Lamunanku akan masa lalu buyar ketika sebuah tepukan lembut mendarat di punggung tanganku. Di saat itulah aku mendengar rengekan Pasya.
“Manda,” bisik mas Haikal.
“Eh, Pasya kenapa?” tanyaku cemas. Aku segera meraih tubuh anakku dari dekapan mas Haikal.
“Mungkin dia haus,” sahut mas Haikal lembut ketika aku mengambil alih tubuh Pasya darinya.
“Ya sudah, kamu pindah sana. Jangan di depanku dong!” titahku dengan suara pelan.
“Ck, buat apa pindah sih? Aku juga sudah tahu isinya,” ucapnya dengan senyuman. Aku tahu mas Haikal mencoba untuk menggodaku. Hm, tak usah ya. Aku tak akan tergoda.
“Kalau sayang sama anak, cepetan deh pindah. Aku mau susui anakku sekarang!” tegasku padanya.
“Ok.” Mas Haikal lalu beringsut dari tempatnya duduk. Dia membalikkan tubuhnya, memunggungi aku.
Ketika sudah merasa aman, aku lantas memberi ASI anakku, yang tampak sudah tak sabar. Senyum mengembang di bibirku ketika melihat Pasya menyusu sambil menatapku. Interaksi seperti inilah yang memberikan kepuasan tersendiri dan bangga menjadi seorang ibu. Beberapa menit menyusui anakku, tiba-tiba naluriku mengatakan kalau ada sepasang mata tengah mengawasi. Aku menoleh ke arah mas Haikal, dan benar saja dugaanku. Aku melihat saat ini mas Haikal sedang tersenyum sambil menatap ke arahku dan Pasya. Sial, dia mengintip!
***
Akhirnya pesawat pribadi keluarga mas Haikal mendarat mulus di bandara. Hari sudah gelap ketika kami menuruni anak tangga pesawat. Pasya pun tertidur dengan nyenyak di pelukanku. Aku melirik tangan mas Haikal yang melingkari pundakku, memberi kenyamanan. Namun, aku jadi risi karenanya.
“Mas, coba tangannya dikondisikan. Aku bukan istri kamu lagi. Hargai aku, ya,” ucapku pelan.
“Aku hanya mencoba melindungi kamu, Manda. Kamu kan sedang menuruni anak tangga pesawat sambil menggendong Pasya,” sahutnya beralasan.
“Aku ini sudah bukan anak kecil lagi, Mas. Aku tahu bagaimana cara menuruni anak tangga pesawat. Jadi berhenti memberi alasan konyol kayak begitu,” ucapku agak ketus, namun tetap dengan nada pelan karena ingin menghargainya. Bagaimanapun juga, ada Adel dan Rudi yang akan mendengar kalau aku berkata lantang.
Mas Haikal akhirnya melepaskan tangannya dari pundakku. Tapi, tetap saja dia berjalan di sampingku. Membuat aku kesal. Tapi tak bisa berbuat banyak selain membiarkan, asal tangannya tak menyentuh bagian tubuhku lagi.
Setelah urusan bagasi selesai, kami melangkah ke arah pintu keluar bandara. Di sana sudah menunggu mobil jemputannya mas Haikal.
“Aku naik taksi saja, Mas,” ucapku ketika mas Haikal mengarahkan aku dan Adel ke mobil tersebut.
“Nggak, Manda. Aku akan mengantar kamu pulang sampai rumah orang tuamu. Ini sudah malam juga. Aku nggak akan biarkan kamu dan anakku berada di taksi malam-malam begini,” sahutnya tegas.
“Tapi, ini masih jam tujuh malam. Belum terlalu malam kok. Apalagi di Jakarta, jam segini sih masih sore.” Aku menoleh ke arahnya yang kini menatapku tajam. Aku yang hendak berkata lagi, seketika terdiam karena aku tahu arti tatapan matanya itu. Mas Haikal kalau sudah menatap seperti itu, artinya dia tak mau dibantah. Ya, lagi-lagi aku harus menurutinya karena tak mau ribut di depan umum.
“Masuklah ke mobil, Manda! Aku hanya ingin memastikan kamu aman tiba di rumah orang tuamu,” ucapnya pelan, tapi penuh penegasan dan tak ingin dibantah lagi.
Aku menghela napas panjang, lalu masuk ke dalam mobilnya. Begitu juga dengan Adel, melakukan hal yang sama sepertiku.
Mobil melaju membelah kota Jakarta yang sedang dilanda kemacetan. Mas Haikal yang duduk di sebelahku terus menatap Pasya yang masih tertidur lelap.
“Kalau capek, biar gantian aku yang pegang Pasya,” ucapnya dengan suara lembut.
“Nggak usah. Justru kalau berpindah tangan, dia akan terbangun dari tidurnya. Kasihan kalau terbangun, dia sudah tidur nyenyak,” sahutku tanpa menoleh ke arah mas Haikal. Tatapanku terus ke luar jendela mobil. Menatap deretan mobil yang berjejer di jalan raya, karena terkena macet.
“Selama ini kamu tinggal di mana? Kok aku nggak tahu kalau kamu hamil?” tanya mas Haikal yang sukses membuatku mengalihkan tatapanku padanya.
“Aku ada di rumah orang tuaku. Kenapa memangnya?” ucapku balas bertanya.
“Jangan bohong, Manda! Aku selalu memantau keadaan rumah orang tuamu. Aku ingin tahu kondisi kamu pasca kita bercerai. Tapi, aku nggak melihat kalau kamu ada di sana,” sahutnya yang membuat aku mengerutkan kening.
“Oh, jadi kamu mata-matai aku rupanya. Kenapa? Puas kalau sudah melihat aku menderita, begitu?” ucapku ketus dan agak kencang, hingga sopir mas Haikal menatap sekilas ke arah kami melalui kaca spion tengah. Begitu juga dengan Rudi yang duduk di samping sopir. Meskipun tak menoleh ke arah kami, tapi aku tahu dari gestur tubuhnya, dia memasang telinga untuk menguping pembicaraan kami.
Mas Haikal yang juga menyadari hal itu, lalu berbisik di telingaku.
“Justru aku nggak mau melihat kamu menderita, Manda. Aku ingin kamu baik-baik saja. Kamu sama sekali nggak mau menerima uangku. Kamu juga nggak mau menempati rumah kita. Ok, kalau kamu nggak mau menempati rumah kita karena nggak mau teringat kenangan manis kita di sana. Tapi, setidaknya rumah itu bisa kamu jual dan uangnya bisa kamu gunakan.”
“Buat apa? Itu sama saja aku gunakan uang kamu. Sedangkan aku sudah nggak mau punya urusan sama kamu lagi, Mas. Sudah cukup kamu sakiti aku begitu dalam,” ucapku balas berbisik.
Mas Haikal tertunduk sedih. “Lalu bagaimana kamu membiayai hidupmu? Kamu kan nggak kerja saat itu, Manda. Masak kamu bergantung terus sama orang tua kamu? Apalagi saat itu kamu hamil anakku.”
Untuk sesaat aku trenyuh mendengar ucapan Mas Haikal yang melirih. Namun, ketika terbayang akan pengkhianatannya. Aku seketika menjadi jijik padanya dan menatap tajam ke arahnya.
“Bukan urusanmu lagi untuk tahu tentang hidupku!” bisikku namun terdengar ketus di telinganya.
Mas Haikal tak berkata-kata lagi setelah mendengar jawabanku. Dia menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dia menyandarkan punggungnya di sandaran jok mobil, dan matanya pun terpejam. Setelah itu, tak ada lagi perbincangan di antara kami.
***
Akhirnya setelah sekian lama terjebak kemacetan ibukota, mobil mas Haikal tiba di depan rumah orang tuaku. Mas Haikal dengan cepat turun dari mobil dan membukakan pintu untukku.
“Terima kasih,” sahutku yang diangguki olehnya.
“Ayo, aku antar sampai ke rumah! Sekalian aku mau menyapa papa dan mama,” cetus mas Haikal yang membuatku terkejut, karena dia masih menyebut kedua orang tuaku dengan sebutan mama dan papa.
“Nggak usah, Mas. Mereka paling sudah di kamar untuk istirahat. Sebaiknya kamu langsung pulang saja. Nggak enak juga kalau dilihat orang, kamu berlama-lama di sini,” sahutku tanpa menoleh padanya.
Aku langsung berjalan ke arah pagar rumah. Tanpa aku duga, rupanya Pasya sudah bangun dan tiba-tiba menangis. Anakku itu menegakkan tubuhnya dan menatap ke sekeliling, mencari sesuatu.
“Mencari Papa, Sayang?” ucap mas Haikal yang dengan cepat menghampiri kami. Dia tersenyum pada Pasya yang sontak menghentikan tangisannya.
Tubuh Pasya menjulur ke arah mas Haikal. Hal itu membuat mas Haikal tertawa, dan segera mengambil alih tubuh Pasya ke dalam pelukannya.
“Pasya nggak mau pisah sama Papa, ya? Sama dong, Nak. Papa juga nggak mau pisah sama Pasya, dan mama. Tolong bantu Papa untuk kembali sama mama ya, Sayang,” bisik mas Haikal yang masih terdengar olehku.
‘Eh, apa-apaan ini? Anak kecil sudah diajari berkonspirasi,’ ucapku dalam hati.
Pov Haikal.Aku mantan suami Amanda Iskandar Prayuda. Ya, biarpun kami sudah resmi bercerai, tapi aku tetap menganggap dirinya sebagai istriku. Aku tetap menyematkan namaku di belakang namanya. Andaikan Manda tahu, dia pasti akan marah besar dan meminta aku supaya tak menyematkan nama Prayuda di belakang namanya. Namun, kenyataannya justru dia yang memberikan nama Prayuda di belakang nama Pasya, anak kami. Ah, senangnya mengetahui kenyataan itu. Walaupun aku tahu kalau Manda melakukan itu, bukan karena dia masih memiliki perasaan padaku. Tapi, karena memang Pasya berhak atas nama itu karena dia adalah anak kandungku. Oh ya, mengenai perasaan Manda padaku. Aku kurang yakin juga kalau dia sudah tak memiliki perasaan cinta padaku. Meskipun dia sangat membenciku, tapi benci dan cinta itu kan beda tipis. Oleh karena itu, boleh kan aku berharap agar kami bisa bersatu kembali. Lagi pula Amanda pernah menjanjikan padaku kalau kemungkinan rujuk itu selalu ada. Jadi sepertinya tinggal tunggu wa
Mas Haikal masih terdiam duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Pasya, yang sudah terlelap. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan karena aku mendengar helaan napasnya yang sering terdengar. Aku tetap berdiri di sisi tempat tidur yang tak jauh darinya, menunggu sesaat apa yang akan dia lakukan. Lima menit...sepuluh menit, mas Haikal bergeming. Dia diam saja di tempatnya, yang membuat aku memutuskan untuk menegurnya.“Mas, ingat pesan papa tadi. Kalau Pasya sudah tidur, Mas segera keluar dari kamar ini. Nggak baik berada di dalam kamar ini terlalu lama, karena kita sudah bukan suami istri lagi,” ucapku mengulang pesan papaku tadi.Mas Haikal menoleh seraya berkata, “Iya, aku akan segera keluar dari sini setelah kamu jawab beberapa pertanyaanku, Manda.”“Pertanyaan apa? Katakan saja, insya Allah akan aku jawab,” sahutku kalem.“Setelah kita resmi bercerai, kamu nggak mau menerima uangku. Padahal aku sudah bertekad akan memberimu nafkah sampai kamu menikah lagi. Walaupun aku memang berhar
“Ayolah, terima ini! Uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu, Manda,” ucap mas Haikal setelah aku tak juga menerima amplop dari tangannya.Tanpa disangka, Pasya dengan antusias meraih amplop dari tangan papanya. Hal itu membuat mas Haikal dan aku terkejut.“Manda, kamu lihat sendiri kalau Pasya menginginkan uang ini. Jadi ambillah dan simpan, ya,” ucap mas Haikal sekali lagi.Aku akhirnya menuruti kata-katanya. Kuanggukkan kepalaku yang sontak membuat mas Haikal tersenyum semringah.“Baiklah, aku terima. Terima kasih, Mas. Uang ini akan aku gunakan untuk keperluan Pasya,” sahutku yang disambut oleh gelengan kepala mas Haikal.“Nggak. Itu murni untuk kamu. Aku kan dari tadi sudah bilang, kalau uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu. Kalau Pasya biar jadi urusanku. Dia kan anakku, jadi aku wajib membiayainya. Aku akan transfer uang ke rekening itu setiap bulannya untuk Pasya. Hari ini aku sudah transfer uang untuk Pasya. Kamu bisa cek saldonya nanti,” cetus mas Haikal y
“Maaf, kalau boleh tahu kenapa kalian bercerai? Bukankah kalian ini pasangan serasi? Dari masih jaman kuliah dan setelah menikah, kalian tampak adem ayem.” Andi bertanya sambil menatapku lekat. Sorot matanya menunjukkan rasa keingintahuan yang begitu besar, membuatku menarik napas panjang.“Intinya sudah nggak ada kecocokan saja di antara kami. Buat apa diteruskan kalau sudah nggak cocok,” jawabku diplomatis.Jawabanku rupanya kurang memuaskan bagi Andi, hingga dia berusaha untuk menebak-nebak.“Apa...ada orang ketiga?” tebaknya yang membuatku tersenyum kecut.Aku memang sakit hati pada mas Haikal. Tapi, dia adalah mantan suamiku dan ayah anakku. Aku pernah mencintainya begitu dalam. Mas Haikal juga baik padaku, meskipun pada akhirnya dia menorehkan luka di hatiku. Tapi, itu bukan berarti aku harus membuka aibnya di depan orang lain. Tidak, aku bukan orang yang seperti itu. Biarlah aku, mas Haikal dan keluarga kami saja yang tahu penyebab perceraian kami. Orang lain termasuk Andi biar
Pov HaikalAku terkejut sekali melihat kedatangan Andi si rumah mantan mertuaku. Ketika melihat dia datang dan membawa kado untuk anakku, pikiranku langsung tak tenang. Berbagai pertanyaan bersarang di kepalaku. Aku segera berbisik pada Amanda, untuk tahu kenapa Andi bisa hadir di pesta ulang tahun anakku. Aku sebagai papanya Pasya tentu keberatan dengan kedatangan Andi. Kalau ada yang tanya kenapa? Ya karena aku tahu kalau Andi pernah menaruh hati pada Amanda-mantan istriku. Apalagi sekarang status Andi yang duda, dan Amanda yang juga seorang janda. Makin ketar-ketir lah hatiku. Aku takut kalau antara Andi dan Amanda menjalin suatu hubungan. Meskipun sah saja sih kalau mereka menjalin hubungan, karena mereka sama-sama single. Tapi, aku yang masih mengharapkan bisa rujuk dengan Amanda tentu sangat tak suka kalau mereka dekat, dan menjalin hubungan spesial.Aku memang berniat rujuk dengan Amanda sudah lama. Tepatnya setelah Amanda menjanjikan kalau kemungkinan untuk rujuk selalu ada, k
Pov HaikalAku menatap punggung Amanda yang menjauh. Kuhela napas panjang, kemudian berjalan ke arah Andi dan mantan ayah mertuaku duduk. Aku harus mengajak Andi bicara empat mata, untuk memastikan niatnya datang kemari. Terdengar konyol memang, karena siapa saja bisa datang kemari. Toh ini bukan rumahku. Aku pun ada di rumah ini karena yang berulang tahun adalah Pasya, anakku.“Ndi, bisa kita bicara empat mata sebentar?” tanyaku yang tentu saja membuat Andi terkejut.“Oh, boleh. Tunggu sebentar, ya. Aku habiskan dulu makananku,” sahutnya yang sedang menikmati tekwan.Aku menganggukkan kepalaku, dan duduk di sebelahnya. Kuambil air mineral dalam kemasan gelas, dan kuminum hingga tandas untuk mendinginkan hatiku.“Yuk, Kal! Kita mau ngomong di mana?” tanya Andi setelah selesai menikmati tekwan.Aku tak langsung menjawab. Aku pandangi ke setiap sudut rumah orang tua Amanda. Tak ada ruang untuk kami bicara empat mata. Rumah ini cukup ramai oleh para anak kecil plus pengantarnya. Ditambah
Pagi ini aku tampak panik karena tubuh Pasya yang tiba-tiba demam. Anakku itu tergolek lemah di atas tempat tidur. Sama dengan anak seusianya yang lain kalau rewel ketika sedang tak enak badan. Pasya dari tadi merengek. Aku beri susu karena semenjak berusia satu tahun, Pasya memang berhenti minum ASI. Tapi, botol susu yang aku beri, hanya sebentar saja dia pegang. Selebihnya, dia serahkan kembali botol susu itu padaku. Aku peluk dan kucium keningnya dengan lembut, untuk membuatnya merasa nyaman.“Pasya mau apa, Sayang? Mau makan bubur? Atau mau sosis bakar?” tanyaku, berharap dia menganggukkan kepalanya ketika aku menyebut makanan kesukaannya. Tapi, dia hanya diam sambil terus merengek. Membuatku semakin panik dan sedih.Di saat aku merasa panik, tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku langsung meraih benda pipih itu yang tergeletak di atas nakas, dan melihat nama mas Haikal terpampang di layar ponselku. Aku langsung mengangkat panggilan telepon itu.“Halo, Mas,” sapaku dengan nada cem
“Eh, maaf.”Hanya kata itu yang terlontar dari bibirku. Setelahnya, aku langsung melangkah menuju ke poli anak. Aku mendengar langkah mas Haikal mengikutiku, hingga posisinya kini berada di sampingku.Tiba di poli anak, suasana cukup ramai. Menunjukkan kalau dokter Andi Saputra cukup diminati oleh para orang tua, untuk menangani anak mereka. Aku langsung memberikan berkas Pasya pada suster yang duduk di balik meja jaga, yang ada di depan ruang praktik dokter. Sedangkan mas Haikal telah duduk di kursi tunggu, memangku Pasya.“Pasya tadi dapat nomor antrean berapa?” bisik mas Haikal ketika aku sudah duduk di sebelahnya.“Nomor sepuluh,” jawabku.“Berarti dua pasien lagi. Tadi yang dipanggil sudah nomor delapan,” sahut mas Haikal.“Oh begitu,” sahutku. Aku lalu menatap anakku yang menyandarkan kepalanya pada dada bidang papanya. Dada bidang, ya...menatap Pasya otomatis membuatku menatap dada bidang mantan suamiku. Dulu saat kami masih bersama sebagai pasangan suami istri, aku juga sering