Wanita itu tersenyum padaku sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan diri ini. Aku yang tampak ragu akhirnya menerima uluran tangannya, karena tak etis rasanya mengabaikan seseorang yang ingin bersalaman. Sekalian aku meneliti dirinya yang aku perkirakan usianya sekitar sepuluh tahun di atasku.“Kenalkan, saya Winda. Mantan istrinya Haris,” sahutnya yang membuatku terkejut. Mau apa juga dia menemuiku di sini? Apa kebetulan? Andaikan dia ingin berbicara denganku mengenai Haris, buat apa juga? Toh aku sudah tak ada sangkut pautnya dengan Haris. Aku sekarang sudah ada yang memiliki, suamiku tercinta! Menyebut namanya, membuatku menoleh sekilas ke arah Mas Haikal yang sedang bercengkerama dengan Pasya di kursi tunggu.“Iya, Mbak Winda. Senang berkenalan dengan Mbak. Omong-omong, Mbak mau berobat juga di rumah sakit ini?” pancingku agar dia langsung mengatakan tujuannya menemuiku.“Oh, saya kerja di sini, Amanda. Saya bekerja sebagai salah satu perawat di rumah sakit ini. Saya
“Oh begitu, ya. Berarti sekarang Hesti itu sudah jadi istri resminya Haris dong. Soalnya Haris sudah resmi bercerai kan dengan Mbak Winda,” sahutku yang masih penasaran saja. Kulirik Mas Haikal yang tampaknya sudah kesal karena aku masih terus saja ngobrol.“Kalau soal itu saya nggak tahu. Setelah bercerai, saya sudah nggak peduli lagi dengan Haris. Saya hanya memikirkan anak saya saja. Itu lebih penting. Urusan Anisa jauh lebih penting dari pada urusan Haris dan Hesti, yang sudah membuat luka mendalam di hati saya. Tapi, saya pernah melihat di rumah sakit ini, Hesti menggendong seorang anak balita laki-laki. Itu saja sih yang saya tahu. Selebihnya saya nggak tahu dan nggak mau tahu,” sahutnya dengan mengangkat kedua bahu.Di saat aku sedang ngobrol dengan Winda, tiba-tiba saja Mas Haikal menghampiriku dan menepuk pelan pundakku.“Manda, kamu katanya mau periksa kehamilan. Ayo, kita ke Poli kandungan sekarang!”Aku sontak menoleh ke arahnya dan tersenyum canggung padanya. Tampak wajah
Aku sesekali melirik ke arah wanita itu. Meskipun aku berlagak tak peduli, namun tetap saja ada yang mengganjal di hati. Hingga akhirnya aku putuskan untuk memberitahu Mas Haikal tentang wanita berkacamata hitam itu.“Mas.”“Hm, ada apa?”“Coba Mas lihat deh wanita yang duduk di seberang kita, yang pakai kacamata hitam itu. Dia dari tadi melihat terus ke aku. Jadi merasa gimana gitu. Bukannya geer, tapi kok aneh saja aku dilihati orang terus menerus. Jadi kayak punya salah aku ini,” ucapku dengan suara pelan, khawatir kalau sampai terdengar oleh yang bersangkutan.Mas Haikal lalu menoleh ke arah meja wanita yang aku maksud. Begitu juga dengan diri ini, yang ikut menoleh ke arah meja wanita yang berkacamata hitam. Namun, alangkah terkejutnya aku ketika tak mendapati diri wanita itu di tempatnya duduk tadi. Aku sampai mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari sosok wanita itu.“Mana orangnya, Manda? Meja yang kamu maksud sudah kosong kok,” ucap Mas Haikal, yang membuatku mengeru
“Suruh dia masuk, Pak!”“Baik, Bu.”Aku menunggu Pak Imam datang bersama dengan wanita itu. Sesekali aku menoleh ke dalam rumah dan Mas Haikal sudah tak tampak. Dia sudah masuk ke dalam kamar Pasya rupanya. Aku akan mengirimkan pesan padanya agar dia tak mencariku, karena aku tak mengikutinya masuk ke dalam rumah.[Mas, aku masih di teras. Ada tamu.]Tak lama pesanku pun sudah terkirim dan segera dibaca oleh suamiku. Tak sampai satu detik, kuterima pesan balasan dari Mas Haikal.[Siapa tamunya? Aku menemani Pasya dulu. Kalau dia sudah anteng, aku akan turun menemani kamu.]Segera kubalas pesannya.[Ok.]Sengaja aku tak memberitahu perihal wanita yang datang ingin mencari pekerjaan di rumah ini. Aku malas membahasnya melalui pesan. Aku ingin membahasnya secara langsung.Setelah aku berkirim pesan pada suamiku, Pak Imam sudah berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Di sampingnya berdiri seorang wanita muda dengan tubuh tinggi semampai.“Bu Manda, ini tadi yang mau cari kerjaan di sini,” u
“Iya, tadi saat di menoleh, aku jadi kayak pernah lihat dia gitu. Cuma di mananya itu yang masih harus aku ingat. Sudahlah biar saja. Nanti aku coba mengingatnya lagi. Sekarang kita masuk, yuk! Mumpung Pasya lagi tidur, kita pacaran.” Mas Haikal berkata sambil menaik turunkan kedua alisnya, kode minta sesuatu padaku.“Ih, ini kan masih siang sih, Mas.”“Apa bedanya antara pagi, siang, sore dan malam? Sama saja kali, Sayang. Kita nikmati saja kebersamaan kita di setiap saat, ok,” rayunya yang membuat wajahku memanas. Mungkin kalau aku bercermin, akan terlihat rona merah menghiasi wajahku.“Gombal kamu ini, Mas.”Aku terkekeh sambil berjalan menuju kamar kami di lantai dua. Sedangkan Mas Haikal terus mengekor di belakangku. Setibanya di lantai dua, aku berbelok ke kamar Pasya untuk melihat anak sulungku yang kini tertidur pulas.“Benar kan yang aku bilang tadi kalau anak kita sudah anteng tidurnya. Sekarang gantian papanya dong yang minta dininabobokan sama mamanya Pasya,” ucap Mas Haik
Mas Haikal akhirnya melangkah menuju ke pintu gerbang, dan membuka pintunya. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang tanpa banyak bertanya.“Assalamualaikum, Haikal,” sapa wanita yang bernama Retno, dan berstatus sebagai tante suamiku sekaligus mantan mertuanya. Wanita itu kemudian melirikku tanpa berniat untuk menyapaku. Lirikan matanya pun cukup tajam dan sinis. Aku paham dengan sikapnya. Menurutnya, aku telah merebut Mas Haikal dari anaknya. Lucu sekali bukan? Maling teriak maling. Sebutan itu sepertinya cocok kusematkan untuknya.“Wa’ alaikumsalam, Tante Retno. Ayo, masuk!” ajak Mas Haikal yang disambut dengan senyuman oleh Bu Retno.Bu Retno lalu masuk ke halaman rumah, tapi tak lama dia menghentikan langkahnya seraya berkata pada suamiku, “Haikal, ini kenalkan Pak Santoso. Dia ini seorang notaris.”Mas Haikal tampak agak terkejut. Namun hanya sesaat, karena tak lama dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya serta menyalami pria yang dikenalkan oleh Bu Retno.“Ayo, kita masuk k
“Ada kamu kan, Mas. Jadi kalau Meta akan berbuat yang macam-macam, kamu bisa mencegahnya. Jadi bagaimana? Kapan kita menjenguk Meta?” ucapku dengan tatapan serius pada Mas Haikal.Mas Haikal bergeming. Dia sepertinya sedang menimbang apakah akan menuruti keinginanku atau tidak. Hingga terdengar deru mobil memasuki halaman rumah kami.Aku dan Mas Haikal sontak melangkah keluar rumah untuk melihat siapa yang datang. Rupanya kedua mertuaku yang datang.“Assalamualaikum.” Kedua mertuaku menyapa kami setelah mereka keluar dari dalam mobil.“Wa’ alaikumsalam,” sahutku dan Mas Haikal secara bersamaan.“Pasya ke mana? Lagi nonton TV, ya,” tebak ibu mertuaku setelah mencium pipi ini.“Pasya sudah tidur, Bu. Dia tadi tertidur saat masih di mobil.” Aku menjawab pertanyaan beliau setelah membalas mencium kedua pipinya bergantian.“Oh, habis pergi tadi ya kalian,” timpal ayah mertuaku.“Kami tadi habis dari rumah sakit, dan makan es krim di kedai yang tak jauh dari kompleks sini,” sahut Mas Haikal
Wanita itu segera mengambil alih anak down syndrome yang ada dalam pangkuan Tante Retno. Dia menggendong anak itu sambil menundukkan kepalanya. Tampak jelas kalau dia berusaha menghindari tatapanku.Aku lantas berbisik pada suamiku. “Mas, itu perempuan yang tadi datang ke rumah.”Kedua mata Mas Haikal melebar. “Oh, pantas aku sepertinya pernah melihat dia. Aku baru ingat, kalau pernah melihatnya saat Meta melahirkan Darel. Dia datang menjenguk Meta bersama dengan Tante Retno.”“Kamu kenal dia?” tanyaku semakin penasaran.“Nggak, saat itu aku baru melihatnya. Terus sekarang ini, adalah untuk kedua kalinya aku melihat dia,” bisik Mas Haikal.Aku menganggukkan kepala, dan kembali menatap wanita itu“Duduk di sini, Sis.” Tante Retno beranjak dari kursi dan melangkah mendekati Meta.Aku tatap wanita yang berusaha menghindar dari tatapanku. Wanita yang entah siapa namanya, karena Tante Retno memanggilnya dengan sebutan Sis. Sedangkan tadi saat di rumahku, dia memperkenalkan dirinya dengan n