Aku tiba di mobilku dengan masih diantar oleh Andi. Kami berdua sama sekali tak menduga kalau akhirnya Meta dan dokter Bambang mendekati kami.“Jadi dokter Andi sudah mengenal mantan istrinya Haikal, ya? Jadi ini sebuah konspirasi, begitu?” ucap dokter Bambang menatap tajam ke arah Andi.“Saya ini teman SMA nya Haikal, Dok. Jadi kenal juga dengan Amanda, karena dulu Haikal yang mengenalkan kami. Tapi, ini bukan suatu konspirasi karena Haikal yang tiba-tiba datang ke tempat fisioterapi. Saya sendiri juga nggak menyangka kalau akan begini akhirnya. Kedatangan Amanda juga saya sama sekali nggak tahu,” sahut Andi.“Terus kamu, buat apa ada di sana? Masih penasaran dengan mas Haikal? Ingat, kalau mas Haikal itu hanya mantan kamu. Sekarang dia suamiku, milikku seorang. Walaupun katanya kamu punya anak dengan mas Haikal, tapi itu nggak bisa mengubah kenyataan. Mantan ya tetap mantan. Jadi jangan berharap lebih. Apalagi untuk balik lagi menjadi nyonya Haikal. Jangan gunakan anak sebagai alat
Aku tiba di gedung perkantoran tepat pukul dua siang. Kebetulan jalanan tak terlalu macet, sehingga kami cepat tiba di gedung itu.“Alhamdulillah, cuma beberapa menit saja tiba di sini. Semoga urusannya nanti juga lancar ya, Manda. Pelakunya akan cepat mendapat hukuman yang setimpal,” ucap tanteku ketika aku sudah selesai memarkir mobil.“Aamiin. Semoga saja ya, Tan.”Setelah mobil terparkir rapi, aku dan tanteku keluar dari mobil dan melangkah menuju ke dalam gedung perkantoran itu. Setelah bertanya pada resepsionis di lobi gedung perkantoran itu, kami akhirnya menuju ke lantai lima di mana kantor pengacara itu berada.“Mbak, kami mau bertemu dengan pak Haris. Saya saudaranya dan sudah ada janji mau ketemu,” ucap tanteku pada resepsionis kantor pengacara pak Haris.“Baik. Namanya siapa, Bu?” tanya resepsionis itu ramah.“Saya, Karlina. Dan ini keponakan saya, Amanda.”“Tunggu sebentar.” Resepsionis itu lantas menghubungi seseorang dan menyebutkan nama kami. Tak lama, dia meletakkan g
Pov HaikalAku sama sekali tak menyangka kalau Amanda juga ada di rumah sakit, dan sepertinya mengetahui semua yang terjadi antara aku dan Meta.Tak masalah bagiku sebenarnya. Justru itu lebih baik dia mengetahuinya sendiri. Mengetahui bagaimana aku berjuang untuk mendapatkan bukti, kalau kecurigaanku selama ini terhadap Darel benar adanya. Namun, aku juga dibuat terkesima oleh Amanda. Dia mengatakan, kalau memiliki bukti tentang perbuatan dokter Bambang.Aku tak tahu bukti apa yang Amanda miliki karena saat aku akan bertanya lebih jauh padanya, Meta sudah menyelak pembicaraan kami dan memaki Amanda. Jujur saja kalau aku ingin menampar mulut Meta yang kotor. Tapi kami sedang ada di tempat umum, dan pengunjung rumah sakit mulai banyak yang berdatangan untuk menonton kami. Kalau aku menampar Meta di muka umum, tentu akan merugikan Amanda juga. Karena Meta pasti akan semakin menyudutkan mantan istriku, dengan berteriak dan membenarkan tudingannya pada Amanda. Sehingga orang lain akan ber
Meta menatapku dengan ketakutan hingga wajahnya seketika menjadi pucat. Dia beringsut dari sofa, dan mencoba berlari keluar dari ruang kerjaku. Tentu saja aku tak akan membiarkan dia keluar begitu saja dari ruang kerjaku, sebelum menjawab pertanyaanku.“Heh, mau coba-coba kabur rupanya!” sentakku yang dengan cepat menyambar lengannya.“Lepas!”Meta berusaha menepis tanganku dari lengannya. Namun, tak berhasil karena aku semakin mempererat cekalan tanganku. Semakin dia berontak, maka semakin kuat tangan ini mencekal lengannya. Hingga akhirnya dia pasrah dan menangis sambil menatapku.“Aku akan bersikap baik padamu asalkan kamu bersikap kooperatif, Meta. Aku sekarang sedang sangat marah sama kamu. Jadi jangan kamu buat aku untuk melakukan hal gila padamu. Kamu sudah bohongi aku, dan tentu saja aku nggak terima. Jadi sekarang jawab aku dengan jujur, siapa ayah kandung Darel? Dia harus tanggung jawab terhadap anaknya. Aku akan menyeret dia agar mau mendampingi Darel melakukan terapi kelua
Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tuanya, Meta terus menangis. Berisik sih sebenarnya, tapi aku biarkan dia terus menangis agar plong hatinya. Kulirik Meta yang meringkuk di jok kursi, di sebelahku. Tak menyangka juga wanita yang aku kenal dari kecil ini, ternyata menjalin hubungan dengan suami orang hingga dirinya hamil. Apesnya aku yang menjadi sasaran menutup aibnya, dengan taruhan rumah tanggaku. Sial memang!“Darel tahu siapa ayahnya, Meta?” tanyaku iseng. Dari pada mendengarnya menangis terus, lebih baik aku ajak dia bicara. Barangkali bisa mengorek keterangan siapa ayahnya Darel.Meta tetap diam. Tangisannya mendadak terhenti. Satu menit. Dua menit. Hingga lima menit, tak kunjung juga dia jawab pertanyaanku tadi. Ok, aku akan ganti pertanyaannya.“Darel ada sama ayahnya atau sama orang tua kamu sekarang? Soalnya beberapa hari yang lalu, aku datang ke rumah orang tua kamu. Ternyata kalian berdua nggak ada di sana. Mereka juga nggak tahu keberadaan kamu ada di mana saat itu
Hari ini aku ke rumah makanku lebih awal dari biasanya, karena kemarin tak sempat datang ke ruko. Hal itu disebabkan karena kejadian di rumah sakit yang menyita waktuku. Belum lagi harus ke kantor pak Haris dan kantor polisi, untuk mengajukan tuntutan pada dokter Bambang. Hingga kemarin bisnis kulinerku ini terabaikan.“Selamat pagi, Bu,” sapa para karyawanku ketika melihatku datang.“Selamat pagi. Bagaimana rumah makan ini kemarin? Maaf ya kemarin nggak sempat kemari soalnya ada urusan,” sahutku sambil menatap karyawanku satu persatu.“Kemarin baik-baik saja, Bu. Semoga selalu begitu. Tetap ramai pengunjung seperti biasanya,” sahut salah seorang karyawanku.“Alhamdulillah. Sekarang kalian lanjut bekerja, ya. Saya mau ke ruangan saya dulu,” ucapku yang diangguki oleh mereka.Aku langsung menaiki anak tangga menuju ruang kerjaku di lantai dua. Tepat ketika aku sudah tiba di ruanganku, bunyi notifikasi pesan masuk terdengar di ponselku. Aku lantas merogoh ponselku dari dalam tas, dan ak
Aku yang merasa bersalah, bergegas menghampiri mas Haikal yang masih berada di lantai.“M-maaf ya, Mas. Aku tadi refleks, soalnya kamu yang semakin mendekat sih. Aku tadi juga bingung kok bisa dorong kamu sekencang itu,” ucapku merasa tak enak hati.“Iya, sakit banget ini. Kamu tenaganya kayak hulk juga. Aku nggak sangka lho,” ucap mas Haikal dengan tatapan sendu kala mata kami bertemu.“Iya, iya, maaf deh. Ya sudah bangun sekarang. Masak kamu mau tiduran terus di lantai. Ayo, bangun sekarang, Mas!” ucapku. Namun, mas Haikal bergeming. Tak mau bergerak sama sekali.“Pinggangku terasa mau copot. Badanku terasa sakit semua, Manda. Coba kamu bayangkan, tubuhku terjungkal ke lantai yang keras. Sakit banget lho,” rengeknya persis seperti anak kecil.“Ya terus bagaimana dong? Sudah terlanjur jatuh juga kan. Nggak bisa diputar ulang lagi kejadiannya. Kalau bisa sih, aku mau mengurangi kekuatanku supaya kamu nggak jatuh kayak tadi,” sahutku dengan mengulum senyuman karena geli sendiri dengan
“Siapa dia, Manda?! Kenapa ada lelaki tidur di ruangan ini? Terus apa yang telah kalian lakukan di ruangan ini?” tanya tanteku dari ambang pintu, dengan tatapan tajam yang dia arahkan padaku.Rupanya tante Karlina tak bisa melihat wajah mas Haikal yang sedang tertelungkup di atas sofa. Sehingga bertanya tentang identitas pria yang sedang tidur di sofa panjang.“Eh, Tante. Silakan duduk dulu! Nanti jelaskan, ya,” ucapku berusaha tenang. Padahal degup jantungku sudah memompa dengan begitu kencangnya, karena tatapan tajam dan ucapan tanteku mengisyaratkan kecurigaan.Tante Karlina akhirnya masuk dan menutup pintu ruang kerjaku. Dia menatap mas Haikal yang masih tertidur pulas di sofa panjang.“Kok kayaknya Tante pernah melihat lelaki ini ya, Manda,” ucap tante Karlina, yang melangkah mendekati mas Haikal. Mata tanteku membelalak ketika sudah berada di samping sofa. “Ini...Haikal!”Aku pun mengangguk dan tersenyum canggung. “I-iya, Tan. Mas Haikal kemari karena ada perlu penting. Terus di