Langkah Mas Haikal terhenti. Dia terpaku melihatku sedang menyusui seorang bayi. Namun, tak lama seulas senyum terbit dari bibirnya. Kini dia melangkah mendekatiku dan duduk di sofa, di sebelahku. Tentu saja aku menjadi risih dibuatnya. Bagaimana tidak risih, kami bukanlah pasangan suami istri lagi. Apalagi keadaanku saat ini terbuka bagian atasnya.
“Kamu ngapain sih duduk di situ? Sudah tahu aku sedang menyusui, tapi malah dekat-dekat. Sudah sana pergi.” Aku buru-buru beranjak dari kursi, berniat pindah ke tempat tidur. Namun, tangan Mas Haikal dengan cepat mencekal lenganku hingga aku terduduk kembali.
“Aku hanya mau ngomong. Duduklah dulu di sini. Nggak apa-apa kalau kamu sambil menyusui. Lagi pula anak kita pasti rindu dengan papanya, iya kan?”
Kedua bola mataku membulat sempurna mendengar kata-katanya. Jantungku berdegup kencang dan tubuhku tiba-tiba menjadi lemas, hingga akhirnya aku duduk kembali di sofa karena takut kalau sampai kakiku tak bisa menopang diri ini. Melalui ekor mata, aku melihat Adel yang juga tampak cemas. Dia berdiri di dekat pintu sambil memilin jemarinya. Aku berusaha untuk tenang, dan menyiapkan kata-kata untuk menyanggah ucapan Mas Haikal tadi. Enak saja bilang ‘anak kita’ sedangkan selama ini dia asyik dengan keluarga kecilnya. Dasar laki-laki kurang ajar!
“Anak kita? Jangan ngaco kalau ngomong, Mas! Kalau kamu kangen anak, sebaiknya kamu telepon anakmu di Jakarta. Jangan asal mengaku anak orang jadi anak kamu. Datang tiba-tiba kemari dan menerobos masuk, lalu bikin pernyataan yang ngawur. Enak saja ngaku-ngaku, huh!” kutatap Mas Haikal dengan tajam. Namun, dia hanya terkekeh yang membuatku semakin kesal saja padanya.
“Amanda...Amanda, kamu itu nggak berbakat untuk jadi pembohong. Aku sudah tahu kamu luar dalam. Sepuluh tahun lebih aku mengenalmu. Tiga tahun lebih beberapa bulan kita pacaran, dan tujuh tahun kita menikah. Jadi kamu nggak usah mengelak deh. Mengaku saja kalau dia ini adalah anakku. Aku akan menggendongnya kalau dia sudah selesai menyusu,” jawab Mas Haikal santai yang membuatku tersulut emosi. Tanganku dengan cepat menyambar tas yang tadi aku letakkan di atas meja, lalu aku lempar ke arahnya.
Bugh!
Aku berharap dengan kuperlakukan dia seperti itu, akan membuatnya marah dan segera pergi. Namun, aku salah besar. Mas Haikal malah tertawa geli melihat aksiku. Dia justru memandangku dengan tatapan yang menurutku penuh dengan kerinduan. Bukan geer sih, tapi aku tahu dia luar dalam seperti dia yang tahu siapa diriku. Aku tahu arti tatapannya itu, dan jujur saja membuat hatiku berdebar. Argh! Sial banget sih ini. Kenapa juga harus ketemu sama mantan? Apalagi tatapan Mas Haikal kini tertuju pada pabrik susu milikku, yang sedang Pasya nikmati. Membuat aku jadi salah tingkah.
“Apa lihat-lihat!” semburku yang membuat tawanya semakin kencang. Aku menoleh pada Adel yang masih terpaku melihat interaksi antara aku dan Mas Haikal. “Adel, tolong ambilkan selimut Pasya. Terus tolong tutupi dadaku dengan selimut itu.”
“Iya, Mbak.” Adel dengan cepat melangkah ke arah lemari dan mengambil selimut Pasya. Kemudian dia tutupi dadaku dengan selimut anakku. Tentu saja tanpa mengganggu Pasya yang masih asyik menyusu.
“Oh, jadi namanya Pasya. Nama yang bagus. Apa kepanjangan namanya?” tanya Mas Haikal setelah tawanya terhenti.
Aku diam saja. Buat apa aku jawab, karena itu akan semakin memperjelas identitas anakku padanya.
Melihat aku yang hanya terdiam, Mas Haikal dengan cepat membuka tasku yang masih ada di pangkuannya. Aku mengerutkan kening, bingung juga dengan ulahnya. Tak tahu juga apa yang dia cari di tasku itu.
Keherananku baru terjawab ketika dia menemukan boarding pass milik Pasya. Kuakui kalau dia begitu cerdas untuk menyelidiki identitas Pasya. Rasanya jantung ini mau copot ketika dia menunjukkan boarding pass itu di hadapanku. Aku jadi menyesal kenapa juga aku memberi nama belakang mantan suamiku itu di belakang nama Pasya. Argh, benar-benar sial sekali aku hari ini! Sekian lama aku berusaha menutupi identitas anakku darinya dan juga keluarganya. Kini dengan mudah Mas Haikal mengetahuinya sendiri.
“Pasya Prayuda. Terima kasih kamu sudah memberikan nama keluargaku pada anak kita, Manda. Memang sudah seharusnya begitu. Setelah dia selesai menyusu, aku ingin menggendongnya. Ini suatu kejutan terindah. Aku sama sekali nggak menyangka kalau ternyata kamu bisa hamil. Jujur saja kalau aku kemari, ingin memastikan kalau Pasya adalah anakku. Wajahnya sangat mirip denganku. Jadi kamu nggak usah mengelak lagi, Manda,” ucapnya yang membuat aku berpikir keras untuk menyangkal semua perkataannya tadi. Walaupun jujur saja sulit rasanya untuk mengelak, karena wajah Pasya duplikatnya Mas Haikal. Tapi, usaha untuk mengelak boleh-boleh saja kan. Itu karena sakit hatiku yang begitu dalam pada mantan suamiku ini, hingga aku tak rela kalau dia menyentuh Pasya. Aku sudah memutuskan untuk membesarkan buah hatiku seorang diri, tanpa campur tangan darinya.
“Maaf, Pasya bukan anak kamu, Mas! Dia anak suamiku, yang kebetulan namanya Prayuda. Bukan hanya keluarga kamu saja yang punya nama itu. Jadi jangan salah persepsi,” ucapku sambil menatap Pasya, yang masih menyusu sambil menatap ke arahku. Aku tersenyum pada anakku dan mengusap lembut keningnya.
“Kapan kamu menikah lagi?” tanya Mas Haikal dengan nada curiga.
“Setelah masa idah selesai lah,” jawabku santai.
“Itu aku tahu, Manda. Aku hanya ingin tahu kapan pastinya kamu menikah. Bulan apa? tanggal berapa? Biar aku bisa menghitung dengan usia Pasya. Aku perkirakan saat ini usia Pasya paling sekitar satu tahun, atau kurang dikit lah. Kalau kurang dari satu tahun, mungkin sekitar sepuluh atau sebelas bulan. Sedangkan perempuan hamil itu sekitar sembilan bulan lebih beberapa hari. Nah, kita bercerai sudah dua tahun kurang, tepatnya dua puluh bulan. Jadi sesuai kan hitungannya dengan usia Pasya. Jadi mana mungkin kamu hamil sama orang lain, Manda? Aku juga yakin kalau kamu belum menikah, iya kan?” ucapnya dengan senyuman yang membuatku kesal.
“Salah besar! Pasya masih lima bulan usianya. Tubuhnya saja yang besar, jadi kelihatan seperti berusia satu tahun. Dia bukan anak kamu, Mas!”
Jujur saja, ada rasa nyeri saat berucap kalau Pasya bukan anak Mas Haikal. Aku terpaksa melakukannya, karena aku nggak mau berurusan lagi dengan lelaki yang sudah menorehkan luka yang teramat dalam di hatiku.
“Oh, ya. Terus kalau kamu sudah bersuami, kenapa liburan kemari hanya ditemani oleh Adel? Ke mana suamimu? Masak dia tega membiarkan istri dan anaknya berlibur dengan saudara sepupunya saja. Aku nggak bodoh, Amanda. Kamu nggak bisa menipuku. Aku tahu kamu lakukan ini karena kamu sangat membenci aku. Tapi, walaupun kamu membenci aku, janganlah kamu pisahkan anak dengan bapaknya. Dosa itu, Manda,” ucap Mas Haikal yang seketika membuat mataku membulat ketika dia menyebut kata dosa.
Aku tertawa mendengar kata-katanya. “Kamu masih bisa bilang dosa, Mas. Apa kamu nggak berdosa juga telah berzina hingga gundik kamu itu hamil, hah?!”
Mas Haikal kali ini tak bisa berkata-kata lagi. Sedang aku, sangat puas melihat wajahnya yang seketika berubah sendu, dan sepintas aku melihat di matanya ada cairan bening menggenang di sana. Dasar buaya darat! Mau sandiwara apa lagi dia?
Mas Haikal terus memandangiku dengan tatapan sendu. Bahkan dia menggeser posisi duduknya, hingga hanya berjarak sekitar beberapa inci saja dari tempatku duduk.“Manda, aku sudah berulang kali bilang sama kamu saat kita masih menjadi suami istri. Aku nggak pernah berniat untuk berbuat zina dengan Meta. Setelah minum kopi buatannya, aku langsung merasa ada yang aneh pada tubuhku. Aku merasa sangat ingin memeluk dirimu dan melakukan hubungan badan denganmu, tapi justru yang ada di hadapanku saat itu adalah Meta. Aku sudah nggak bisa lagi mengendalikan diriku, hingga akhirnya terjadilah perbuatan terlarang itu. Aku sudah katakan hal ini berulang kali padamu dulu, agar kamu mencabut gugatan ceraimu. Tapi, kamu nggak percaya padaku dan lebih memilih untuk berpisah. Andaikan kamu percaya dan mencabut gugatan itu, tentu aku akan ada saat kamu hamil dan melahirkan anakku,” sahutnya lirih.“Perlu kamu tahu ya, Mas. Andaikan aku percaya semua kata-katamu, aku tetap memilih untuk berpisah dengan
“Pasya mau ya digendong sama Papa.” Mas Haikal berkata sambil mengarahkan kedua tangannya pada Pasya. Anakku itu langsung memekik senang. Dia juga memajukan tubuhnya ke arah Mas Haikal. Menunjukkan kalau dia juga ingin digendong oleh ayahnya.“Hati-hati gendongnya!” ucapku yang segera diangguki oleh Mas Haikal.Setelah tubuh Pasya berada dalam dekapan Mas Haikal. Tampak Mas Haikal meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dia lalu berselfie dengan Pasya.“Pasya, coba lihat ke sini!” titah Mas Haikal, yang sontak membuat Pasya menoleh ke arah layar ponsel ayahnya. Kemudian...Klik!Aku takjub melihat interaksi ayah dan anak yang ada di hadapanku ini. Pasya terlihat senang sekali berada dalam dekapan ayahnya, membuatku begitu terharu. Mungkin dia rindu kasih sayang ayahnya, karena selama ini dia hanya mendapat kasih sayang dariku saja. Pria yang selama ini ada di dekat anakku, hanyalah kakek dan om nya.“Manda, bisa kita foto bertiga?” tanya Mas Haikal tiba-tiba, yang membuatku ter
Aku merasakan jantungku berdegup kencang. Aku sungguh tak menyangka bahwa akan bertemu Mas Haikal di saat akan menghindarinya. Aku berpikir keras untuk menjawab pertanyaan mantan suamiku itu. Kuperhatikan dirinya yang juga sepertinya akan check out dari hotel ini. Hatiku berdesir ketika melihat koper kecil di sebelahnya. Koper itu dulu aku yang membeli untuknya, dan selalu dia pakai untuk bepergian tugas ke luar kota. Aku tak menyangka Mas Haikal masih menggunakannya.“Manda, kok malah bengong?” tanya Mas Haikal yang sudah berada di dekatku. Dia meraih tubuh Pasya dari gendonganku, karena tubuh anakku terjulur ke arah Mas Haikal. Ya, anakku itu ingin digendong oleh papanya. Aku refleks menganggukkan kepala. Hal itu membuat Adel membulatkan matanya.“Mbak, kenapa mengangguk sih? Kita kan nggak pulang sekarang,” bisik Adel di telingaku.“Ya Tuhan, aku spontanitas saja tadi karena aku gugup, Del,” jawabku dengan berbisik juga.“Kalau mau balik ke Jakarta sekarang, bareng saja sama aku.
Lamunanku akan masa lalu buyar ketika sebuah tepukan lembut mendarat di punggung tanganku. Di saat itulah aku mendengar rengekan Pasya.“Manda,” bisik mas Haikal.“Eh, Pasya kenapa?” tanyaku cemas. Aku segera meraih tubuh anakku dari dekapan mas Haikal.“Mungkin dia haus,” sahut mas Haikal lembut ketika aku mengambil alih tubuh Pasya darinya.“Ya sudah, kamu pindah sana. Jangan di depanku dong!” titahku dengan suara pelan.“Ck, buat apa pindah sih? Aku juga sudah tahu isinya,” ucapnya dengan senyuman. Aku tahu mas Haikal mencoba untuk menggodaku. Hm, tak usah ya. Aku tak akan tergoda.“Kalau sayang sama anak, cepetan deh pindah. Aku mau susui anakku sekarang!” tegasku padanya.“Ok.” Mas Haikal lalu beringsut dari tempatnya duduk. Dia membalikkan tubuhnya, memunggungi aku.Ketika sudah merasa aman, aku lantas memberi ASI anakku, yang tampak sudah tak sabar. Senyum mengembang di bibirku ketika melihat Pasya menyusu sambil menatapku. Interaksi seperti inilah yang memberikan kepuasan ters
Pov Haikal.Aku mantan suami Amanda Iskandar Prayuda. Ya, biarpun kami sudah resmi bercerai, tapi aku tetap menganggap dirinya sebagai istriku. Aku tetap menyematkan namaku di belakang namanya. Andaikan Manda tahu, dia pasti akan marah besar dan meminta aku supaya tak menyematkan nama Prayuda di belakang namanya. Namun, kenyataannya justru dia yang memberikan nama Prayuda di belakang nama Pasya, anak kami. Ah, senangnya mengetahui kenyataan itu. Walaupun aku tahu kalau Manda melakukan itu, bukan karena dia masih memiliki perasaan padaku. Tapi, karena memang Pasya berhak atas nama itu karena dia adalah anak kandungku. Oh ya, mengenai perasaan Manda padaku. Aku kurang yakin juga kalau dia sudah tak memiliki perasaan cinta padaku. Meskipun dia sangat membenciku, tapi benci dan cinta itu kan beda tipis. Oleh karena itu, boleh kan aku berharap agar kami bisa bersatu kembali. Lagi pula Amanda pernah menjanjikan padaku kalau kemungkinan rujuk itu selalu ada. Jadi sepertinya tinggal tunggu wa
Mas Haikal masih terdiam duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Pasya, yang sudah terlelap. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan karena aku mendengar helaan napasnya yang sering terdengar. Aku tetap berdiri di sisi tempat tidur yang tak jauh darinya, menunggu sesaat apa yang akan dia lakukan. Lima menit...sepuluh menit, mas Haikal bergeming. Dia diam saja di tempatnya, yang membuat aku memutuskan untuk menegurnya.“Mas, ingat pesan papa tadi. Kalau Pasya sudah tidur, Mas segera keluar dari kamar ini. Nggak baik berada di dalam kamar ini terlalu lama, karena kita sudah bukan suami istri lagi,” ucapku mengulang pesan papaku tadi.Mas Haikal menoleh seraya berkata, “Iya, aku akan segera keluar dari sini setelah kamu jawab beberapa pertanyaanku, Manda.”“Pertanyaan apa? Katakan saja, insya Allah akan aku jawab,” sahutku kalem.“Setelah kita resmi bercerai, kamu nggak mau menerima uangku. Padahal aku sudah bertekad akan memberimu nafkah sampai kamu menikah lagi. Walaupun aku memang berhar
“Ayolah, terima ini! Uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu, Manda,” ucap mas Haikal setelah aku tak juga menerima amplop dari tangannya.Tanpa disangka, Pasya dengan antusias meraih amplop dari tangan papanya. Hal itu membuat mas Haikal dan aku terkejut.“Manda, kamu lihat sendiri kalau Pasya menginginkan uang ini. Jadi ambillah dan simpan, ya,” ucap mas Haikal sekali lagi.Aku akhirnya menuruti kata-katanya. Kuanggukkan kepalaku yang sontak membuat mas Haikal tersenyum semringah.“Baiklah, aku terima. Terima kasih, Mas. Uang ini akan aku gunakan untuk keperluan Pasya,” sahutku yang disambut oleh gelengan kepala mas Haikal.“Nggak. Itu murni untuk kamu. Aku kan dari tadi sudah bilang, kalau uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu. Kalau Pasya biar jadi urusanku. Dia kan anakku, jadi aku wajib membiayainya. Aku akan transfer uang ke rekening itu setiap bulannya untuk Pasya. Hari ini aku sudah transfer uang untuk Pasya. Kamu bisa cek saldonya nanti,” cetus mas Haikal y
“Maaf, kalau boleh tahu kenapa kalian bercerai? Bukankah kalian ini pasangan serasi? Dari masih jaman kuliah dan setelah menikah, kalian tampak adem ayem.” Andi bertanya sambil menatapku lekat. Sorot matanya menunjukkan rasa keingintahuan yang begitu besar, membuatku menarik napas panjang.“Intinya sudah nggak ada kecocokan saja di antara kami. Buat apa diteruskan kalau sudah nggak cocok,” jawabku diplomatis.Jawabanku rupanya kurang memuaskan bagi Andi, hingga dia berusaha untuk menebak-nebak.“Apa...ada orang ketiga?” tebaknya yang membuatku tersenyum kecut.Aku memang sakit hati pada mas Haikal. Tapi, dia adalah mantan suamiku dan ayah anakku. Aku pernah mencintainya begitu dalam. Mas Haikal juga baik padaku, meskipun pada akhirnya dia menorehkan luka di hatiku. Tapi, itu bukan berarti aku harus membuka aibnya di depan orang lain. Tidak, aku bukan orang yang seperti itu. Biarlah aku, mas Haikal dan keluarga kami saja yang tahu penyebab perceraian kami. Orang lain termasuk Andi biar