"Ada apa?" Dean menghentikan sejenak pekerjaannya saat melihat asistennya memasuki ruangan. "Saya baru saja menyelesaikan tugas yang Tuan perintahkan," jawab Nolan setelah berdiri tepat di hadapan bosnya. "Ini berkasnya." Dia pun memberikan sebuah map pada Dean. Setelah mengambil map tersebut, Dean membukanya sebentar lalu meletakkan di meja. "Aku akan mengeceknya nanti." Seperti biasa, raut wajah Dean terlihat datar, seolah tidak ada yang mampu membuatnya bergejolak. "Tuan, apa saya perlu memberitahukan pada Nona Lucia mengenai ini?" tanya Nolan hati-hati. "Tidak perlu. Biarkan saja." Setelah mengatakan itu, Dean melirik jam di tangannya, lalu bertanya pada asistennya, "Apa kau sudah mengatur pertemuanku dengan Tuan Ronald?" "Sudah, Tuan. Sesuai dengan yang Anda perintahkan." "Bagus." Dean bangkit dari duduknya, merapihkan jas, lalu berkata, "Kita berangkat sekarang." "Baik, Tuan." Hanya butuh waktu 45 menit untu tiba di tempat tujuan. Baru saja turun dari mobilnya, Dean suda
"Perhatikan di depanmu saat berjalan." Suara berat Dean mengembalikan kesadaran Lucia yang sempat hilang. Sejak tadi, dia memang hanya diam seraya memandangi wajah di depannya. Bahkan dia tidak sadar kalau pinggangnya direngkuh oleh Dean setelah dirinya menabrak pria itu. "Maaf, tadi aku sedang melamun." "Memikirkan siapa? Julian?" Julian lagi. Kenapa dia selalu menyebut nama Julian? "Tentu saja bukan." Ketika menyadari kalau tubuh mereka terlalu dekat, Lucia berniat untuk menjaukan diri dari Dean, tapi tidak bisa karena ada tangan Dean yang melingkar kuat pinggangnya. "Dean, lepaskan aku. Semua orang melihat kita," ucap Lucia dengan lirih setelah melihat ke sekitarnya. Nampak beberapa karyawan sedang memandangi mereka berdua dengan wajah terkejut sekaligus heran. Bahkan Nolan yang berada di belakang Dean, dibuat ternganga dengan pemandangan di depannya itu. Dengan segera melepaskan rengkuhannya. Setelah itu, Dean menyapu ke sekeliling dengan tatapan tajamnya, semua yang ada di
"Kau di mana?" Dean bertanya pada orang yang baru saja dia hubungi lewat sambungan telpon. Orang yang dihubungi Dean adalah Carissa. "Aku sedang menemani ibuku belanja. Ada apa Dean?" Dari nada bicara Carissa terdengar senang. "Temui aku di restoran Victor besok." Ketika mendengar itu, Carissa tidak bisa menyembunyikan kegirangannya. Dia segera bertanya dengan antusias. "Apa ada hal penting?" Tidak biasanya Dean menghubunginya lebih dulu. Apalagi mengajaknya bertemu. Pria tidak pernah menghubunginya jika tidak ada hal penting yang ingin dia bicarakan. "Bicara besok saja." "Aku bisa ke apartemenmu nanti malam jika kau mau." "Tidak perlu." Sejak dulu, Carissa ingin sekali menghabiskan waktu bersama Dean di apartemennya, meskipun itu hanya untuk mengobrol. Namun, pria itu tidak pernah sekali pun mengijinkan dia masuk ke apartemennya. Selalu saja Dean mengajak bertemu di luar. "Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu besok." Dean langsung memutus panggilan itu tanpa membalas ucapa
Tuan Federick yang melihat kedatangan cucunya, segera menyambut dengan gembira. "Dean, kau sudah datang?" Lucia dan Nyonya Sheema seketika menoleh dan melihat Dean sedang berdiri mematung dengan ekspresi heran. "Kemarilah. Kau pasti belum makan malam." Nyonya Sheema melambai pada Dean, kemudian memberikan kode pelayan untuk menarik kursi untuk cucu tersayangnya. Dean pun melangkah dan duduk di kursi yang ditarik oleh pelayan, kursi yang berada di sebelah Lucia. "Kami semua sudah makan, kau makanlah," ucap Nyonya Sheema lagi dengan lembut. Dean mengangguk, lalu mulai menyendokkan makan ke dalam piringnya. Sebenarnya, Dean jarang sekali makan jika sudah lewat dari pukul 7 malam, tapi karena takut menyinggung perasaan neneknya, Dean memilih untuk makan, meskipun itu hanya sedikit. Mereka bertiga kembali mengobrol, mengabaikan Dean yang mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Awalnya, mereka hanya membahas mengenai acara perayaan ulang tahun Tuan Federick waktu itu, tapi ti
"Lucia," Panggil Tuan Federick setelah tiba di ruangan keluarga. "Ya, Kakek." Lucia berdiri, lalu menghampiri Tuan Federick. "Kalau kau pulang di ant—" "Aku akan mengantarmu pulang." Tiba-tiba saja Dean menyela ucapan kakeknya dari belakang. Ketiga orang yang ada di ruangan itu serempak menoleh pada Dean. "Aku tunggu di depan." Ketiga orang itu menatap kepergian Dean dengan wajah bingung. "Apa kau memaksa cucumu lagi?" bisik Nyonya Sheema. Dia bertanya seperti itu karena melihat wajah Dean seperti ditekuk dan terlihat kesal. "Mana ada. Aku tidak memaksanya sama sekali. Dia sendiri yang mau mengantar Lucia" Tuan Federick menjawab seraya berbisik pada istrinya. Setelah tubuh Dean tidak terlihat lagi, Lucia pun segera menoleh pada kakek dan nenek Dean untuk berpamitan pada mereka. "Kakek, Nenek, aku pulang dulu." Tuan Federick dan Nyonya Sheema tersenyum seraya mengangguk "Hati-hati," ucap Nyonya Sheema. "Kabari kakek jika Dean mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi," tim
"Ayo, masuk." "Tapi—" Belum sempat Lucia menyelesaikan kalimatnya, Dean sudah lebih dulu menariknya masuk ke dalam kamar tersebut. "Dean, kenapa kita ke sini?" Wajah Lucia menegang begitu pintu kamar tertutup. Perasaan familiar langsung terasa saat dia melihat kondisi kamar itu. "Kau bilang ingin bicara." Melihat Dean berdiri di depannya sembari membungkuk ke arahnya, Lucia seketika menjadi gugup. "I-iya, ta-tapi kamarku di atas, bukan di sini." "Aku tahu." Tatapan Dean yang begitu lekat membuat jantung Lucia memacu dengan cepat. Apalagi, pria itu menatapnya dari jarak yang sangat dekat. "Kamar ini, apa kau sudah melupakannya?" Mana mungkin dia melupakannya. Kamar ini, menjadi saksi ketika mereka menghabiskan malam panas yang penuh gairah 3 tahun lalu. Ingatan saat keduanya merengguk manisnya madu cinta, tidak pernah bisa dia lupakan sampai saat ini. Bahkan, masih terekam dengan jelas, bagaimana Dean menyentuhnya malam itu. Sentuhan itu masih terasa hingga kini, seolah kejadian
“Kau harus tinggal di mansionku.” Mata Lucia langsung membelalak. Tinggal di mansionnya? Untuk apa? "Dean, aku tidak bisa tinggal di mansionmu. Ibu dan ayahku tidak mungkin mengijinkanku tinggal di sana." Selain itu, rasanya tidak pantas jika dia tinggal di sana. "Itu urusanmu," kata Dean dengan wajah tak acuh. "Dean, aku sungguh tidak bisa tinggal di mansionmu. Kau bisa memintaku melakukan apa pun selain itu." Jika ibunya tau, pasti dia akan marah besar. Ibunya masih kecewa dengan Dean, tidak mungkin dia menginjinkannya untuk tinggal di kediaman pribadi pria itu. "Itu syarat dariku." "Tidak bisakah kau memberikan sedikit keringanan padaku?" "Tidak." Lucia menghela napas pelan. Percuma saja dia membujuk Dean. Lucia tahu, sangat sulit untuk merubah keputusan yang sudah dibuat oleh pria itu. "Kau sungguh ingin menjadikanku simpananmu?" tanya Lucia. "Aku tidak bilang begitu." "Lalu? Kau ingin menjadikanku pelayan sekaligus gundikmu?" cecar Lucia. Kata "wanitaku" memiliki ban
"Lucia, kau dari mana saja?" Nyonya Helia langsung bertanya pada anaknya ketika melihatnya membuka pintu. Setelah berbicara dengan Dean, Lucia langsung kembali ke kamarnya, takut ibunya akan mencarinya, dan benar saja, ibunya memang sudah menunggunya sejak tadi. "Maaf, Bu. Tadi ada urusan sebentar, bertemu dengan teman." Terpaksa Lucia menyembunyikan dari ibunya perihal pertemuannya dengan Dean serta kepergiannya ke kediaman Anderson. "Teman?" Kedua alis Nyonya Helia saling bertautan. "Renata?" tebaknya. Semenjak Lucia kembali, hanya Renata yang sering dia temui, selain itu, tidak ada lagi teman yang masih berhubungan baik dengannya. Setelah vidionya tersebar, semua teman menjauhi serta memutus komunikasi dengannya. Hanya Renata, temannya yang paling setia. "Bukan, Bu." "Lalu, siapa?" "Aku ke rumah sakit bertemu dengan Kak Harlyn, Bu." Lucia menyerahkan hasil pemeriksaan pada ibunya, kemudian berkata, "ini hasil pemeriksaan ayah." Lucia pun mulai memberitahu ibunya tentang ko