Pikiran Elena kembali ke masa kini ketika ia mendengar seseorang menyapanya. “Halo, selamat malam. Dengan Mbak?” Sebuah suara menyadarkan Elena dari lamunannya akan masa lalu. Wanita itu menoleh cepat ke asal suara.
“Kamu cewek yang semalam, kan?” tanya Rasky dengan mata berbinar, berbanding terbalik dengan Elena yang saat itu merasa gugup karena sepertinya ada hal yang ia lupakan. Kejadian di mana Elena dengan tanpa rasa sopan pergi begitu saja meninggalkan orang yang sudah menolongnya, tanpa basa-basi, tanpa berterima kasih. Gawat!. Dia mungkin lupa sama kejadian berapa tahun lalu. Tapi dia gak mungkin lupa sama kejadian semalam.
“Kalian saling kenal?” sebuah suara berhasil membuat keduanya menoleh hampir bersamaan. Elena tampak terkejut begitu melihat wajah si pria tanpa sadar menaikkan sebelah alisnya. Cukup terkejut dengan fakta lain yang ia hadapi hari itu. Astaga…, lawak amat sih hidup gue. Sampe masa lalu aja masih nempelin terus begini.
“Perkenalkan, Saya Elena,” ucapnya berusaha bersikap normal pada pria-pria yang hari itu sukses membuat mood-nya hancur berantakan. Wanita itu tersenyum ramah, seolah tidak pernah terjadi apapun di antara dirinya dengan Rasky dan Gerald, manajer Rasky, sekaligus sepupu dari mantan kekasih Elena.
Elena pun tanpa sungkan menyambut uluran tangan Rasky, seakan ini adalah pertemuan pertama mereka.
Berbeda dengan Elena, Rasky kini menatap Elena sedikit terkejut. Mata pria itu bahkan bergerak memindai Elena. Merasa bingung karena Elena bersikap asing kepadanya setelah Rasky menolong wanita itu semalam. “Oh, hai, Mbak Elena. Perkenalkan Saya Rasky dan ini manajer saya, Gerald,” balas Rasky menutupi rasa herannya.
Gerald menyapa Elena dengan mengulurkan tangannya kemudian memperkenalkan diri layaknya orang yang asing yang baru pertama kali bertemu."Gerald, manajer Rasky," balas pria itu berusaha terlihat santai.
“Silakan duduk.” Elena mencoba bersikap ramah pada pria-pria di hadapannya ini. Sungguh lucu takdirnya. Ia yang saat itu merasa sangat muak untuk berhadapan dengan Rasky, harus lebih ekstra mempertahankan sikap normalnya ketika juga harus berhadapan dengan sepupu dari mantan kekasihnya.
Untuk mempersingkat pertemuan mereka, Elena pun kemudian sedikit berbasa-basi dan menjelaskan poin-poin kerjasama yang perusahaannya ajukan kepada pihak Rasky. Mencoba bersikap tenang, walaupun perasaannya sedikit kesal karena sejak tadi Rasky memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Apaan lagi sih, nih, orang. Gak bakal baper gue digituin, seriusan.
“Ah, iya. Ini dokumen perjanjian kerja samanya. Bisa dibaca dulu mungkin. Dan… apabila ada yang ingin ditanyakan, saya akan jelaskan,” ucap Elena dengan sikap ramah yang susah payah ia tunjukkan saat ini. Masa bodo lah mau terlihat seperti apa, yang penting ia sudah berusaha.
“Gimana keadaan kamu?” Sebuah pertanyaan tiba-tiba meluncur dari bibir Rasky setelah sedari tadi pria itu memperhatikan wajah Elena begitu lekat.
“Ya?” Pertanyaan pria itu tentu saja membuat Elena terkejut dan membuat Elena bingung akan merespon apa pertanyaan Rasky yang tiba-tiba itu.
Gerak-gerik keduanya yang terlihat canggung ternyata berhasil mengundang perhatian Gerald. Pria itu juga merasa heran karena dirinya juga tidak mengerti dengan maksud pertanyaan yang dilontarkan Rasky, seolah pria itu sudah mengenal Elena sebelumnya.
“Saya… baik-baik, aja, Mas,” balas Elena canggung. Sementara Rasky kembali memindai wajahnya, terkesan tidak percaya dengan apa yang diucapkan Elena. Tapi… siapa peduli. Memangnya dia siapa sampai sebegitunya ingin tahu keadaan Elena.
Seorang pelayan mendekati meja mereka dan menghidangkan makanan pesanan mereka. Kesempatan ini tidak Elena sia-siakan. “Silakan dinikmati pesanannya, Mas. Saya ke toilet dulu,” pamitnya yang kemudian pergi meninggalkan suasana yang cukup aneh untuknya itu.
“Lo… kenal dia?” tanya Gerald karena merasa aneh dengan sikap Rasky kali ini.
“Gak. Cuma…, kayaknya gue tertarik sama tuh cewek,” jawab Rasky yang tentu saja membuat Gerald terkejut sekaligus heran.
Di luar ruangan, Elena terlihat berjalan sambil menggerutu. Wanita itu merasa kesal dengan sikap Rasky yang dinilainya begitu berlebihan untuk seorang yang baru sekali bertemu. Ia merasa jika pria itu sengaja menggodanya, Rasky sengaja bersikap seperti itu demi mendengar Elena mengucapkan terima kasih karena pria itu sudah menolongnya. Namun, Elena tentu saja tidak akan mengatakan hal itu, mengingat ia masih sangat membenci Rasky.
“Gak waras kali, tuh orang. Belum apa-apa udah berasa sok deket gitu. Emang agak-agak kayaknya,” gerutu Elena sambil bersungut-sungut. Kejadian tadi cukup membuat Elena yang awalnya ingin melupakan kejadian beberapa tahun lalu menjadi kembali mengingatnya. Lalu secara otomatis, perasaan kesal pada Rasky kembali timbul. Apalagi respon pria itu benar-benar di luar dugaannya. Berusaha bersikap manis di depannya, padahal ia tahu bagaimana buruknya perangai pria itu di masa lalu.
Saking kesalnya, Elena tidak fokus memperhatikan jalan. Sampai seorang wanita berambut merah menabraknya tanpa sengaja. Elena yang kehilangan keseimbanagn tampak oleng dan terjatuh.
Wanita itu sempat menoleh ke arah Elena. Namun, alih-alih merasa bersalah dan minta maaf. Wanita itu justru memilih mengabaikan Elena dan pergi begitu saja.
Kejadian itu tentu saja membuat Elena kesal. Wanita itu sempat ingin membalas, tetapi sebuah ingatan masuk ke dalam otaknya. Membuatnya terdiam cukup lama hanya untuk menatap wanita yang kini sudah mulai hilang dari pandangannya.
***
Suara perdebatan terdengar di telinga Elena membuat wanita itu mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam private room. Tempat di mana ia meninggalkan Rasky dan Gerald sebelumnya. Di dalam sana Elena sempat melihat Rasky, Gerald dan dua orang lainnya yang terlihat membelakangi Elena.
“Kamu gak bisa gitu, dong. Cuma ngaku kalau kita pacaran selama beberapa bulan aja gak akan jadi masalah kok buat kamu.”
Gerakan Elena yang awalnya ingin masuk pun terhenti. Ia memilih untuk berdiri di depan pintu ruangan itu karena tidak ingin menginterupsi pertengkaran yang sedang terjadi. Wanita itu memberikan jeda agar orang-orang yang berada di dalam bisa menyelesaikan urusannya tanpa terganggu oleh kedatangan Elena.
“Kenapa gak bisa? Kita memang gak ada hubungan kok. Kita itu cuma partner di film aja.” Suara kali ini berasal dari Rasky. Elena kenal suara lantang dan tegas itu. Nada suara yang mengingatkannya akan kejadian beberapa tahun lalu.
“Tetapi di proyek itu, kita sudah sepakat kan, untuk ikut skenario manajemen kita, untuk berpura-pura pacaran supaya film kita ramai,” sahut si wanita tidak mau kalah.
“Kita? Lo yakin kita? Bukan keputusan sepihak antara lo sama sutradara aja?” Wanita itu menelan salivanya kasar. Ia tidak pernah membayangkan akan mendapatkan jawaban ketus seperti ini dari Rasky.
Ia pikir, pria itu akan seperti pria-pria sebelumnya, yang demi ketenaran film yang mereka mainkan, mau-mau saja mengikuti arahan manajemen untuk menjalani hubungan setingan dengannya.
“Ras…, tolonglah. Permudah aja. Lagian… hubungan setingan ini gak akan merugikan buat lo, kok. Malah, akan jadi menguntungkan untuk kita. Karena kan banyak banget penggemar kita yang pengen kita jadi pasangan beneran.”
Wanita itu mulai merendahkan intonasi suaranya. Ia paham, jika ia dan Rasky sama-sama keras, maka ia tidak akan mendapatkan apapun. Jadi, mengalah sedikit bukan masalah untuknya, asalkan dirinya tetap aman berada di posisinya saat ini.
Rasky menaikkan sebelah alisnya, pria itu tidak bisa benar-benar percaya pada Janeta. Ia baru mengenal Janeta pada proyek filmnya yang baru beberapa bulan lalu ia rampungkan. Dirinya juga tidak merasa dekat dengan wanita itu. Lalu, atas dasar apa ia harus menuruti wanita itu untuk mau bekerja sama melakukan hubungan setingan demi kelancaran promo film terbaru mereka.
Memang ide itu sempat tercetus dari pihak manajemen mereka, mengingat banyak orang yang antusias dengan peran yang mereka mainkan. Tetapi bukan berarti ia harus menuruti semua keinginan penggemarnya. Rasky sangat tidak menyukai hal itu.
Bagi Rasky, pekerjaan yang ia lakukan hanyalah melakukan peran yang ia mainkan dengan sebaik mungkin. Bukan dengan ikut bermain peran dalam kehidupan pribadinya. Dan untuk hubungan pura-pura itu, dirinya amat sangat menolak dengan keras. Ia tidak ingin dikekang oleh siapapun.
“Iya, manajemen gue emang setuju melakukan itu.” Seulas senyum muncul di bibir sang wanita.
“Tetapi selama masa promosi film doang. Setelah itu, kita gak ada hubungan apa-apa,” lanjut Rasky yang membuat wajah wanita itu memerah.
“Dan lo juga tahu kan, kalau gue gak pernah kasih pernyataan kalau gue setuju dengan usulan itu. Terlebih, masa promosi film juga udah kelar. Jadi gak ada alasan kan buat gue terus ikut aturan lo. Emangnya gue gak tau kalau lo gunakan kesempatan ini untuk tutupi hubungan gelap lo sama tuh sutradara?” Sudut bibir Rasky terangkat, memandang lawan bicaranya sebelah alis terangkat.
Wanita itu sudah akan kembali berbicara ketika seorang pria di sampingnya dengan terburu-buru menariknya keluar dari dalam ruangan.
Elena pun buru-buru bergerak menghindar agar tidak ketahuan oleh dua orang yang akan keluar dari ruangan itu. Samar-samar Elena sempat mendengar umpatan yang keluar dari bibir wanita itu. Dan sebuah nama yang sangat Elena kenal sempat masuk ke dalam perdebatan keduanya. Sepertinya Elena sudah ingat siapa wanita itu.
“Udahlah, Janeta. Gue kan gue udah bilang kalau Rasky itu orangnya keras kepala. Dibanding Rasky, lo lebih mudah gunain hubungan lo sama mantan lo, Damar. Toh, hubungan kalian memang benar adanya kan? Dibanding lo bikin hubungan boongan kayak gini buat tutupi hubungan gelap lo sama Pak Tito,” ucap pria yang sedari tadi menemani wanita itu. Jadi selingkuhan Damar itu Janeta? Dan sekarang dia mau bikin skandal sama Rasky? Menarik.
Elena baru saja melangkahkan kakinya keluar dari restoran sebuah hotel. Malam itu ia baru saja menyelesaikan meeting dengan seorang klien yang kebetulan menginap di hotel tersebut. Sambil menunduk, Elena yang saat itu tengah fokus memesan taksi online yang saat itu entah mengapa sulit sekali ia dapatkan."Hari ini kamu menginap yah, temenin aku?" Suara wanita yang terdengar tengah merayu terdengar di telinga Elena yang masih enggan menegakkan pandangnya."Kamu kan udah putus dari Elena. Jadi gak ada alasan lagi dong buat kamu balik cepet-cepet ke apartemen. Ayo lah, malam ini akan aku galau kamu karena perempuan itu hilang," lanjut si wanita terdengar menggoda, membuat Elena terdiam beberapa detik begitu mendengar namanya disebut."Yah, bener juga. Gue emang butuh hiburan buat hilangin stres gue," ucap si pria dengan suara yang teramat sangat Elena kenal.Secara refleks Elena menegakkan kepalanya. Matanya tepat menatap Damar dan Janeta yang tengah berjalan sambil merangkul mesra layak
Tidak semua sakit hati itu bisa disembuhkan dengan maaf, karena tidak semua kesalahan bisa selesai dengan berjabat tangan.Elena ingat sebuah kejadian di masa lalunya. Saat itu semua orang tengah sibuk dengan pekerjaannya pagi itu. Tidak terkecuali dengan Elena. Ia bahkan sudah mondar-mandir sejak pagi, menyiapkan beberapa dokumen dan laporan yang akan digunakan untuk rapat dengan beberapa manajer siang ini. Rapat penting dengan perwakilan setiap divisi yang akan bergabung bersamanya untuk menangani proyek penting perusahaan mereka.Hari itu, ia mendapatkan tugas cukup berat sebagai perwakilan dari divisinya untuk menangani sebuah acara cukup besar. Acara pagelaran busana yang bekerja sama dengan seorang desainer kenamaan, yang sudah terkenal sampai mancanegara.Ini kali pertama perusahaannya mendapatkan kesempatan untuk mengadakan acara sebesar itu. Tentu saja hal ini membuat Elena tertantang sekaligus takut. Yah, tertantang karena ia juga berkesempatan bekerja sama dengan orang-oran
"Kamu harus segera menikah. Bunda gak mau dengar alasan apapun lagi, Len!" Perkataan Bunda semalam kembali teringat oleh Elena.Wanita itu sempat mengehembuskan napas panjang guna menetralkan rasa groginya. Hari ini ia akan memantapkan hatinya untuk menerima permintaan Damar untuk menikah dengan pria itu. Dengan keyakinan yang sudah ia pupuk sejak semalam, Elena berhasil masuk ke dalam apartemen Damar. Wanita itu masuk ke dalam ruangan yang terlihat sepi.Dengan langkah perlahan, ia masuk ke dalam ruangan yang baru beberapa kali ia kunjungi selama menjadi kekasih Damar.Langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang terlihat janggal. Ia melihat ada sepasang sepatu wanita di depan pintu yang terlihat berserakan, seakan si pemilik terburu-buru melepasnya. Elena mencoba menenangkan hatinya, mengusir srgala pikiran buruk yang kini mulai bercokol di kepalanya. Ia kembali berjalan semakin dalam memasuki apartemen Damar. Menyimpan kue dan beberapa barang yang dibelinya untuk menyiapkan ke
Sebuah suara yang sangat tidak ingin Elena dengar, menyapa telinganya begitu Elena menjejakan kakinya di lobi kantor. Tanpa menoleh pun, wanita itu tahu jika saat ini Damarlah pria yang pagi itu menyapanya. Tanpa tahu malu pria itu mendekat ke arah Elena yang tengah bersiap pergi. "Len, kenapa panggilanku dari semalam gak kamu jawab?" tanya Damar dengan wajah khawatir yang bisa Elena tangkap.Jika saja Elena tidak mengetahui perselingkuhan Damar, mungkin wanita itu akan merasa bersalah karena sudah membuat kekasihnya khawatir. Tetapi saat ini, setelah ia mengetahui semuanya. Elena justru merasa jijik dengan sikap khawatir yang pria itu tunjukan kepadanya.Elena memilih mengabaikannya dan berjalan cepat melewati pria itu. Ia tidak ingin membahas apapun yang akan membuat suasana hatinya memburuk. Langkahnya terpaksa terhenti karena pria itu dengan kurang ajar mencekal tangannya. "Kamu mau kita ngomong di sini supaya orang lain dengar atau ikut aku, kita bicara baik-baik?" ucap Damar de
“Pagi, Mba. Eh, iya, tadi Bu Arletta cari Mbak. Katanya kalau sudah datang, Mbak diminta ke ruangan katanya,” ucap Miko begitu melihat kedatangan Elena.Mendapati informasi itu membuat Elena segera menaruh tasnya di atas meja kerjanya. Dengan penuh tanda tanya, ia bergegas menuju ruang kerja bosnya. Arletta tidak akan repot-repot mendatangi ruangannya sepagi ini jika tidak ada hal yang penting untuk mereka bahas tentunya.Elena memasuki ruang kerja Arletta setelah sebelumnya mengetuk pintu ruangan itu. Seorang wanita dengan seulas senyum di bibirnya, membuat Elena turut menarik sudut bibirnya sebelum menyapa. “Pagi, Bu Arleta. Ibu tadi memanggil saya?” tanyanya ramah.“Iya, Len. Sini duduk, dulu.” Arletta menyambut Elena. Arletta cukup akrab dengan Elena. Ia menyukai Elena yang cekatan dan selalu bisa diandalkan. Sehingga terkadang bosnya itu memperlakukannya layaknya teman dibanding karyawan. "Masih inget sama Rasky Karindra?" tanya Arletta dengan nada penuh semangat. Bahkan senyuma