Kini aku sudah berada di dalam mobil mantan suamiku menuju ke kantor polisi, dengan didampingi oleh papa dan mas Haikal. Aku duduk di kursi penumpang depan, di samping mas Haikal yang fokus mengemudikan mobilnya.“Manda, sepertinya kamu harus ganti pengacara deh. Aku akan menghubungi pak Irwan-pengacaraku, untuk mendampingi kamu di kasusnya dokter Bambang. Kalau kamu setuju, aku akan telepon sekarang biar dia datang ke kantor polisi. Sekaligus mendampingi kamu yang pastinya akan menuntut pengacara kurang ajar itu,” ucap mas Haikal.“Iya, Mas. Aku setuju saja. Karena aku memang berniat untuk mencari pengacara lain sebagai gantinya si Haris itu. Soalnya hari Kamis ini, sidang dokter Bambang akan digelar. Itu juga alasan dia datang ke rumah tadi,” sahutku bersemangat ketika mengetahui kalau mas Haikal akan menyiapkan pengacara untukku.“Oh, hari Kamis ini rupanya. Ok, aku akan telepon pak Irwan sekarang.” Mas Haikal lalu meraih ponselnya yang dia letakkan di persneling mobilnya. Kemudian
Setibanya di ruang sidang, kami berlima menempati kursi di deretan paling depan. Sedangkan dokter Bambang sudah duduk di kursi terdakwa. Di sebelah kiri, jaksa penuntut umum sudah siap membacakan tuntutannya. Sedangkan di sebelah kanan, telah siap pengacara dokter Bambang. Tak lama sidang pun dimulai setelah majelis hakim tiba di ruang sidang.Jaksa penuntut umum pun membacakan tuntutan pada dokter Bambang, yang didakwa karena memberikan diagnosa palsu padaku. Cukup lama juga pembacaan tuntutan itu, hingga akhirnya selesai juga satu jam kemudian. Kemudian mulailah hakim ketua mengajukan beberapa pertanyaan pada dokter Bambang.“Saudara terdakwa, apakah Anda keberatan dengan tuntutan yang dibacakan oleh saudara jaksa penuntut umum tadi?” tanya pak hakim.Dokter Bambang tak langsung menjawab. Dia menundukkan kepalanya untuk sesaat. Hingga akhirnya dia mengangkat kepalanya dan menatap pada hakim ketua.“Tidak Yang Mulia. Saya sama sekali tidak keberatan,” sahut dokter Bambang lirih.Ruan
Ucapan mas Haikal tentu saja membuat ruang sidang seketika seperti ada beribu-ribu serangga, karena pengunjung sidang saling berbisik satu sama lain. Hal itu membuat hakim ketua memberi peringatan keras pada mas Haikal agar tak bicara lagi, atau keluar dari ruang sidang.Aku pun berusaha menenangkan mas Haikal. Kutarik lengannya untuk kembali duduk.“Sabar, Mas. Kita dengarkan saja pengakuan dia. Biar hakim yang akan memberi dia hukuman,” bisikku.“Sorry, Manda. Aku tadi sangat emosi. Dua kali dia membodohi aku. Dia yang makan nangka, tapi aku yang kena getahnya. Dia dan Meta memang pasangan yang serasi. Sama-sama licik,” desis mas Haikal.“Sudahlah, kita ambil hikmah dari kejadian ini. Toh dia juga sebenarnya sudah hancur. Baik rumah tangganya maupun pekerjaannya. Semua sudah di ujung tanduk. Dia sudah menabur, dan sebentar lagi dia akan menuai. Atau mungkin sekarang dia sudah menuai hasil dari perbuatannya,” bisikku lagi.Mas Haikal menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan
Aku dengan dibantu pak Ujang serta beberapa orang yang melintas, mengangkat tubuh mas Haikal ke dalam mobil. Aku meminta pak Ujang untuk segera membawa kami ke rumah sakit terdekat.Pak Ujang mengemudikan mobil dengan kecepatan agak tinggi, agar segera tiba di rumah sakit.“Tahan ya, Mas. Sebentar lagi kita tiba di rumah sakit.” Aku berucap sambil memeluk erat tubuh mas Haikal. Kugigit bibir bawahku, menahan tangis.Mas Haikal menganggukkan kepalanya. Tangannya terus memegang pinggangnya yang telah aku beri sapu tangan, untuk menahan agar darah tak banyak keluar.Tak lama, mobil pun tiba di rumah sakit terdekat dan berhenti di depan UGD. Petugas medis segera memberi bantuan dengan membawa brankar, dan merebahkan tubuh mas Haikal di sana. Kemudian membawa mas Haikal ke ruang pemeriksaan. Setelah beberapa menit menunggu, dokter datang menemuiku.“Ibu, luka pasien cukup parah. Kami memutuskan segera melakukan tindakan operasi untuk menutup luka tersebut,” ucap dokter yang langsung aku se
“Ibu tenang saja, ya. Nanti aku akan bicarakan hal ini dengan pak Irwan dan ayah. Sekarang kita ikuti mereka dan bicara di ruang rawat inap sambil menunggu mas Haikal siuman,” kataku yang diangguki oleh ibu mas Haikal.Kami lalu melanjutkan langkah menuju ruang rawat yang sudah aku pesan untuk mas Haikal. Di ambang pintu, ayah mas Haikal menunggu kami.“Kenapa kalian tadi berhenti? Apa ada masalah?” tanya ayah mas Haikal dengan kening yang berkerut.“Kita bicara di dalam saja ya, Ayah,” kataku yang membuat ayah mas Haikal menganggukkan kepala.Kami bertiga masuk ke dalam ruang rawat. Di sana mas Haikal sedang dipindahkan ke ranjang perawatan oleh dua orang suster dengan bantuan pak Irwan. Setelah urusan mas Haikal beres, dua orang suster itu menghampiriku.“Bu, suami Ibu sudah kami pindahkan ke ranjang perawatan. Tinggal menunggu siuman dari pengaruh anestesi. Kami permisi dulu,” ucap salah seorang suster, yang membuat hatiku berdesir karena suster itu mengucapkan kata suami di depan
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Membuat mas Haikal mengerucutkan bibirnya, seperti Pasya kalau sedang merajuk.“Belum saatnya kalau cium bibir, Mas. Untuk sementara waktu aku mencium kening dan pipi kamu saja. Selebihnya nanti kalau kita sudah rujuk dan sah kembali sebagai pasangan suami istri, ok,” ucapku dengan senyuman.“Ck, sebentar saja kenapa sih. Kamu juga tadi yang memancing aku. Gilirannya aku minta cium bibir langsung ditolak. Kamu sengaja ya kerjai aku tadi, Manda?” katanya yang membuat aku tertawa geli karena merajuk seperti anak kecil.“Bukan, Mas. Aku nggak kerjai kamu tadi. Kalau yang tadi itu refleks saja aku lakukan, sebagai wujud rasa senang karena kondisi kamu cukup baik,” sahutku masih dengan tawa yang mengembang.“Alasan.” Mas Haikal berkata sambil mencebikkan bibirnya dan wajahnya yang tertekuk.“Sabar kenapa sih, Mas. Nggak sabar amat sih kamu ini. Nanti kalau kita sudah resmi jadi suami istri lagi, jangankan bibir yang aku berikan. Semuanya akan aku
“Coba kamu angkat saja, Bu. Biar kita tahu apa maksud Retno telepon kamu. Aktifkan loud speakernya supaya kita semua bisa dengar,” ucap ayah mas Haikal.Ibu mas Haikal pun mengangguk dan menerima panggilan telepon dari wanita bernama Retno, yang merupakan saudara jauhnya. Tak lupa pula mantan ibu mertuaku itu mengaktifkan loud speaker seperti saran suaminya.“Halo, Ret,” sapa ibu mas Haikal dengan suara bergetar. Aku tahu kalau beliau berusaha tenang. Bagaimanapun juga pastilah beliau marah karena anaknya dilukai oleh Melvin, dan ditipu oleh Meta.“Halo, Mbak Sawitri. Aku telepon mau minta maaf atas tindakan Melvin. Kami sekeluarga mau berdamai, Mbak,” sahut bu Retno dengan disertai isak tangis. Membuat kami semua menghela napas panjang.Mantan ibu mertuaku itu hanya diam. Beliau menatap suaminya, seolah minta pendapat darinya. Seketika mantan ayah mertuaku itu menatap mas Haikal yang terbaring lemah di atas ranjang perawatan. Tak lama, beliau mengulurkan tangannya ke arah istrinya se
Ibu mas Haikal lalu memperlihatkan pesan tersebut pada suaminya dan padaku secara bergantian.Ayah mas Haikal bergeming ketika membaca pesan tersebut. Pria paruh baya itu tak memberikan reaksi apa pun. Beliau justru asyik bermain dengan cucunya.“Coba aku lihat pesannya itu,” pinta mas Haikal tiba-tiba. Dia dari tadi hanya bisa melihat ekspresi kami dari atas ranjang perawatan.Ibu mas Haikal memberikan ponselnya padaku, agar aku menyerahkannya pada mas Haikal.“Ini, Mas,” kataku setelah ponsel tersebut ada di tanganku.Mas Haikal menatap kedua video itu satu persatu. Berulang kali aku melihat dirinya menarik napas panjang, setelah melihat video tersebut. Begitu juga setelah dirinya membaca pesan dari bu Retno.“Aku sudah memaafkan mereka, tapi proses hukum terhadap Melvin harus tetap berjalan. Tolong sampaikan itu pada ibu Retno ya, Bu. Oh iya, rumah yang sebelumnya aku tempati bersama Meta, aku serahkan untuk Meta sebagai harta gono gini. Jadi silakan saja kalau mau ditempati atau d