Lucia segera turun mobil setelah taksi yang dia naiki berhenti di depan hotel tempat Lucia menginap. Dia segera menuju restoran hotel yang ada di lantai 2.Tadi, Julian mengabari kalau dia menginap di hotel dekat rumahnya, hotel yang sama di tempatnya menginap. Jadi, dia segera kembali ke hotel setelah kepergian Dean. Lucia tidak tahu kalau Julian sengaja menginap di situ karena tahu kalau Lucia juga menginap di situ. Info itu, Julian dapat dari Renata. Jadi, setelah tiba di bandara kota Y, Julian segera menaiki taksi menuju hotel tempat Lucia menginap.Setelah memasuki restoran, Lucia langsung melihat Julian yang sedang duduk di salah satu meja sembari menatap fokus pada layar ponselnya."Kau dari mana?" tanya Julian setelah Lucia menyapanya."Bertemu seseorang." Lucia duduk di depan Julian lalu berkata, "Kau ada pekerjaan di sini?"Tiba-tiba saja mengabari kalau dirinya berada di kota Y, tentu saja membuat Lucia terkejut sekaligus heran. Bagaimana tidak heran, baru beberapa hari yan
"Setelah ini kau mau ke mana?" tanya Julian setelah menyeka bibirnya usai meneguk habis air minumnya."Aku akan ke apartemen Renata. Bibi Nan tadi sudah mengabariku kalau barang kami sudah tiba di apartemen."Sesuai rencananya beberapa hari yanh lalu, kalau dia akan pindah hari ini ke apartemen Renata.Julian mengangguk tanda mengerti. "Apa aku boleh ke sana?""Julian, apartemennya masih berantakan. Pasti tidak akan nyaman kalau ikut aku dengannku sekarang."Bukannya dia keberatan Julian ikut dengannya. Hanya saja, saat ini Bibi Nan sedang membereskan semua barang di sana. Pasti kondisi apartemen Renata berantakan dan dia takut banyak debu. Pria di depannya itu, sedikit sensitif dengan debu sama seperti Dean. "Tidak apa-apa. Aku juga bisa sekaligus membantumu.""Tapi ..."Mana mungkin dia membiarkan pria di depannya itu membantunya membereskan barang miliknya. Julian berasal dari keluarga kaya. Seumur hidupnya tidak pernah mengerjakan pekerjaan kasar seperti itu. Dia sama seperti Dea
Dean Anderson, anak pertama sekaligus penerus dari semua bisnis yang berada di bawah naungan keluarga Anderson serta Merion Corp. Pria tampan itu banyak digilai oleh wanita yang ada di kota Y. Tidak hanya kota Y, tapi hampir seluruh wanita di negara Z menyukai dan menganguminya. Saat mendengar Dean menjalin hubungan dengan Lucia, semua wanita merasa kecewa dan patah hati. Dalam sekejap, Lucia menjadi pusat perhatian di kota Y semenjak hubungannya dengan Dean tersebar. Banyak yang iri dengannya, banyak juga yang kecewa dan membencinya. Bahkan banyak yang terang-terangan menunjukkan kebecian mereka di depan Lucia. Namun, diabaikan Lucia. Baginya, itu bukanlah hal yang penting untuk diurusi.Meskipun begitu, Lucia merasa sangat bahagia karena bisa menjalin hubungan dengan Dean. Walaupun Dean adalah orang yang kaku dan tidak bisa mengespresikan dengan bebas emosi dan perasaannya dan, tapi Lucia merasa dicintai oleh pria itu. Dean memang bukan tipe pria yang suka mengumbar cinta, bahkan
“Julian, apa Lucia bersamamu?” Nyonya Helia langsung bertanya ketika panggilan telponnya dijawab oleh Julian.“Ada apa, Bibi?” Julian sengaja tidak menjawab karena ingin tahu kenapa Nyonya Helia menanyakan keberadaan Lucia padanya.“Dia belum pulang sampai sekarang. Bibi khawatir dengannya.”Sore tadi, setelah selesai membereskan apartemennya, Lucia berpamitan padanya ingin mengantar Julian kembali ke hotel, tapi hingga pukul 10 malam lewat, putrinya itu belum juga kembali. Pesannya pun belum dibalas hingga saat ini, dan itu membuatnya cemas. Itu sebabnya dia menghubungi Julian untuk menanyakan keberadaan putrinya.“Lucia, ada bersamaku. Bibi jangan khawatir. Lucia akan pulang setelah ini.”Nyonya Helia langsung merasa lega setelah mendengar itu. Jika dia bersama dengan Julian, maka dia tidak perlu cemas lagi. Setidaknya, dia sudah tahu dengan siapa putrinya saat iniSebenarnya, Nyonya Helia bukan tipe orang tua yang suka mengekang anaknya. Dia selalu memberikan kebebasan pada anakny
"Lucia, kau membohongiku lagi.” "Aku tidak berbohong padamu," sanggah Lucia. "Aku sungguh tidak tahu kenapa Julian berada di sini."Dean memiringkan senyumannya seolah tidak percaya dengan ucapan Lucia. “Kalau begitu, kita buktikan saja.” Dean memarkiran mobil tidak jauh dari loby, tempat di mana Julia berdiri.“Kau mau ke mana?” tanya Lucia ketika melihat Dean membuka pintu mobil.“Memastikan ucapanmu.” Setelah itu, Dean turun dari mobil, disusul dengan Lucia. Keduanya berjalan menuju loby untuk menghampiri Julian.“Lucia, kau dari mana saja?” Julian langsung menghampiri Lucia ketika melihatnya semakin dekat. “Aku menghubungimu berkali-kali, tapi tidak kau angkat.” Julian mengabaikan Dean yang berdiri di samping Lucia. “Maaf, Julian. Aku belum memegang ponselku sejak tadi.” Dia justru mematikan nada ponselnya. Maka dari itu, dia tidak tahu kalau ada yang menghubunginya.“Ibumu mengira kau bersamaku. Dia menghubungiku dan menanyakan keberadaanmu.” Julian sempat melirik sesaat pada D
"Berikan aku satu alasan, kenapa aku harus menjauhi Julian?" ujar Lucia dengan berani. "Jika alasanmu bisa kuterima dan masul akal, maka aku akan menjauhinya, jika tidak, aku tidak akan melakukan apa yang kau katakan."Pria di depannya itu, selalu saja mengatakan dirinya adalah miliknya, tapi dia sendiri yang sudah membatalkan pernikahan mereka. Hanya karena mereka pernah menghabiskan satu malam bersama, bukan berarti dia berhak mengklaim dirinya sebagai miliknya. Terlebih setelah mencampakkannya dengan kejam."Karena kau asisten pribadiku. Aku tidak mau selama menjadi asisten pribadiku, kau fokus dengan yang lain."Lucia mengerutkan keningnya. Pria di depannya itu, semenjak kapan menjadi bodoh? Asisten pribadi adalah pekerjaan, dan pertemanan adalah masalah pribadi. Keduanya tidak bisa dicampuradukkan. Lagi pula, tetap dekat dengan Julian, tidak akan memperngaruhi pekerjaannya."Dean, alasanmu tidak bisa kuterima." Usai mengatakan itu, Lucia pergi ke walk in closet untuk mempersiapka
"Tunggu, Nona Rebecca." Jossy berlari ke arah Rebecca yang sudah hampir mencapai pintu."Jossy, kau berani melarangku?" tanya Rebecca setelah berhasil dihentikan oleh Jossy. "Tidak takut Dean memecatmu?"Sekretaris Dean itu nampak bimbang. Bagaimanapun, di dalam ada Lucia, jika Rebecca tahu apa dia tidak akan marah? "Bukan seperti itu, Nona, tapi Tuan Dean sedang tidak ada di dalam."“Aku tahu.” Rebecca menampilkan wajah kesal karena terus dihalangi sekretaris Dean. "Jangan menghalangiku. Aku hanya ingin menunggunya di dalam.”Belum sempat sekretaris Dean menghentikan Rebecca, pintu ruang Dean sudah dibuka olehnya. Rebecca nampak terkejut ketika melihat ada Lucia di dalam ruangan Dean. Pantas saja Jossy melarangnya masuk, ternyata ada mantan Dean di dalam ruangannya.“Kenapa dia ada di sini?” Rebecca bertanya pada Jossy seraya menunjuk Lucia yang nampak duduk di sofa dengan wajah tidak kalah terkejut. Sepertinya, dia juga tidak menyangka kalau Rebecca akan datang ke kantor Dean. Padah
“Aku membawakan sesuatu untukmu.” Rebecca melemparkan senyuman manisnya pada Dean seraya menghampiri pria itu. “Ayo, duduk.” Rebecca mengapit lengan Dean dengan mesra seraya menuntunnya menuju sofa yang dia duduki tadi.“Kenapa tidak bilang padaku kalau akan ke sini?” tanya Dean setelah keduanya duduk bersisian. Lucia yang berada di depan mereka nampak mengamati interaksi keduanya. Tidak bisa dipungkiri kalau hatinya terasa nyeri saat melihat ada wanita lain yang bergelayut manja pada Dean. Dia pikir, hatinya sudah tidak bisa merasakan perasaan sakit lagi, ternyata dia salah. Hanya melihat dudum bersama dengan Rebecca sudan membuat dadanya terasa panas.“Aku haus.” Dean menatap Lucia, kemudian berkata, “Ambilkan minuman untukku dan Rebecca.”Mendengar langsung dari mulut Dean yang menyuruhnya untuk mengambil minuman untuk wanita lain, dadanya kembali berdenyut. Meskipun begitu, sebisa mungkin dia bersikap biasa.“Baik.”
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m