Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Membuat mas Haikal mengerucutkan bibirnya, seperti Pasya kalau sedang merajuk.“Belum saatnya kalau cium bibir, Mas. Untuk sementara waktu aku mencium kening dan pipi kamu saja. Selebihnya nanti kalau kita sudah rujuk dan sah kembali sebagai pasangan suami istri, ok,” ucapku dengan senyuman.“Ck, sebentar saja kenapa sih. Kamu juga tadi yang memancing aku. Gilirannya aku minta cium bibir langsung ditolak. Kamu sengaja ya kerjai aku tadi, Manda?” katanya yang membuat aku tertawa geli karena merajuk seperti anak kecil.“Bukan, Mas. Aku nggak kerjai kamu tadi. Kalau yang tadi itu refleks saja aku lakukan, sebagai wujud rasa senang karena kondisi kamu cukup baik,” sahutku masih dengan tawa yang mengembang.“Alasan.” Mas Haikal berkata sambil mencebikkan bibirnya dan wajahnya yang tertekuk.“Sabar kenapa sih, Mas. Nggak sabar amat sih kamu ini. Nanti kalau kita sudah resmi jadi suami istri lagi, jangankan bibir yang aku berikan. Semuanya akan aku
“Coba kamu angkat saja, Bu. Biar kita tahu apa maksud Retno telepon kamu. Aktifkan loud speakernya supaya kita semua bisa dengar,” ucap ayah mas Haikal.Ibu mas Haikal pun mengangguk dan menerima panggilan telepon dari wanita bernama Retno, yang merupakan saudara jauhnya. Tak lupa pula mantan ibu mertuaku itu mengaktifkan loud speaker seperti saran suaminya.“Halo, Ret,” sapa ibu mas Haikal dengan suara bergetar. Aku tahu kalau beliau berusaha tenang. Bagaimanapun juga pastilah beliau marah karena anaknya dilukai oleh Melvin, dan ditipu oleh Meta.“Halo, Mbak Sawitri. Aku telepon mau minta maaf atas tindakan Melvin. Kami sekeluarga mau berdamai, Mbak,” sahut bu Retno dengan disertai isak tangis. Membuat kami semua menghela napas panjang.Mantan ibu mertuaku itu hanya diam. Beliau menatap suaminya, seolah minta pendapat darinya. Seketika mantan ayah mertuaku itu menatap mas Haikal yang terbaring lemah di atas ranjang perawatan. Tak lama, beliau mengulurkan tangannya ke arah istrinya se
Ibu mas Haikal lalu memperlihatkan pesan tersebut pada suaminya dan padaku secara bergantian.Ayah mas Haikal bergeming ketika membaca pesan tersebut. Pria paruh baya itu tak memberikan reaksi apa pun. Beliau justru asyik bermain dengan cucunya.“Coba aku lihat pesannya itu,” pinta mas Haikal tiba-tiba. Dia dari tadi hanya bisa melihat ekspresi kami dari atas ranjang perawatan.Ibu mas Haikal memberikan ponselnya padaku, agar aku menyerahkannya pada mas Haikal.“Ini, Mas,” kataku setelah ponsel tersebut ada di tanganku.Mas Haikal menatap kedua video itu satu persatu. Berulang kali aku melihat dirinya menarik napas panjang, setelah melihat video tersebut. Begitu juga setelah dirinya membaca pesan dari bu Retno.“Aku sudah memaafkan mereka, tapi proses hukum terhadap Melvin harus tetap berjalan. Tolong sampaikan itu pada ibu Retno ya, Bu. Oh iya, rumah yang sebelumnya aku tempati bersama Meta, aku serahkan untuk Meta sebagai harta gono gini. Jadi silakan saja kalau mau ditempati atau d
Selesai sidang, Haris menghampiriku sebelum dia dibawa kembali ke penjara oleh petugas. Aku rupanya trauma juga dengan perlakukan Haris beberapa waktu yang lalu. Begitu dia mendekat, aku langsung merapat ke samping papa.“Jangan takut, Manda. Aku hanya ingin minta maaf padamu. Aku sangat menyesal telah berlaku bodoh. Aku khilaf dan...cemburu juga saat itu karena mendengar kamu akan rujuk dengan mantan suami. Mohon maafkan aku. Ini permohonan maafku dari lubuk hatiku yang paling dalam. Nggak ada niatan apa-apa. Aku tahu nggak akan bisa lepas dari jerat hukum. Semua bukti sudah lengkap, berikut saksinya. Aku nggak bisa mengelak lagi, bukan? Jadi aku minta maaf dengan tulus. Biar aku tenang saat menjalani masa hukuman,” ucapnya yang spontan aku angguki.“Iya, aku sudah maafkan,” sahutku cukup singkat saja karena ingin segera pergi dari ruangan itu. Jujur saja, berhadapan dengan Haris seperti memutar kembali rekaman kejadian beberapa waktu yang lalu. Aku bahkan sampai memegang kepalaku ya
Kedua orang tuaku datang ke ruang tengah setelah mendengar cucu mereka menangis. Mereka terkejut juga ketika melihat mas Haikal yang meringis menahan sakit, sambil memegang pinggang kirinya.“Haikal, Manda, ada apa?” tanya papa dan mama bersamaan.“Pasya saking senangnya bisa digendong papanya lagi, langsung heboh dan gerakannya itu menimbulkan nyeri di pinggang mas Haikal yang terluka itu,” sahutku.“Oh, begitu. Ya sudah, kita antar Haikal ke rumah sakit. Supaya diperiksa lukanya. Misal ada apa-apa, bisa langsung diobati,” ucap papa, yang kemudian melangkah menghampiri mas Haikal. “Ayo, Haikal!”“I-iya, Pa.” Mas Haikal dengan perlahan beranjak dari sofa, dengan dibantu oleh papa.“Kamu di rumah saja, Manda. Pasya mana mau kamu tinggal dalam keadaan menangis,” titah papaku.“Iya, Manda. Ada pak Ujang yang akan menyetir mobil kok. Jadi aku dan papa nggak akan repot. Jaga Pasya saja, ya,” timpal mas Haikal.Aku mengangguk seraya berkata, “Ok.”Aku dan mama mengantar mereka sampai di dep
Dua minggu kemudian.Aku menatap pantulan diriku di depan cermin ketika diri ini sedang dirias oleh make up artis. Aku mengenakan sanggul Jawa yang sudah dirajut dengan bunga melati. Make up wajahku yang tak mencolok, tapi terkesan elegan. Aku lirik kebaya putih gading yang diletakkan di atas kasur. Tak sadar kedua sudut bibirku terangkat membentuk sebuah senyuman. Mengingat kala pertama kali menjadi pengantin. Ah, aku sungguh tak menyangka kalau akan dua kali melaksanakan ijab kabul di depan penghulu dengan orang yang sama, Haikal Prayuda.Setelah berbagai macam peristiwa yang kami alami, akhirnya aku dan Mas Haikal kembali bersama menjadi pasangan suami istri. Tentu kali ini kehidupan rumah tangga kami nantinya akan lebih berwarna, karena ada Pasya di tengah-tengah kami. Bahkan Mas Haikal beberapa hari yang lalu sempat mengatakan, kalau dirinya ingin memberi Pasya seorang adik. Dia minta padaku agar tak mencegah kehamilan, meskipun usia Pasya saat ini masih satu setengah tahun. Aku
Wanita itu tersenyum padaku sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan diri ini. Aku yang tampak ragu akhirnya menerima uluran tangannya, karena tak etis rasanya mengabaikan seseorang yang ingin bersalaman. Sekalian aku meneliti dirinya yang aku perkirakan usianya sekitar sepuluh tahun di atasku.“Kenalkan, saya Winda. Mantan istrinya Haris,” sahutnya yang membuatku terkejut. Mau apa juga dia menemuiku di sini? Apa kebetulan? Andaikan dia ingin berbicara denganku mengenai Haris, buat apa juga? Toh aku sudah tak ada sangkut pautnya dengan Haris. Aku sekarang sudah ada yang memiliki, suamiku tercinta! Menyebut namanya, membuatku menoleh sekilas ke arah Mas Haikal yang sedang bercengkerama dengan Pasya di kursi tunggu.“Iya, Mbak Winda. Senang berkenalan dengan Mbak. Omong-omong, Mbak mau berobat juga di rumah sakit ini?” pancingku agar dia langsung mengatakan tujuannya menemuiku.“Oh, saya kerja di sini, Amanda. Saya bekerja sebagai salah satu perawat di rumah sakit ini. Saya
“Oh begitu, ya. Berarti sekarang Hesti itu sudah jadi istri resminya Haris dong. Soalnya Haris sudah resmi bercerai kan dengan Mbak Winda,” sahutku yang masih penasaran saja. Kulirik Mas Haikal yang tampaknya sudah kesal karena aku masih terus saja ngobrol.“Kalau soal itu saya nggak tahu. Setelah bercerai, saya sudah nggak peduli lagi dengan Haris. Saya hanya memikirkan anak saya saja. Itu lebih penting. Urusan Anisa jauh lebih penting dari pada urusan Haris dan Hesti, yang sudah membuat luka mendalam di hati saya. Tapi, saya pernah melihat di rumah sakit ini, Hesti menggendong seorang anak balita laki-laki. Itu saja sih yang saya tahu. Selebihnya saya nggak tahu dan nggak mau tahu,” sahutnya dengan mengangkat kedua bahu.Di saat aku sedang ngobrol dengan Winda, tiba-tiba saja Mas Haikal menghampiriku dan menepuk pelan pundakku.“Manda, kamu katanya mau periksa kehamilan. Ayo, kita ke Poli kandungan sekarang!”Aku sontak menoleh ke arahnya dan tersenyum canggung padanya. Tampak wajah