Aku baru saja selesai salat isya, ketika ponselku berdering. Aku buru-buru meraih benda pipih itu, agar bunyinya yang nyaring tak membangunkan Pasya yang sudah tidur pulas. Hatiku berdesir ketika melihat nama mantan suamiku terpampang di layar ponsel. Tak mau menunggu lama, aku angkat panggilan telepon tersebut.“Assalamualaikum. Halo, Mas,” sapaku.“Wa’ alaikumsalam. Hai, Manda. Sedang apa? Sibuk, ya? Pasya sudah tidur belum?” sahutnya yang membuatku mengulum senyuman, karena mas Haikal langsung memberondong dengan berbagai pertanyaan.“Aku baru saja selesai salat isya, Mas. Sedang Pasya, sudah tidur dari selepas magrib. Tidur siangnya cuma sebentar soalnya. Makanya cepat mengantuk. Biasanya kalau tidur siangnya cukup, dia tidur di atas jam tujuh malam. Kamu sendiri sudah salat isya belum, Mas?” ucapku. Aku tiba-tiba menutup bibirku dengan telapak tangan kanan karena baru menyadari, kalau aku terkesan perhatian pada mas Haikal dengan pertanyaanku tadi. Aku pun merutuki diri ini dalam
Aku akhirnya menerima ajakan makan malam mas Haikal. Kami sudah membuat janji bahwa malam ini mas Haikal akan menjemputku pukul tujuh malam. Aku berniat akan bersiap diri setelah mengeloni Pasya, karena anakku itu sudah mengantuk selepas magrib. Aku kecup kening Pasya sebelum aku turun dari tempat tidur.“Tidur yang anteng ya, Sayang. Mama sama papa mau makan malam dulu sebentar. Pasya nanti ditemani sama nenek, ya. Selesai makan malam, mama dan papa akan segera pulang kok,” gumamku seorang diri.Setelah kupastikan bahwa anakku sudah tertidur pulas, aku bergegas turun dari tempat tidur dan langsung berdandan. Malam ini aku sengaja akan mengenakan pakaian yang pernah mas Haikal beli untukku, saat kami masih menjadi pasangan suami istri. Sebuah gaun berlengan pendek dengan panjang selutut berwarna merah marun, dan berkerah turtle neck. Mas Haikal pernah mengatakan, dia membeli gaun yang berkerah turtle neck karena sangat cocok dengan leherku yang jenjang. Aku pakai juga kalung emas berl
Usai makan malam, mas Haikal mengajakku ke suatu tempat. Dia mengajakku ke pantai, karena kebetulan restoran tempat kami makan malam berada di dekat pantai. Mas Haikal mengajakku berjalan menyusuri tepian pantai. Sepatunya dan high heels milikku, kami taruh di dalam mobil. Kami berjalan dari area parkiran mobil menuju pantai tanpa alas kaki. Kami berlari kecil menuju tepi pantai sambil tertawa, layaknya seorang remaja yang sedang berkencan untuk pertama kalinya.“Terima kasih, Manda,” ucap mas Haikal ketika kami sedang berjalan di tepi pantai.“Untuk?” tanyaku yang spontan menghentikan langkah.“Telah bersedia makan malam denganku, dan menemaniku jalan-jalan di tepi pantai,” sahut mas Haikal dengan tangannya yang terulur dan kemudian menggenggam jemariku. Aku sendiri seperti terhipnotis, karena aku sama sekali tak berusaha untuk menepis tangannya. Ada gelenyar aneh di hatiku, ketika tiba-tiba mas Haikal mengangkat tanganku dan mengecup punggung tanganku dengan lembut.“Amanda, terimal
“Tolong!” teriakku sekencang-kencangnya dengan harapan ada yang mendengar dan memberi pertolongan padaku.“Diam, Amanda!” sentak mas Haris.“Lepaskan Aku, lelaki laknat!” teriakku dengan tubuh yang terus memberontak agar bisa terlepas dari cengkeramannya. Namun, cekalan tangan mas Haris sangat kuat. Hingga sia-sia saja diri ini berontak.Aku terus memaki mas Haris, berharap kalau dia kesal dan melepaskan cekalan tangannya untuk memukulku. Sehingga dengan begitu aku bisa berlari keluar kamar yang pintunya tak ditutup oleh mas Haris. Mungkin dia sengaja tak menutup karena di rumah tak ada orang, atau mungkin dia tak sempat menutup karena fokus menyeret tubuh ini ke kamar orang tuaku.Seringai mas Haris muncul dari bibirnya ketika aku menyebutnya ‘lelaki laknat’ barusan. Dia sama sekali tak marah dengan sebutan kasar yang terlontar untuknya. Dia terus menyeretku dan menghempaskan tubuhku di atas kasur. Seringai mas Haris bertambah lebar ketika melihat rok yang aku pakai tersingkap, dan m
Kini aku sudah berada di dalam mobil mantan suamiku menuju ke kantor polisi, dengan didampingi oleh papa dan mas Haikal. Aku duduk di kursi penumpang depan, di samping mas Haikal yang fokus mengemudikan mobilnya.“Manda, sepertinya kamu harus ganti pengacara deh. Aku akan menghubungi pak Irwan-pengacaraku, untuk mendampingi kamu di kasusnya dokter Bambang. Kalau kamu setuju, aku akan telepon sekarang biar dia datang ke kantor polisi. Sekaligus mendampingi kamu yang pastinya akan menuntut pengacara kurang ajar itu,” ucap mas Haikal.“Iya, Mas. Aku setuju saja. Karena aku memang berniat untuk mencari pengacara lain sebagai gantinya si Haris itu. Soalnya hari Kamis ini, sidang dokter Bambang akan digelar. Itu juga alasan dia datang ke rumah tadi,” sahutku bersemangat ketika mengetahui kalau mas Haikal akan menyiapkan pengacara untukku.“Oh, hari Kamis ini rupanya. Ok, aku akan telepon pak Irwan sekarang.” Mas Haikal lalu meraih ponselnya yang dia letakkan di persneling mobilnya. Kemudian
Setibanya di ruang sidang, kami berlima menempati kursi di deretan paling depan. Sedangkan dokter Bambang sudah duduk di kursi terdakwa. Di sebelah kiri, jaksa penuntut umum sudah siap membacakan tuntutannya. Sedangkan di sebelah kanan, telah siap pengacara dokter Bambang. Tak lama sidang pun dimulai setelah majelis hakim tiba di ruang sidang.Jaksa penuntut umum pun membacakan tuntutan pada dokter Bambang, yang didakwa karena memberikan diagnosa palsu padaku. Cukup lama juga pembacaan tuntutan itu, hingga akhirnya selesai juga satu jam kemudian. Kemudian mulailah hakim ketua mengajukan beberapa pertanyaan pada dokter Bambang.“Saudara terdakwa, apakah Anda keberatan dengan tuntutan yang dibacakan oleh saudara jaksa penuntut umum tadi?” tanya pak hakim.Dokter Bambang tak langsung menjawab. Dia menundukkan kepalanya untuk sesaat. Hingga akhirnya dia mengangkat kepalanya dan menatap pada hakim ketua.“Tidak Yang Mulia. Saya sama sekali tidak keberatan,” sahut dokter Bambang lirih.Ruan
Ucapan mas Haikal tentu saja membuat ruang sidang seketika seperti ada beribu-ribu serangga, karena pengunjung sidang saling berbisik satu sama lain. Hal itu membuat hakim ketua memberi peringatan keras pada mas Haikal agar tak bicara lagi, atau keluar dari ruang sidang.Aku pun berusaha menenangkan mas Haikal. Kutarik lengannya untuk kembali duduk.“Sabar, Mas. Kita dengarkan saja pengakuan dia. Biar hakim yang akan memberi dia hukuman,” bisikku.“Sorry, Manda. Aku tadi sangat emosi. Dua kali dia membodohi aku. Dia yang makan nangka, tapi aku yang kena getahnya. Dia dan Meta memang pasangan yang serasi. Sama-sama licik,” desis mas Haikal.“Sudahlah, kita ambil hikmah dari kejadian ini. Toh dia juga sebenarnya sudah hancur. Baik rumah tangganya maupun pekerjaannya. Semua sudah di ujung tanduk. Dia sudah menabur, dan sebentar lagi dia akan menuai. Atau mungkin sekarang dia sudah menuai hasil dari perbuatannya,” bisikku lagi.Mas Haikal menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan
Aku dengan dibantu pak Ujang serta beberapa orang yang melintas, mengangkat tubuh mas Haikal ke dalam mobil. Aku meminta pak Ujang untuk segera membawa kami ke rumah sakit terdekat.Pak Ujang mengemudikan mobil dengan kecepatan agak tinggi, agar segera tiba di rumah sakit.“Tahan ya, Mas. Sebentar lagi kita tiba di rumah sakit.” Aku berucap sambil memeluk erat tubuh mas Haikal. Kugigit bibir bawahku, menahan tangis.Mas Haikal menganggukkan kepalanya. Tangannya terus memegang pinggangnya yang telah aku beri sapu tangan, untuk menahan agar darah tak banyak keluar.Tak lama, mobil pun tiba di rumah sakit terdekat dan berhenti di depan UGD. Petugas medis segera memberi bantuan dengan membawa brankar, dan merebahkan tubuh mas Haikal di sana. Kemudian membawa mas Haikal ke ruang pemeriksaan. Setelah beberapa menit menunggu, dokter datang menemuiku.“Ibu, luka pasien cukup parah. Kami memutuskan segera melakukan tindakan operasi untuk menutup luka tersebut,” ucap dokter yang langsung aku se