Papaku menatap lekat wajahku karena aku hanya diam dari tadi.“Manda, kok diam saja. Bu Sawitri mengajak kamu bicara. Beliau minta maaf sama kamu,” ucap papa yang membuatku menghela napas panjang.“I-iya, Pa. Aku mendengar kok ucapan ibu,” sahutku dengan suara pelan. Aku menatap wajah papaku dan setelahnya aku pun menoleh ke arah mas Haikal yang rupanya sedang menatapku juga. Sepertinya menunggu jawabanku atas permintaan maaf ibunya.“Terus?” desak papaku.“Aku...aku sudah memaafkan ibu. Tapi, aku sulit untuk melupakan perlakuan ibu padaku dulu. Jujur saja kalau aku masih sakit hati apabila teringat perkataan ibu, yang menyuruh mas Haikal menikah lagi karena aku diduga mandul. Perempuan mana yang mau dimadu, Pa. Begitu juga aku yang tak rela kalau mas Haikal menikah lagi, dan aku harus berbagi suami dengan perempuan lain. Makanya aku lebih memilih bercerai dan tak memberitahu kalau saat itu aku sedang hamil. Semua itu aku lakukan karena aku sakit hati dan kecewa pada mas Haikal, maupu
Aku melihat raut kecewa di wajah kedua orang tuaku. Mama yang selama ini gencar membujukku untuk menerima mas Haris, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Mungkin kedua orang tuaku kecewa, karena dari pihak mas Haris belum ada omongan untuk kelanjutan hubungan kami. Belum juga membawa orang tuanya ke rumah untuk melamar, tapi tiba-tiba saja mas Haris sudah menyebut bahwa dia adalah calon suamiku. Tak berbeda dengan kedua orang tuaku, aku pun merasa kecewa dan diremehkan oleh mas Haris. Dia dengan entengnya mengatakan, kalau aku adalah calon istrinya. Padahal belum ada ikatan apa pun di antara kami.“Haris, duduk dulu di situ! Sebaiknya kita bicara baik-baik dan meluruskan semuanya.” Papaku berkata sambil menunjuk sofa yang kosong, kode agar mas Haris duduk di tempat yang papa tunjuk.Mas Haris pun menuruti apa yang papaku perintahkan, walaupun aku melihat sorot mata kurang suka karena perintah papaku tadi. Mas Haris sepertinya ingin mendekati dan merebut hati Pasya, yang sedang asyi
Beberapa hari setelah kedatangan mas Haikal dan kedua orang tuanya serta mas Haris ke rumah orang tuaku, aku masih belum bisa memutuskan tawaran mereka. Apakah akan menerima tawaran rujuk mas Haikal, atau menerima memulai hidup baru dengan mas Haris? Sebuah keputusan yang sulit bagiku. Apalagi kedua orang tuaku menyerahkan sepenuhnya keputusan itu pada diri ini. Mama yang semula mendukung penuh agar aku memulai lembaran hidup baru bersama dengan mas Haris, kini sepertinya menarik dukungannya semenjak mas Haris mengaku sebagai calon suamiku secara sepihak. Walaupun sudah dijelaskan alasannya, tetap saja mama tak bisa menerima karena menurutnya mas Haris agak arogan dengan mengklaim diriku, padahal melamar juga belum. Meskipun begitu mama mengatakan, akan menghargai keputusanku apabila pada akhirnya aku memilih mas Haris sebagai suamiku.Kini di saat aku sedang berpikir keras untuk mengambil keputusan, datang Adel dan Andi di rumah makanku. Oh ya, mereka rupanya saling dekat setelah pik
Aku baru saja selesai salat isya, ketika ponselku berdering. Aku buru-buru meraih benda pipih itu, agar bunyinya yang nyaring tak membangunkan Pasya yang sudah tidur pulas. Hatiku berdesir ketika melihat nama mantan suamiku terpampang di layar ponsel. Tak mau menunggu lama, aku angkat panggilan telepon tersebut.“Assalamualaikum. Halo, Mas,” sapaku.“Wa’ alaikumsalam. Hai, Manda. Sedang apa? Sibuk, ya? Pasya sudah tidur belum?” sahutnya yang membuatku mengulum senyuman, karena mas Haikal langsung memberondong dengan berbagai pertanyaan.“Aku baru saja selesai salat isya, Mas. Sedang Pasya, sudah tidur dari selepas magrib. Tidur siangnya cuma sebentar soalnya. Makanya cepat mengantuk. Biasanya kalau tidur siangnya cukup, dia tidur di atas jam tujuh malam. Kamu sendiri sudah salat isya belum, Mas?” ucapku. Aku tiba-tiba menutup bibirku dengan telapak tangan kanan karena baru menyadari, kalau aku terkesan perhatian pada mas Haikal dengan pertanyaanku tadi. Aku pun merutuki diri ini dalam
Aku akhirnya menerima ajakan makan malam mas Haikal. Kami sudah membuat janji bahwa malam ini mas Haikal akan menjemputku pukul tujuh malam. Aku berniat akan bersiap diri setelah mengeloni Pasya, karena anakku itu sudah mengantuk selepas magrib. Aku kecup kening Pasya sebelum aku turun dari tempat tidur.“Tidur yang anteng ya, Sayang. Mama sama papa mau makan malam dulu sebentar. Pasya nanti ditemani sama nenek, ya. Selesai makan malam, mama dan papa akan segera pulang kok,” gumamku seorang diri.Setelah kupastikan bahwa anakku sudah tertidur pulas, aku bergegas turun dari tempat tidur dan langsung berdandan. Malam ini aku sengaja akan mengenakan pakaian yang pernah mas Haikal beli untukku, saat kami masih menjadi pasangan suami istri. Sebuah gaun berlengan pendek dengan panjang selutut berwarna merah marun, dan berkerah turtle neck. Mas Haikal pernah mengatakan, dia membeli gaun yang berkerah turtle neck karena sangat cocok dengan leherku yang jenjang. Aku pakai juga kalung emas berl
Usai makan malam, mas Haikal mengajakku ke suatu tempat. Dia mengajakku ke pantai, karena kebetulan restoran tempat kami makan malam berada di dekat pantai. Mas Haikal mengajakku berjalan menyusuri tepian pantai. Sepatunya dan high heels milikku, kami taruh di dalam mobil. Kami berjalan dari area parkiran mobil menuju pantai tanpa alas kaki. Kami berlari kecil menuju tepi pantai sambil tertawa, layaknya seorang remaja yang sedang berkencan untuk pertama kalinya.“Terima kasih, Manda,” ucap mas Haikal ketika kami sedang berjalan di tepi pantai.“Untuk?” tanyaku yang spontan menghentikan langkah.“Telah bersedia makan malam denganku, dan menemaniku jalan-jalan di tepi pantai,” sahut mas Haikal dengan tangannya yang terulur dan kemudian menggenggam jemariku. Aku sendiri seperti terhipnotis, karena aku sama sekali tak berusaha untuk menepis tangannya. Ada gelenyar aneh di hatiku, ketika tiba-tiba mas Haikal mengangkat tanganku dan mengecup punggung tanganku dengan lembut.“Amanda, terimal
“Tolong!” teriakku sekencang-kencangnya dengan harapan ada yang mendengar dan memberi pertolongan padaku.“Diam, Amanda!” sentak mas Haris.“Lepaskan Aku, lelaki laknat!” teriakku dengan tubuh yang terus memberontak agar bisa terlepas dari cengkeramannya. Namun, cekalan tangan mas Haris sangat kuat. Hingga sia-sia saja diri ini berontak.Aku terus memaki mas Haris, berharap kalau dia kesal dan melepaskan cekalan tangannya untuk memukulku. Sehingga dengan begitu aku bisa berlari keluar kamar yang pintunya tak ditutup oleh mas Haris. Mungkin dia sengaja tak menutup karena di rumah tak ada orang, atau mungkin dia tak sempat menutup karena fokus menyeret tubuh ini ke kamar orang tuaku.Seringai mas Haris muncul dari bibirnya ketika aku menyebutnya ‘lelaki laknat’ barusan. Dia sama sekali tak marah dengan sebutan kasar yang terlontar untuknya. Dia terus menyeretku dan menghempaskan tubuhku di atas kasur. Seringai mas Haris bertambah lebar ketika melihat rok yang aku pakai tersingkap, dan m
Kini aku sudah berada di dalam mobil mantan suamiku menuju ke kantor polisi, dengan didampingi oleh papa dan mas Haikal. Aku duduk di kursi penumpang depan, di samping mas Haikal yang fokus mengemudikan mobilnya.“Manda, sepertinya kamu harus ganti pengacara deh. Aku akan menghubungi pak Irwan-pengacaraku, untuk mendampingi kamu di kasusnya dokter Bambang. Kalau kamu setuju, aku akan telepon sekarang biar dia datang ke kantor polisi. Sekaligus mendampingi kamu yang pastinya akan menuntut pengacara kurang ajar itu,” ucap mas Haikal.“Iya, Mas. Aku setuju saja. Karena aku memang berniat untuk mencari pengacara lain sebagai gantinya si Haris itu. Soalnya hari Kamis ini, sidang dokter Bambang akan digelar. Itu juga alasan dia datang ke rumah tadi,” sahutku bersemangat ketika mengetahui kalau mas Haikal akan menyiapkan pengacara untukku.“Oh, hari Kamis ini rupanya. Ok, aku akan telepon pak Irwan sekarang.” Mas Haikal lalu meraih ponselnya yang dia letakkan di persneling mobilnya. Kemudian
Seto yang tak ingin keadaan menjadi memanas, lantas tampil sebagai penengah.“Irene, Papa rasa yang diucapkan Pasya itu benar. Kamu sabar dulu untuk sementara waktu. Video call adalah cara yang tepat. Tapi, kamu juga harus rutin mengunjungi Ayesha, dan pelan-pelan mendekatinya. Nanti juga lama-lama dia akan luluh sama kamu,” ucap Seto lembut. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Pasya. “Kamu nggak masalah kan kalau Irene nantinya akan rutin datang kemari untuk menemui Ayesha?”“Tentu saya nggak akan keberatan. Irene adalah ibu kandungnya Ayesha, Pak. Saya nggak mungkin memisahkan Ayesha dan ibu kandungnya. Jadi silakan Irene datang kapan pun dia mau. Hanya satu pesan saya, jangan memaksakan kehendak yang bikin Ayesha nggak nyaman. Itu saja sih permintaan saya, dan saya berharap kalau Irene bisa mengerti,” sahut Pasya.Seto lalu kembali menatap anaknya seraya berkata, “Ren, itu Pasya sudah bilang kalau dia sama sekali nggak keberatan, kalau kamu rutin datang kemari. Jadi solusinya begi
Tak lama, Saskia datang sambil menggendong Ayesha. Dia tampak sedang mengajak bercanda Ayesha sambil berjalan menuju sofa tempat Irene duduk.“Nah, ini ada mama, Sayang. Yesha sekarang dipangku sama mama, ya,” ucap Saskia dengan suara lembut.Ayesha yang sebelumnya tertawa, tiba-tiba merengek ketika Saskia meletakkannya di atas pangkuan Irene. Dia juga berpegangan pada blus Saskia, kode kalau dia tak ingin dilepaskan dari pelukan Saskia.“Ayesha, Sayang. Ini Mama, Nak. Mama kangen sama kamu. Semenjak kamu lahir, Mama belum peluk kamu,” ucap Irene lirih dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca, karena sedih mendapat penolakan dari anak kandungnya sendiri.Pasya yang melihat itu pun jadi tak tega. Dia membantu membujuk Ayesha.“Yesha...ayo, mau ya dipangku sama mama. Nanti mimik susu lagi sama mama,” ucap Pasya, yang membuat Saskia serta Irene kompak menoleh padanya.‘Mas Pasya kenapa ngomongnya soal menyusu sih? Apa memang itu yang sekarang ada di kepalanya. Mentang-mentang Irene
Saskia lalu beringsut menjauhi suaminya dengan wajah tertekuk. Dia mendadak diam seribu bahasa.Pasya yang mengetahui perubahan sang istri, lantas tersenyum dan meraih tangan Saskia.“Cemburu?” tanya Pasya dengan tatapan menggoda.Hening.Saskia sepertinya malas memberi tanggapan. Dia malah sibuk merapatkan selimut di tubuh Ayesha, yang terbaring di sebelahnya duduk.“Irene sudah pulih dari koma, Kia. Dia menanyakan tentang bayinya. Tadi papanya telepon saat kita masih di bandara. Kamu sedang sibuk sendiri dengan Ayesha, makanya nggak tahu kalau aku menerima telepon dari mantan mertua,” jelas Pasya dengan nada lembut.Saskia sontak menatap sang suami. “Irene mau mengambil Ayesha ya, Mas?”Pasya mengangguk seraya berkata, “Iya, Sayang. Dia kan ibunya. Dia juga taruhan nyawa saat melahirkan Ayesha. Lagi pula aku dan Irene sudah berkomitmen untuk mengasuh anak kami, meski di tempat yang berbeda.”Saskia tampak muram. Meskipun dia hanya sebatas ibu sambung, namun dia sangat menyayangi Aye
“Pa, kok diam saja?” tanya Irene lagi dengan nada mendesak.“Eh, kamu kan masih harus banyak istirahat, Ren. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya, ya,” sahut Seto sedikit gugup. Membuat Irene curiga.“Pa, Ma, sebenarnya ini ada apa sih? Kok aku merasa kalau Mama dan Papa sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ngomong saja sih terus terang. Ada apa?” desak Irene dengan wajah memelas.Seto dan Diah saling tatap. Mereka seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata. Hingga akhirnya Diah menganggukkan kepalanya pada sang suami.“Ren, kamu kan baru saja pulih dari koma. Lebih baik nanti saja Papa beritahunya. Papa khawatir kalau nanti kamu...” Seto menghentikan kata-katanya ketika Irene menyela ucapannya.“Ini ada hubungannya dengan Ayesha dan Mas Pasya? Kalau iya, nggak apa katakan saja sekarang. Aku merasa sudah lebih baik kok sekarang, Pa,” ucap Irene yakin.“Ya sudah, kamu kasih tahu saja sekarang, Mas,” timpal Diah.Seto mengangguk. Dia lalu menatap wajah cantik Irene yang terliha
Kini kedua bola mata Irene mulai membuka secara perlahan. Tatapan wanita itu menyisir ke sekitarnya.“Selamat malam, Bu Irene,” sapa dokter dengan suara perlahan. Pria itu memperhatikan setiap respons pasiennya, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan Irene.“Ma-malam,” sahut Irene lirih dan terbata.“Ibu baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama empat bulan lamanya. Selamat datang, Bu Irene. Semoga kondisi Ibu semakin membaik,” ucap dokter dengan senyuman.“S-saya ta-tak s-sadar kan di-ri s-selama em-pat bu-lan?” sahut Irene masih dengan suara terbata-bata.“Iya dan alhamdulillah, sekarang Ibu sudah melewati masa kritis. Tapi, setelah ini tolong jangan banyak bicara dulu. Ibu istirahat dulu yang cukup supaya kesehatannya lekas pulih,” ucap dokter, yang diangguki oleh Irene.Setelah selesai memeriksa Irene, dokter lalu mengalihkan tatapan pada suster. “Sus, satu jam lagi kalau nggak ada keluhan dari pasien, silakan pasiennya dipindahkan ke ruang perawatan. Masa kritisnya sud
Empat bulan berlalu, kini saatnya pernikahan Pasya dan Saskia digelar. Acara akad nikah dilangsungkan di kediaman orang tua Saskia. Sedangkan resepsinya nanti akan dirayakan di salah satu hotel berbintang lima.Saskia tampil cantik dan anggun dengan kebaya putih dan kain jarik coklat tua. Wajah Saskia dipoles dengan riasan yang natural, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.Sedangkan Pasya sendiri tampil gagah dengan setelan jas warna hitam dan kemeja putih, lengkap lengan peci hitamnya. Pasya juga sudah menyiapkan mahar berupa satu set perhiasan emas berhiaskan berlian. Meski ini bukan yang pertama, tapi tetap saja Pasya merasa gugup. Hal itu diketahui Haikal.Haikal berpindah duduknya di sebelah anak sulungnya. Mumpung Saskia belum tiba di ruangan itu. Begitu menurut pemikiran Haikal.“Sya, tenang saja kenapa sih. Jangan gugup begitu! Kayak yang baru pertama kali saja,” bisik Haikal.Pasya menghela napas panjang dan melirik pada papanya. “Namanya pengantin, mau pertama kali atau ke
Pasya masih berada di ruang keluarga menemani Amanda, ketika sebuah suara membuatnya tertegun dan menoleh ke arah sumber suara itu.“Assalamualaikum.”“Wa’ alaikumsalam,” sahut Amanda dan Pasya secara bersamaan.“Wah, tamu jauh ini yang datang. Sini duduk, Kia,” sapa Amanda dengan senyum mengembang di bibirnya.“Apa kabar, Tante? Ini aku bawain kado untuk Ayesha. Semoga suka.” Saskia berkata sambil meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja. Setelahnya, dia mengecup pipi Amanda karena tangan wanita paruh baya itu sedang memegang botol susu.“Yesha, ada Tante Kia datang. Dia bawa kado untuk kamu tuh,” bisik Amanda pada cucunya yang sedang asyik menyusu.Ayesha seketika menghentikan aktivitasnya menyusu, dan sontak menoleh ke arah Saskia yang kini sudah duduk di sebelah Amanda. Bayi itu seolah tahu kalau wanita yang ada di sebelah neneknya, adalah wanita yang sedang dekat dengan papanya. Setelah itu, Ayesha kembali lagi menyusu.“Kamu tadi berhenti menyusu sebentar karena mau men
Amanda yang dari tadi diam, kini merasa kesal juga dengan ucapan mantan besannya. Dia menatap Diah seraya berkata, “Bu, tolong jangan begitu. Pasya ini kan orang tuanya Ayesha. Ada mantan istri dan mantan suami. Tapi, nggak ada mantan anak dan mantan orang tua. Sekarang kondisi Irene sedang tak memungkinkan untuk mengasuh anak. Jadi sudah seharusnya Pasya mengambil alih. Apa salah seorang ayah mengasuh anaknya? Saya rasa nggak juga, Bu. Apalagi Ibu dan Bapak pernah datang ke rumah kami, untuk sekedar memberitahu kalau Irene hamil anaknya Pasya. Nah, sekarang kenapa dipersulit saat Pasya hendak mengasuh anaknya?”Hening. Tak ada sepatah kata lagi yang terucap dari bibir Diah maupun Seto. Hanya hembusan napas kasar yang terdengar dari mulut keduanya.Akhirnya Seto mengeluarkan kata setelah sesaat terdiam.“Tapi, Pasya kan nggak setiap waktu ada di samping...siapa tadi nama cucuku?” ucap Seto dengan tatapan pada Amanda serta Pasya secara bergantian.“Ayesha,” sahut Pasya.“Iya, Ayesha. P
Pasya dan kedua orang tuanya kini berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tujuan mereka pertama kali adalah ke ruang bayi, di mana bayi Pasya berada.“Mama sudah nggak sabar mau melihat cucu Mama, Sya,” ucap Amanda dengan senyuman ketika di jarak beberapa meter dari posisi mereka saat ini, sudah terlihat ruangan bayi.“Iya, tapi Mama untuk sementara ini hanya bisa melihat Ayesha dari balik kaca saja. Bantu doanya ya, Ma, supaya bayiku bisa segera keluar dari inkubator. Jadi kita bisa menggendongnya nanti,” sahut Pasya, yang diangguki oleh Amanda.“Tentu dong, Sayang. Kamu nggak minta pun, Mama sudah pasti akan mendoakan cucu Mama,” sahut Amanda masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.Tak lama, langkah mereka terhenti di depan ruang bayi. Amanda dan Haikal yang ingin melihat cucu mereka, segera menghampiri suster jaga.“Sus, kami ingin melihat cucu kami yang baru lahir kemarin, boleh kan?” ucap Amanda dengan nada suara memohon.Suster itu terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya