Tuan Federick yang melihat kedatangan cucunya, segera menyambut dengan gembira. "Dean, kau sudah datang?" Lucia dan Nyonya Sheema seketika menoleh dan melihat Dean sedang berdiri mematung dengan ekspresi heran. "Kemarilah. Kau pasti belum makan malam." Nyonya Sheema melambai pada Dean, kemudian memberikan kode pelayan untuk menarik kursi untuk cucu tersayangnya. Dean pun melangkah dan duduk di kursi yang ditarik oleh pelayan, kursi yang berada di sebelah Lucia. "Kami semua sudah makan, kau makanlah," ucap Nyonya Sheema lagi dengan lembut. Dean mengangguk, lalu mulai menyendokkan makan ke dalam piringnya. Sebenarnya, Dean jarang sekali makan jika sudah lewat dari pukul 7 malam, tapi karena takut menyinggung perasaan neneknya, Dean memilih untuk makan, meskipun itu hanya sedikit. Mereka bertiga kembali mengobrol, mengabaikan Dean yang mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Awalnya, mereka hanya membahas mengenai acara perayaan ulang tahun Tuan Federick waktu itu, tapi ti
"Lucia," Panggil Tuan Federick setelah tiba di ruangan keluarga. "Ya, Kakek." Lucia berdiri, lalu menghampiri Tuan Federick. "Kalau kau pulang di ant—" "Aku akan mengantarmu pulang." Tiba-tiba saja Dean menyela ucapan kakeknya dari belakang. Ketiga orang yang ada di ruangan itu serempak menoleh pada Dean. "Aku tunggu di depan." Ketiga orang itu menatap kepergian Dean dengan wajah bingung. "Apa kau memaksa cucumu lagi?" bisik Nyonya Sheema. Dia bertanya seperti itu karena melihat wajah Dean seperti ditekuk dan terlihat kesal. "Mana ada. Aku tidak memaksanya sama sekali. Dia sendiri yang mau mengantar Lucia" Tuan Federick menjawab seraya berbisik pada istrinya. Setelah tubuh Dean tidak terlihat lagi, Lucia pun segera menoleh pada kakek dan nenek Dean untuk berpamitan pada mereka. "Kakek, Nenek, aku pulang dulu." Tuan Federick dan Nyonya Sheema tersenyum seraya mengangguk "Hati-hati," ucap Nyonya Sheema. "Kabari kakek jika Dean mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi," tim
"Ayo, masuk." "Tapi—" Belum sempat Lucia menyelesaikan kalimatnya, Dean sudah lebih dulu menariknya masuk ke dalam kamar tersebut. "Dean, kenapa kita ke sini?" Wajah Lucia menegang begitu pintu kamar tertutup. Perasaan familiar langsung terasa saat dia melihat kondisi kamar itu. "Kau bilang ingin bicara." Melihat Dean berdiri di depannya sembari membungkuk ke arahnya, Lucia seketika menjadi gugup. "I-iya, ta-tapi kamarku di atas, bukan di sini." "Aku tahu." Tatapan Dean yang begitu lekat membuat jantung Lucia memacu dengan cepat. Apalagi, pria itu menatapnya dari jarak yang sangat dekat. "Kamar ini, apa kau sudah melupakannya?" Mana mungkin dia melupakannya. Kamar ini, menjadi saksi ketika mereka menghabiskan malam panas yang penuh gairah 3 tahun lalu. Ingatan saat keduanya merengguk manisnya madu cinta, tidak pernah bisa dia lupakan sampai saat ini. Bahkan, masih terekam dengan jelas, bagaimana Dean menyentuhnya malam itu. Sentuhan itu masih terasa hingga kini, seolah kejadian
“Kau harus tinggal di mansionku.” Mata Lucia langsung membelalak. Tinggal di mansionnya? Untuk apa? "Dean, aku tidak bisa tinggal di mansionmu. Ibu dan ayahku tidak mungkin mengijinkanku tinggal di sana." Selain itu, rasanya tidak pantas jika dia tinggal di sana. "Itu urusanmu," kata Dean dengan wajah tak acuh. "Dean, aku sungguh tidak bisa tinggal di mansionmu. Kau bisa memintaku melakukan apa pun selain itu." Jika ibunya tau, pasti dia akan marah besar. Ibunya masih kecewa dengan Dean, tidak mungkin dia menginjinkannya untuk tinggal di kediaman pribadi pria itu. "Itu syarat dariku." "Tidak bisakah kau memberikan sedikit keringanan padaku?" "Tidak." Lucia menghela napas pelan. Percuma saja dia membujuk Dean. Lucia tahu, sangat sulit untuk merubah keputusan yang sudah dibuat oleh pria itu. "Kau sungguh ingin menjadikanku simpananmu?" tanya Lucia. "Aku tidak bilang begitu." "Lalu? Kau ingin menjadikanku pelayan sekaligus gundikmu?" cecar Lucia. Kata "wanitaku" memiliki ban
"Lucia, kau dari mana saja?" Nyonya Helia langsung bertanya pada anaknya ketika melihatnya membuka pintu. Setelah berbicara dengan Dean, Lucia langsung kembali ke kamarnya, takut ibunya akan mencarinya, dan benar saja, ibunya memang sudah menunggunya sejak tadi. "Maaf, Bu. Tadi ada urusan sebentar, bertemu dengan teman." Terpaksa Lucia menyembunyikan dari ibunya perihal pertemuannya dengan Dean serta kepergiannya ke kediaman Anderson. "Teman?" Kedua alis Nyonya Helia saling bertautan. "Renata?" tebaknya. Semenjak Lucia kembali, hanya Renata yang sering dia temui, selain itu, tidak ada lagi teman yang masih berhubungan baik dengannya. Setelah vidionya tersebar, semua teman menjauhi serta memutus komunikasi dengannya. Hanya Renata, temannya yang paling setia. "Bukan, Bu." "Lalu, siapa?" "Aku ke rumah sakit bertemu dengan Kak Harlyn, Bu." Lucia menyerahkan hasil pemeriksaan pada ibunya, kemudian berkata, "ini hasil pemeriksaan ayah." Lucia pun mulai memberitahu ibunya tentang ko
Ketika Lucia mendongakkan kepala, pandangannya langsung beradu dengan manik hitam pria yang ada di bawahnya."Tubuhmu berat." Suara serak Dean akhirnya memutus kontak mata keduanya.Saat menyadari kalau sejak tadi dia menimpa tubuh Dean, Lucia segera bangkit dengan perasaan canggung. "Maaf." Lucia nampak salah tingkah, dia merapihkan rambut dan membenahi pakaiannya untuk menutupi kegugupannya.Sementara Dean hanya memasang wajah datar, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. "Lain kali, bangunkan aku dengan benar." Usai mengatakan itu, Dean menyingkap selimut, turun dari tempat tidur lalu berdiri di samping Lucia. "Siapkan pakaianku."Tanpa menunggu jawaban dari Lucia, Dean melenggang ke kamar mandi dengan bertelanjang dada. Sepertinya dia tidak merasa malu mempertontonkan tubuh bagian atasnya pada Lucia.Sementara Lucia yang melihatnya yang menjadi malu. Meskipun dia sudah pernah melihat keseluruhan tubuh pria itu, tetap saja dia merasa malu. Wajahnya terlihat sangat merona ketika t
Lucia segera turun mobil setelah taksi yang dia naiki berhenti di depan hotel tempat Lucia menginap. Dia segera menuju restoran hotel yang ada di lantai 2.Tadi, Julian mengabari kalau dia menginap di hotel dekat rumahnya, hotel yang sama di tempatnya menginap. Jadi, dia segera kembali ke hotel setelah kepergian Dean. Lucia tidak tahu kalau Julian sengaja menginap di situ karena tahu kalau Lucia juga menginap di situ. Info itu, Julian dapat dari Renata. Jadi, setelah tiba di bandara kota Y, Julian segera menaiki taksi menuju hotel tempat Lucia menginap.Setelah memasuki restoran, Lucia langsung melihat Julian yang sedang duduk di salah satu meja sembari menatap fokus pada layar ponselnya."Kau dari mana?" tanya Julian setelah Lucia menyapanya."Bertemu seseorang." Lucia duduk di depan Julian lalu berkata, "Kau ada pekerjaan di sini?"Tiba-tiba saja mengabari kalau dirinya berada di kota Y, tentu saja membuat Lucia terkejut sekaligus heran. Bagaimana tidak heran, baru beberapa hari yan
"Setelah ini kau mau ke mana?" tanya Julian setelah menyeka bibirnya usai meneguk habis air minumnya."Aku akan ke apartemen Renata. Bibi Nan tadi sudah mengabariku kalau barang kami sudah tiba di apartemen."Sesuai rencananya beberapa hari yanh lalu, kalau dia akan pindah hari ini ke apartemen Renata.Julian mengangguk tanda mengerti. "Apa aku boleh ke sana?""Julian, apartemennya masih berantakan. Pasti tidak akan nyaman kalau ikut aku dengannku sekarang."Bukannya dia keberatan Julian ikut dengannya. Hanya saja, saat ini Bibi Nan sedang membereskan semua barang di sana. Pasti kondisi apartemen Renata berantakan dan dia takut banyak debu. Pria di depannya itu, sedikit sensitif dengan debu sama seperti Dean. "Tidak apa-apa. Aku juga bisa sekaligus membantumu.""Tapi ..."Mana mungkin dia membiarkan pria di depannya itu membantunya membereskan barang miliknya. Julian berasal dari keluarga kaya. Seumur hidupnya tidak pernah mengerjakan pekerjaan kasar seperti itu. Dia sama seperti Dea
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m