Seto yang tak ingin keadaan menjadi memanas, lantas tampil sebagai penengah.“Irene, Papa rasa yang diucapkan Pasya itu benar. Kamu sabar dulu untuk sementara waktu. Video call adalah cara yang tepat. Tapi, kamu juga harus rutin mengunjungi Ayesha, dan pelan-pelan mendekatinya. Nanti juga lama-lama dia akan luluh sama kamu,” ucap Seto lembut. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Pasya. “Kamu nggak masalah kan kalau Irene nantinya akan rutin datang kemari untuk menemui Ayesha?”“Tentu saya nggak akan keberatan. Irene adalah ibu kandungnya Ayesha, Pak. Saya nggak mungkin memisahkan Ayesha dan ibu kandungnya. Jadi silakan Irene datang kapan pun dia mau. Hanya satu pesan saya, jangan memaksakan kehendak yang bikin Ayesha nggak nyaman. Itu saja sih permintaan saya, dan saya berharap kalau Irene bisa mengerti,” sahut Pasya.Seto lalu kembali menatap anaknya seraya berkata, “Ren, itu Pasya sudah bilang kalau dia sama sekali nggak keberatan, kalau kamu rutin datang kemari. Jadi solusinya begi
Aku sama sekali tak menyangka kalau liburanku kali ini, akan mempertemukan aku dengan seorang yang paling aku benci dan ingin aku hindari. Dia adalah mantan suamiku.Aku melihat Mas Haikal tengah berada di lobi hotel yang sama tempat aku menginap, di Denpasar. Aku yang sedang menggendong anakku seketika menjadi panik. Tentu saja aku panik, karena aku takut dia akan melakukan apa saja, apabila tahu kalau Pasya adalah putranya. "Del, kamu gendong dulu deh si Pasya. Kamu lihat sendiri itu di lobi hotel ada Mas Haikal. Jadi untuk menghindari hal-hal yang nggak diinginkan, lebih baik kamu gendong dulu anakku. Nanti misalnya dia tanya tentang Pasya, kamu jawab saja kalau Pasya adalah anak kamu," kataku yang membuat Adelia-adik sepupuku, membelalakkan matanya."Wah, nggak bener ini. Mbak Amanda bisa menjatuhkan reputasi aku ini. Masak aku yang masih gadis disuruh mengaku sudah punya anak sih, ck." Adelia menggerutu panjang lebar meskipun dia akhirnya menerima Pasya dari tanganku, dan mengge
Langkah Mas Haikal terhenti. Dia terpaku melihatku sedang menyusui seorang bayi. Namun, tak lama seulas senyum terbit dari bibirnya. Kini dia melangkah mendekatiku dan duduk di sofa, di sebelahku. Tentu saja aku menjadi risih dibuatnya. Bagaimana tidak risih, kami bukanlah pasangan suami istri lagi. Apalagi keadaanku saat ini terbuka bagian atasnya.“Kamu ngapain sih duduk di situ? Sudah tahu aku sedang menyusui, tapi malah dekat-dekat. Sudah sana pergi.” Aku buru-buru beranjak dari kursi, berniat pindah ke tempat tidur. Namun, tangan Mas Haikal dengan cepat mencekal lenganku hingga aku terduduk kembali.“Aku hanya mau ngomong. Duduklah dulu di sini. Nggak apa-apa kalau kamu sambil menyusui. Lagi pula anak kita pasti rindu dengan papanya, iya kan?”Kedua bola mataku membulat sempurna mendengar kata-katanya. Jantungku berdegup kencang dan tubuhku tiba-tiba menjadi lemas, hingga akhirnya aku duduk kembali di sofa karena takut kalau sampai kakiku tak bisa menopang diri ini. Melalui ekor
Mas Haikal terus memandangiku dengan tatapan sendu. Bahkan dia menggeser posisi duduknya, hingga hanya berjarak sekitar beberapa inci saja dari tempatku duduk.“Manda, aku sudah berulang kali bilang sama kamu saat kita masih menjadi suami istri. Aku nggak pernah berniat untuk berbuat zina dengan Meta. Setelah minum kopi buatannya, aku langsung merasa ada yang aneh pada tubuhku. Aku merasa sangat ingin memeluk dirimu dan melakukan hubungan badan denganmu, tapi justru yang ada di hadapanku saat itu adalah Meta. Aku sudah nggak bisa lagi mengendalikan diriku, hingga akhirnya terjadilah perbuatan terlarang itu. Aku sudah katakan hal ini berulang kali padamu dulu, agar kamu mencabut gugatan ceraimu. Tapi, kamu nggak percaya padaku dan lebih memilih untuk berpisah. Andaikan kamu percaya dan mencabut gugatan itu, tentu aku akan ada saat kamu hamil dan melahirkan anakku,” sahutnya lirih.“Perlu kamu tahu ya, Mas. Andaikan aku percaya semua kata-katamu, aku tetap memilih untuk berpisah dengan
“Pasya mau ya digendong sama Papa.” Mas Haikal berkata sambil mengarahkan kedua tangannya pada Pasya. Anakku itu langsung memekik senang. Dia juga memajukan tubuhnya ke arah Mas Haikal. Menunjukkan kalau dia juga ingin digendong oleh ayahnya.“Hati-hati gendongnya!” ucapku yang segera diangguki oleh Mas Haikal.Setelah tubuh Pasya berada dalam dekapan Mas Haikal. Tampak Mas Haikal meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dia lalu berselfie dengan Pasya.“Pasya, coba lihat ke sini!” titah Mas Haikal, yang sontak membuat Pasya menoleh ke arah layar ponsel ayahnya. Kemudian...Klik!Aku takjub melihat interaksi ayah dan anak yang ada di hadapanku ini. Pasya terlihat senang sekali berada dalam dekapan ayahnya, membuatku begitu terharu. Mungkin dia rindu kasih sayang ayahnya, karena selama ini dia hanya mendapat kasih sayang dariku saja. Pria yang selama ini ada di dekat anakku, hanyalah kakek dan om nya.“Manda, bisa kita foto bertiga?” tanya Mas Haikal tiba-tiba, yang membuatku ter
Aku merasakan jantungku berdegup kencang. Aku sungguh tak menyangka bahwa akan bertemu Mas Haikal di saat akan menghindarinya. Aku berpikir keras untuk menjawab pertanyaan mantan suamiku itu. Kuperhatikan dirinya yang juga sepertinya akan check out dari hotel ini. Hatiku berdesir ketika melihat koper kecil di sebelahnya. Koper itu dulu aku yang membeli untuknya, dan selalu dia pakai untuk bepergian tugas ke luar kota. Aku tak menyangka Mas Haikal masih menggunakannya.“Manda, kok malah bengong?” tanya Mas Haikal yang sudah berada di dekatku. Dia meraih tubuh Pasya dari gendonganku, karena tubuh anakku terjulur ke arah Mas Haikal. Ya, anakku itu ingin digendong oleh papanya. Aku refleks menganggukkan kepala. Hal itu membuat Adel membulatkan matanya.“Mbak, kenapa mengangguk sih? Kita kan nggak pulang sekarang,” bisik Adel di telingaku.“Ya Tuhan, aku spontanitas saja tadi karena aku gugup, Del,” jawabku dengan berbisik juga.“Kalau mau balik ke Jakarta sekarang, bareng saja sama aku.
Lamunanku akan masa lalu buyar ketika sebuah tepukan lembut mendarat di punggung tanganku. Di saat itulah aku mendengar rengekan Pasya.“Manda,” bisik mas Haikal.“Eh, Pasya kenapa?” tanyaku cemas. Aku segera meraih tubuh anakku dari dekapan mas Haikal.“Mungkin dia haus,” sahut mas Haikal lembut ketika aku mengambil alih tubuh Pasya darinya.“Ya sudah, kamu pindah sana. Jangan di depanku dong!” titahku dengan suara pelan.“Ck, buat apa pindah sih? Aku juga sudah tahu isinya,” ucapnya dengan senyuman. Aku tahu mas Haikal mencoba untuk menggodaku. Hm, tak usah ya. Aku tak akan tergoda.“Kalau sayang sama anak, cepetan deh pindah. Aku mau susui anakku sekarang!” tegasku padanya.“Ok.” Mas Haikal lalu beringsut dari tempatnya duduk. Dia membalikkan tubuhnya, memunggungi aku.Ketika sudah merasa aman, aku lantas memberi ASI anakku, yang tampak sudah tak sabar. Senyum mengembang di bibirku ketika melihat Pasya menyusu sambil menatapku. Interaksi seperti inilah yang memberikan kepuasan ters
Pov Haikal.Aku mantan suami Amanda Iskandar Prayuda. Ya, biarpun kami sudah resmi bercerai, tapi aku tetap menganggap dirinya sebagai istriku. Aku tetap menyematkan namaku di belakang namanya. Andaikan Manda tahu, dia pasti akan marah besar dan meminta aku supaya tak menyematkan nama Prayuda di belakang namanya. Namun, kenyataannya justru dia yang memberikan nama Prayuda di belakang nama Pasya, anak kami. Ah, senangnya mengetahui kenyataan itu. Walaupun aku tahu kalau Manda melakukan itu, bukan karena dia masih memiliki perasaan padaku. Tapi, karena memang Pasya berhak atas nama itu karena dia adalah anak kandungku. Oh ya, mengenai perasaan Manda padaku. Aku kurang yakin juga kalau dia sudah tak memiliki perasaan cinta padaku. Meskipun dia sangat membenciku, tapi benci dan cinta itu kan beda tipis. Oleh karena itu, boleh kan aku berharap agar kami bisa bersatu kembali. Lagi pula Amanda pernah menjanjikan padaku kalau kemungkinan rujuk itu selalu ada. Jadi sepertinya tinggal tunggu wa