lucia terdiam, Tuan Roy akhirnya berkata, "Lucia, maaf, bukannya aku tidak percaya padamu, tapi Dean dan Carissa, bukankah mereka dulunya teman dekat? Bagaimana kalau dia justru membantu Carissa dan ayahnya?" Lucia kembali termenung. Benar yang dikatakan Tuan Roy, mereka dulunya dekat karena pernah menempuh pendidikan di tempat yang sama hingga lulus kuliah. Baru semenjak menjalin hubungan dengannya, Dean mulai menjauhi Carissa. Sekarang hubungannya dengan Dean sudah berakhir, apa mungkin Dean masih mau membantunya? Terlebih lagi, Dean membenci keluarganya karena ulah Jensen. Apa yang harus dia lakukan jika Dean
"Dean, aku tidak pernah meremehkanmu. Aku—" "Apa hanya itu yang ingin kau katakan padaku?" potong Dean sebelum Lucia sempat menyelesaikan ucapannya. "Ya," jawab Lucia dengan tegas. "Bisakah kau membantuku?" Sebenarnya, tanpa bertanya pun, Lucia sudah tahu jawabannya hanya dengan mendengar kata-kata yang pria itu lontarkan tadi padanya. Lucia yakin, Dean tidak akan mau membantunya. Meskipun begitu, Lucia masih tetap ingin mendengar langsung dari mulut pria itu. "Kau hanya memanfaatkanku saat kau butuh, kau pikir aku masih mau membantumu? Lucia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. "Aku mohon, bantu aku kali ini saja." Jika Dean tidak membantunya, bagaimana nasib ayahnya? Selain Dean memang masih ada Julian, tapi dia tidak mau melibatkan pria itu lagi. Jadi, hanya Dean harapannya saat ini. Selain itu, hanya dia yang bisa membantunya menyelidiki masalah yang menimpa ayahnya. "Kau langsung berlari padaku begitu ada masalah, ke mana perginya kekasihmu?" Luci
"Ada apa?" Dean menghentikan sejenak pekerjaannya saat melihat asistennya memasuki ruangan. "Saya baru saja menyelesaikan tugas yang Tuan perintahkan," jawab Nolan setelah berdiri tepat di hadapan bosnya. "Ini berkasnya." Dia pun memberikan sebuah map pada Dean. Setelah mengambil map tersebut, Dean membukanya sebentar lalu meletakkan di meja. "Aku akan mengeceknya nanti." Seperti biasa, raut wajah Dean terlihat datar, seolah tidak ada yang mampu membuatnya bergejolak. "Tuan, apa saya perlu memberitahukan pada Nona Lucia mengenai ini?" tanya Nolan hati-hati. "Tidak perlu. Biarkan saja." Setelah mengatakan itu, Dean melirik jam di tangannya, lalu bertanya pada asistennya, "Apa kau sudah mengatur pertemuanku dengan Tuan Ronald?" "Sudah, Tuan. Sesuai dengan yang Anda perintahkan." "Bagus." Dean bangkit dari duduknya, merapihkan jas, lalu berkata, "Kita berangkat sekarang." "Baik, Tuan." Hanya butuh waktu 45 menit untu tiba di tempat tujuan. Baru saja turun dari mobilnya, Dean suda
"Perhatikan di depanmu saat berjalan." Suara berat Dean mengembalikan kesadaran Lucia yang sempat hilang. Sejak tadi, dia memang hanya diam seraya memandangi wajah di depannya. Bahkan dia tidak sadar kalau pinggangnya direngkuh oleh Dean setelah dirinya menabrak pria itu. "Maaf, tadi aku sedang melamun." "Memikirkan siapa? Julian?" Julian lagi. Kenapa dia selalu menyebut nama Julian? "Tentu saja bukan." Ketika menyadari kalau tubuh mereka terlalu dekat, Lucia berniat untuk menjaukan diri dari Dean, tapi tidak bisa karena ada tangan Dean yang melingkar kuat pinggangnya. "Dean, lepaskan aku. Semua orang melihat kita," ucap Lucia dengan lirih setelah melihat ke sekitarnya. Nampak beberapa karyawan sedang memandangi mereka berdua dengan wajah terkejut sekaligus heran. Bahkan Nolan yang berada di belakang Dean, dibuat ternganga dengan pemandangan di depannya itu. Dengan segera melepaskan rengkuhannya. Setelah itu, Dean menyapu ke sekeliling dengan tatapan tajamnya, semua yang ada di