“Iya, tadi saat di menoleh, aku jadi kayak pernah lihat dia gitu. Cuma di mananya itu yang masih harus aku ingat. Sudahlah biar saja. Nanti aku coba mengingatnya lagi. Sekarang kita masuk, yuk! Mumpung Pasya lagi tidur, kita pacaran.” Mas Haikal berkata sambil menaik turunkan kedua alisnya, kode minta sesuatu padaku.“Ih, ini kan masih siang sih, Mas.”“Apa bedanya antara pagi, siang, sore dan malam? Sama saja kali, Sayang. Kita nikmati saja kebersamaan kita di setiap saat, ok,” rayunya yang membuat wajahku memanas. Mungkin kalau aku bercermin, akan terlihat rona merah menghiasi wajahku.“Gombal kamu ini, Mas.”Aku terkekeh sambil berjalan menuju kamar kami di lantai dua. Sedangkan Mas Haikal terus mengekor di belakangku. Setibanya di lantai dua, aku berbelok ke kamar Pasya untuk melihat anak sulungku yang kini tertidur pulas.“Benar kan yang aku bilang tadi kalau anak kita sudah anteng tidurnya. Sekarang gantian papanya dong yang minta dininabobokan sama mamanya Pasya,” ucap Mas Haik
Mas Haikal akhirnya melangkah menuju ke pintu gerbang, dan membuka pintunya. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang tanpa banyak bertanya.“Assalamualaikum, Haikal,” sapa wanita yang bernama Retno, dan berstatus sebagai tante suamiku sekaligus mantan mertuanya. Wanita itu kemudian melirikku tanpa berniat untuk menyapaku. Lirikan matanya pun cukup tajam dan sinis. Aku paham dengan sikapnya. Menurutnya, aku telah merebut Mas Haikal dari anaknya. Lucu sekali bukan? Maling teriak maling. Sebutan itu sepertinya cocok kusematkan untuknya.“Wa’ alaikumsalam, Tante Retno. Ayo, masuk!” ajak Mas Haikal yang disambut dengan senyuman oleh Bu Retno.Bu Retno lalu masuk ke halaman rumah, tapi tak lama dia menghentikan langkahnya seraya berkata pada suamiku, “Haikal, ini kenalkan Pak Santoso. Dia ini seorang notaris.”Mas Haikal tampak agak terkejut. Namun hanya sesaat, karena tak lama dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya serta menyalami pria yang dikenalkan oleh Bu Retno.“Ayo, kita masuk k
“Ada kamu kan, Mas. Jadi kalau Meta akan berbuat yang macam-macam, kamu bisa mencegahnya. Jadi bagaimana? Kapan kita menjenguk Meta?” ucapku dengan tatapan serius pada Mas Haikal.Mas Haikal bergeming. Dia sepertinya sedang menimbang apakah akan menuruti keinginanku atau tidak. Hingga terdengar deru mobil memasuki halaman rumah kami.Aku dan Mas Haikal sontak melangkah keluar rumah untuk melihat siapa yang datang. Rupanya kedua mertuaku yang datang.“Assalamualaikum.” Kedua mertuaku menyapa kami setelah mereka keluar dari dalam mobil.“Wa’ alaikumsalam,” sahutku dan Mas Haikal secara bersamaan.“Pasya ke mana? Lagi nonton TV, ya,” tebak ibu mertuaku setelah mencium pipi ini.“Pasya sudah tidur, Bu. Dia tadi tertidur saat masih di mobil.” Aku menjawab pertanyaan beliau setelah membalas mencium kedua pipinya bergantian.“Oh, habis pergi tadi ya kalian,” timpal ayah mertuaku.“Kami tadi habis dari rumah sakit, dan makan es krim di kedai yang tak jauh dari kompleks sini,” sahut Mas Haikal
Wanita itu segera mengambil alih anak down syndrome yang ada dalam pangkuan Tante Retno. Dia menggendong anak itu sambil menundukkan kepalanya. Tampak jelas kalau dia berusaha menghindari tatapanku.Aku lantas berbisik pada suamiku. “Mas, itu perempuan yang tadi datang ke rumah.”Kedua mata Mas Haikal melebar. “Oh, pantas aku sepertinya pernah melihat dia. Aku baru ingat, kalau pernah melihatnya saat Meta melahirkan Darel. Dia datang menjenguk Meta bersama dengan Tante Retno.”“Kamu kenal dia?” tanyaku semakin penasaran.“Nggak, saat itu aku baru melihatnya. Terus sekarang ini, adalah untuk kedua kalinya aku melihat dia,” bisik Mas Haikal.Aku menganggukkan kepala, dan kembali menatap wanita itu“Duduk di sini, Sis.” Tante Retno beranjak dari kursi dan melangkah mendekati Meta.Aku tatap wanita yang berusaha menghindar dari tatapanku. Wanita yang entah siapa namanya, karena Tante Retno memanggilnya dengan sebutan Sis. Sedangkan tadi saat di rumahku, dia memperkenalkan dirinya dengan n
Aku tunggu beberapa saat hingga Siska mengaku. Tapi, dia tak kunjung bicara. Hanya punggungnya yang tampak bergetar pelan. Aku dekati dia, dan ternyata...Siska menangis!Aku jadi serba salah ini. Niat awal hanya ingin mencari tahu, tapi kenapa sekarang aku jadi membuat orang menangis?“Siska, aku tahu kalau kamu ini seorang perempuan yang baik. Jadi terus terang saja. Aku janji akan menyimpan rapat-rapat pengakuan kamu ini. Aku melihat kalau kamu sedang butuh uang. Aku bisa bantu,” ucapku yang sontak membuat tangisannya terhenti.Siska menghapus air matanya, dan membalikkan tubuhnya hingga posisi kami kini saling berhadapan. Nah, pancinganku ternyata berhasil.“Kamu, mau bantu aku?” tanya Siska dengan suara parau.“Hu’um. Kebetulan aku punya usaha kuliner. Makanan asal daerah Palembang tepatnya. Nah, aku akan membantu kamu memberikan modal awal dalam bentuk mpek-mpek. Kamu tinggal siapkan tempat saja untuk kamu berjualan. Soalnya kalau kamu kerja di rumah makanku, anak kamu siapa yang
“Kalian sepertinya sudah akrab satu sama lain, ya,” ucap Tante Retno, yang kini menatapku dan Siska bergantian.“I-iya, Ma. Aku dan Amanda sedang diskusi sebentar,” sahut Siska dengan senyum canggung di bibirnya.“Diskusi? Diskusi apa?” tanya Tante Retno dengan kening yang berkerut.“Diskusi tentang bisnis, Tante. Siska akan memulai bisnis jualan mpek-mpek, untuk tambahan penghasilan,” sahutku yang sengaja menyebutkan kata ‘tambahan’ agar Tante Retno tak tersinggung. Bagaimana pun keluarganya termasuk keluarga berada. Jadi kalau aku bilang untuk biaya pengobatan anaknya Siska, sudah pasti dia akan murka padaku. Pada dasarnya sudah tak suka denganku, lalu ditambah tersinggung pula maka habis lah diri ini dimaki-maki olehnya.“Oh, bagus itu. Mpek-mpek di rumah makannya Amanda enak lho,” timpal ibu mertuaku. Beliau kemudian mengalihkan tatapannya pada Siska. “Kamu mau jadi reseller ya, Sis?”“Iya, Tan. Tapi, aku mau ijin dulu sama Mama,” sahut Siska dengan canggung.“Nanti kita omongin d
Pov Penulis.Setibanya di rumah, Retno mengajak Siska untuk berbincang. Saat ini hanya mereka berdua yang berbincang, karena suami Retno sedang ada urusan ke luar kota.“Sis, jelaskan sama Mama, kenapa kamu mau jualan mpek-mpek? Sama si Amanda lagi. Kamu tahu kan kalau perempuan itu yang merebut Haikal dari Meta,” ucap Retno ketus.Siska memilin jemarinya dan menatap Retno dengan takut-takut. Dia berusaha menenangkan hatinya sebelum bicara dengan ibu mertuanya.“Ma, saat ini pesangon Melvin telah menipis. Terapi yang harus dilakukan Reno membutuhkan biaya yang cukup besar. Belum lagi kondisi Reno yang lemah. Sedikit-sedikit terserang sakit. Mama tahu sendiri kan kalau obatnya Reno cukup mahal juga,” sahut Siska lirih.“Tapi, Mama masih bisa bantu kamu, Siska. Sebentar lagi rumah Meta akan Mama jual untuk biaya pengobatan dia. Mama bisa sisihkan juga untuk biaya terapinya Reno. Kalau Darel kan sudah ditanggung sama pihak keluarga dokter Bambang. Jadi kamu nggak perlu bingung soal biaya
Waktu berkunjung sudah habis. Retno dan Siska pun berpamitan pada Melvin untuk undur diri.“Kita pulang dulu, ya. Lain waktu akan kemari lagi,” ucap Retno yang diangguki oleh Melvin.“Iya, Ma. Kalau kemari jangan lupa bawa Reno juga. Aku kangen sama dia, dan jangan lupa kasih tahu rencana Mama,” sahut Melvin.“Ok.” Retno memeluk erat tubuh anak sulungnya seraya berbisik, “Tenang, Nak. Kita akan buat hidup mereka nggak tenang dengan cara yang halus. Nggak perlu terburu-buru. Pokoknya pelan, tapi pasti mereka akan merasakan penderitaan seperti yang kita alami saat ini.”Melvin tersentak mendengar penuturan sang ibu. Dia tak menyangka kalau ibunya pun menyimpan bara dalam hatinya.“Iya, Ma. Semoga rencana Mama bisa berhasil,” bisik Melvin.Tanpa Retno dan Melvin sadari, Siska sempat mendengar bisikan mereka itu meskipun samar-samar.‘Kok aku jadi nggak tenang sih ini. Mama dan Melvin merencanakan apa untuk rumah tangganya Amanda dan Mas Haikal, ya?’ ucap Siska dalam hati.Setelah Retno,