Aku tinggalkan Pasya yang sedang asyik menonton film kartun kesukaannya. Aku berjalan cepat bersama dengan mama ke ruang tamu. Benar saja perkiraanku. Setibanya di ruang tamu, aku melihat kalau mas Haikal sudah berdiri berhadapan dengan Andi. Kedua pria itu saling tatap dengan cukup tajam. Bahkan aku melihat tangan keduanya pun terkepal.“Ada apa ini?” tanyaku dan mama secara bersamaan.Mas Haikal terdiam. Diamnya mas Haikal sepertinya dimanfaatkan oleh Andi, yang sempat tersenyum tipis. Walaupun samar, aku sempat melihatnya. Entah lah, aku tiba-tiba merasa tak suka melihat senyuman itu. Senyuman yang terbungkus maksud tertentu.“Saya juga nggak tahu, Bu. Haikal datang dan tiba-tiba marah pada saya. Padahal saya kemari mau melihat kondisi Pasya yang sedang sakit. Kebetulan saya adalah dokter anak yang tadi pagi memeriksanya. Jadi setelah selesai praktik, saya kemari ingin bertemu dengan Pasya,” sahut Andi.“Alasan saja kamu, Ndi! Mana ada dokter yang menjenguk pasiennya di rumah. Jang
“Kira-kira kapan Mas akan ajak Pasya piknik, dan kapan akan dipertemukan dengan orang tua kamu? Apa piknik dulu atau ketemu sama kakek dan neneknya dulu?” tanyaku memastikan.“Piknik dulu. Ayah dan ibu sekarang juga sedang ada di Amerika. Hari Sabtu ini aku mau ajak Pasya piknik, lalu minggu depan akan aku ajak ketemu sama kakek dan neneknya. Soalnya mereka sudah ada di Jakarta hari Kamis nya,” sahut mas Haikal yang kini menatapku dengan tatapan menyelidik. Mungkin dia melihat kalau kini aku tampak sedikit gelisah. “Ada apa memangnya, Manda?”Betul kan dugaanku, kalau dia sedang memperhatikan diriku yang memang agak gelisah. Jujur saja, aku sangat enggan bertemu dengan mantan mertuaku. Mantan ibu mertuaku yang aku anggap sebagai biang kerok perceraian aku dan mas Haikal. Lalu mantan ayah mertuaku yang aku anggap melakukan pembiaran, karena sama sekali tak bisa menasihati istrinya agar tak mencampuri urusan rumah tangga anaknya.“Nanti kalau Pasya ketemu sama kakek dan neneknya, aku ng
Aku melihat mas Haikal tertawa pelan. Aku sebal melihatnya. Apalagi Pasya yang ikutan tertawa, seolah senang kalau papanya mengecupku, aduh.“Jangan coba-coba lagi berbuat seperti itu, Mas. Aku melarang keras! Kalau hal itu sampai terjadi lagi, maka aku nggak akan memberi ijin kamu untuk mengajak Pasya keluar. Cukup di rumah saja kamu ketemu sama Pasya!” tegasku.Aku pikir, mas Haikal akan terkejut mendengar perkataanku dan minta maaf atas perbuatannya tadi. Tapi dia justru mengulum senyumannya.“Aku nggak akan berbuat seperti tadi, kalau kamu nggak mencoba melirik laki-laki lain. Apalagi melirik si Andi,” bisiknya yang membuat aku tertegun.“Eh, siapa yang melirik si Andi,” sahutku heran.“Barusan itu apa? Kamu ada hati sama Andi, iya?” tanyanya masih dengan suara yang berbisik.“Lah, kok kamu sewot sih, Mas? Aku ini kan bukan istri kamu lagi. Jadi nggak seharusnya kamu marah kalau misalnya aku ada hati sama Andi, iya kan.” Aku sengaja berkata demikian, karena ingin melihat mantan su
“Mas.” Aku mencolek lengan mas Haikal setelah Andi berjalan ke luar gerai kopi.“Apa?”“Apa kamu nggak kepikiran kalau yang menelepon Andi itu dokter Bambang yang sama, dengan dokter yang memeriksaku dulu?” tanyaku dengan mata yang memicing ke arah mas Haikal.“Ada sih pikiran kayak begitu, Manda. Memangnya kenapa? Kamu mau komplain karena dokter Bambang salah diagnosa? Kalau mau komplain, aku akan dampingi,” sahut Mas Haikal serius.“Apa masih bisa komplain sedangkan waktu sudah berjalan hampir dua tahun?” ucapku sendu.“Kenapa nggak bisa? Karena dia, ibu langsung mencap kamu mandul dan menyodorkan Meta padaku. Paling nggak kalau kita komplain, ada permintaan maaf dari dia,” sahut mas Haikal.Aku menghela napas panjang, karena bukan itu tujuanku. Buat apa komplain? Sudah basi aku rasa.“Aku malas untuk komplain. Tapi, ada yang mengganjal di hatiku selama ini,” ucapku yang membuat mas Haikal mencondongkan tubuhnya untuk mendengarkan dengan jelas suaraku, karena aku bicara dengan sanga
“Hah?! Kenapa sih kamu kok penasaran sama dokter Bambang, Bro?” tanya Andi dengan kening yang berkerut, dan mata yang memicing.“Ya pasti penasaran lah aku sama si dokter itu. Soalnya aku tahu pasti siapa kakeknya Darel. Jadi tolong aku ya, Ndi. Aku mau mengungkap kebenaran,” sahut mas Haikal serius.“Kebenaran tentang apa? Kasih aku penjelasan walaupun sedikit. Supaya aku bisa tahu harus mulai dari mana,” cetus Andi.Aku dan Adel hanya menyimak saja pembicaraan mereka berdua.“Aku akan cerita. Kamu dengarkan baik-baik cerita aku ini. Jangan dipotong sebelum aku selesai bercerita,” sahut mas Haikal yang diangguki oleh Andi.Mas Haikal lalu mengajak Andi untuk masuk ke dalam mobilnya, karena tak ingin ada yang mendengar perkataannya. Selain itu, dia melihat kalau Pasya tertidur di gendonganku. Mungkin dia ingin anaknya tidur dengan posisi nyaman, kalau aku duduk di jok mobil.Setelah kami semua masuk ke dalam mobil, mas Haikal mulai cerita dari awal sampai kecurigaannya pada Darel. Tak
Seperti biasanya kalau setiap jam sepuluh pagi aku selalu datang ke rumah makan milikku, untuk mengawasi karyawanku bekerja. Melihat bagaimana mereka melayani pelanggan yang datang langsung, maupun pelanggan secara online. Karena sekarang pusat bisnis aku ada di ruko ini, baik offline maupun online.Aku yang sedang sibuk di ruanganku di lantai dua, tiba-tiba harus menghentikan aktivitas untuk sementara karena bunyi notifikasi pesan masuk di ponselku. Aku melihat nama mas Haikal terpampang di layar ponsel sebagai si pengirim pesan. Dengan cepat aku membuka pesan darinya.[Manda, aku dan Andi nanti ke ruko kamu. Kata Andi, dia sudah berhasil merekam pembicaraan dengan Meta. Jadi kami janjian untuk ketemu di sana, sambil makan siang.]Aku pun langsung membalas mas Haikal.[Ok.]Setelah itu, tak ada pesan darinya lagi. Aku pun kembali melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda.Aku sudah turun ke lantai bawah ketika waktu menunjukkan pukul dua belas siang, menunggu kedatangan mas Haikal
Mas Haikal menatap Andi seraya berkata, “Bagaimana menurut kamu, Bro? Mereka nggak mau melakukan tes DNA ulang.”“Gampang saja, Bro. Kita bikin sandiwara lah.”“Sandiwara bagaimana?”Mas Haikal menggeser duduknya mendekat ke arah Andi. Dari raut wajahnya, aku tahu kalau dia sangat bersemangat dengan ide sahabatnya itu.“Jadi saat terapi keluarga itu dilakukan, kamu datang ke tempat itu dan akting agar dilakukan tes DNA. Nanti di sana aku berlagak jadi penengah agar nggak ramai, dan membujuk Meta untuk membiarkan kamu dan Darel melakukan tes DNA. Kamu pura-pura secara kebetulan melihat Meta dan Darel di rumah sakit lalu mengikutinya,” jelas Andi yang membuat mas Haikal tersenyum semringah.“Cerdas juga kamu, Ndi.”“Andi, gitu lho. Makanya jangan coba-coba saingan sama aku, kamu pasti kalah!” sahut Andi yang membuat mas Haikal mencebik. Sedang aku, hanya tertawa kecil karena paham yang dimaksud Andi.“Jangan sombong! Kalau soal itu sih tergantung si Manda. Dia mau pilih kamu atau rujuk
Aku yang terkejut bertemu dengan dokter sialan ini, tak lantas takut. Aku yang sudah benci padanya lantas tersenyum sinis padanya.“Memangnya kenapa kalau saya di sini? Ini rumah sakit umum kok, bukan rumah sakit dokter. Andaikan rumah sakit ini memang milik dokter, apa saya nggak boleh berada di sini?” sahutku berusaha tenang. Padahal jantungku berpacu dua kali lebih cepat dari pada biasanya.Dokter Bambang tak bisa menjawab pertanyaanku tadi. Dia lantas berlalu dari hadapanku menuju ruang fisioterapi. Aku tahu kalau dia mencari Meta dan Darel.Aku sengaja tetap berdiri di tempatku. Ingin tahu reaksi pria paruh baya itu setelah tak mendapati apa yang dia cari. Benar dugaanku kalau dia keluar lagi dari ruang fisioterapi dengan raut wajah cemas.Dokter Bambang lalu menelepon seseorang, yang kuduga adalah Meta.Aku yang tadinya ingin pulang, jadi penasaran ingin tahu kelanjutan drama di rumah sakit ini. Aku dengan langkah perlahan mengikuti dokter Bambang yang melangkah meninggalkan rua