"Bibi Nan, ada apa?" Lucia yang baru saja turun dari anak tangga terakhir, merasa heran ketika mendengar keributan dari ruangan tamunya.Bibi Nan yang baru saja dari depan, menatap ragu pada Lucia sejenak, sebelum akhirnya membuka suaranya. "Itu Nona, di depan ... ada Nona Carissa dan beberapa orang suruhannya.""Carissa?" Lucia mengerutkan kening, tapi sejurus itu dia berjalan menuju ruangan tamu tanpa banyak bertanya pada Bibi Nan.Sesampainya di ruang tamu, Lucia melihat Carissa sedang berdiri di pintu rumah dengan tangan bersidekap di dada seraya menatap orang suruhannya sedang mengangkut beberapa barang Lucia untuk dibawa keluar dari rumah."Buang semua barang-barang yang tidak perlu," perintah Carissa pada orang suruhannya. "Aku tidak mau ada sampah di rumah ini?"Ketika mendengar itu, wajah Lucia berubah menjadi merah padam. Apalagi saat melihat figura yang memuat foto keluarganya akan diturunkan oleh orang suruhan sepupunya."Carissa, apa yang sedang kau lakukan?" Lucia mengh
"Ada apa dengannya?" Peter akhirnya berbisik pada Victor karena tidak tahan melihat Dean yang sejak tadi hanya diam seraya menenggak minuman beralkohol yang ada di depannya.Sejak tadi, mulutnya sudah gatal ingin bertanya pada Dean, tapi ketika melihat wajah dingin serta sorot matanya yang tajam, dia tidak berani membuka pembicaraan lebih dulu.Sejak memasuki ruangan VIP club malam Fandy, Dean sama sekali belum mengeluarkan suaranya. Dia hanya duduk di sofa paling ujung yang memiliki pencahayaan yang redup. Dalam cahaya minim, tubuh Dean seperti memancarkan aura gelap yang membuatnya terlihat sangat menakutkan."Kenapa dia sejak tadi hanya diam? Membuatku takut saja," tambah Peter seraya mencuri pandang ke arah Dean yang terlihat masih menikmati minumannya."Jika kau penasaran, kenapa tidak kau tanyakan langsung saja?" Victor balas berbisik pada Peter.Peter menggeleng kuat seraya bergidik. Hanya membayangkannya saja, dia sudah takut duluan. Jika Dean sedang menampilkan wajah seperti,
"Apa Dean akan membantumu? Bukankah kalian ...." Karena takut menyinggung perasaan Lucia, Tuan Roy sengaja tidak melanjutkan ucapannya. Kejadian 3 tahun lalu, tentu saja Tuan Roy juga mengetahuinya. "Aku akan mencobanya. Jika dia tidak mau, aku akan mencari bantuan orang lain." Julian, apa dia harus meminta bantuan pada pria itu jika Dean tidak mau membantunya? Melihat Lucia terdiam, Tuan Roy akhirnya berkata, "Lucia, maaf, bukannya aku tidak percaya padamu, tapi Dean dan Carissa, bukankah mereka dulunya teman dekat? Bagaimana kalau dia justru membantu Carissa dan ayahnya?" Lucia kembali termenung. Benar yang dikatakan Tuan Roy, mereka dulunya dekat karena pernah menempuh pendidikan di tempat yang sama hingga lulus kuliah. Baru semenjak menjalin hubungan dengannya, Dean mulai menjauhi Carissa. Sekarang hubungannya dengan Dean sudah berakhir, apa mungkin Dean masih mau membantunya? Terlebih lagi, Dean membenci keluarganya karena ulah Jensen. Apa yang harus dia lakukan jika Dean
"Dean, aku tidak pernah meremehkanmu. Aku—" "Apa hanya itu yang ingin kau katakan padaku?" potong Dean sebelum Lucia sempat menyelesaikan ucapannya. "Ya," jawab Lucia dengan tegas. "Bisakah kau membantuku?" Sebenarnya, tanpa bertanya pun, Lucia sudah tahu jawabannya hanya dengan mendengar kata-kata yang pria itu lontarkan tadi padanya. Lucia yakin, Dean tidak akan mau membantunya. Meskipun begitu, Lucia masih tetap ingin mendengar langsung dari mulut pria itu. "Kau hanya memanfaatkanku saat kau butuh, kau pikir aku masih mau membantumu? Lucia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. "Aku mohon, bantu aku kali ini saja." Jika Dean tidak membantunya, bagaimana nasib ayahnya? Selain Dean memang masih ada Julian, tapi dia tidak mau melibatkan pria itu lagi. Jadi, hanya Dean harapannya saat ini. Selain itu, hanya dia yang bisa membantunya menyelidiki masalah yang menimpa ayahnya. "Kau langsung berlari padaku begitu ada masalah, ke mana perginya kekasihmu?" Luci
"Ada apa?" Dean menghentikan sejenak pekerjaannya saat melihat asistennya memasuki ruangan. "Saya baru saja menyelesaikan tugas yang Tuan perintahkan," jawab Nolan setelah berdiri tepat di hadapan bosnya. "Ini berkasnya." Dia pun memberikan sebuah map pada Dean. Setelah mengambil map tersebut, Dean membukanya sebentar lalu meletakkan di meja. "Aku akan mengeceknya nanti." Seperti biasa, raut wajah Dean terlihat datar, seolah tidak ada yang mampu membuatnya bergejolak. "Tuan, apa saya perlu memberitahukan pada Nona Lucia mengenai ini?" tanya Nolan hati-hati. "Tidak perlu. Biarkan saja." Setelah mengatakan itu, Dean melirik jam di tangannya, lalu bertanya pada asistennya, "Apa kau sudah mengatur pertemuanku dengan Tuan Ronald?" "Sudah, Tuan. Sesuai dengan yang Anda perintahkan." "Bagus." Dean bangkit dari duduknya, merapihkan jas, lalu berkata, "Kita berangkat sekarang." "Baik, Tuan." Hanya butuh waktu 45 menit untu tiba di tempat tujuan. Baru saja turun dari mobilnya, Dean suda
"Perhatikan di depanmu saat berjalan." Suara berat Dean mengembalikan kesadaran Lucia yang sempat hilang. Sejak tadi, dia memang hanya diam seraya memandangi wajah di depannya. Bahkan dia tidak sadar kalau pinggangnya direngkuh oleh Dean setelah dirinya menabrak pria itu. "Maaf, tadi aku sedang melamun." "Memikirkan siapa? Julian?" Julian lagi. Kenapa dia selalu menyebut nama Julian? "Tentu saja bukan." Ketika menyadari kalau tubuh mereka terlalu dekat, Lucia berniat untuk menjaukan diri dari Dean, tapi tidak bisa karena ada tangan Dean yang melingkar kuat pinggangnya. "Dean, lepaskan aku. Semua orang melihat kita," ucap Lucia dengan lirih setelah melihat ke sekitarnya. Nampak beberapa karyawan sedang memandangi mereka berdua dengan wajah terkejut sekaligus heran. Bahkan Nolan yang berada di belakang Dean, dibuat ternganga dengan pemandangan di depannya itu. Dengan segera melepaskan rengkuhannya. Setelah itu, Dean menyapu ke sekeliling dengan tatapan tajamnya, semua yang ada di
"Kau di mana?" Dean bertanya pada orang yang baru saja dia hubungi lewat sambungan telpon. Orang yang dihubungi Dean adalah Carissa. "Aku sedang menemani ibuku belanja. Ada apa Dean?" Dari nada bicara Carissa terdengar senang. "Temui aku di restoran Victor besok." Ketika mendengar itu, Carissa tidak bisa menyembunyikan kegirangannya. Dia segera bertanya dengan antusias. "Apa ada hal penting?" Tidak biasanya Dean menghubunginya lebih dulu. Apalagi mengajaknya bertemu. Pria tidak pernah menghubunginya jika tidak ada hal penting yang ingin dia bicarakan. "Bicara besok saja." "Aku bisa ke apartemenmu nanti malam jika kau mau." "Tidak perlu." Sejak dulu, Carissa ingin sekali menghabiskan waktu bersama Dean di apartemennya, meskipun itu hanya untuk mengobrol. Namun, pria itu tidak pernah sekali pun mengijinkan dia masuk ke apartemennya. Selalu saja Dean mengajak bertemu di luar. "Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu besok." Dean langsung memutus panggilan itu tanpa membalas ucapa
Tuan Federick yang melihat kedatangan cucunya, segera menyambut dengan gembira. "Dean, kau sudah datang?" Lucia dan Nyonya Sheema seketika menoleh dan melihat Dean sedang berdiri mematung dengan ekspresi heran. "Kemarilah. Kau pasti belum makan malam." Nyonya Sheema melambai pada Dean, kemudian memberikan kode pelayan untuk menarik kursi untuk cucu tersayangnya. Dean pun melangkah dan duduk di kursi yang ditarik oleh pelayan, kursi yang berada di sebelah Lucia. "Kami semua sudah makan, kau makanlah," ucap Nyonya Sheema lagi dengan lembut. Dean mengangguk, lalu mulai menyendokkan makan ke dalam piringnya. Sebenarnya, Dean jarang sekali makan jika sudah lewat dari pukul 7 malam, tapi karena takut menyinggung perasaan neneknya, Dean memilih untuk makan, meskipun itu hanya sedikit. Mereka bertiga kembali mengobrol, mengabaikan Dean yang mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Awalnya, mereka hanya membahas mengenai acara perayaan ulang tahun Tuan Federick waktu itu, tapi ti