"Kamu harus segera menikah. Bunda gak mau dengar alasan apapun lagi, Len!" Perkataan Bunda semalam kembali teringat oleh Elena.
Wanita itu sempat mengehembuskan napas panjang guna menetralkan rasa groginya. Hari ini ia akan memantapkan hatinya untuk menerima permintaan Damar untuk menikah dengan pria itu.
Dengan keyakinan yang sudah ia pupuk sejak semalam, Elena berhasil masuk ke dalam apartemen Damar. Wanita itu masuk ke dalam ruangan yang terlihat sepi.
Dengan langkah perlahan, ia masuk ke dalam ruangan yang baru beberapa kali ia kunjungi selama menjadi kekasih Damar.
Langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang terlihat janggal. Ia melihat ada sepasang sepatu wanita di depan pintu yang terlihat berserakan, seakan si pemilik terburu-buru melepasnya.
Elena mencoba menenangkan hatinya, mengusir srgala pikiran buruk yang kini mulai bercokol di kepalanya. Ia kembali berjalan semakin dalam memasuki apartemen Damar. Menyimpan kue dan beberapa barang yang dibelinya untuk menyiapkan kejutan bagi sang kekasih di atas meja pantry.
Namun, saat langkahnya semakin masuk ke dalam, sebuah suara asing menyapa telinga Elena. Suara seorang pria yang ia yakini adalah suara Damar dan... suara asing lainnya yang saling bersahutan.
Merasa penasaran, Elena mencoba menguatkan dirinya untuk melangkah mendekat ke arah sumber suara.. Ia berjalan perlahan dengan perasaan berdebar yang tidak biasa.
Suara itu makin kencang terdengar ketika dirinya semakin mendekat ke arah kamar sang kekasih. Suara itu... terdengar tidak asing di telinganya. Mengingatkannya pada peristiwa di masa lalu. Suara itu terdengar seperti rintihan, tetapi juga ada decapan di sela rintihan itu.
Elena menelan salivanya dengan susah payah. Ia berusaha untuk tetap kuat berdiri, walaupun saat ini kakinya sudah gemetar. Dengan perlahan ia mendorong pintu kamar Damar yang tidak tertutup sempurna. Mata Elena membola. Degup jantung Elena berdetak lebih kencang.
Wanita itu merasakan sesak ketika menyaksikan apa yang ada di depannya. Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tidak. Ini… gak mungkin terjadi kan?
Elena sampai lupa untuk bernapas ketika melihat apa yang terjadi di depan matanya. Damar dan seorang wanita yang tidak Elena kenal, tengah asik memacu tubuh mereka bergerak dengan penuh nafsu.
Elena terdiam. Tubuhnya terasa beku hingga sulit untuk ia digerakan saking terkejutnya. Keadaan ini berbanding terbalik dengan Damar dan wanita itu yang justru makin semangat bergerak, mengejar puncak tanpa menyadari ada seseorang yang tengah memperhatikan apa yang Damar dan wanita itu lakukan dengan perasaan luka.
Suara serak penuh dengan hasrat memenuhi ruangan itu. Membuat kepala Elena pening tanpa bisa berpikir. Seakan ada seember es tengah menyiram tepat di atas kepalanya.
Jantungnya terasa sakit, bagai ditarik paksa dari rongganya. Namun lidahnya kelu untuk sekedar berteriak menyuarakan rasa sakitnya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa orang yang Elena percaya melakukan hal ini padanya? Pertanyaan itu berulang kali muncul di kepalanya saat itu.
Hal itu membuat Elena merasakan perasaan jijik. Suara asing keduanya pun memenuhi rongga telinga Elena.
Mata Elena kini menatap Damar yang saat itu tengah memacu tubuhnya, kepalanya menengadah, merasakan hantaman rasa nikmat yang bisa Elena dengar dengan sangat jelas ketika pria itu memuji wanita yang berada di bawah kungkungannya makin menambah hancur hati wanita itu.
Perutnya bergejolak, seolah semua isi perutnya terdorong untuk segera keluar. Elena sudah berada di batas toleransinya.
Elena tidak mampu lagi menyaksikan ini.
Dengan wajah pucat ia memaksakan kakinya untuk segera pergi dari tempatnya berdiri. Dengan sekuat tenaga dia keluar dari ruangan itu di tengah gempuran suara-suara Damar dan pasangannya yang terdengar berisik memenuhi telinga Elena.
"Aku cinta sama kamu. Cuma sama aku bisa sejatuh cinta ini. Jadi, Len. Tolong, terima lamaran aku. Aku benar-benar ingin menikah denganmu." Kalimat itu pernah Elena dapatkan ketika Damar melamarnya beberapa minggu lalu.
Namun kini semua itu berbanding terbalik dengan apa yang Elena temui. "Ini bukan cinta, Dam. Gak ada cinta yang semenyakitkan ini," gumam Elena sambil memukul dadanya yang terasa sesak.
Tubuh Elena hampir saja terjatuh jika saja ia tidak berpegangan pada dinding lift. Tatapan Elena terlihat kosong. Isi kepalanya dipenuhi oleh banyak suara yang menggempurnya.
Elena menerima itu semua di kala dirinya sudah memantapkan hati untuk menerima lamaran Damar. Di saat ia pada akhirnya menyetujui permintaan Bunda untuk segera menikah.
"Len. Pernikahan Bunda dengan orang itu memang gagal. Tetapi gak dengan kamu. Kamu berbeda dengan Bunda. Kamu gak akan bernasib sama seperti Bunda." Kata-kata Bunda saat itu pada akhirnya menguatkan hati Elena untuk menerima lamaran Damar menjadi istri dari pria itu.
Kata-kata Bunda seolah meyakinkan Elena jika apa yang terjadi pada Bunda tidak akan pernah dialami oleh Elena.
Tetapi, apa yang baru ia dapatkan nyatanya sama dengan apa yang Bunda dapatkan dua puluh tahun lalu dari Ayah. Dan lebih parahnya lagi, apa yang Elena saksikan tadi mirip dengan kejadian dua puluh tahun lalu saat ia memergoki sang Ayah dengan sekretarisnya.
Mengapa ini harus ia alami? Kenapa Damar tega melakukan ini padanya? Apa salah Elena hingga diperlakukan seperti ini?
"Aku salah apa selama ini sama kamu?" tanya Elena, mengungkapkan apa yanga da di pikirannya yang kalut.
Segala riuh pertanyaan muncul di kepalanya. Lalu, kejadian yang baru saja ia lihat kini muncul bak video yang menayangkan kejadian antara Damar dan wanita itu muncul di kepalanya beserta suara-suara menjijikkan itu. Memunculkan rasa mual yang mengaduk isi perutnya.
Pintu lift terbuka. Elena buru-buru keluar dari dengan langkah tertatih. Ia berusaha menguatkan dirinya di saat tubuhnya sudah bergetar hebat karena apa yang baru saja ia alami.
Elena menjauh sekuat yang ia bisa sambil menahan gempuran rasa mual dan degup jantung yang berdetak dengan kencang.
"Kamu gak akan pernah bahagia, Lena." Sebuah kalimat masuk ke dalam memorinya. Kalimat yang langsung membuat tubuh Elena kehilangan kendalinya.
Sebuah mobil melaju tepat di depan Elena tanpa wanita itu sadari. Bahkan bunyi klakson yang sang pengemudi bunyikan tidak ia dengarkan. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Elena yang sudah tidak bisa lagi menopang tubuhnya jatuh pingsan tepat di depan mobil itu.
Rasky, si pengemudi mobil tentu saja panik. Beruntung ia sempat menginjak rem sehingga mobilnya tidak menabrak wanita yang tiba-tiba jatuh pingsan tepat di depan mobilnya itu.
Merasa kasihan sekaligus bertanggung jawab, Rasky kemudian turun keluar dari mobilnya, mendatangi wanita yang terkapar tidak sadarkan diri di depan mobilnya. Tanpa membuang banyak waktu, Rasky menggendong tubuh Elena dan membawa wanita itu ke dalam mobil.
Rasky kemudian melajukan mobilnya keluar dari lokasi kejadian. Apa yang ia lakukan benar-benar ia lakukan tanpa pikir panjang, yang pria itu tahu adalah, dirinya harus segera menolong wanita asing itu. Hingga beberapa menit kemudian ia tersadar. “Lah, ini gue harus ke mana yah? kalau ke rumah sakit nanti bakalan ada wartawan,” gumam Rasky bingung. Dirinya yang seorang artis tentu sangat berisiko jika membawa wanita dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti ini ke rumah sakit. Bisa-bisa ia menjadi santapan gosip esok pagi.
“Kalau anterin nih cewek pulang, gue gak tau alamatnya di mana," monolognya dengan perasaan bingung.
"Gue bawa balik aja kayaknya. Nanti sampai apartemen gue hubungi dokter," putus Rasky yang langsung mengarahkan mobilnya menuju apartemen miliknya.
Sesampainya di apartemen, Rasky langsung membaringkan Elena di kamar pria itu. Sejenak Rasky memandangi wajah Elena yang terlihat pucat, ada rasa yang tidak bisa pria itu deskripsikan saat itu. “Kasihan, Dia pucet banget. Apa yang baru aja lo alami sih, Mbak?” gumamnya tanpa sadar.
Pria itu kemudian bangkit dari duduknya, berniat untuk mengambil wewangian yang bisa membuat Elena tersadar.
Bertepatan dengan Rasky yang melangkah pergi, Elena tersadar dari pingsannya beberapa saat lalu. Dahi wanita itu berkerut kala menyadari ia bangun di tempat yang asing.
Matanya menyapu seluruh benda yang ada di ruangan itu dan berhenti tepat di sebuah foto besar yang menampilkan sesosok pria yang Elena kenal tertempel di dinding. Astaga! Gue ada di mana? Kenapa di sini ada muka dia? Gue harus kabur. Gue harus buru-buru pergi dari sini.
Baru saja Elena bergerak ingin pergi dari ruangan itu, ia justru dikejutkan oleh suara si pemilik ruangan. “Loh, kamu sudah sadar?” tanya Rasky yang saat itu tengah berjalan mendekat ke arah Elena. Mata wanita itu membola begitu menemukan Rasky ada di ruangan itu. Degup jantungnya berdetak cepat begitu melihat pria yang sangat ia benci berdiri tepat di hadapannya. Alarm tanda bahaya seolah berbunyi nyaring di kepalanya. Kabur Elena, lo harus segera kabur.
Elena buru-buru pergi keluar dari apartemen pria itu tanpa mau menjawab pertanyaan Rasky. Saat itu yang ada di pikiran Elena adalah cepat-cepat pergi dari tempat Rasky.
Rasky yang ditinggal pergi begitu saja, tentu merasa bingung dan panik. Pria itu secepat kilat mengejar Elena. Ia khawatir akan terjadi sesuatu pada wanita itu, mengingat mungkin saja kesadaran wanita itu belum pulih sepenuhnya sehingga berperilaku aneh seperti itu.
Beruntung, Rasky masih bisa menemukan Elena yang baru saja menaiki sebuah taksi. Tanpa pikir panjang, Rasky mengikuti ke mana taksi itu pergi. Ia begitu serius mengikuti taksi itu agar tidak kehilangan jejak dari wanita yang baru saja ia tolong itu.
Hingga taksi berhenti tepat di sebuah rumah dan Elena turun dari taksi tepat di depan rumah itu. Rasky memperhatikan Elena yang kini menatap rumah di hadapannya dengan wajah murung. Lalu, wanita itu sempat menghembuskan napas kasar, sebelum masuk ke dalam rumah itu.
Rasky yang menatap kejadian itu tentu saja bingung. Namun, pria itu merasa lega. Karena sudah memastikan wanita itu sampai di tempat yang aman.
Pria itu sempat terdiam beberapa lama di depan rumah Elena. Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya saat ini. Tidak biasanya Rasky begitu peduli, terlebih pada orang asing. “Ini kenapa gue ikutin dia, yah?” monolognya begitu menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
Diantara kebingungan yang Rasky rasakan, pria itu rupanya menyadari satu hal. Ada ketenangan yang ia rasakan begitu mengetahui wanita yang baru saja ia tolong sudah sampai dengan selamat. Juga… debaran yang aneh di dadanya. “Kok, gue jadi deg-degan gini, yah? Gak mungkin kan gue jatuh cinta sama tuh cewek? Tapi..., kayaknya gue harus ketemu lagi sama dia,” monolognya sebelum akhirnya ia memilih pergi meninggalkan area rumah Elena dengan senyuman yang tebit di bibirnya.
Sebuah suara yang sangat tidak ingin Elena dengar, menyapa telinganya begitu Elena menjejakan kakinya di lobi kantor. Tanpa menoleh pun, wanita itu tahu jika saat ini Damarlah pria yang pagi itu menyapanya. Tanpa tahu malu pria itu mendekat ke arah Elena yang tengah bersiap pergi. "Len, kenapa panggilanku dari semalam gak kamu jawab?" tanya Damar dengan wajah khawatir yang bisa Elena tangkap.Jika saja Elena tidak mengetahui perselingkuhan Damar, mungkin wanita itu akan merasa bersalah karena sudah membuat kekasihnya khawatir. Tetapi saat ini, setelah ia mengetahui semuanya. Elena justru merasa jijik dengan sikap khawatir yang pria itu tunjukan kepadanya.Elena memilih mengabaikannya dan berjalan cepat melewati pria itu. Ia tidak ingin membahas apapun yang akan membuat suasana hatinya memburuk. Langkahnya terpaksa terhenti karena pria itu dengan kurang ajar mencekal tangannya. "Kamu mau kita ngomong di sini supaya orang lain dengar atau ikut aku, kita bicara baik-baik?" ucap Damar de
“Pagi, Mba. Eh, iya, tadi Bu Arletta cari Mbak. Katanya kalau sudah datang, Mbak diminta ke ruangan katanya,” ucap Miko begitu melihat kedatangan Elena.Mendapati informasi itu membuat Elena segera menaruh tasnya di atas meja kerjanya. Dengan penuh tanda tanya, ia bergegas menuju ruang kerja bosnya. Arletta tidak akan repot-repot mendatangi ruangannya sepagi ini jika tidak ada hal yang penting untuk mereka bahas tentunya.Elena memasuki ruang kerja Arletta setelah sebelumnya mengetuk pintu ruangan itu. Seorang wanita dengan seulas senyum di bibirnya, membuat Elena turut menarik sudut bibirnya sebelum menyapa. “Pagi, Bu Arleta. Ibu tadi memanggil saya?” tanyanya ramah.“Iya, Len. Sini duduk, dulu.” Arletta menyambut Elena. Arletta cukup akrab dengan Elena. Ia menyukai Elena yang cekatan dan selalu bisa diandalkan. Sehingga terkadang bosnya itu memperlakukannya layaknya teman dibanding karyawan. "Masih inget sama Rasky Karindra?" tanya Arletta dengan nada penuh semangat. Bahkan senyuma
Pikiran Elena kembali ke masa kini ketika ia mendengar seseorang menyapanya. “Halo, selamat malam. Dengan Mbak?” Sebuah suara menyadarkan Elena dari lamunannya akan masa lalu. Wanita itu menoleh cepat ke asal suara.“Kamu cewek yang semalam, kan?” tanya Rasky dengan mata berbinar, berbanding terbalik dengan Elena yang saat itu merasa gugup karena sepertinya ada hal yang ia lupakan. Kejadian di mana Elena dengan tanpa rasa sopan pergi begitu saja meninggalkan orang yang sudah menolongnya, tanpa basa-basi, tanpa berterima kasih. Gawat!. Dia mungkin lupa sama kejadian berapa tahun lalu. Tapi dia gak mungkin lupa sama kejadian semalam.“Kalian saling kenal?” sebuah suara berhasil membuat keduanya menoleh hampir bersamaan. Elena tampak terkejut begitu melihat wajah si pria tanpa sadar menaikkan sebelah alisnya. Cukup terkejut dengan fakta lain yang ia hadapi hari itu. Astaga…, lawak amat sih hidup gue. Sampe masa lalu aja masih nempelin terus begini.“Perkenalkan, Saya Elena,” ucapnya ber
Elena baru saja melangkahkan kakinya keluar dari restoran sebuah hotel. Malam itu ia baru saja menyelesaikan meeting dengan seorang klien yang kebetulan menginap di hotel tersebut. Sambil menunduk, Elena yang saat itu tengah fokus memesan taksi online yang saat itu entah mengapa sulit sekali ia dapatkan."Hari ini kamu menginap yah, temenin aku?" Suara wanita yang terdengar tengah merayu terdengar di telinga Elena yang masih enggan menegakkan pandangnya."Kamu kan udah putus dari Elena. Jadi gak ada alasan lagi dong buat kamu balik cepet-cepet ke apartemen. Ayo lah, malam ini akan aku galau kamu karena perempuan itu hilang," lanjut si wanita terdengar menggoda, membuat Elena terdiam beberapa detik begitu mendengar namanya disebut."Yah, bener juga. Gue emang butuh hiburan buat hilangin stres gue," ucap si pria dengan suara yang teramat sangat Elena kenal.Secara refleks Elena menegakkan kepalanya. Matanya tepat menatap Damar dan Janeta yang tengah berjalan sambil merangkul mesra layak
Tidak semua sakit hati itu bisa disembuhkan dengan maaf, karena tidak semua kesalahan bisa selesai dengan berjabat tangan.Elena ingat sebuah kejadian di masa lalunya. Saat itu semua orang tengah sibuk dengan pekerjaannya pagi itu. Tidak terkecuali dengan Elena. Ia bahkan sudah mondar-mandir sejak pagi, menyiapkan beberapa dokumen dan laporan yang akan digunakan untuk rapat dengan beberapa manajer siang ini. Rapat penting dengan perwakilan setiap divisi yang akan bergabung bersamanya untuk menangani proyek penting perusahaan mereka.Hari itu, ia mendapatkan tugas cukup berat sebagai perwakilan dari divisinya untuk menangani sebuah acara cukup besar. Acara pagelaran busana yang bekerja sama dengan seorang desainer kenamaan, yang sudah terkenal sampai mancanegara.Ini kali pertama perusahaannya mendapatkan kesempatan untuk mengadakan acara sebesar itu. Tentu saja hal ini membuat Elena tertantang sekaligus takut. Yah, tertantang karena ia juga berkesempatan bekerja sama dengan orang-oran