"Ada apa dengannya?" Peter akhirnya berbisik pada Victor karena tidak tahan melihat Dean yang sejak tadi hanya diam seraya menenggak minuman beralkohol yang ada di depannya.Sejak tadi, mulutnya sudah gatal ingin bertanya pada Dean, tapi ketika melihat wajah dingin serta sorot matanya yang tajam, dia tidak berani membuka pembicaraan lebih dulu.Sejak memasuki ruangan VIP club malam Fandy, Dean sama sekali belum mengeluarkan suaranya. Dia hanya duduk di sofa paling ujung yang memiliki pencahayaan yang redup. Dalam cahaya minim, tubuh Dean seperti memancarkan aura gelap yang membuatnya terlihat sangat menakutkan."Kenapa dia sejak tadi hanya diam? Membuatku takut saja," tambah Peter seraya mencuri pandang ke arah Dean yang terlihat masih menikmati minumannya."Jika kau penasaran, kenapa tidak kau tanyakan langsung saja?" Victor balas berbisik pada Peter.Peter menggeleng kuat seraya bergidik. Hanya membayangkannya saja, dia sudah takut duluan. Jika Dean sedang menampilkan wajah seperti,
"Apa Dean akan membantumu? Bukankah kalian ...." Karena takut menyinggung perasaan Lucia, Tuan Roy sengaja tidak melanjutkan ucapannya. Kejadian 3 tahun lalu, tentu saja Tuan Roy juga mengetahuinya. "Aku akan mencobanya. Jika dia tidak mau, aku akan mencari bantuan orang lain." Julian, apa dia harus meminta bantuan pada pria itu jika Dean tidak mau membantunya? Melihat Lucia terdiam, Tuan Roy akhirnya berkata, "Lucia, maaf, bukannya aku tidak percaya padamu, tapi Dean dan Carissa, bukankah mereka dulunya teman dekat? Bagaimana kalau dia justru membantu Carissa dan ayahnya?" Lucia kembali termenung. Benar yang dikatakan Tuan Roy, mereka dulunya dekat karena pernah menempuh pendidikan di tempat yang sama hingga lulus kuliah. Baru semenjak menjalin hubungan dengannya, Dean mulai menjauhi Carissa. Sekarang hubungannya dengan Dean sudah berakhir, apa mungkin Dean masih mau membantunya? Terlebih lagi, Dean membenci keluarganya karena ulah Jensen. Apa yang harus dia lakukan jika Dean
"Dean, aku tidak pernah meremehkanmu. Aku—" "Apa hanya itu yang ingin kau katakan padaku?" potong Dean sebelum Lucia sempat menyelesaikan ucapannya. "Ya," jawab Lucia dengan tegas. "Bisakah kau membantuku?" Sebenarnya, tanpa bertanya pun, Lucia sudah tahu jawabannya hanya dengan mendengar kata-kata yang pria itu lontarkan tadi padanya. Lucia yakin, Dean tidak akan mau membantunya. Meskipun begitu, Lucia masih tetap ingin mendengar langsung dari mulut pria itu. "Kau hanya memanfaatkanku saat kau butuh, kau pikir aku masih mau membantumu? Lucia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. "Aku mohon, bantu aku kali ini saja." Jika Dean tidak membantunya, bagaimana nasib ayahnya? Selain Dean memang masih ada Julian, tapi dia tidak mau melibatkan pria itu lagi. Jadi, hanya Dean harapannya saat ini. Selain itu, hanya dia yang bisa membantunya menyelidiki masalah yang menimpa ayahnya. "Kau langsung berlari padaku begitu ada masalah, ke mana perginya kekasihmu?" Luci
"Ada apa?" Dean menghentikan sejenak pekerjaannya saat melihat asistennya memasuki ruangan. "Saya baru saja menyelesaikan tugas yang Tuan perintahkan," jawab Nolan setelah berdiri tepat di hadapan bosnya. "Ini berkasnya." Dia pun memberikan sebuah map pada Dean. Setelah mengambil map tersebut, Dean membukanya sebentar lalu meletakkan di meja. "Aku akan mengeceknya nanti." Seperti biasa, raut wajah Dean terlihat datar, seolah tidak ada yang mampu membuatnya bergejolak. "Tuan, apa saya perlu memberitahukan pada Nona Lucia mengenai ini?" tanya Nolan hati-hati. "Tidak perlu. Biarkan saja." Setelah mengatakan itu, Dean melirik jam di tangannya, lalu bertanya pada asistennya, "Apa kau sudah mengatur pertemuanku dengan Tuan Ronald?" "Sudah, Tuan. Sesuai dengan yang Anda perintahkan." "Bagus." Dean bangkit dari duduknya, merapihkan jas, lalu berkata, "Kita berangkat sekarang." "Baik, Tuan." Hanya butuh waktu 45 menit untu tiba di tempat tujuan. Baru saja turun dari mobilnya, Dean suda
"Perhatikan di depanmu saat berjalan." Suara berat Dean mengembalikan kesadaran Lucia yang sempat hilang. Sejak tadi, dia memang hanya diam seraya memandangi wajah di depannya. Bahkan dia tidak sadar kalau pinggangnya direngkuh oleh Dean setelah dirinya menabrak pria itu. "Maaf, tadi aku sedang melamun." "Memikirkan siapa? Julian?" Julian lagi. Kenapa dia selalu menyebut nama Julian? "Tentu saja bukan." Ketika menyadari kalau tubuh mereka terlalu dekat, Lucia berniat untuk menjaukan diri dari Dean, tapi tidak bisa karena ada tangan Dean yang melingkar kuat pinggangnya. "Dean, lepaskan aku. Semua orang melihat kita," ucap Lucia dengan lirih setelah melihat ke sekitarnya. Nampak beberapa karyawan sedang memandangi mereka berdua dengan wajah terkejut sekaligus heran. Bahkan Nolan yang berada di belakang Dean, dibuat ternganga dengan pemandangan di depannya itu. Dengan segera melepaskan rengkuhannya. Setelah itu, Dean menyapu ke sekeliling dengan tatapan tajamnya, semua yang ada di
"Kau di mana?" Dean bertanya pada orang yang baru saja dia hubungi lewat sambungan telpon. Orang yang dihubungi Dean adalah Carissa. "Aku sedang menemani ibuku belanja. Ada apa Dean?" Dari nada bicara Carissa terdengar senang. "Temui aku di restoran Victor besok." Ketika mendengar itu, Carissa tidak bisa menyembunyikan kegirangannya. Dia segera bertanya dengan antusias. "Apa ada hal penting?" Tidak biasanya Dean menghubunginya lebih dulu. Apalagi mengajaknya bertemu. Pria tidak pernah menghubunginya jika tidak ada hal penting yang ingin dia bicarakan. "Bicara besok saja." "Aku bisa ke apartemenmu nanti malam jika kau mau." "Tidak perlu." Sejak dulu, Carissa ingin sekali menghabiskan waktu bersama Dean di apartemennya, meskipun itu hanya untuk mengobrol. Namun, pria itu tidak pernah sekali pun mengijinkan dia masuk ke apartemennya. Selalu saja Dean mengajak bertemu di luar. "Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu besok." Dean langsung memutus panggilan itu tanpa membalas ucapa
Tuan Federick yang melihat kedatangan cucunya, segera menyambut dengan gembira. "Dean, kau sudah datang?" Lucia dan Nyonya Sheema seketika menoleh dan melihat Dean sedang berdiri mematung dengan ekspresi heran. "Kemarilah. Kau pasti belum makan malam." Nyonya Sheema melambai pada Dean, kemudian memberikan kode pelayan untuk menarik kursi untuk cucu tersayangnya. Dean pun melangkah dan duduk di kursi yang ditarik oleh pelayan, kursi yang berada di sebelah Lucia. "Kami semua sudah makan, kau makanlah," ucap Nyonya Sheema lagi dengan lembut. Dean mengangguk, lalu mulai menyendokkan makan ke dalam piringnya. Sebenarnya, Dean jarang sekali makan jika sudah lewat dari pukul 7 malam, tapi karena takut menyinggung perasaan neneknya, Dean memilih untuk makan, meskipun itu hanya sedikit. Mereka bertiga kembali mengobrol, mengabaikan Dean yang mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Awalnya, mereka hanya membahas mengenai acara perayaan ulang tahun Tuan Federick waktu itu, tapi ti
"Lucia," Panggil Tuan Federick setelah tiba di ruangan keluarga. "Ya, Kakek." Lucia berdiri, lalu menghampiri Tuan Federick. "Kalau kau pulang di ant—" "Aku akan mengantarmu pulang." Tiba-tiba saja Dean menyela ucapan kakeknya dari belakang. Ketiga orang yang ada di ruangan itu serempak menoleh pada Dean. "Aku tunggu di depan." Ketiga orang itu menatap kepergian Dean dengan wajah bingung. "Apa kau memaksa cucumu lagi?" bisik Nyonya Sheema. Dia bertanya seperti itu karena melihat wajah Dean seperti ditekuk dan terlihat kesal. "Mana ada. Aku tidak memaksanya sama sekali. Dia sendiri yang mau mengantar Lucia" Tuan Federick menjawab seraya berbisik pada istrinya. Setelah tubuh Dean tidak terlihat lagi, Lucia pun segera menoleh pada kakek dan nenek Dean untuk berpamitan pada mereka. "Kakek, Nenek, aku pulang dulu." Tuan Federick dan Nyonya Sheema tersenyum seraya mengangguk "Hati-hati," ucap Nyonya Sheema. "Kabari kakek jika Dean mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi," tim
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m