“Mas.” Aku mencolek lengan mas Haikal setelah Andi berjalan ke luar gerai kopi.“Apa?”“Apa kamu nggak kepikiran kalau yang menelepon Andi itu dokter Bambang yang sama, dengan dokter yang memeriksaku dulu?” tanyaku dengan mata yang memicing ke arah mas Haikal.“Ada sih pikiran kayak begitu, Manda. Memangnya kenapa? Kamu mau komplain karena dokter Bambang salah diagnosa? Kalau mau komplain, aku akan dampingi,” sahut Mas Haikal serius.“Apa masih bisa komplain sedangkan waktu sudah berjalan hampir dua tahun?” ucapku sendu.“Kenapa nggak bisa? Karena dia, ibu langsung mencap kamu mandul dan menyodorkan Meta padaku. Paling nggak kalau kita komplain, ada permintaan maaf dari dia,” sahut mas Haikal.Aku menghela napas panjang, karena bukan itu tujuanku. Buat apa komplain? Sudah basi aku rasa.“Aku malas untuk komplain. Tapi, ada yang mengganjal di hatiku selama ini,” ucapku yang membuat mas Haikal mencondongkan tubuhnya untuk mendengarkan dengan jelas suaraku, karena aku bicara dengan sanga
“Hah?! Kenapa sih kamu kok penasaran sama dokter Bambang, Bro?” tanya Andi dengan kening yang berkerut, dan mata yang memicing.“Ya pasti penasaran lah aku sama si dokter itu. Soalnya aku tahu pasti siapa kakeknya Darel. Jadi tolong aku ya, Ndi. Aku mau mengungkap kebenaran,” sahut mas Haikal serius.“Kebenaran tentang apa? Kasih aku penjelasan walaupun sedikit. Supaya aku bisa tahu harus mulai dari mana,” cetus Andi.Aku dan Adel hanya menyimak saja pembicaraan mereka berdua.“Aku akan cerita. Kamu dengarkan baik-baik cerita aku ini. Jangan dipotong sebelum aku selesai bercerita,” sahut mas Haikal yang diangguki oleh Andi.Mas Haikal lalu mengajak Andi untuk masuk ke dalam mobilnya, karena tak ingin ada yang mendengar perkataannya. Selain itu, dia melihat kalau Pasya tertidur di gendonganku. Mungkin dia ingin anaknya tidur dengan posisi nyaman, kalau aku duduk di jok mobil.Setelah kami semua masuk ke dalam mobil, mas Haikal mulai cerita dari awal sampai kecurigaannya pada Darel. Tak
Seperti biasanya kalau setiap jam sepuluh pagi aku selalu datang ke rumah makan milikku, untuk mengawasi karyawanku bekerja. Melihat bagaimana mereka melayani pelanggan yang datang langsung, maupun pelanggan secara online. Karena sekarang pusat bisnis aku ada di ruko ini, baik offline maupun online.Aku yang sedang sibuk di ruanganku di lantai dua, tiba-tiba harus menghentikan aktivitas untuk sementara karena bunyi notifikasi pesan masuk di ponselku. Aku melihat nama mas Haikal terpampang di layar ponsel sebagai si pengirim pesan. Dengan cepat aku membuka pesan darinya.[Manda, aku dan Andi nanti ke ruko kamu. Kata Andi, dia sudah berhasil merekam pembicaraan dengan Meta. Jadi kami janjian untuk ketemu di sana, sambil makan siang.]Aku pun langsung membalas mas Haikal.[Ok.]Setelah itu, tak ada pesan darinya lagi. Aku pun kembali melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda.Aku sudah turun ke lantai bawah ketika waktu menunjukkan pukul dua belas siang, menunggu kedatangan mas Haikal
Mas Haikal menatap Andi seraya berkata, “Bagaimana menurut kamu, Bro? Mereka nggak mau melakukan tes DNA ulang.”“Gampang saja, Bro. Kita bikin sandiwara lah.”“Sandiwara bagaimana?”Mas Haikal menggeser duduknya mendekat ke arah Andi. Dari raut wajahnya, aku tahu kalau dia sangat bersemangat dengan ide sahabatnya itu.“Jadi saat terapi keluarga itu dilakukan, kamu datang ke tempat itu dan akting agar dilakukan tes DNA. Nanti di sana aku berlagak jadi penengah agar nggak ramai, dan membujuk Meta untuk membiarkan kamu dan Darel melakukan tes DNA. Kamu pura-pura secara kebetulan melihat Meta dan Darel di rumah sakit lalu mengikutinya,” jelas Andi yang membuat mas Haikal tersenyum semringah.“Cerdas juga kamu, Ndi.”“Andi, gitu lho. Makanya jangan coba-coba saingan sama aku, kamu pasti kalah!” sahut Andi yang membuat mas Haikal mencebik. Sedang aku, hanya tertawa kecil karena paham yang dimaksud Andi.“Jangan sombong! Kalau soal itu sih tergantung si Manda. Dia mau pilih kamu atau rujuk
Aku yang terkejut bertemu dengan dokter sialan ini, tak lantas takut. Aku yang sudah benci padanya lantas tersenyum sinis padanya.“Memangnya kenapa kalau saya di sini? Ini rumah sakit umum kok, bukan rumah sakit dokter. Andaikan rumah sakit ini memang milik dokter, apa saya nggak boleh berada di sini?” sahutku berusaha tenang. Padahal jantungku berpacu dua kali lebih cepat dari pada biasanya.Dokter Bambang tak bisa menjawab pertanyaanku tadi. Dia lantas berlalu dari hadapanku menuju ruang fisioterapi. Aku tahu kalau dia mencari Meta dan Darel.Aku sengaja tetap berdiri di tempatku. Ingin tahu reaksi pria paruh baya itu setelah tak mendapati apa yang dia cari. Benar dugaanku kalau dia keluar lagi dari ruang fisioterapi dengan raut wajah cemas.Dokter Bambang lalu menelepon seseorang, yang kuduga adalah Meta.Aku yang tadinya ingin pulang, jadi penasaran ingin tahu kelanjutan drama di rumah sakit ini. Aku dengan langkah perlahan mengikuti dokter Bambang yang melangkah meninggalkan rua
Kuhela napas panjang kala tatapanku dan Meta saling bertemu. Aku yang ingin menghindari keributan di tempat umum, segera beranjak dari kursi tunggu. Aku harus segera pergi. Bukan karena takut, tapi lebih dari menghindar saja karena sepertinya amarah Meta akan tumpah sebentar lagi. Dan aku tak mau menjadi sasaran amarahnya. Namun di saat aku beranjak dari kursi, tiba-tiba Meta memanggilku.“Amanda!”Aku sontak menoleh dan melihat semua pasang mata yang ada di depan ruang laboratorium memandangku. Aku juga melihat tatapan terkejut dari sorot mata mantan suamiku dan Andi. Mereka pasti bertanya-tanya dalam hati, untuk apa aku ada di sini? Ah, sudahlah hadapi saja apa yang akan terjadi. Sudah terlanjur basah, nyemplung saja sekalian. Begitu menurut pemikiranku.“Ada apa?” tanyaku yang tetap di tempatku berada saat ini. Kalau dia merasa perlu denganku, biar dia yang datang padaku. Untuk apa aku mendekatinya, tak sudi rasanya aku mendekati jalang itu.Meta lalu datang mendekatiku, setelah be
Aku tiba di mobilku dengan masih diantar oleh Andi. Kami berdua sama sekali tak menduga kalau akhirnya Meta dan dokter Bambang mendekati kami.“Jadi dokter Andi sudah mengenal mantan istrinya Haikal, ya? Jadi ini sebuah konspirasi, begitu?” ucap dokter Bambang menatap tajam ke arah Andi.“Saya ini teman SMA nya Haikal, Dok. Jadi kenal juga dengan Amanda, karena dulu Haikal yang mengenalkan kami. Tapi, ini bukan suatu konspirasi karena Haikal yang tiba-tiba datang ke tempat fisioterapi. Saya sendiri juga nggak menyangka kalau akan begini akhirnya. Kedatangan Amanda juga saya sama sekali nggak tahu,” sahut Andi.“Terus kamu, buat apa ada di sana? Masih penasaran dengan mas Haikal? Ingat, kalau mas Haikal itu hanya mantan kamu. Sekarang dia suamiku, milikku seorang. Walaupun katanya kamu punya anak dengan mas Haikal, tapi itu nggak bisa mengubah kenyataan. Mantan ya tetap mantan. Jadi jangan berharap lebih. Apalagi untuk balik lagi menjadi nyonya Haikal. Jangan gunakan anak sebagai alat
Aku tiba di gedung perkantoran tepat pukul dua siang. Kebetulan jalanan tak terlalu macet, sehingga kami cepat tiba di gedung itu.“Alhamdulillah, cuma beberapa menit saja tiba di sini. Semoga urusannya nanti juga lancar ya, Manda. Pelakunya akan cepat mendapat hukuman yang setimpal,” ucap tanteku ketika aku sudah selesai memarkir mobil.“Aamiin. Semoga saja ya, Tan.”Setelah mobil terparkir rapi, aku dan tanteku keluar dari mobil dan melangkah menuju ke dalam gedung perkantoran itu. Setelah bertanya pada resepsionis di lobi gedung perkantoran itu, kami akhirnya menuju ke lantai lima di mana kantor pengacara itu berada.“Mbak, kami mau bertemu dengan pak Haris. Saya saudaranya dan sudah ada janji mau ketemu,” ucap tanteku pada resepsionis kantor pengacara pak Haris.“Baik. Namanya siapa, Bu?” tanya resepsionis itu ramah.“Saya, Karlina. Dan ini keponakan saya, Amanda.”“Tunggu sebentar.” Resepsionis itu lantas menghubungi seseorang dan menyebutkan nama kami. Tak lama, dia meletakkan g